Anda di halaman 1dari 70

Pertimbangan-pertimbangan dalam Putusan MK yang Memengaruhi

Hukum Acara MK

Oleh: Fahrul Razi (17230014)

Dosen Pengampu: Wiwik Budi Wasito, SH., MH.

A. Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003


1. Ketentuan yang Diubah: Pembatalan sebuah undang-undang dianggap
ultra petita.
2. Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002
secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD
1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan
keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya
kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu
ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat
hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak
mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian,
semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan
yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun
2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut
habis atau tidak berlaku lagi;
Menimbang bahwa guna menghindari kekosongan hukum
(rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang
ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No.
20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985
termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
Menimbang bahwa dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20
Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar
pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru
yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945;

B. Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003


1. Ketentuan yang Diubah: LSM sebagai badan hukum publik.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pemohon I, Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi


Manusia Indonesia (APHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang menurut ketentuan Anggaran Dasarnya melakukan kegiatan-kegiatan, antara
lain, adalah memberikan perlindungan, pembelaan dan penegakan keadilan,
hukum, dan hak asasi manusia;
Menimbang bahwa Pemohon II, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (PBHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang menurut ketentuan anggaran dasarnya adalah didirikan dengan
tujuan, antara lain, untuk melayani kebutuhan bantuan hukum bagi warga negara
Indonesia yang hak asasinya dilanggar, mewujudkan negara dengan sistem yang
sesuai dengan cita-cita negara hukum, mewujudkan sistem politik yang
demokratis dan berkeadilan sosial, mewujudkan sistem hukum yang memberikan
perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;

Menimbang bahwa Pemohon III, Yayasan 324, adalah sebuah yayasan


yang bertujuan, antara lain, mempromosikan cita-cita/semangat demokrasi,
perdamaian, dan pelestarian lingkungan hidup;

Menimbang bahwa Pemohon IV, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), adalah


sebuah yayasan yang menurut anggaran dasarnya bertujuan, antara lain,
menciptakan tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-
nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta martabat manusia; menciptakan
masyarakat yang mempunyai pola pikir, sikap, dan pola tindak yang tidak
membeda-bedakan (diskriminatif) berdasarkan ras, suku, suku bangsa, warna
kulit, dan keturunan serta golongan; membina dan memperbarui aturan-aturan
hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mengandung muatanmuatan atau materi-materi yang bersifat
diskriminasi ras; memberikan bantuan hukum terhadap setiap orang yang hak-hak
dan atau kepentingannya dilanggar karena perbedaan ras, suku, suku bangsa,
warna kulit, dan keturunan serta golongan;

Menimbang bahwa Pemohon V adalah Serikat Pekerja Kimia, Energi dan


Pertambangan FSPSI Pertamina, yang menurut anggaran dasarnya bertujuan
untuk, antara lain, menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja di Pertamina
guna mewujudkan rasa setia kawan dan persaudaraan sesama kaum pekerja; turut
serta aktif dalam mengisi dan mewujudkan dilaksanakannya UUD 1945 setelah
diamandemen secara murni dan konsekuen terutama hakhak asasi manusia,
seperti hak untuk memperoleh kehidupan dan penghasilan yang layak sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 setelah diamanademen, hak pekerja dalam
kebebasan berserikat sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 setelah diamanademen;
hak asasi manusia sesuai dengan Bab XA UUD 1945 setelah diamandemen, hak
atas kesejahteraan pekerja dan keluarga dan kesejahteraan sosial dalam
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945
setelah diamandemen; meningkatkan kehidupan dan penghidupan pekerja di
Pertamina yang adil dan makmur;
Menimbang bahwa Pemohon I sampai dengan V, terlepas dari tidak dapat
dibuktikannya apakah Para Pemohon dimaksud berstatus sebagai badan hukum
atau tidak, namun berdasarkan anggaran dasar masing-masing perkumpulan yang
mengajukan permohonan ini (Pemohon I sampai dengan V) telah ternyata bahwa
tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum
(public interests advocacy) yang di dalamnya tercakup substansi dalam
permohonan a quo, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon I sampai dengan
V memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam
permohonan a quo;

Menimbang bahwa Pemohon VI, DR. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE., M.H.
adalah Wakil Rektor II Universitas Kejuangan 45, tidak menerangkan dengan
jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya berkenaan dengan
kualifikasinya sebagai Pembantu Rektor II Universitas Kejuangan 45 akibat
diberlakukannya undang-undang a quo, sehingga tidak tampak adanya hubungan
kepentingan antara substansi permohonan dan kualifikasi Pemohon yang
bertindak atas nama Universitas Kejuangan 45, dan oleh karenanya Mahkamah
berpendapat, terlepas dari adanya 2 (dua) Hakim Konstitusi yang berpendapat
lain, Pemohon VI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;

C. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003


1. Ketentuan yang Diubah:
a. Kelompok/komunitas profesi sebagai badan hukum publik.
b. Lembaga Negara: Konstitusi, dibentuk undang-undang maupun
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
2. Pertimbangan Hukum
a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, “Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu :

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum


adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga
negara”. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud
“hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945” dan
“perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama”.
Bahwa merujuk ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, para
Pemohon a quo termasuk kategori perorangan WNI, dalam hal ini adalah
kelompok orang, yaitu para insan penyiaran, yang mempunyai
kepentingan sama terhadap adanya suatu undang-undang penyiaran yang
diharapkan bisa melindungi dan mengakomodasi kepentingan dan hak
konstitusional mereka. Hak konstitusional para Pemohon a quo yang
diatur dalam UUD 1945, sebagai insan penyiaran, antara lain ialah hak
yang diatur dalam Pasal 28F yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hak konstitusional ini
menurut anggapan para Pemohon a quo dirugikan oleh berlakunya UU
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Bahwa kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya suatu UU
tidak perlu bersifat real/aktual sampai menunggu jatuhnya korban UU,
tetapi cukup bersifat potensial berdasarkan “objective constitutional
invalidity” dan “broad approach in fundamental rights litigation”
(Hoexter, Cora & Lyster Rosemary, 2002 : 330-331).
Menimbang bahwa seorang Hakim Mahkamah berpendapat
Pemohon tidak memiliki legal standing dengan alasan:

- bahwa menurut Pemohon dalam permohonannya Pemohon


merupakan suatu Badan Hukum Privat sebagaimana yang diatur oleh
Buku III Bab 9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) tentang Persekutuan Perdata (Maatschap), khususnya Pasal
1653, Pasal 1654, dan Pasal 1655 KUH Perdata;

- bahwa ketentuan sebagaimana diatur oleh Buku III Bab 9 KUH


Perdata tentang Persekutuan Perdata (Maatschap) bukanlah ketentuan
yang mengatur apakah suatu Bentuk Usaha merupakan suatu Badan
Hukum seperti Perseroan Terbatas (P.T.), Koperasi, atau Yayasan;

- bahwa Pemohon dalam Tambahan Penjelasan Mengenai Alas Hak


(Legal Standing) para Pemohon dalam suratnya tanggal 11 Februari
2004, mengatakan, menerangkan bahwa selain mendalilkan pada
Pasal 1655 KUH Perdata juga mendalilkan pada Keputusan Raja 28
Maret 1870, S. 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum
(Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen);

- bahwa suatu perkumpulan untuk menjadi suatu Perkumpulan-


Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van
Vereenigingen) harus mendapatkan pengesahan dari Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia c/q Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, tidak cukup pendiriannya hanya dengan
Akte Notaris lebih-lebih tanpa Akte Notaris;

- bahwa Pemohon bukan merupakan subyek hukum yang dimaksud


Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dalam kualitas
sebagai Badan Hukum Privat, sebagai konsekuensi hukumnya
Pemohon tidak mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak
konstitusionalnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 51 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003;

- bahwa setelah memperhatikan uraian di atas, maka disimpulkan


bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum sebagaimana
diatur Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;

Bahwa akan tetapi, Mahkamah berpendapat para Pemohon a quo dalam


kapasitasnya sebagai kelompok perorangan warga negara Indonesia yang
tergabung dalam asosiasi-asosiasi terkait, memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945, sehingga pokok
permohonan dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

b. Menimbang bahwa dalam pokok perkara perlu ditelaah mengenai dalil-


dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon a quo yang menyatakan UU
No. 32 Tahun 2002 atau setidak-tidaknya beberapa pasal dari UU tersebut
bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sbb. :

1) Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002


yang memberikan status lembaga negara kepada Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945
tidak mengenal lembaga negara seperti KPI. Terhadap dalil Pemohon
tersebut Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai
lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas
dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang
dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang
dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut
lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD
1945.

2) Pemohon mendalilkan bahwa KPI dengan kewenangan yang begitu


besar yang diberikan oleh UU Penyiaran akan menjadi lembaga seperti
Departemen Penerangan masa lalu yang bersifat represif yang akan
mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran, seperti
ditunjukkan oleh adanya ketentuan Pasal 31 ayat (4) jo. Pasal 32 ayat
(2) jo. Pasal 33 ayat (4) dan ayat (8) jo. Pasal 55 ayat (3) jo. Pasal 60
ayat (3) jo. Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2002 yang
menurut para Pemohon bertentangan dengan Bab XA UUD 1945.
Karena, menurut Pemohon, keseluruhan ketentuan di atas
membuktikan bahwa kemandirian KPI sebagai lembaga negara yang
bersifat independen adalah semu belaka sehubungan dalam membuat
dan menjalankan regulasi harus bersama-sama Pemerintah. Terhadap
dalil Pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas
Pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi
reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak Pemohon
memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya
membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan
oleh Pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa
sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi
kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran. Pasal 62 UU
Penyiaran menyatakan bahwa kewenangan regulasi KPI bersama
Pemerintah tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum
Peraturan Pemerintah, pada hal berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2)
UUD 1945, Peraturan Pemerintah adalah produk hukum yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Presiden dalam membuat peraturan pemerintah
dapat saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait
dengan pokok masalah yang akan diatur, tetapi sumber dimaksud tidak
perlu dicantumkan secara eksplisit dalam UU yang memerlukan
peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya. Dengan demikian,
ketentuan dalam Pasal 62 UU Penyiaran tersebut di atas memang
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, seyogianya
kewenangan regulasi di bidang penyiaran dikembalikan kepada
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa
“KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-
hal mengenai penyiaran”, akan tetapi dalam pemahaman bahwa
kewenangan mengatur yang demikian melalui Peraturan KPI adalah
dalam kerangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksanaan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Perlu
ditambahkan, bahwa sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasan
negara hukum, KPI sebagai lembaga negara tidak boleh sekaligus
melaksanakan fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi yustisi,
sehingga fungsi membuat peraturan pemerintah harus dikembalikan
sepenuhnya kepada Pemerintah (Presiden).

D. Putusan Perkara Nomor 006/PUU-II/2004


1. Ketentuan yang Diubah: Pasal 50 Undang-Undang MK,
pembatasan obyek pengujian undang-undang sebelum perubahan
UUD 1945.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK) yang
menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Menimbang bahwa undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, in casu


UU 18 Tahun 2003, diundangkan pada tanggal 5 April 2003 maka, terlepas dari
adanya perbedaan pendapat di antara para hakim mengenai Pasal 50 UUMK,
Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan a quo;

E. Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005


1. Ketentuan yang Diubah: Lima syarat kedudukan hukum.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menentukan dua


kriteria yang harus dipenuhi agar Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), yaitu:

a. Kualifikasi Pemohon apakah sebagai perorangan warga Negara Indonesia


(termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau
privat, atau lembaga negara;
b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya
undang-undang;
Menimbang bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia, yang
menganggap telah dirugikan haknya oleh diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun
2004 (UU Pemda), secara khusus pasal-pasal undang-undang a quo yang telah
diuraikan di atas, yang masing-masing dijelaskan berikut ini:

• Bahwa pasal-pasal UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dimohonkan diuji


yaitu undang-undang tentang pemerintahan daerah, adalah pasal-pasal
tentang calon kepala daerah yang harus diajukan partai politik, partai
politik yang boleh mengajukan pasangan calon kepala/wakil kepala daerah
harus memiliki 15% kursi di DPR atau 15% suara sah dalam pemilihan
umum tahun 2004 yang dipandang diskriminatif dengan persyaratan
perolehan suara yang lebih rendah bagi pengajuan pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden, penetapan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada
bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) dan (5) UUD 1945, karena Pilkada
bukan Pemilu, serta adanya jabatan wakil kepala daerah dalam Pasal 24
ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 dianggap bertentangan dengan UUD
1945 karena tidak disebut dalam Pasal 18 ayat (4), telah didalilkan
merugikan hak konstitusional Pemohon
• Bahwa Hak konstitusional Pemohon yang didalilkan telah dilanggar
dengan berlakunya undang-undang a quo, adalah hak Pemohon untuk
diperlakukan sama dan tidak diskriminatif dengan pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden, serta hak Pemohon sebagai perseorangan untuk
maju sebagai calon kepala daerah, hal mana dipandang telah menimbulkan
kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945;
Menimbang bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya
satu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima)
syarat yaitu masing-masing:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah


dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

F. Putusan Nomor 026/PUU-III/2005


1. Ketentuan yang Diubah: Menolak permohonan provisi.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam


Pokok Perkara, para Pemohon telah mengajukan permohonan putusan provisi agar
Mahkamah menjatuhkan putusan “penghentian sementara” berlakunya UU APBN
dan kemudian diajukan kembali secara tersendiri berturut-turut dengan surat
bertanggal 28 Desember 2005 dan 27 Januari 2006, dengan maksud untuk
menghindari ”kesulitan penganggaran” seandainya permohonan pengujian UU
APBN dikabulkan, dengan alasan:

1. bahwa pada saat perkara a quo diperiksa Mahkamah, diperkirakan anggaran


baru terserap 5% (lima persen) dari seluruh anggaran;
2. bahwa pemeriksaan perkara a quo diperkirakan memerlukan waktu 60 hari
atau dua bulan, sementara Pemerintah dan DPR memiliki cukup aparat expert
guna menyusun APBN yang baru sebagai revisi APBN lama yang
bertentangan dengan UUD 1945;
Menimbang bahwa terhadap permohonan tersebut Mahkamah memberi
pendapat, sebagaimana juga telah diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum
tanggal 7 Februari 2006, bahwa putusan provisi (sela) dalam perkara permohonan
pengujian undang-undang tidak diatur dalam UUMK, juga tidak dikenal dalam
hukum acara perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Substansi
Pasal 58 UUMK juga secara tegas tidak memperkenankan hal yang demikian.
Pasal 58 undang-undang a quo menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh karena itu, jika seandainya hal
demikian dikabulkan dalam putusan provisi (sela) oleh Mahkamah, maka putusan
yang demikian sesungguhnya merupakan pokok atau substansi permohonan,
padahal putusan provisi yang menyangkut tindakan-tindakan sementara yang
diambil oleh Mahkamah tidak boleh menyangkut pokok perkara, meskipun harus
berhubungan dengan pokok perkara;

Menimbang bahwa dengan alasan-alasan pertimbangan yang demikian,


Mahkamah menolak permohonan provisi para Pemohon sebagaimana telah
dinyatakan dalam persidangan tanggal 7 Februari 2006;

G. Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006


1. Ketentuan yang Diubah: Penundaan keberlakuan putusan.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di


atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon, kecuali sepanjang mengenai
Pasal 53 UU KPK yang menyangkut Pengadilan Tipikor, tidak ternyata beralasan
untuk dikabulkan. Sedangkan ketentuan Pasal 53 UU KPK tersebut telah nyata
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, sebelum menentukan akibat hukum atas
kekuatan hukum mengikat Pasal 53 tersebut, Mahkamah perlu
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup
mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara
yang sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi
menimbulkan kekacauan hukum;

2. Putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menyebabkan timbulnya


ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan
kekacauan dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Putusan Mahkamah tersebut jangan sampai pula menimbulkan implikasi


melemahnya semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi yang telah
menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat Indonesia;

4. Untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan


pengadilan khusus yang diperlukan untuk itu, tidak dapat diselesaikan seketika
sehingga dibutuhkan waktu yang cukup;

Apabila Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan


UUD 1945 pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum mengikat, maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan
Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat
karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan proses
pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu,
Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses
peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.

Menimbang bahwa Mahkamah memandang tindak pidana korupsi yang telah


merugikan hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia adalah kejahatan
yang luar biasa dan musuh bersama (common enemy) masyarakat dan bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan hak asasi yang
hendak dicapai melalui pengujian ketentuan dimaksud di depan Mahkamah
dipandang skalanya lebih kecil dibanding dengan perlindungan hak asasi ekonomi
dan sosial rakyat banyak yang dirugikan oleh tindak pidana korupsi. Korupsi telah
melemahkan kemampuan negara untuk memberikan pelayanan umum yang baik
dan menghambat berfungsinya penyelenggaraan negara secara efektif. Hal itu
menjadi beban ekonomi yang berat karena menciptakan tingginya risiko ekonomi
makro yang membahayakan stabilitas keuangan, keamanan umum, hukum, dan
ketertiban. Terlebih lagi hal demikian dapat merongrong legitimasi dan
kredibilitas negara di mata rakyat;

Menimbang bahwa dengan memperhatikan keadaan objektif di atas,


meskipun telah nyata Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945,
Mahkamah memandang perlu terlebih dahulu menguraikan ketentuan-ketentuan
dan akibat hukum (legal effect) terkait dengan Putusan Mahkamah sebagai
berikut:

• Pasal 47 UU MK berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh


kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum”;

• Pasal 56 Ayat (3) UU MK berbunyi, “Dalam hal permohonan dikabulkan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan
dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-
undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;

• Pasal 57 Ayat (1) UU MK berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang


amar putusannya menyatakan bahwa materi, muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;

• Pasal 58 UU MK berbunyi, “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah


Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Artinya, bahwa terhadap
putusan dimaksud tidak dimungkinkan lagi adanya upaya hukum sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24C UUD 1945. Akibat hukum putusan Mahkamah yang
menyatakan undang-undang, bagian dari undang-undang, pasal, atau ayat
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
lahir segera setelah putusan diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk
umum secara prospektif (ex nunc) dan tidak retrospektif (ex tunc). Undang-
undang yang bertentangan dengan UUD 1945 demikian dianggap tidak ada dan
tidak berlaku lagi, dan tidak melahirkan hak dan kewenangan serta tidak pula
dapat membebankan kewajiban apapun. Pengadilan terikat untuk mengabaikan
undangundang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tersebut.

Akan tetapi hal itu hanya merupakan aturan umum yang timbul dari pernyataan
inkonstitusionalitas suatu undang-undang. Untuk kepentingan umum yang jauh
lebih besar sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah merasa perlu
membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu
undang-undang. Hal demikian, pernah dilakukan Mahkamah dalam Putusan
Perkara Nomor 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006 mengenai Pengujian
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun
Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan
Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan tersebut;

Menimbang bahwa untuk menghadapi keadaan demikian, maka sikap


kenegarawanan dan kearifan semua pihak, terutama para hakim (judicial wisdom
and craftsmanship), sangat dibutuhkan. Untuk itu, pembatasan akibat hukum yang
demikian dapat dilakukan dengan menangguhkan tidak mengikatnya Pasal 53 UU
KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sedemikian rupa
dengan memberi waktu yang cukup bagi pembuat undang-undang untuk
melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945. Hal demikian juga sekaligus
dimaksudkan agar pembuat undang-undang secara keseluruhan memperkuat
dasar-dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi;

Menimbang bahwa menurut Mahkamah pembuat undang-undang harus


sesegera mungkin melakukan penyelarasan UU KPK dengan UUD 1945 dan
membentuk undang-undang tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan
khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga
dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat
dihilangkan. Penyempurnaan UU KPK dimaksud, sekaligus dapat digunakan
untuk menampung kebutuhan akan pengaturan mengenai hal-hal lain, termasuk
mengenai syarat-syarat dan tata cara penyadapan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 12 Ayat (1) huruf a UU KPK yang dipersyaratkan harus diubah sesuai
dengan pertimbangan tersebut di atas;

Menimbang bahwa untuk menyelesaikan kedua hal tersebut, beserta


penataan kelembagaannya, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu
paling lama tiga tahun. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat
dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK
dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat lagi. Sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil
Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan
dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun
sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD
1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang
tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi
wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;

H. Putusan Nomor 031/PUU-IV/2006


1. Ketentuan yang Diubah: KPI sebagai badan hukum publik.
2. Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa Pemohon sebanyak delapan orang anggota Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 267/M Tahun 2003, yang menyatakan bertindak secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri, untuk dan atas nama KPI. Dengan demikian, kedelapan
Pemohon dimaksud mengkualifikasikan diri sebagai lembaga negara dengan
mendasarkan diri pada Pasal 1 Angka 13 UU Penyiaran yang menentukan,
”Komisi Penyiaran adalah lembaga negara yang bersifat independen yang
ada dipusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam
undangundang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang
penyiaran”;

Menimbang bahwa sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 005/PUU-I/2003 bertanggal 28 Juli 2004, Mahkamah telah
menetapkan bahwa istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai
lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas
perintah konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang dibentuk atas
perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar
peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, dan Mahkamah
berpendapat bahwa KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan
kewenangannya diberikan oleh undang-undang, in casu UU Penyiaran.
Pendapat Mahkamah demikian telah dikemukakan dalam putusan Mahkamah
tersebut di atas;

Menimbang bahwa karena kualifikasi Pemohon adalah sebagai


lembaga negara, maka sesuai dengan bunyi Pasal 51 Ayat (1) UU MK,
kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, merupakan syarat untuk menjadi dasar legal standing atau
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang;

Menimbang bahwa menurut Pemohon, berdasarkan Pasal 1 Angka 13


serta Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran, KPI yang ditetapkan sebagai lembaga
negara yang independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran, menjadi
tidak dapat independen jika pengaturan dilakukan dengan Peraturan
Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU
Penyiaran, sehingga menurut Pemohon UU tersebut merugikan kewenangan
konstitusional Pemohon. Demikian juga ”hal-hal mengenai penyiaran”
meliputi seluruh persoalan penyiaran, termasuk pemberian izin, sebagai buah
semangat reformasi harus berada pada masyarakat sendiri, sehingga oleh
karenanya izin penyiaran dirumuskan dalam frasa ”Negara melalui KPI” yang
diartikan menjadi izin diberikan oleh Pemerintah, oleh Pemohon dipandang
merugikan kewenangan konstitusionalnya, karena hal demikian tidak sesuai
dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;

Menimbang bahwa dengan merujuk pada unsur-unsur tentang syarat


mengenai kedudukan hukum atau legal standing, anggapan Pemohon bahwa
UU Penyiaran khususnya Pasal 62 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 Ayat (5)
merugikan kewenangan konstitusionalnya, baik tentang hubungan kausal
(causal verband), sifat kerugian yang spesifik, dan kemungkinan bahwa
kerugian tidak akan terjadi lagi jika permohonan dikabulkan, Mahkamah
berpendapat kerugian yang timbul terhadap wewenang konstitusional
Pemohon akibat berlakunya UU Penyiaran akan ditentukan secara tegas
dengan mempertimbangkannya bersama-sama dengan substansi atau Pokok
Permohonan, sehingga oleh karenanya Mahkamah akan mengambil sikap
tentang ada tidaknya legal standing Pemohon tersebut pada bagian
pertimbangan Pokok Permohonan;

Sementara itu dua orang Hakim Konstitusi berpendapat berbeda,


dengan pendirian tegas bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
atau legal standing, karena berdasarkan pendirian MK dalam perkara Nomor
030/SKLN-IV/2006 telah dinyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh
KPI bukan merupakan kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945, sehingga mutatis mutandis dalam masalah pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, KPI juga tidak memiliki kewenangan konstitusional, dan
oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional yang diderita oleh KPI
sebagai akibat berlakunya UU Penyiaran. Dengan pendirian demikian, dua
Hakim Konstitusi tersebut berpendapat bahwa tanpa memasuki Pokok
Permohonan, Mahkamah dapat segera menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima;

Menimbang oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili,


dan memutus perkara permohonan a quo, namun oleh karena kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon terkait dengan Pokok Permohonan maka
penentuan tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk
mengajukan permohonan a quo akan dipertimbangkan bersama-sama dengan
Pokok Permohonan di bawah ini.

Menimbang bahwa dengan uraian ruang lingkup tugas dan wewenang


KPI yang demikian, walaupun menimbulkan ketidakpuasan bagi KPI dalam
pelaksanaannya, yang menjadi pertanyaan dasar sekarang, apakah berlakunya
UU Penyiaran, yang melahirkan dan membentuk Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) itu sendiri, merugikan kewenangan KPI tersebut. Anggapan Pemohon
bahwa UU Penyiaran, khususnya Pasal 62 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 Ayat
(5) merugikan kewenangan konstitusionalnya, tidak dapat dibenarkan oleh
Mahkamah karena alasan-alasan berikut ini:

• bahwa Pemohon memperoleh kewenangan sebagai lembaga negara dari UU


Penyiaran. Akan tetapi, UU Penyiaran sebagai sumber kewenangan KPI,
sekaligus sebagai undang-undang yang membentuk dan melahirkannya tidak
mungkin menimbulkan kerugian bagi kewenangannya karena rumusan, ruang
lingkup, serta isi wewenang KPI tersebut dirumuskan dalam undang-undang
yang membentuk lembaga KPI itu sendiri, sehingga menurut pendapat
Mahkamah, KPI sebagai lembaga negara yang merupakan “produk” atau
sebagai “anak kandung” undang-undang a quo, tidak mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap
undang-undang yang melahirkannya, karena hal itu sama dengan
mempersoalkan eksistensi atau keberadaannya sendiri;
• Satu badan atau lembaga yang lahir dan dibentuk dengan satu undang-undang
akan menerima eksistensi dan segala wewenang, tugas, dan kewajibannya,
dengan segala kelemahan atau kekurangan maupun keuntungan dan
kerugiannya, sebagai hal yang melekat dalam dirinya sendiri. Bagaimana
mungkin satu undang-undang yang melahirkan satu lembaga dengan segala
kewenangan, fungsi, tugas, dan kewajibannya merugikan kewenangan yang
diberikan undang-undang itu. Kalaupun ada lembaga negara yang dirugikan
kewenangan konstitusionalnya dalam pengertian Pasal 51 Ayat (1) UU MK,
maka lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara lain, bukan lembaga
negara yang dilahirkan oleh undang-undang a quo. Di samping lembaga
negara, perorangan atau badan hukum privat/publik juga diberi kedudukan
hukum untuk menguji undang-undang jikalau undang-undang tersebut
merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Akan tetapi
Pemohon sebagai lembaga negara yang mendasarkan pada Pasal 28D Ayat
(1) UUD 1945 tidaklah tepat. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”, sehingga jelas bahwa yang menjadi
subjek hukum dalam pasal ini adalah orang dalam pengertian orang pribadi
(natuurlijke persoon). Seandainya pun hak asasi demikian dapat ditafsirkan
berlaku untuk badan hukum (rechtspersoon) hal itu juga tidak berlaku bagi
Pemohon bukan saja karena Pemohon mendalilkan dirinya sebagai lembaga
negara tetapi juga karena tidak semua hak konstitusional yang dimiliki oleh
orang pribadi serta merta berlaku pula bagi badan hukum;

• KPI sebagai lembaga negara yang merupakan “produk” dari UU Penyiaran


yang melahirkannya, tidak akan pernah dirugikan oleh UU Penyiaran itu
sendiri, dengan tafsiran apapun yang akan dipakai atas Pasal 51 UU MK atas
kerugian kewenangan konstitusional satu lembaga negara. Karena, dengan
kelahiran eksistensi dan kewenangan-kewenangannya, KPI (Pemohon)
semata-mata merupakan pihak yang diuntungkan (beneficiary), terlepas dari
kemungkinan adanya penilaian oleh sementara kalangan bahwa rumusan
kebijakan yang dituangkan dalam undang-undang a quo kabur atau terdapat
pertentangan dalam dirinya sendiri (self-contradictory);

Menimbang bahwa meskipun Mahkamah tidak menafikan keadaan bahwa


UU Penyiaran merupakan satu hasil kompromi politik, dan kompromi demikian
tidaklah dilarang sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum
yang tertinggi, tetapi legal standing untuk mempersoalkan undang-undang yang
melahirkan lembaga tertentu, tidak berada pada lembaga yang lahir dari
undangundang yang diuji. Dengan kata lain, kalaupun benar ada -quod non-
kekaburan atau terdapatnya pertentangan dalam diri undang-undang tersebut
(selfcontradictory) sehingga tidak sesuai dengan semangat dan cita-cita yang
mendorong kelahirannya, hal itu tidaklah dapat dijadikan alasan oleh lembaga
negara yang dilahirkan oleh suatu undang-undang untuk mengajukan permohonan
pengujian atas undang-undang yang melahirkannya. Hal demikian terpulang
kepada pembuat undang-undang untuk menegaskan kebijakan yang dipilihnya;

Menimbang, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah


berpendapat bahwa berlakunya UU Penyiaran tidak menimbulkan kerugian hak
atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam pengertian Pasal 51 Ayat (1)
UU MK. Oleh karenanya, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, sehingga permohonan Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

I. Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007


1. Ketentuan yang Diubah: Warga negara asing tidak mempunyai
kedudukan hukum.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa dua orang WNI sebagai Pemohon dalam Perkara


Nomor 2/PUU-V/2007 yakni Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa
Aprilia) mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28A dan Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 (hak untuk hidup yang bersifat non-derogable) yang
secara aktual dirugikan oleh adanya ketentuan pidana mati dalam UU Narkotika,
sebab kedua Pemohon a quo telah dijatuhi pidana mati oleh pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tinggal menunggu eksekusi. Dengan
demikian, kedua Pemohon tersebut memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan pengujian UU Narkotika;

Menimbang bahwa oleh karena, sebagaimana telah diuraikan di atas,


permohonan a quo juga diajukan oleh tiga orang warga negara asing (WNA),
yaitu Scott Anthony Rush, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan, maka
Mahkamah terlebih dahulu harus juga mempertimbangkan apakah WNA memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi Pemohon pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945.

Menimbang bahwa tentang kedudukan hukum (legal standing) para


Pemohon WNA dalam perkara a quo, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

a. Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya sangat tegas dan


jelas (expressis verbis) menyatakan bahwa perorangan yang berhak
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
(yang berarti yang mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945) hanya WNI, WNA tidak berhak.

b. Tidak dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu undang-undang


Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh
perlindungan hukum menurut prinsip due process of law, in casu dalam hal
ketentuan pidana mati di mana Pemohon tetap dapat melakukan upaya
hukum (legal remedies) berupa banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

c. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK mengenai “perorangan”


termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama haruslah
dikaitkan dengan bunyi Pasal 51 ayat (1) huruf a “perorangan warga negara
Indonesia”, sehingga selengkapnya setelah ada penjelasan Pasal 51 ayat (1)
huruf a harus dibaca “perorangan termasuk orang yang mempunyai
kepentingan sama warga negara Indonesia”. Dengan demikian, Pemohon
WNA tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1)
huruf a beserta penjelasannya, sehingga para Pemohon WNA tidak
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo.

Dengan kata lain, para Pemohon WNA telah keliru menafsirkan Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yaitu bahwa, para Pemohon a quo, oleh
karena tidak ada kata “Indonesia” pada Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a
UU MK tersebut, maka berarti WNA pun memiliki kedudukan hukum
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 karena para WNA
dimaksud termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Pendapat Pemohon yang demikian telah keluar dari konteks Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. Karena yang dijelaskan oleh Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tersebut adalah pengertian kata
“perorangan” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang berbunyi, “a.
perorangan warga negara Indonesia”. Sehingga, yang dimaksud oleh
kalimat “termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”
dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK adalah kelompok orang
warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama.

Menimbang bahwa dengan demikian, karena para Pemohon warga negara


asing tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan a quo,
maka mutatis mutandis Pokok Permohonan Pemohon III dan Pemohon IV untuk
pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tidak perlu dipertimbangkan,
sehingga permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

J. Putusan Nomor 8/PUU-V/2007


1. Ketentuan yang Diubah: Koperasi sebagai badan hukum publik.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan perkara a quo adalah


Koperasi Proyek RH-100-GM (Koperasi Proyek Ruang Hidup 100 Juta Generasi
Muda) yang diwakili oleh para pengurusnya yakni D. Sjafri dkk. Berdasarkan alat
Bukti P-1 yang diajukan, Pemohon merupakan badan hukum menurut UU
Koperasi, sehingga memenuhi syarat kualifikasi sebagai Pemohon yaitu sebagai
badan hukum privat sebagaimana dimaksud Pasal 51 Ayat (1) UU MK;

Menimbang bahwa sementara itu, Mahkamah dalam Putusan Nomor

006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan selanjutnya telah menentukan lima syarat


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal
51 Ayat (1) UU MK sebagai berikut:

a. harus ada hak dan/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya


undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat aktual atau


setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dipastikan akan terjadi;

d. ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak dan/atau


kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian;

e. apabila permohonan dikabulkan dipastikan bahwa kerugian hak dan/atau


kewenangan konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Menimbang bahwa Pemohon menganggap dirinya mempunyai hak


konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai berikut:

• Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”;

• Pasal 28C Ayat (1), “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia”;

• Pasal 28C Ayat (2), “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

• Pasal 28H Ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan”;

Menimbang bahwa terhadap anggapan Pemohon tentang hak


konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut, Mahkamah
berpendapat bahwa pasal-pasal dimaksud adalah mengenai hak asasi manusia
(HAM) yang dengan frasa ‘Setiap orang’ sebenarnya dimaksudkan untuk orang
sebagai manusia pribadi (natuurlijke persoon). Akan tetapi, Mahkamah
berpendapat bahwa pasal-pasal tentang HAM tertentu dapat juga berlaku bagi
badan hukum (rechtspersoon), in casu Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.“ Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa Pemohon sebagai badan hukum memiliki hak konstitusional cukup
beralasan;

Menimbang bahwa meskipun Pemohon dalam kualifikasi sebagai badan


hukum privat mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945,
masih harus dibuktikan apakah hak konstitusional dimaksud yang menurut
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya beberapa ketentuan dalam UU BI
yang dimohonkan pengujian, yakni:

• Konsideran “Mengingat” UU BI tidak memuat Pasal 23B UUD 1945 yang


berbunyi, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”,
padahal, menurut Pemohon, Pasal 77A UU BI memuat aturan-aturan
mengenai macam dan harga mata uang yang berbunyi, “Ketentuan mengenai
mata uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23 undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku
hingga diatur dengan undang-undang tersendiri”;

• Pasal 4 Ayat (1) UU BI berbunyi, “Bank Indonesia adalah Bank Sentral


Republik Indonesia”. Menurut Pemohon, pasal tersebut tidak mencerminkan
amanat yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga bertentangan dengan Pasal
23D UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memiliki suatu bank sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya
diatur dengan undang-undang”;

• Pasal 4 Ayat (2) UU BI berbunyi, “Bank Indonesia adalah lembaga negara


yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”. Menurut Pemohon, pasal
tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945, sebab seharusnya
Bank Indonesia sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara yang diwakili oleh Pemerintah,
sehingga seharusnya BI tidak boleh independen;

• Pasal 11 Ayat (4) UU BI berbunyi, “Dalam hal suatu bank mengalami


kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan
krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat
memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pembiayaannya menjadi
beban Pemerintah” dan Pasal 62 Ayat (3) UU BI berbunyi, “Dalam hal
setelah dilakukan upaya sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) jumlah modal
Bank Indonesia kurang dari Rp. 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah),
pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan DPR”. Menurut Pemohon, hal ini menyebabkan upaya
Pemerintah mewujudkan ketentuan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 tidak dapat
direalisasikan;

Menimbang bahwa terlepas dari benar-tidaknya substansi permohonan


Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hak-hak Pemohon
sebagaimana didalilkan benar merupakan hak konstitusional, akan tetapi hak
konstitusional dimaksud bukan saja tidak dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal
dalam UU BI yang dimohonkan pengujian, bahkan juga tidak ada relevansinya
dengan kualifikasi Pemohon sebagai badan hukum koperasi. Karena, pasal-pasal
yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, yaitu: pasal tentang kewajiban
Pemerintah untuk menutupi kekurangan modal Bank Indonesia, pasal tentang
independensi bank sentral, pasal tentang mata uang, pasal tentang status Bank
Indonesia sebagai bank sentral, tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan
hukum dan hak konstitusional Pemohon in casu Koperasi Proyek RH-100-GM
(Koperasi Proyek Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda) yang dijamin dalam
UUD 1945;

K. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007


1. Ketentuan yang Diubah: Syarat kedudukan hukum masyarakat
hukum adat.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang, setelah mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana


diuraikan pada paragraf [3.10] sampai dengan [3.14] di atas, sebelum
mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon,
Mahkamah memandang perlu terlebih dahulu menguraikan tipologi dan tolok
ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 51 ayat
(1) huruf b UU MK.

Menimbang menurut kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat di


Indonesia dapat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
(i) teritorial, (ii) genealogis, dan (iii) fungsional. Ikatan kesatuan masyarakat
hukum adat yang besifat genealogis ditentukan berdasarkan kriteria hubungan
keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang bersifat
fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan
bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan
tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali.
Sementara itu, kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial bertumpu
pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan hidup secara turun-temurun dan melahirkan hak ulayat yang
meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan, dan sebagainya.

Menimbang bahwa oleh karena Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”, maka Mahkamah memandang perlu untuk
menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan Undang-Undang
Dasar dimaksud yaitu bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:

1. masih hidup;

2. sesuai dengan perkembangan masyarakat;

3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

4. ada pengaturan berdasarkan undang-undang.

Menurut Mahkamah, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat


dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang warganya
memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) adanya pranata
pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
(iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah
tertentu.
Mahkamah berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:

1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku


sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah;

2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga


kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat suatu kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut
tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu:

1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara


Kesatuan Republik Indonesia;
2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.

L. Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008


1. Ketentuan yang Diubah: Konstitusional bersyarat (Conditionally
Constitutional).
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu ketiadaan


norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi,
in casu syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,
implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK,
memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena,
permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas,
yang berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan
bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat
suatu norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang
seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau
bagian undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai
“konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) atau “inkonstitusional
bersyarat” (conditionally unconstitutional);

Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan a quo, ada tiga


alternatif kemungkinan putusan Mahkamah, yaitu:

a. apabila permohonan konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008


dipandang sebagai kabur atau tidak jelas dengan akibat permohonan tidak
dapat diterima, maka masih terbuka bagi pihak-pihak yang ingin memohon
pengujian norma-norma yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;

b. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai


“konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) akan berimplikasi
amar putusan menyatakan “permohonan ditolak”, sementara pernyataan
tidak sesuai dengan spirit (implisit melekat pada) UUD 1945 hanya
tercantum dalam pertimbangan hukum, sehingga tidak berpengaruh terhadap
keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, kecuali jika pembentuk
undang-undang atau KPU menindaklanjuti pertimbangan hukum Mahkamah
dengan membuat regulasi yang mengakomodasi pertimbangan hukum
Mahkamah;
c. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai
“inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional), akan
berimplikasi bahwa amar putusan menyatakan “permohonan dikabulkan”,
yang berarti seluruh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (termasuk misalnya syarat-syarat
warga negara Indonesia, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat
jasmani dan rohani, dan lain-lain).

Menimbang bahwa dari uraian permohonan yang telah diutarakan di atas,


maka dalam pokok permohonan a quo, para Pemohon telah mengajukan
alternatif petitum bagi kemungkinan putusan Mahkamah yang dimohon, yaitu: 1.
Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat
(4); dan menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak
mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan
bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Setidak-tidaknya
menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak
mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan
bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4), dan menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c)
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya; atau
4. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak
mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan
bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Setidak-tidaknya
menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya
sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang
bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam
paragraf di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 12 huruf c dan
Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally
constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai memuat
syarat domisili di provinsi.
M. Putusan Nomor 54/PUU-VI/2008
1. Ketentuan yang Diubah: Pemerintah Provinsi NTB (Gubernur)
sebagai badan hukum publik.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan hak konstitusional Pemohon


yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan secara spesifik dan aktual akibat
diberlakukannya ketentuan Pasal 66A ayat (1) UU 39/2007 yang berbunyi,
“Penerimaan Negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia
dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua
persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku,
pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang
cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal”;

Berdasarkan ketentuan Pasal 66A ayat (1) UU 39/2007 tersebut,


Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (selanjutnya disebut Pemerintah
Provinsi NTB) sebagai daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia dengan
jumlah produksi rata-rata untuk tiga tahun terakhir:

a. Tahun 2006 : 31.507 Ton/19.873 Hektar;

b. Tahun 2007 : 33.046 Ton/17.124 Hektar;

c. Tahun 2008 : 46.824 Ton/22.824 Hektar; secara konstitusional sangat


dirugikan dan berkepentingan untuk mengajukan permohonan ini, karena
Pemerintah Provinsi NTB yang berkontribusi besar terhadap penerimaan negara
dari cukai hasil tembakau justru tidak dapat menikmati cukai hasil tembakau;

Fakta hukum yang terjadi bahwa penerimaan negara dari cukai hasil
tembakau oleh Pemerintah hanya dibagikan kepada “provinsi yang memiliki
pabrik rokok” sebagai penafsiran dari “provinsi penghasil cukai tembakau”. Jika
penerimaan negara dari cukai hasil tembakau oleh Pemerintah hanya dibagikan
kepada “provinsi yang memiliki pabrik rokok”, sedangkan nama cukai yang
tertera pada label cukai pada rokok adalah “cukai tembakau”, sementara cukai
hasil tembakau hanya dapat dipergunakan, antara lain, untuk mendanai
peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan
sosial maka telah terjadi pertentangan di dalam norma itu sendiri dan terjadi
ketidakkonsistenan dalam penerapannya;

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terjadi pertentangan antara materi,


tujuan, dan nama cukai dan penerapan Pasal 66A ayat (1) UU 39/2007, serta
terjadi pertentangan pula dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945;

Menimbang bahwa Pemohon selaku Gubernur Nusa Tenggara Barat


menurut Pasal 25 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, “Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”, sehingga dengan demikian Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing);

Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berpendapat


bahwa Pemohon telah cukup memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo;

N. Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009


1. Ketentuan yang Diubah: Uji Formil.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa dasar yang digunakan oleh Mahkamah untuk


melakukan pengujian formil terhadap Undang-Undang a quo adalah Pasal 20
UUD 1945 yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk


undangundang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Menimbang bahwa dari ketentuan tersebut di atas, pembentukan Undang-


Undang menurut ketentuan UUD 1945 melibatkan lembaga negara Presiden dan
DPR yaitu bahwa kedua lembaga tersebut telah membahas RUU dan menyetujui
bersama. Pemberian persetujuan oleh Presiden terhadap RUU dilakukan oleh
Presiden sendiri dengan atau tanpa mendelegasikan kepada menteri untuk
mewakilinya, sedangkan pemberian persetujuan oleh DPR dilakukan melalui
mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota DPR. Pemberian
persetujuan baik oleh Presiden maupun DPR merupakan syarat konstitusionalitas
sah atau tidaknya suatu Undang-Undang. UUD 1945 tidak mengatur tata cara
pembahasan dan pengambilan keputusan DPR dalam pembentukan Undang-
Undang, tetapi pelaksanaannya diatur dalam UU 10/2004 Bab VI Bagian ke satu,
Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, UU Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (yang berlaku pada
saat itu) dan diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Ketentuan yang terdapat
dalam UU 10/2004 dan UU 22/2003 adalah merupakan Undang-Undang yang
diperlukan untuk menampung ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dalam kedua
Undang-Undang disebutkan juga adanya Peraturan Tata Tertib DPR dalam
pembentukan Undang-Undang, yaitu Pasal 19 UU 10/2004 dan Pasal 102 ayat (1)
dan ayat (4) UU 22/2003; Dengan demikian hanya berdasar Peraturan Tata Tertib
DPR sajalah dapat dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau menolak RUU.
Tanpa adanya Peraturan Tata Tertib DPR, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan
karena UUD 1945 tidak mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka
Peraturan Tata Tertib DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
implementasi UUD 1945;

Menimbang bahwa dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003,


tanggal 16 Desember 2004 perihal pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dalam
pokok perkara yang berkaitan dengan pengujian formil permohonan Perkara
Nomor 001/PUU-I/2003 tanggal 16 Desember 2004, Mahkamah menyatakan,
”Menimbang terhadap apa yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor
001/PUU-I/2003 tersebut Mahkamah berpendapat bahwa pada saat
UndangUndang Kelistrikan diundangkan pada tahun 2002, Undang-Undang
tentang tata cara pembentukan Undang-Undang yang diamanatkan oleh Pasal
22A UUD 1945 belum ada sehingga belum ada tolok ukur yang jelas tentang
prosedur pembentukan Undang-Undang yang sesuai UUD 1945. Oleh karena itu
UU Susduk 1999 yang merupakan amanat Pasal 19 ayat (1) [sic, seharusnya ayat
(2)] UUD 1945 juncto Peraturan Tata Tertib DPR yang diamanatkan oleh UU
Susduk tersebut dijadikan kriteria pemeriksaan prosedur pembuatan Undang-
Undang”;

Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-


022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor
08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah merupakan
bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian
formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan
Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah
memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat
pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945;

Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur


pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka
hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD
1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek
formilproseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan
konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu,
sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan
perundangundangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu
mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan
perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok
ukur atau batu uji dalam pengujian formil.

O. Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009


1. Ketentuan yang Diubah: Putusan tidak konstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional).
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon


beserta alat bukti tulis maupun ahli yang diajukan, keterangan Pemerintah, dan
keterangan Pihak Terkait, serta kesimpulan tertulis para Pemohon, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:

a. Bahwa isu hukum utama permohonan para Pemohon adalah apakah norma
hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan
dengan UUD 1945, dan dari isu hukum utama tersebut melahirkan dua
pertanyaan hukum, yaitu 1) apakah keharusan para Advokat mengambil
sumpah sebelum menjalankan profesinya konstitusional; dan 2) apakah
keharusan bersumpah di depan sidang Pengadilan Tinggi konstitusional;
b. Bahwa sebelum mempertimbangkan isu hukum yang kemudian diderivasi
menjadi dua pertanyaan hukum tersebut di atas, Mahkamah lebih dahulu akan
mengemukakan hal-hal berikut:
1) UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga
negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
[Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2)]; hak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya [Pasal 28C
ayat (1)]; serta hak atas perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang
adil [Pasal 28D ayat (1)]. Oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan
hukum yang berada di bawah UUD 1945 yang langsung atau tidak
langsung menegasi hak untuk bekerja yang dijamin oleh Konstitusi
tersebut atau memuat hambatan bagi seseorang untuk bekerja, apa pun
bidang pekerjaan dan/atau profesi pekerjaannya, agar bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan;
2) Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini”. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menentukan 9
(sembilan) persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Advokat, sedangkan
Pasal 3 ayat (2) menyatakan, “Advokat yang telah diangkat berdasarkan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan
praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan”. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status
kepada Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan;
3) Dengan demikian, seseorang yang menjadi Advokat pada dasarnya adalah
untuk memenuhi haknya sebagai warga negara untuk bekerja dan
memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta yang
bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi pekerjaannya setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 3 ayat (1) UU Advokat
[Pasal 3 ayat (2) UU Advokat];

4) Mengenai sumpah atau janji yang harus ducapkan dan/atau diikrarkan


oleh seseorang yang akan menjalankan pekerjaan, jabatan, dan/atau suatu
profesi tertentu merupakan hal yang lazim dalam suatu organisasi atau
institusi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi
organisasi/institusi yang bersangkutan dan/atau peraturan
perundangundangan yang berlaku;
c. Bahwa terkait dengan dua isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua
pertanyaan hukum di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1) Keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan
profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/
pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah
konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan
pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945;
2) Ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan
dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang
pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri
Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat
yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh
Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus
dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa
profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum
(vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari
kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga
konstitusional;
3) Meskipun demikian, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum
menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan
bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang
dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara
expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat
menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih;
d. Bahwa dengan demikian, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah
sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan
konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai
keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang
ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon
Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD
1945;

e. Bahwa terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja
dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum
yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan
oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah
Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon
Advokat sebelum organisasi advokat bersatu;

f. Bahwa penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil


sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban
atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan
untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1)
UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan
organisasiorganisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia
(KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana
dimaksud Pasal
28 ayat (1) UU Advokat;

g. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah


konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang
diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh
Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua
organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim
sebagai organisasi Advokat yang sah menurut

UU Advokat;

h. Bahwa untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan


satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28
ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil
sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi
Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada
paragraf [3.14] huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka
waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para
Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara
de facto saat ini ada;
i. Bahwa apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat
sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk,
maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui
Peradilan Umum;

P. Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009


1. Ketentuan yang Diubah: Putusan sela, mengabulkan permohonan
provisi.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa terhadap permohonan provisi para Pemohon dikaitkan


dengan dalil-dalil para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut.

Bahwa putusan provisi lazim dikenal dalam praktek hukum acara perdata
yaitu permohonan Penggugat kepada pengadilan agar mengeluarkan tindakan
hukum sementara dengan maksud untuk mencegah suatu kerugian yang semakin
besar bagi penggugat dan memudahkan pelaksanaan putusan hakim jika
penggugat dimenangkan, oleh karenanya tindakan sementara ini diperintahkan
pelaksanaannya terlebih dahulu sedangkan perkara masih sedang berjalan (Prof.
R. Subekti, S.H., Praktek Hukum:71) juncto Pasal 180 HIR.

Bahwa meskipun pada awalnya permohonan provisi adalah ranah


hukum acara perdata, namun hukum acara Mahkamah juga mengatur permohonan
provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat
dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Selain itu, jika diperlukan untuk
melindungi hak-hak konstitusional warga negara, Pasal 86 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya
memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal
yang diperlukan jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. Dalam
praktik selama ini, Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut untuk
memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum melalui beberapa putusan
sela yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan. Tambahan pula, dalam
perkara pengujian undang-undang terhadap UUD, berdasarkan Pasal 16 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Pengujian Undang-Undang juga dibuka kemungkinan bagi Mahkamah untuk
menerbitkan ketetapan atau putusan di dalam permohonan provisi.

Menimbang bahwa sesuai dengan kewenangan Mahkamah yang diatur


dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final diantaranya menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945, Mahkamah tidak hanya bertugas menegakkan hukum dan
keadilan tetapi secara preventif juga berfungsi melindungi dan menjaga hak-hak
konstitusional warga negara agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang
disebabkan oleh praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD
1945.

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 58 UU MK yang berbunyi,


”Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum
ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari
ketentuan Pasal 58 UU MK prima facie, Mahkamah tidak berwenang untuk
memerintahkan penghentian, walaupun bersifat sementara, terhadap proses
hukum yang sedang berlangsung, namun, dalam permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan
kewenangannya, yaitu berupa tindakan penghentian sementara pemeriksaan
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau penundaan
putusan atas permohonan tersebut apabila permohonan dimaksud menyangkut
pembentukan undang-undang yang diduga berkait dengan suatu tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undangundang.

Bahwa Mahkamah secara terus menerus mengikuti perkembangan


kesadaran hukum dan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat yang menjadi
dasar agar Mahkamah tidak berdiam diri atau membiarkan terjadinya pelanggaran
hak konstitusional warga negara. Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak
dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan
perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan
masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam
perkara a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-
hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang
kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.
Menimbang bahwa dalam perkara a quo, terlepas apakah pasal yang
dimohonkan pengujian nantinya akan dinyatakan bertentangan atau tidak dengan
UUD 1945, Mahkamah memandang terdapat cukup potensi terjadinya
pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan
hukum [vide Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945], dan kebebasan
dari ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi [vide Pasal 28G ayat (1)], sehingga Mahkamah harus
memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan memberikan rasa keadilan
dalam perkara a quo melalui putusan provisi yang selengkapnya akan dimuat
dalam amar putusan ini.

Bahwa proses hukum yang sedang dihadapi oleh para Pemohon adalah
proses hukum pidana yang juga menggunakan instrumen hukum pidana yang
bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah. Karenanya, Mahkamah tidak
berwenang memberikan penilaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan
sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan Kepolisian Negara
Republik Indonesia maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk
menghentikan sementara proses hukum pidana para Pemohon yang sedang
berjalan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat mengabulkan permohonan
provisi sejauh menyangkut penghentian proses pidana di kepolisian dan
kejaksaan.

Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang


seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan
tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam
sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan.

Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan


apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di
satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.

Menimbang bahwa relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan


provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD adalah untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma hukum
diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan
padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan
dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk
mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi
terdakwa karena diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau
pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD
1945 di Mahkamah.

Menimbang bahwa dalam permohonan provisi para Pemohon memohon,


antara lain, agar Mahkamah, “… memerintahkan kepada Presiden Republik
Indonesia untuk tidak menerbitkan surat keputusan penghentian terhadap para
Pemohon terkait dengan perkara dengan nomor laporan Polisi: No.Pol:
LP/482/VIII/2009/Bareskrim tanggal 25 Agustus 2009 yang menyatakan para
Pemohon sebagai tersangka setidak-tidaknya sampai adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap ...”.

Menimbang bahwa karena permohonan provisi tersebut terkait dengan


pengujian undang-undang, meskipun permohonan beralasan, namun yang dapat
dikabulkan oleh Mahkamah hanya menunda penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c
juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden, yakni tindakan administrative
berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan
tindak pidana kejahatan.

Q. Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009


1. Ketentuan yang Diubah: Wewenang menguji Perppu.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), selanjutnya
disebut UU MK dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358), selanjutnya disebut UU 4/2004 salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah pengujian


mengenai Perpu 4/2009 terhadap UUD 1945, sehingga perlu dijawab terlebih
dahulu oleh Mahkamah apakah Perpu dimaksud mempunyai kedudukan yang
sama dengan Undang-Undang sehingga dapat diuji di Mahkamah, maka terlebih
dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan Perpu dalam
tata urutan perundang-undangan di Indonesia;

Menimbang bahwa dasar hukum dibuatnya Perpu diatur dalam Pasal 22


ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undangundang”. Kemudian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut
UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu sejajar dengan Undang-Undang. Pasal 7
ayat (1) UU 10/2004 menyatakan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c.


... dst”;

Menimbang bahwa dalam perkara a quo Mahkamah perlu untuk


menyampaikan pendapatnya tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Keberadaan Pasal 22
UUD 1945 haruslah diletakkan dalam sistem UUD 1945 setelah Perubahan I, II,
III, dan IV secara komprehensif;

Menimbang bahwa untuk itu Mahkamah perlu memperhatikan:


a. Pasal 22 yang mengatur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) terdapat di dalam Bab VII tentang DPR. Materi Bab VII terdiri atas
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A, dan Pasal 22B,
yang mengatur tentang kelembagaan DPR (Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, dan
Pasal 22B) serta materi mengenai pembuatan Undang-Undang sebagai hasil
Perubahan I dan II (Vide Pasal 20). Dalam hubungannya dengan materi yang
diatur dalam Bab VII ketentuan Pasal 22 sangat erat hubungannya dengan
kewenangan DPR dalam pembuatan Undang-Undang;
b. Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Undang-Undang Dasar keempat
menyatakan, ”Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal”;

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan:

1. Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan


pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
2. Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan
kegentingan yang memaksa;
3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan
persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya;

Menimbang bahwa UUD membedakan antara Perpu dengan Peraturan

Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) yang tujuannya adalah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Karena Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam Bab tentang DPR sedangkan
DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang maka
materi Perpu seharusnya adalah materi yang menurut UUD diatur dengan
Undang-Undang dan bukan materi yang melaksanakan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan materi Perpu juga
bukan materi UUD. Apabila terjadi kekosongan Undang-Undang karena adanya
berbagai hal sehingga materi UndangUndang tersebut belum diproses untuk
menjadi Undang-Undang sesuai dengan tata cara atau ketentuan yang berlaku
dalam pembuatan Undang-Undang namun terjadi situasi dan kondisi yang
bersifat mendesak yang membutuhkan aturan hukum in casu Undang-
Undang untuk segera digunakan mengatasi sesuatu hal yang terjadi tersebut
maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata khusus dengan memberi
wewenang kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai)
Pengganti Undang-Undang. Pembuatan Undang-Undang untuk mengisi
kekosongan hukum dengan cara membentuk Undang-Undang seperti proses
biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan Rancangan Undang-Undang
oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga
kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat diatasi;

Menimbang bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang diperlukan apabila:

1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
untuk diselesaikan;

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat tiga syarat di atas adalah


syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22
ayat (1) UUD 1945;

Menimbang bahwa dengan demikian pengertian kegentingan yang


memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses
pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan,
namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan
timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945;

Menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut
jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai
pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam
wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945
memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan
hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang.
Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR
memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan,
pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan
sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu
keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di
samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan
Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya
kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya
tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti
bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena
sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus
didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai
parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana
kebutuhan akan UndangUndang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan
persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa,
hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada
Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan
bangsa dan negara; Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum
baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru,
dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan
nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk
menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya
pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut
adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan
norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka
terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji
apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian
Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya
penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena
Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang;

R. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014


1. Ketentuan yang Diubah: Syarat promt immediately uji Perppu
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa selain itu, karena UU 4/2014, berasal dari PERPU


1/2013, Mahkamah perlu menegaskan hal-hal sebagai berikut:

Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8


Februari 2010, telah dengan jelas menyatakan bahwa oleh karena materi PERPU
adalah sama dan setingkat dengan materi Undang-Undang maka Mahkamah
berwenang untuk menguji apakah PERPU tersebut bertentangan atau tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Presiden berwenang untuk mengeluarkan
PERPU hanya dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Syarat ini ditetapkan
oleh konstitusi yang oleh karenanya mengikat. Tanpa adanya kegentingan yang
memaksa Presiden tidak berwenang untuk membuat PERPU;

Materi muatan PERPU adalah materi muatan Undang-Undang,


mempunyai daya berlaku seperti Undang-Undang, mengikat umum sejak
diundangkan, artinya sama dengan produk legislatif yaitu Undang-Undang.
Dalam negara demokrasi, produk legislatif dibentuk oleh lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen. PERPU yang sama materi dan kekuatannya dengan
Undang-Undang tidak dibentuk oleh Presiden bersama DPR [vide Pasal 20 UUD
1945], tetapi hanya dibentuk oleh Presiden seorang diri. Oleh karenanya, sangat
beralasan jika UUD 1945 memberi syarat dalam keadaan apa PERPU dapat
dibentuk oleh Presiden yaitu keadaan kegentingan yang memaksa;

Putusan Mahkamah Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari


2010, menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yaitu:

1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi


kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat


Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.”

Dengan demikian, meskipun kegentingan yang memaksa menjadi


kewenangan Presiden untuk menafsirkannya, yang artinya diserahkan pada
subjektifitas Presiden, namun subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya,
dan pembatasan tersebut disyaratkan oleh konstitusi. Pembentukan PERPU tidak
boleh disalahgunakan, mengingat sebenarnya materi PERPU adalah materi
Undang-Undang yang tidak dapat diputuskan sendiri oleh Presiden tanpa
persetujuan DPR. Ketiga syarat konstitusionalitas sebagaimana disebutkan di
atas adalah sebagai indikasi kegentingan yang memaksa, atau dengan kata lain,
karena adanya keadaan tertentu yang harus diatasi segera supaya tidak terjadi
ketidakpastian hukum. Hal tersebut dilakukan dengan pembentukan hukum,
dalam hal ini PERPU;
PERPU harus mempunyai akibat prompt immediately yaitu “sontak
segera” untuk memecahkan permasalahan hukum. Menurut Mahkamah, PERPU
1/2013 tidak ada akibat hukum yang “sontak segera”. Hal tersebut terbukti
bahwa meskipun PERPU telah menjadi Undang-Undang, PERPU tersebut
belum pernah menghasilkan produk hukum apapun; Konsiderans (menimbang)
PERPU tidak mencerminkan adanya kesegeraan tersebut, yaitu apa yang
hanya dapat diatasi secara segera. Panel Ahli sampai sekarang belum kunjung
terbentuk, perekrutan Hakim Konstitusi untuk menggantikan M. Akil Mochtar
belum dapat dilakukan, justru semakin tertunda karena adanya ketentuan yang
terdapat dalam PERPU. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum terbentuk
dan kalaupun terbentuk pun tidak ada masalah mendesak yang harus
diselesaikan;

Dari uraian tersebut di atas, pembentukan PERPU 1/2013 tidak


memenuhi syarat konstitusional kegentingan yang memaksa. Hal ini sesuai
dengan ungkapan yang dikemukakan oleh ahli Prof. H.A.S Natabaya, S.H.,
LL.M. bahwa “ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah digerek
kumbang.”;

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah


keadaan kegentingan yang memaksa, yang disyaratkan oleh UUD 1945 dan
Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tersebut, dalam penetapan PERPU, tidak
terpenuhi;

S. Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011


1. Ketentuan yang Diubah:
a.Pembatasan ultra petita.
b. Pembatasan varian amar putusan.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan


permohonan provisi yang pada pokoknya memohon agar Mahkamah Konstitusi
menerbitkan putusan provisi yang memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi
Jawa Timur atau Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menghentikan,
atau setidak-tidaknya menunda proses peradilan dalam tingkat banding atau kasasi
yang melibatkan Pemohon sebagai terdakwa dalam Perkara Pidana Nomor
1174/Pid.B/2011/PN.SBY, menurut Mahkamah, permohonan putusan provisi a
quo tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan pokok
permohonan a quo dengan beberapa alasan:

(i) dalam pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya


menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti
memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi Jawa Timur atau Mahkamah
Agung Republik Indonesia untuk menghentikan atau menunda proses
peradilan dalam tingkat banding atau kasasi;

(ii) putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus Pengujian Undang-Undang


(judicial review) bersifat erga omnes;

(iii) putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58


UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
UndangUndang;

Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan provisi


Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan


Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli dari
Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon,
sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permohonan pengujian
Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika, Mahkamah akan
terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan pengujian Pasal 45A dan Pasal
57 ayat (2a) UU 8/2011 yaitu sebagai berikut; Terhadap dalil Pemohon bahwa
Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat
(1) dan 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberi pertimbangan sebagai
berikut:

Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan kepada
Mahkamah yang antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD. Dengan
demikian, Mahkamah berwenang untuk menguji baik formil maupun materil dari
suatu Undang-Undang. Karakter hukum acara di Mahkamah Konstitusi terutama
dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah untuk
mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang dilindungi oleh
konstitusi, sebagai akibat berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum
(erga omnes). Oleh karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim
Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang
diajukan. Kalaupun yang dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya
menyangkut satu pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal
tertentu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan
pasal tersebut adalah pasal inti dari Undang-Undang maka pasal lain dalam
Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk
diperlakukan lagi. Undang-Undang demikian tidak dapat dipertahankan dan harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Hal itu merupakan aturan hukum acara dan praktik yang lazim diterapkan
oleh Mahkamah Konstitusi di berbagai negara. Misalnya, Pasal 45 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) menentukan,”The
Constitutional Court shall decide only whether or not the requested statute or any
provision of the statute is unconstitutional: Provided, that if it is deemed that the
whole provisions of the statute are unable to enforce due to a decision of
unconstitutionality of the requested provision, a decision of unconstitutionality
may be made on the whole statute”. Artinya, Mahkamah Konstitusi memutus
konstitusional tidaknya satu Undang-Undang atau suatu ketentuan dari Undang-
Undang tidak hanya terhadap ketentuan yang dimohonkan pengujian. Dalam hal
seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinilai
tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan yang menyatakan
inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang
inkonstitusionaitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undangundang tersebut.
Dalam praktik, beberapa putusan Mahkamah pernah menyatakan Undang-Undang
tersebut bertentangan dengan UUD 1945, meskipun pemohon dalam
permohonannya tidak meminta seluruh Undang-Undang dibatalkan, namun
berdasarkan prinsip ex aequo et bono, hakim dapat menjatuhkan putusan yang
adil dan patut menurut hukum; Ketentuan yang memuat larangan bagi Hakim
untuk mengabulkan di luar atau lebih dari permohonan Pemohon, dikenal dalam
hukum acara perdata, yaitu dalam Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal
189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg. Hal tersebut sangat mudah dipahami, karena
inisiatif untuk mempertahankan atau tidak mempertahankan satu hak yang bersifat
keperdataan yang dimiliki orang-perorangan, terletak pada kehendak atau
pertimbangan orang-perorang tersebut. Permintaannya tidak dapat dilampaui,
karena ada kalanya mengabulkan melebihi apa yang diminta, justru merugikan
kepentingan yang bersangkutan. Karakter hukum acara perdata yang demikian
adalah untuk mempertahankan kepentingan individu, yang hanya digerakkan oleh
permohonan atau gugatan penggugat. Oleh karena itu, kekuatan mengikat dan
akibat hukum putusan hakim demikian hanya mengikat para pihak dalam perkara
tersebut atau disebut mengikat inter-partes. Namun, dalam perkembangannya,
beberapa putusan Mahkamah Agung, tidak memberlakukan secara mutlak dengan
alasan pertimbangan keadilan dan kepantasan; Sangkaan bahwa Mahkamah
melakukan abuse of power dengan putusan yang dianggap ultra petita,
disebabkan kesalahpahaman mengenai fungsi pengujian Undang-Undang
(judicial review). Peristiwa pertama lahirnya lembaga constitutional review adalah
di Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat tahun 1803 dalam perkara
Marbury vs Madison, yang dalam putusannya Mahkamah Agung Federal
Amerika Serikat justru jauh melebihi dari yang dimohon (ultra petita). Bahkan
secara keseluruhan tidak menyangkut hal yang dimohon oleh penggugat, dengan
pertimbangan bahwa dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, hakim tidak
boleh diikat sekadar pada kotak permohonan Pemohon yang didasarkan pada
motivasi kepentingan pribadi yang bersifat individual. Kepentingan umum
mengharuskan hakim melaksanakan tugas dan fungsinya mengawal konstitusi
lebih luas dari sekedar kepentingan pribadi yang bersifat individual;

Salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan


judicial review adalah membenahi hukum. Untuk maksud tersebut, hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna pembentukan hukum baru,
melalui putusan-putusan Mahkamah, untuk menjaga agar tidak terjadi
kekosongan hukum. Oleh karena itu, keberadaan Pasal 45A UU 8/2011
bertentangan dengan UUD 1945; Bahwa terhadap permohonan pengujian
Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai
berikut:

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut


bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan
hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas
norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal
57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i)
menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai
akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu
yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum
tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat;

Menimbang bahwa dengan dinyatakannya Pasal 45A dan Pasal 57 ayat


(2a) UU 8/2011 bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana akan
disebutkan dalam amar putusan permohonan a quo, maka pemeriksaan
terhadap pengujian UU Narkotika sebagaimana dimohonkan Pemohon akan
dipertimbangkan sebagai berikut:

- Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika menyatakan, “Setiap orang yang tanpa
hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan narkotika golongan satu bukan tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar
rupiah)”;
- Pemohon mendalilkan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
apabila frasa “memiliki, menyimpan, menguasai” pada pasal a quo tidak
dimaknai dengan “memiliki, menyimpan, menguasai dengan tujuan untuk
diedarkan atau digunakan orang lain”;
- Bahwa kewenangan Mahkamah dalam hal menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar termasuk memberikan tafsiran
konstitusional atas berlakunya ketentuan Undang-Undang. Dalam upaya
memberikan tafsiran agar sesuai dengan konstitusi, Mahkamah pada
putusan-putusan terdahulu beberapa kali membuat terobosan dengan
memberikan persyaratan terhadap pasal yang diujikan (conditionally
constitutional), sebagaimana diajukan pula oleh Pemohon dalam perkara
a quo. Seiring dengan adanya perubahan UU MK, pembentuk
UndangUndang mengatur bahwa putusan Mahkamah tidak boleh memuat
amar selain yang telah diatur dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU
8/2011. Hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah sebagaimana
tersebut di atas;
- Bahwa Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika mengatur tentang sanksi bagi
penyalah guna atau pecandu narkotika yang menurut Pemohon seharusnya
tidak dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Mahkamah, hal
demikian harus dilihat dari cara pandang suatu bangsa terhadap
penggunaan narkotika. Dengan demikian, tata cara pengaturan penggunaan
narkotika oleh pembentuk Undang-Undang diselaraskan dengan tradisi,
kebudayaan dan filosofi dari suatu bangsa. Bagi negaranegara yang
mengutamakan kebebasan individual, seperti negara-negara Eropa, maka
pengaturan mengenai peredaran narkotika diatur secara rinci dalam hal
penggunaan narkotika untuk konsumsi pribadi. Artinya, kepemilikan dan
penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi adalah tidak melawan
hukum dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-
Undang. Bagi bangsa Indonesia, penggunaan narkotika meskipun untuk
konsumsi yang bersifat pribadi, termasuk pelanggaran hukum atau
penggunaan narkotika yang dilakukan secara melawan hukum. Ada
keterkaitan erat antara penggunaan narkotika dengan pelanggaran terhadap
kepentingan umum. Apabila narkotika disalahgunakan atau digunakan
tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang
sangat merugikan bagi perseorangan dan membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara (vide Penjelasan Umum UU Narkotika).
Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang secara tegas mengatur
mengenai sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika.
Selain itu, narkotika termasuk zat yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi mabuk atau tidak sadar dan bahkan akan menyebabkan kecanduan
dan ketergantungan yang pada gilirannya akan mengurangi produktivitas
kerja, merusak kesehatan, dan moral, sehingga hal tersebut dianggap
sebagai perbuatan tercela oleh masyarakat Indonesia yang berKetuhanan
Yang Maha Esa;
- Bahwa pembentuk Undang-Undang membuat definisi “penyalah guna”
yang diatur pada Pasal 1 angka 15 UU Narkotika yaitu “… orang yang
menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Dengan
demikian, secara tegas terbaca dari pengertian “penyalah guna” bahwa
seorang penyalah guna narkotika adalah pelaku tindak pidana karena
menggunakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum;
- Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyebutkan pasal a quo dapat
dimanfaatkan sebagai dalih untuk melakukan rekayasa kepemilikan
narkotika merupakan ekses dari penerapan norma. Hal ini tidak terkait
dengan konstitusionalitas norma yang diuji. Pembentuk Undang-Undang
telah merumuskan delik pada pasal a quo dengan memuat frasa “tanpa hak
atau melawan hukum” yang harus dapat dibuktikan di muka pengadilan
atas kepemilikan, menyimpan atau menguasai narkotika. Dengan
demikian, jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa
terdakwa memiliki menyimpan atau menguasai narkotika dengan tanpa
hak atau melawan hukum. Begitu pula sebaliknya, apabila terdakwa
merasa sebagai korban rekayasa atas kepemilikan, penyimpanan, atau
penguasaan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum, ia harus
membuktikan secara meyakinkan kepada hakim bahwa dirinya tidak
bersalah. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum;
- Bahwa Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika menyatakan, “Setiap
Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”. Pasal 127 ayat (1)
huruf a mengatur tentang sanksi pidana maksimal yang bisa dijatuhkan
oleh majelis hakim dan hanya mengatur tentang batas pidana maksimal,
sehingga hakim, karena jabatannya, dapat menjatuhkan sanksi sesuai
dengan fakta yang terbukti di persidangan. Bahkan apabila menurut hakim,
terdakwa tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, hakim harus
membebaskannya. Bukan saja menjatuhkan sanksi secara minimal.
Kriteria penjatuhan sanksi pidana wajib memperhatikan ketentuan tentang
rehabilitasi [vide Pasal 127 ayat (2) UU Narkotika]. Dengan demikian,
pembentuk Undang-Undang memberi keleluasaan kepada hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana kepada penyalah guna narkotika termasuk
perintah untuk menjalani rehabilitasi jika terbukti bahwa terdakwa adalah
korban penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi
antara sanksi pidana dengan ketentuan tentang rehabilitasi;
- Ketentuan sanksi pidana dan rehabilitasi adalah ketentuan yang bersifat
komplementer (saling melengkapi) dan bukan substitusional (pengganti).
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo harus dimaknai
dengan “dihukum rehabilitasi” justru akan menciptakan ketidakpastian
hukum karena memaknai penjatuhan pidana sama dengan menjalani
rehabilitasi. Dalam konteks UU Narkotika, rehabilitasi bukanlah termasuk
dalam jenis pidana. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas,
menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan
menurut hukum.

T. Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011


1. Ketentuan yang Diubah:
a.Penjelasan pasal 10 versi perubahan Undang-Undang MK.
b. Pembatalan undang-undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum.
c.Perlu atau tidaknya tindak lanjut putusan MK oleh
pembentuk undang-undang.
2. Pertimbangan Hukum

Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan


para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli dari
para Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon,
sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:

2. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 10 UU 8/2011 bertentangan


dengan Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 22A UUD 1945 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang”. Pasal tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Yang dimaksud Batang
Tubuh dan Penjelasan di dalam Lampiran II Huruf C, Angka 61 adalah
sebagai berikut bahwa batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat
semua materi muatan peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam
pasal atau beberapa pasal, dan Huruf E Penjelasan, Angka 176 menjelaskan
bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi oleh pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena
itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau
padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh
tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 10 UU 8/2011, mengandung
kekeliruan atau kesalahan legislasi, seharusnya perubahan penjelasan tersebut
termuat dalam bagian Penjelasan bukan dalam batang tubuh dari Undang-
Undang. Penempatan Penjelasan Pasal 10 dalam ketentuan batang tubuh juga
telah menimbulkan kerancuan fungsi dari Penjelasan itu sendiri, apakah Pasal
10 UU 8/2011 harus dimaknai sebagai batang tubuh atau penjelasan? Yang
dimaksud oleh pembentuk Undang-Undang adalah mengubah Penjelasan
Pasal 10, tetapi dalam kenyataan UU 8/2011 justru penjelasan tersebut
menjadi Pasal 10 dalam batang tubuh. Akibatnya dalam UU MK terdapat dua
Pasal 10, yaitu Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang masih tetap berlaku karena tidak dinyatakan
dicabut dan Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang mengatur putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan
mengikat. Oleh karena Pasal 10 UU 8/2011 telah menimbulkan
ketidakpastian hukum maka menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
beralasan menurut hukum;
3. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 8/2011
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 24C
ayat (5) UUD 1945, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat
syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan
kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang
bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan
kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai
kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan.

Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang


untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-
V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37-39/PUU-
VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan
bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan
batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas
pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal
policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut
sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang,
apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum
tidak beralasan menurut hukum;

4. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011


bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberikan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi
yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa
jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.” Norma Pasal 26 ayat (5) UU
8/2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai
hakim konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim
konstitusi yang digantikannya. Apabila pasal tersebut diterapkan akan
bertentangan dengan Pasal 22 UU MK (UU 24/2003) yang secara tegas dan
jelas menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”,
sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in terminis). Menurut
Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak sama dengan penggantian
antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR
dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam
Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang
digantikannya. Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh
masingmasing lembaga yang mengajukannya. Dengan demikian, menurut
Mahkamah, masa jabatan hakim konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22
UU MK tidak dapat ditafsirkan lain kecuali lima tahun, baik yang diangkat
secara bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim
konstitusi yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Mempersempit
makna Pasal 22 UU MK dengan tidak memberlakukannya bagi hakim
konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima tahun adalah melanggar
prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi;

Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen


yang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut,
Mahkamah dituntut bekerja secara profesional, independen, dan
berkesinambungan. Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan
sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin
kesinambungan kinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan
wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang
mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan
negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan,
terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan. Jika
dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang dihasilkan maka
masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun, sebenarnya masih
dianggap kurang. Dengan adanya hakim yang menggantikan yang hanya
melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya maka
masa jabatan hakim konstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan
demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi
adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan
putusanputusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa
jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian
hakim. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa
jabatan hakim konstitusi yang menggantikan tetap lima tahun. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut
hukum;

7. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 50A UU 8/2011 bertentangan


dengan Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa Indonesia telah menyatakan sebagai negara hukum yang
demokrasi konstitusional atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum,
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu
syarat setiap negara yang menganut paham rule of law dan constitutional
democracy adalah prinsip konstitusionalisme (constitutionalism), antara lain
yaitu prinsip yang menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
hukum tertinggi dalam suatu negara. Untuk menjamin tegak dan
dilaksanakannya konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar
dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
berfungsi mengawal konstitusi atau Undang-Undang Dasar (the guardian of
the constitution) dan karena fungsinya itu Mahkamah Konstitusi merupakan
penafsir tertinggi Undang-Undang Dasar (the ultimate interpreter of the
constitution). Dalam kerangka pemikiran demikian maka seluruh kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
tertulis dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945, bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya. Salah satu
kewenangan Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap
UndangUndang Dasar. Dengan kewenangan yang diberikan tersebut
Mahkamah dalam mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat berdasarkan UUD
1945 sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-Undang sebagai
penjabaran dari UUD 1945. Pelarangan terhadap Mahkamah untuk
menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum
adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan
hukum justru untuk menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam praktik Putusan
Mahkamah terkait dengan pengujian materil Mahkamah tidak pernah
menggunakan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan, akan tetapi
dalam permohonan-permohonan tertentu, Mahkamah harus melihat seluruh
Undang-Undang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak boleh bertentangan
satu dengan yang lain sehingga apabila Mahkamah menemukan ada satu
UndangUndang bertentangan dengan Undang-Undang lain, hal itu berarti
bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh
UUD 1945. Dalam pengujian formil memang benar Mahkamah dalam
putusan Nomor 27/PUUVII/2009, tanggal 16 Juni 2010 antara lain
menyatakan “...sepanjang UndangUndang, tata tertib produk lembaga
negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau
formil prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi
maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD 1945 menentukan
bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan UndangUndang
diatur dengan Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan Undang-
Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR sehingga menurut

Mahkamah penggunaan Undang-Undang mengenai pembentukan


UndangUndang dan tata tertib DPR sebagai dasar putusan Mahkamah
dimaknai sebagai penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena
itu menurut Mahkamah jika pasal a quo diterapkan maka akan membatasi
tugas dan fungsi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;

8. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun
2011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945,
pasal a quo telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dalam
Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, sehingga
permohonan para Pemohon dinyatakan ne bis in idem;
9. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga
omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan Mahkamah
sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh
warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Norma Pasal 59
ayat (2) UU 8/2011 tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum,
karena DPR dan Presiden hanya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah
jika diperlukan saja. Padahal putusan Mahkamah merupakan putusan yang
sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden
sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945
sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang
konstitusional.

Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 mengandung kekeliruan, yaitu


frasa “DPR atau Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,
setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Karena itu, DPR atau Presiden tidak
berdiri sendiri dalam membahas rancangan Undang-Undang, sehingga frasa
“DPR atau Presiden” bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon a quo


beralasan menurut hukum;

10. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 87 UU 8/2011 bertentangan


dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan
sebagai berikut:
Pasal 87 UU 8/2011 adalah pengganti Pasal 87 UU MK sebelumnya
yang termasuk dalam Bab Ketentuan Peralihan. Jika diperhatikan ketentuan
pasal a quo adalah dimaksudkan sebagai ketentuan peralihan yang menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
dalam Lampiran II Huruf C.4, Angka 127 telah menentukan bahwa yang
dimaksud ketentuan peralihan adalah ketentuan yang memuat penyesuaian
pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan
perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:

a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;


b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena
dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Namun, kenyataannya Pasal 87 UU 8/2011 a quo justru mengandung
norma yang bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan
peralihan sebagaimana dimuat di dalam Lampiran II Huruf C.4, angka 127
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Sehubungan dengan ketentuan peralihan, Mahkamah
dalam putusan Nomor 019/PUU-I/2003, bertanggal 18 Oktober 2004 dan
Nomor 121/PUU-VII/2009, tanggal 9 Maret 2011 pada pokoknya
menyatakan ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-
undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundangundangan tersebut
dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum;

Dengan mendasarkan pada kedua putusan Mahkamah a quo, maka


yang harus dipertimbangkan adalah apakah dengan adanya ketentuan Pasal 87
UU 8/2011 tersebut dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum atau
justru sebaliknya;

Bahwa Pasal 87 UU 8/2011 menyatakan, “Pada saat Undang-


Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah
Konstitusi.

b. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan
diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi”.
Menurut Mahkamah, ketentuan a quo memberlakuan dua Undang-
Undang sekaligus dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk menjamin kepastian
hukum. Selain itu, Pasal 87 huruf a UU 8/2011 tidak dapat dilaksanakan
karena bertentangan dengan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU
8/2011, karena Pasal 4 menghendaki pemilihan ketua dan wakil ketua dalam
satu kali rapat pemilihan, sementara wakil ketua yang saat ini menjabat masa
jabatannya tiga tahun, yaitu berakhir pada tahun 2013. Salah satu asas
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah asas ‘dapat
dilaksanakan’. Dengan dasar pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
Pasal 87 huruf a UU 8/2011 selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga
melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya asas
‘dapat dilaksanakan’. Oleh karena itu, sambil menunggu perbaikan dari
pembentuk Undang-Undang, maka pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipergunakan aturan yang lama yaitu Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 01/PMK/2003 tentang Tata
Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;

Bahwa menurut Mahkamah ketentuan mengenai hakim konstitusi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b UU 8/2011 memberlakukan
dua UndangUndang sekaligus dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum. Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk
menjamin kepastian hukum;

Menurut Mahkamah, selain menimbulkan ketidakpastian hukum,


Pasal 87 UU 8/2011 juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan, karena ada
pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan, namun ada juga yang tidak
langsung berlaku. Pemberlakuan dua Undang-Undang yang demikian itu
merupakan pembedaan perlakuan terhadap hakim konstitusi yang sedang
menjalankan tugasnya dan hakim yang akan diangkat kemudian, sehingga
merugikan hak konstitusional bagi pihak yang terkena dampak perubahan
tersebut. Hal demikian tidak sesuai dengan prinsip “memperlakukan sama
terhadap hal yang sama, memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda“.
Di samping itu, juga bertentangan dengan prinsip perubahan hukum yang
harus memberlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi yang dikenai
perubahan peraturan. Oleh karena itu, norma yang termuat di dalam
ketentuan Pasal 87 huruf b UU 8/2011 yang seharusnya merupakan ketentuan
peralihan di samping tidak tercapai maksud dan tujuannya, juga telah
menimbulkan ketidakpastian hukum serta menimbulkan ketidaksamaan
perlakuan, sehingga permohonan para Pemohon mengenai Pasal 87 UU
8/2011 tersebut harus dinyatakan beralasan menurut hukum;

Anda mungkin juga menyukai