Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam
Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis trumatik,
mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang arti
terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu
penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang
masih tertinggal.

Dewasa ini istilah yang digunakan untuk dapat menunjukkan proses radang pada
medulla spinalis adalah mielitis. Dan bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis,
bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang
medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.

Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis
diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang
baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis
(meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut
pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses
epidural atau granuloma.

Pembagian mielitis akut, subakut dan kronis berdasarkan perjalanan klinis penyakit
yang berlangsung dengan, untuk akut beralngsung untuk sehari, 2 sampai 6 miggu dikatakan
subakut serta lebih dari 6 minggu dikatakan sebagai kronik.

Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi lumbal , CT


scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

Penatalaksanaan hanyalah diberikan terrapin kortikosteroid dosis tinggi selama 10


hari dan penatalaksanaan penyebab mielitis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MIELITIS SECARA UMUM

2.1.1.DEFINISI
Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam
Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis trumatik,
mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang arti
terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu
penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang
masih tertinggal.

Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminologi
nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor
(1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang
menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba.

Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedakan atas :

1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa
hari saja.

2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.

3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi
proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai
substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis
terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.

2
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis
diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang
baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis
(meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut
pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses
epidural atau granuloma.

Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang
disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu
medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran
kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak,
dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla
spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk
oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.

Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf
servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral
(S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).

Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada


medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis
yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar
vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis
sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri
hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar
pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di
dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda”
karena penampakannya.

3
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla
spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis
membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di
sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-
badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun
menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang
panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang
berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam
daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi
yang disampaikannya.

Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan,
dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian
fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara
fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal,
terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu
dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis
mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis
mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat
otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari
badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.

Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar
spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla
spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla
melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat
berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron
eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.

Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis
yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen
dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah
saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang
dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf
tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron.
4
Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain.
Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan
dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak
mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah
yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk
mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi
ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar
tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari
dalam tubuh, misalnya otot dan sendi

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan


terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.

2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik


alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan
mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.

3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon


terhadap stimulus verbal.

4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada
columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot
antigravitasi.

5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas


otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan dengan
keseimbangan.

6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

5
Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan
dalam diskriminasi lokasi.

2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.

3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.

4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan,


traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.

5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

6
Gambar medulla spinalis

7
2.1.3 Klasifikasi
1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.
a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B
2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada
meningens dan medula spinals.
a. Mielitis sifilitika
 Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
 Meningomielitis kronik
 Sifilis meningovaskular
 Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik
b. Mielitis piogenik atau supurativa
 Meningomielitis subakut
 Abses epidural akut dan granuloma
 Abses medula spinalis
c. Mielitis tuberkulosa
 Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis
 Meningomielitis tuberkulosa
 Tuberkuloma medula spinalis
d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
c. Degeneratif atau nekrotik.

2.1.4 Patologi

Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga mielitis
merupakan bagian dari inflamasi serebrispinali yang umum misalnya pada ensefalomielitis.
Pada stadium akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada potongan melintang bisa
menunjukan perdarahan. Gambaran patologi yang penting adalah degenerasi medulla spinalis
8
yang sifatnya destruktif mielin dan musnahnya aksis silinder. Elemen inflamasi misalnya
limfosit dan sel plasma, berada di jaringan medulla spinalis dan di sekeliling pembuluh darah
disertai infiltrasi ke meningen. Pada beberapa bentuk bisa dijumpai nekroisi yang lengkap
dari medulla spinalis, dengan respon fagositik yang ekstensif dan ploriferasi mesodermal.
Sel-sel neuron dalam substansia grisea bisa mengalami degenerasi berat. Reaksi mesodermal
biasanya hebat disertai dengan dilatasi, proliferasi atau infiltrasi pembuluh darah.
Pembentukan parut sel-sel glia didapatkan pada beberapa bentuk. Kelainan patologik ini bisa
terjadi disetipa tingkat : sevikal, torakal, atau lumbal. Tapi paliing sering terletak di regio
torakal karena bagian medulla spinalis ini paling panjang dan pemasokan darahnya paling
jelek.

2.1.5 Gambaran Klinis

1. Motorik

Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping gangguan sensorik
dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai tingkat tertentu dipengaruhi
oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk menentukan simtomatologinya yang lebih
penting adalah topik patologiknya di medulla spinalis atau tingkat medulla spinalis disamping
intensitas dan luasnya proses patologik.

Jika prose topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat terjadi
tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada di tingkat
servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau tetraplegi yang
pada anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah bersifat spastik atau
UMN. Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan berakibat sebagai
paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN. Namun yang paling sering
topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan menimbulkan paraparesis atau paraplegi
inferior yang bersifat spastik atau UMN. Kelumpuhannya juga dapat mengambil bentuk
monoparesis atau monoplegi yang bersifat flaksid atau LMN jika topiknya ada dibagian
ventral subtansia grisea misalnya poliomielitis. Pada mielitis dissreminata ataupun pada
mielitis transversa parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak simetris.

Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus atau bakteri bisa
didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi traktus respiratorus bagian

9
atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa gangguan gastrointestinal. Gejala
lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau eksantem, nyeri kepala, kaku kuduk bisa
ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit ini dapat berlangsung akut sub akut atau khronis.

Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Periode ini terjadi
berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak. Dibawah tingkat lesinya
bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik, hilangnya fungsi otonom dan
arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran kemi yang berat atau ulkus dekubitus
periode syok spinal akan memanjang.

Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum, suatu periode
syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada periode ini dapat terjadi
kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis tranversa dengan toppik di segmen
torakal, setelah periode syok spinal lewat akan terjadi kandung kemih otomatik atau
neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering dijumpai.

2. Sensoris

pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering digambarkan seperti
rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau kaki kemudian naik ke
tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas. Nyeri dirasakan dipunggung
menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan, (rasa seperti sabuk).

Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah level tertentu
yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola inervasi segmental.
Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa nyeri, vibrasi dan
propiosepsi.

Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang kebersihan.
Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan trokanter mayor. Gejala
lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia, hipotensu, paralisis diafragma.

Pada penyakit yang berlangsung lama terjadi perubahan-perubahan metabolik. Ekskresi


protein meningkat dan protein serum menurun. Kalium darah meningkat tapi natrium dan
klorida menurun serta terjadi hiperkalsiuri dan osteoporosis.

10
Pemeriksaan Liquor Serebro Spinalis (LSS) menunjukan pleiositosis pada 50% penderita.
Jumlah sel-sel LSS meningkat menjadi 20-300 sel (jarang sampai setinggi 1000 sel) per mm
kubik. Jenis selnya adalah mononuklear, poliomorfonuklear atau campuran namun terutama
adalah limfosit. Kadar protein LSS meningkat pada 40% penderita sedangkan kadar
gulukosanya normal. Tes queckensted biasanya menunjukan tidak adanya obstruksi pada
ruang subarakhnoid, kecuali pada keadaan tertentu seperti edema medulla spinalis yang berat,
arakhnoiditis khornis adhevisa dan abses ekstradural.

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi defisit motorik,
sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang mendahului atau menyertai
berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah dengan bukti tidak adanya blokade pada
aliran LSS.

Diagnosis Bandingan

1. Sindroma Guillain Barre


2. Oklusi aorta abdominalis

3. Multiple sklerosis

2.2. POLIOMIELITIS

2.2.1 Definisi
Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah suatu
penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan
kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan dapat pula
mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik korteks serebri.

Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin pada
tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena itu dulu penyakit ini
dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.

11
2.2.2 Epidemiologi

Goar (1955) dalam uraian tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan
sanitasi berkesimpulan bahwa epidemi ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun
karena itulah dulu disebut paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak diketemukan
pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah umur 6 bulan,
mungkin karana imunitas pasif yang didapat dari ibu.

2.2.3 Etiologi

Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili
pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus
yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu:

1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis.


2. Tipe 2 yaitu Lanshing
3. Tipe 3 yaitu Leon

Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan silang.
Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat oksidator
yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat.

2.2.4 Patogenesis

Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam tubuh
melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-fekal. Masa inkubasi
biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak didapat pada suatu
daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi
pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau
tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan.
Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan limfoid
tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus dinding usus
dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia).

12
Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja.
Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem saraf secara
langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau
ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus gastrointestinalis atau
jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor (1985) dan Gilroy Dan Meyer
(1979), 95-99% pasien yng terinfeksi virus polio mengalami infeksi subkliik (asimtomatik),
3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang mengalami meningitis aseptik dan hanya 1% yang
mengalami poliomielitis paralitik.

2.2.5 Patologi

Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan kromatolisis


substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi virus dalam SSP lalu
perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti dengan disintegrasi

Nukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis komplet. Atrofi dan paralisis
akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada medula spinalis yang bersangkutan yang
masih baik.

Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis, batang otak,
serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri.

2.2.6 Gambaran Klinis

Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis


merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu menimbulkan
kekebalan alami.

Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini timbul
gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik ringan ini
seperti:

 Flu ( sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis )
 Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia )

13
Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus
ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses.

POLIOMIELITIS PREPARALITIK ATAU NONPARALITIK

Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi akan
merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase kedua. Bentuk
gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-anak tapi pada
penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai.

Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai dengan
gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme otot fleksor
paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila dari sikap
berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan dalam sikap
ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat tidur (tanda
tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor trunsi
sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu hendak
melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat pula
dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap berbaring
hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka kepala penderita
akan terkulai kebelakang (retrofleksi).

POLIOMIELITIS PARALITIK

Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal, bulbar


(bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa jam-
48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali normal,
biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan bervariasi tapi
hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena poliomielitis
menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal.

Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga
menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula dijumpai,

14
tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada bentuk bulbar ini
adalah pernafasan.

2.2.7 Laboratorium

Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan tenggorokan,
darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan adanya pleositosis,
kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit normal, jumlah sel berkisar
antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat. Pada stadium prepalitik atau
paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi setelah 72 jam lebih banyak
ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai puncaknya pada minggu pertama
kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3 minggu. Kadar protein berkisar antara 30-
120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein
yang meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu.

2.3 MIELITIS TRANSVERSALIS

2.3.1 Definisi

Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh peradangan di


kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang. Istilah myelitis
mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya menggambarkan posisi
peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan peradangan bisa
merusak atau menghancurkan myelin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf.
Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara saraf-saraf di
sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh.

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu
area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau
sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom
dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan
traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior.

15
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan
terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi
mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya
band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom
paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis.
Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial
menimbulkan kerusakan.

2.3.2 Epidemiologi

Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis kelamin,
dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah puncaknya pada
tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi antara 10 dan 19 tahun dan
30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat insiden, diperkirakan
bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis melintang setiap tahun di Amerika
Serikat, dan sekitar 33.000 orang Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat
gangguan ini. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya
merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola
yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat
penyakit dalam keluarga.

2.3.3 Etiologi

Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan
yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi
virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah
yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai
komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan
rabies serta idiopatik.

16
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang
dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks,
sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus (HIV),
hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan
Mycoplasma pneumonia.

MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa


pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES
yang aktif5.

2.3.4 Patogenesis

Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau
bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf
tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana
terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem kekebalan
sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh mungkin
bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya
melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri,
menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam
sumsum tulang belakang

Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal


(kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah
seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam
jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang belakang
akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang
umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan
membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka
tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang
belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan oksigen,
atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan
ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis transversal.
Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai akibat dari penyakit vaskular

17
melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru saja menjalani operasi dada atau
abdominal.

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi


Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat
dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve
roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di
perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi
menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi
MT9.

MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan
respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah
digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan
cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang
dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang
menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan
mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen
lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis.
Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya
system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut
dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang
dapat dilihat pada pasien MT9.

Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat
bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi
penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia
mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam
dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada
permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi
dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan

18
berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri
molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon
terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.

Microbial superantigen-mediated inflammation


Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu dengan
aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan peptide
mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi
terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu
enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen
Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan
dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen
dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan
ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan
dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang
diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit
T selama beberapa saat setelah aktivasi9.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan
mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan
selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan
superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki
jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di
sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada
tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan
myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang
menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.

Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral,
dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan
antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik
elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat
membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.

19
2.3.5 Gambaran klinis

Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa
hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya
mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti
membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan
paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia.
Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan
mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan
nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien
mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.

Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang muncul:

(1) kelemahan kaki dan tangan,

(2) nyeri,

(3) perubahan sensorik, dan

(4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.

Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka,


beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis
transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya.
Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh
dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.

Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah
dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari
tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.

Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti


mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala mereka. Sampai
80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga
pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak nyaman atau
sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga mengalami peningkatan
sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau dingin.

20
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia
urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau
konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan
otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada
tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan
fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21
hari6

Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan peningkatan


frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang
air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis
transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.

2.3.6 Perjalanan penyakit

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti
oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.

Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi
kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan
kandung kemih.

Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya gejala
yang timbul.

2.3.7 Diagnosa

Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik
karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus
intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain
Barre).

Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati
blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit,
protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan
sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai

21
pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola
gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua
lengan.

Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan
penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi
parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor
dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.

Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada
tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun
kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain
harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari
penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis

Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the
spinal cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or
elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory
kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2
and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if
patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced
from point of awakening)

Exclusion criteria
1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years

22
2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the
anterior spinal artery
3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,
Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue
disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,
other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6,
enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system;
CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human
herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar
puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus
erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis.
(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria
and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5

Diagnosis Banding

Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis

Inflamasi Non-Inflamasi
Kompresi Penyakit Demyelinisasi
 Osteofit  sklerosis multiple
 Diskus  optik neuromielitis
 Metastasis  ensefalomielitis diseminata akut
 trauma  mielitis transversalis akut
idiopatik
Tumor Infeksi
 Virus: coxsackie, mumps,
varicella, CMV
 Tuberculosis

23
 Mikoplasma
Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi
 Lupus eritematosus sistemik
 Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Mielitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 29Oktober 2012])

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

 MRI
Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab
struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau
tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam
setelah presentasi.

24
 CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CT-
myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
menilai medulla spinalis.

 Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi.
Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus
diperiksa.
 Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren
(pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat
immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa
vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari
MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan
titer antibodi harus dilakukan.

25
 Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi
sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit
jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE
level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus
antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen.

Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis

Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang


Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan
PCR CSF; Foto Thorax dan
pemeriksaan imaging lainnya dengan
indikasi
Autoimun Sistemik atau Penyakit Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan
Inflamasi serologi; Foto Thorax dan Sendi;
pemeriksaan imaging lainnya dengan
indikasi
Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi
paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium;
(sklerosis multiple, optic neuromielitis) CSF rutin; pemeriksaan visual evoked
potential; serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan
vaksinasi sebelumnya; konfirmasi
serologi adanya infeksi; eksklusi
penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72)

2.3.9 Penatalaksanaan

26
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan
menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan
secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien
mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg
metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen
oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap.
Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang
dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi
progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral
1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan
dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil
prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH
dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari),
lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari).
Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan
simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif
dapat diberikan antasid per oral.

Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal,
insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit8.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan
pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia,
thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan
komplikasi dari tindakan ini8.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor
saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor
mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada
pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan
pengurangan risiko serangan berulang.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125 gram
protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.

27
Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis
servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi
pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-
otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi
paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada
beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah
memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube
diperlukan atau tidak8.

Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi


Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis vena
dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika
duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa
nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga
neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-
channel blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan
meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin
dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek
agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi
hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.

Abnormalitas Tonus
Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi
biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus),
bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon
adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau
obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan
benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda
spinalis.

28
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering
menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80
mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk
mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.

Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan
mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor
ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari
beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan
anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan
norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.

Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi
terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled
trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada
satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau
metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi
setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis
belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.

Disfungsi Usus dan Genitourinari


Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut karena
retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri
frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih. Gejala
ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin).
Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna
untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai
disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi
sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi
beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih.
Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan

29
pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap
malam).

Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan
konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus
inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi
konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan
untuk orgasme, atau anorgasmia.

Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada
pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan
gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau
dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.

2.3. 10 Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan
pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–
6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat
sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.

BAB III
KESIMPULAN

30
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedahkan atas :

1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa
hari saja.

2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.

3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti
oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.

Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi
kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan
kandung kemih.

Perjalanan penyakit

 Pasca infeksi / pasca vaksinasi mulai timbul deficit neurology setelah 5 – 10 hari.
 Perjalanan penyakit akut.
A. ± 50% timbul dalam waktu 12 jam
B. ± 75% timbul dalam waktu 24 jam

Mula mula berupa demam, malaise, mialgia.

Deficit neurologik berupa.
A. Kelemahan ekstremitas
B. Gangguan sensibilitas
C. Gangguan genitourinaria & defekasi
 Segmen medulla spinalis yang sering terkena antara segmen thoracal 2 – thorakal 6
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi lumbal , CT
scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang
dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi
31
progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral
1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan
dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil
prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH
dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari),
lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari).
Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan
simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif
dapat diberikan antasid per oral

DAFTAR PUSTAKA

32
1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from :
http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.

2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available


from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/trans
verse_myelitis/about-tm/diagnosis.html

3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013.


Available from:  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-
andrina1.pdf 
4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available
from:  http://jani-orthoprost.com/mielitis.html
5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :
http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?
secret_password=&autodown=pdf

6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact
Sheet Available from :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.
htm
7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare
Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html

8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 .


Jakarta.

9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition.
McGraw-Hill.

33

Anda mungkin juga menyukai