Anda di halaman 1dari 17

STUDI PERBANDINGAN PEMINANGAN (KHITBAH) PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU DI


INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Perdata Islam di Indonesia

Dosen Pengampu: Prayudi Rahmatullah, M.HI

Nama Kelompok 02/Smt.V:

1. Fahrul Razi (17230014)


2. Muhammad Yusuf Imaduddin (17230018)
3. Widha Handayani (17230030)
4. Nur Faliq Abidin (17230039)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019

Daftar isi
Daftar isi...................................................................................................................1

I. Pendahuluan.....................................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................4

C. Tujuan Masalah.............................................................................................4

II. Pembahasan......................................................................................................5

A. Penyelenggaraan Peminangan (Khitbah)......................................................5

B. Syarat dan Rukun Peminangan (Khitbah)...................................................10

C. Implikasi hukum peminangan (khitbah) dalam Al-Qur’an dan Hadis, Hukum


Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia....................................13

III. Penutup...........................................................................................................14

A. Kesimpulan.................................................................................................14

Daftar Pustaka........................................................................................................15

2
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Salah satu prinsip kehidupan dalam sosial kemasyarakatan adalah


pernikahan yang merupakan sunnatullah bagi alam semesta. Tujuan
pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi tuntunan agama untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, oleh karenanya
pernikahan adalah dorongan bagi setiap Muslim yang mampu dan yang
tidak ingin jatuh dalam dosa.1

Sebelum upacara pernikahan, seorang pria biasanya meminang atau


berkhitbah kepada wanita yang akan menjadi istri. Khitbah berarti
mengekspresikan permintaan pria untuk menikahi wanita atau sebaliknya
atau hanya melalui perantara orang yang tepercaya.2

Jika kedua belah pihak sepakat untuk menikah, maka peminangan


dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung (tersirat), dan dapat
dipahami bahwa hukum peminangan bersifat tidak wajib. Peminangan tidak
memiliki akibat hukum, namun peminangan secara tidak langsung akan
megupayakan saling kenal diantara dua pihak sehingga ketika menikah tidak
ada pihak yang merasa dirugikan. Berdasarkan hal tersebut dalam
peminangan (khitbah) masih ada batasan yang harus dijaga, sehingga
pasangan yang bertunangan belum bisa bersama sampai upacara
pernikahan.3

Bahasan terkait peminangan (khitbah) ini ada beberapa ayat Al-


Qur’an dan hadis- hadis yang membicarakannya secara umum maupun
khusus. Dalam hukum positif di Indonesia sendiri keberadaan pengaturan
mengenai peminangan (khitbah) diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP
No. 9 Tahun 1975 dan KHI bidang Hukum Perkawinan.

1
[CITATION Ria17 \p 28 \l 14345 ]
2
[CITATION Ded11 \p 73 \l 14345 ]
3
[CITATION Ded11 \p 78 \n \y \l 14345 ]

3
Pada pokoknya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI
bidang Hukum Perkawinan adalah penegasan ulang tentang tentang hal-hal
yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diikuti dengan penjabaran
lanjut terhadap ketentuan-ketentuannya. Ketentuan pokok yang bersifat
umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan dan dijabarkan yang akan
dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan Hukum Islam yang
akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam

Dari latarbelakang tersebut Penulis akan mencoba membandingkan


terkait peminangan (khitbah) ini dengan hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini. Oleh karena itu, penulis mengambil judul,”Studi
Perbandingan Peminangan (Khitbah) Perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyelenggaraan peminangan (khitbah) perspektif Hukum


Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana rukun dan syarat peminangan (khitbah) perspektif Hukum


Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia?

3. Bagaimana implikasi hukum peminangan (khitbah) dalam Al-Qur’an dan


Hadis, Hukum Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui penyelenggaraan peminangan (khitbah) perspektif


Hukum Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia.

4. Untuk mengetahui rukun dan syarat peminangan (khitbah) perspektif


Hukum Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia.

5. Untuk mengetahui implikasi hukum peminangan (khitbah) dalam Al-


Qur’an dan Hadis, Hukum Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di
Indonesia.

II. Pembahasan

A. Penyelenggaraan Peminangan (Khitbah)

4
Sebelum membahas terkait penyelenggaraan Peminangan
(Khitbah) alangkah baiknya terlebih dahulu kita memahami definisi dan
tujuan dari Peminangan (Khitbah) tersebut.

Peminangan (Khitbah), dalam bahasa arab kata Khitbah berasal


dari kata ‫ خطب ة‬-‫ خيطب – خطب ا‬-‫ خطب‬yang berarti permintaan atau peminangan.4

Sedangkan menurut istilah Peminangan didefinisikan dengan beberapa


pengertian antara lain:

1. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa peminangan adalah memintanya


untuk dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di
antara manusia.5

2. Abu Zahrah, mendefinisikan peminangan dengan permintaan


seorang lakilaki kepada wali atau seorang perempuan dengan
maksud untuk mengawini perempuan itu.6

3. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa peminangan adalah


permintaan pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan.7

Para ulama fiqh, medefinisikan peminangan sebagai keinginan


pihak lakilaki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan
pihak perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut. KHI juga
menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah
kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang perempuan.

Dari beberapa pengertian peminangan di atas, maka dapat ditarik


suatu kesimpulan bahwa peminangan adalah permintaan yang mengandung
akad (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk
melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya,
dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat setempat.
4
[CITATION Had92 \p 30 \l 14345 ]
5
[CITATION Say80 \p 98 \l 14345 ]
6
[CITATION Abu \p 103 \l 14345 ]
7
[CITATION Zak \p 35 \l 14345 ]

5
Berdasarkan pengertian ini pula dapat ditarik beberapa tujuan dari
adanya prosesi peminangan (Khitbah) diantaranya,

1. Sebagai upaya untuk saling mengenal antara calon pasangan yang


akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.8

2. Sebagai upaya pendekatan ke arah terjadinya hubungan perjodohan


antara seorang pria dengan seorang perempuan.9

3. Sebagai upaya preventif untuk menghindari kekecewaan yang akan


timbul di kemudian hari.10

4. Sebagai upaya saling menyeleksi antara kedua belah pihak dengan


mengukur kesepadanan antara keduanya.11

Tata cara peminangan dalam perkawinan dilakukan sebelum


terjadinya akad nikah dan setelah dipilih dengan matang.

Dalil tentang proses peminangan dapat dilihat dalam QS. al-


Baqarah (2): 235.

ۡ‫س ٓاءِ أ َ ۡوأ َ ۡنكَنت ُ م‬َ ِّ ‫خ ۡطب َ ةِ ٱلن‬ ِ ‫م ۡن‬ ِ ‫ضم بِهِۦ‬ ُ ‫م ا ع ََّر ۡت‬ َ ‫ح ع َل َ ۡيك ُ مۡ فِي‬ َ ‫جنَا‬ ُ ‫وَاَل‬
ِ ‫ن وَلَٰكِن اَّل تُوَا‬ ۡ َ ۡ‫ُس ك ُ ۡۚم عَلِم ٱللَّه أَنَّك ُ م‬ َ
‫ن‬
َّ ُ‫ع دُوه‬ َّ ُ‫س ت َ ذك ُ ُرونَه‬ ُ َ ِ ‫ي أنف‬ ٓ ِ‫ف‬
ۡ ْ ُ ِ‫م ۡع ُروفٗ ۚا وَاَل ت َ ۡعز‬ َ
‫ى‬
ٰ َّ ‫حت‬ َ ‫اح‬ ِ َ ‫م وا ع ُ قدَة َ ٱ لنِّك‬ َّ ‫س ًّرا إِٓاَّل أن تَقُولُوا ْ قَ ۡواٗل‬ ِ
َ َ َ
ۡ‫ُس ك ُ م‬ ِ ‫ي أنف‬ ٓ ِ‫م ا ف‬ َ ‫م‬ ُ َ ‫ه ي َ ۡلع‬َ َّ ‫ن ٱلل‬َّ ‫م وٓا ْ أ‬ ُ َ ‫ٱعل‬ۡ َ‫هۥۚ و‬ ُ َ ‫جل‬
َ ‫بأ‬ ُ َٰ ‫ي َ ۡبل ُ غَ ۡٱلكِت‬
َ ۡ َ‫ٱحذ َُرو ۚهُ و‬
٢٣٥ ‫م‬ٞ ‫حلِي‬ َ ‫ُور‬ ٌ ‫ه غَف‬ َ َّ ‫ن ٱلل‬َّ ‫موٓا ْ أ‬ ُ َ ‫ٱعل‬ ۡ َ‫ف‬

Artinya :” Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu

8
[CITATION Mar16 \p 17-18 \l 14345 ]
9
[CITATION Mar16 \p 17 \n \y \l 14345 ]
10
[CITATION Ded11 \p 78 \n \y \l 14345 ]
11
[CITATION Ded11 \p 78 \n \y \l 14345 ]

6
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.
Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-
Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”12

Sebelum mengajukan pinangan perlu diketahui dengan jelas


tentang peminangan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Pasal 12 KHI menjelaskan pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan
terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah
habis masa iddahnya. Mengenai tata cara peminangan menurut hukum Islam
dijelaskan dalam pasal 12 KHI: 13

1. Peminangan dapat dilakukan pada seorang wanita yang masih


perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

2. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
rajiah, haram dan dilarang untuk dipinang.

3. Dilarang untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang


oleh pihak lain, selama pinangan itu belum putus.

4. Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang


putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang
meminangnya telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.

Dalam peminangan laki-laki yang meminang dapat melihat wanita


yang dipinangnya. Melihat perempuan yang dipinang, hukumnya sunnah.14
Ini berarti sangat dianjurkan. Dengan melihat calon istrinya akan dapat

12
[CITATION Dep09 \p 38 \l 14345 ]
13
[CITATION Kom \n \y \l 14345 ]Pasal 12.
14
[CITATION Mar16 \p 20 \n \y \l 14345 ]

7
diketahui identitas maupun pribadi wanita yang akan dikawininya,
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam


bersabda: “Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang
perempuan, jika ia dapat, maka ia dapat melihatnya, agar dapat
mendorongnya untuk menikahinya maka laksanakanlah” (Riwayat Ahmad
dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits
shahih menurut Hakim)

Setelah perempuan itu memenuhi kriteria yang boleh dipinang,


selanjutnya laki-laki boleh mengajukan sendiri pinangannya atau dapat pula
dengan seorang perantara yang dapat dipercaya.15 Diperbolehkan bagi laki-
laki yang akan meminang wanita yang masih dalam masa iddah dengan
sindiran seperti “saya suka dengan wanita sepertimu”. Imam Ibnul Qayyim
berkata “diharamkan meminang wanita dalam iddahnya dengan terang-
terangan, walaupun iddah tersebut adalah iddahnya seorang wanita yang
ditinggal wafat suaminya”.

Diharamkan pula meminang wanita yang masih dalam pinangan


laki-laki lain. Barangsiapa yang meminang seorang perempuan kemudian
telah diterima, maka orang lain dilarang meminangnya sampai ada
pembatalan pinangan yang pertama. Haram hukumnya seorang muslim
meminang wanita yang masih berada dalam pinangan orang lain karena itu
dapat merusak hak peminang pertama dan dapat menimbulkan permusuhan
di antara manusia. Ini merupakan larangan yang sangat ditegaskan dalam
agama, bahkan perbuatan tersebut mengandung dosa besar dan ancaman
siksa yang berat. Seorang muslim harus menjaga kehormatan diantara kaum
muslimin yang lain karena hal ini sangat mulia. Maka janganlah seseorang
meminang wanita pinangan orang lain, janganlah membeli barang yang
telah ditawar orang lain, dan janganlah menyakiti walau dengan apa pun
juga. 16
15
[CITATION Ded11 \p 76 \n \y \l 14345 ]
16
[CITATION Mar16 \p 19 \n \y \l 14345 ]

8
Menurut Imam Nawawi dan Jumhur ulama meminang pinangan
orang lain haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Seorang
mukmin adalah saudara mukmin yang lain. Oleh karena itu, tidak halal bagi
seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga nyata sudah ditinggalkannya.” Mereka sepakat akan
keharaman hal tersebut bila pinangan itu jelas diterima. Ketika orang yang
meminang pinangan orang lain itu menikah maka dia telah berbuat maksiat,
tapi perkawinannya sah.17

Peminangan dapat dilakukan menurut adat istiadat atau kebiasaan


yang berlaku pada suatu daerah, asal tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang berlaku dalam hukum Islam, meminang atau melamar dapat
dilakukan oleh setiap laki-laki, tetapi meminang perempuan yang telah
dipinang orang lain dilarang oleh Allah swt.

Peminangan belum menimbulkan akibat hukum seperti terjadinya


ikatan suami istri antara laki-laki yang meminang dan perempuan yang
dipinang.18 Tetapi kedua belah pihak masih bebas memutuskan peminangan
walaupun laki-laki yang meminang telah menyerahkan sejumlah mahar
kepada perempuan yang dipinang karena hal ini belum sesuai proses ijab
qabul.

B. Syarat dan Rukun Peminangan (Khitbah)

1. Syarat Mustahsinah

Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-


laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya
sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib untuk
dipenuhi, hanya anjuran dan baik untuk dilaksanakan, sehingga tanpa syarat
ini peminangan tetap sah.19 Diantara syarat-syarat tersebut adalah:

17
[CITATION Ded11 \p 75 \n \y \l 14345 ]
18
[CITATION Kom \n \y \l 14345 ]Pasal 13.
19
[CITATION Kam74 \p 28 \l 14345 ]

9
Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-
laki yang meminang. Misalnya tingkat keilmuannya, status sosial, dan
kekayaan.

a. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.

b. Meminang wanita yang jauh hubungan kerabatannya dengan lelaki


yang meminang. Dalam hal ini sayyidina Umar bin Khattab
mengatakan bahwa pernikahan antara seorang lelaki dan wanita yang
dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani
keturunannya.

c. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak dan keadaan-keadaan lainnya


yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.20

6. Syarat Lazimah

Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum


peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada syarat-
syarat lazimah.21 Syarat-syarat tersebut antara lain:

a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama


ditinggalkan oleh suaminya.22

b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman itu


disebabkan oleh mahram mua’bbad, seperti saudara kandung dan
bibi, maupun mahram mu’aqqt (mahram sementara) seperti saudara
ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang harap dinikahi
terdapat dalam firmah Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 22-23.

c. Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman


meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada
wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian

20
[CITATION Kam74 \p 28-30 \n \y \l 14345 ]
21
[CITATION Kam74 \p 30 \n \y \l 14345 ]
22
[CITATION Ami09 \p 51 \n \y \l 14345 ]

10
suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in. Allah
Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235.

Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa Iddah secara


sendirian maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

a. Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini ulama sepakat
bahwa boleh melakukan pinangan secara kinayah (sindiran) karena
hak suami sudah tidak ada.

b. Tidak dalam talaq raj’iy. Ulama sepakat bahwa haram meminang


wanita yang dalam masa Iddah karena talaq raj’iy karena suami
wanita tersebut masih memiliki hak atas dirinya.

c. Pendapat ulama mengenai hukum wanita yang sedang dalam talaq


ba’in sugra maupun talaq ba’in qubra terbagi dua, yaitu: pertama,
ulama hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita yang sedang
dalam talaq ba’in sugra karena suami masih punya hak untuk
kembali kepada istri dengan akad baru. Sedangkan dalam talaq
ba’in qubra, keharamannya disebabkan karena kekhawatiran dapat
membuat wanita itu untuk berbohong tentang batas akhir iddahnya,
dan bisa jadi lelaki yang meminang wanita tersebut merupakan
penyebab dari kerusakan perkawinan yang sebelumnya. Kedua,
jumhur ulama berpendapat bahwa khitbah anita yang sedang dalam
masa Iddah talaq ba’in diperbolehkan, berdasarkan keumuman dari
surat al-baqarah ayat 235 dan bahwa sebab adanya talak ba’in, suami
tidak lagi berkuasa atas istri karena perkawinan diantara mereka
telah putus. Dengan demikian, khitbah secara sindiran ini tidak
mengindikasikan adanya pelanggaran atas hak suami yang
mentalak.23

d. Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan orang


lain adalah haram, karena menyakiti hati dan menghalangi hak

23
[CITATION Wah97 \p 6497-6499 \l 14345 ]

11
peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan
menggangu ketentraman.

Memang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram


apabila perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan
walinya jelas-jelas telah mengizinkannya. Peminangan tetap diperbolehkan
apabila: pertama, wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara
terang-terangan maupun sindiran. Kedua, laki-laki kedua tidak tahu bahwa
wanita tersebut telah dipinang oleh orang lain. Ketiga, peminangan pertama
membolehkan lelaki kedua membolehkan lelaki kedua untuk meminang
wanita tersebut.24

Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah


dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda
pendapat, yaitu: pertama, menurut mayoritas ulama, pernikahan tetap sah,
karena meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu,
pernikahannya tidak boleh difasahk sekalipun mereka telah melanggar
ketentuan khitbah. Kedua, imam Abu Dawud berpendapat bahwa pernikahan
dengan peminang harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum melakukan
persetubuhan.25 Ketiga, pendapat ini berasal dari kalangan malikiyah yang
menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan,
maka perkawinan tersebut dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan
tersebut belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus
dibatalkan.

Perbedaan pendapat diantara ulama tersebut diatas disebabkan


karena perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya
sesuatu yang dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah
beranggapan bahwa larangan tidak menybabkan batalnya apa yang dilarang,
sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus

24
[CITATION MAT09 \p 27-29 \l 14345 ]
25
[CITATION Abd10 \p 78 \l 14345 ]

12
dibatalkan beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang
dilarang. 26

C. Implikasi hukum peminangan (khitbah) dalam Al-Qur’an dan Hadis, Hukum


Islam dan Undang-Undang Yang Berlaku di Indonesia.

Khitbah merupakan akad berupa janji untuk menikah. Setelah


khitbah diakadkan, maka tali khitbah akan mengikat dan memberikan
beberapa konsekuensi kepada kedua pihak yang berakad. Perlu digaris
bawahi bahwa pria dan wanita yang diikat dalam akad khitbah, dalam
pandangan syari’at tetap sebagai orang asing satu sama lain. Seluruh aturan
interaksi antara laki-laki dan wanita asing tetap berlaku bagi keduanya, yang
berbeda adalah bahwa keduanya boleh berta’aruf, saling mengenal satu
sama lain dalam rangka menuju pernikahan.

Laki-laki yang meminang atau pihak perempuan yang dipinang


dalam masa menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan
tersebut meskipun dulunya ia menerimanya. Walaupun demikian pemutusan
peminangan harus dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak
manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan tidak
mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan dalam pernikahan.
Jadi, pemberian itu dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak
berlanjut dengan pernikahan.

Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang


dipinangnya selama masa antara peminangan dan pernikahan itu adalah
sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah sebagaimana
hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabaiyah). Oleh
sebab itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara
keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling
melihat diantara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau
mahramnya.

26
[CITATION Ami09 \p 54 \n \y \l 14345 ]

13
Khitbah secara syar’i mempunyai posisi sebagai janji untuk
menikah pada waktu yang disepakati. Janji tersebut mengikat kedua pihak
yang berjanji. seseorang yang telah mengkhitbah seorang wanita, ia wajib
memenuhi janjinya untuk menikah setelah jangka waktu yang disepakati
habis. Jika jangka waktu yang telah disepakati habis dan tidak ada berita
dari pihak pria yang mengkhitbah, maka ikatan janji itu telah rusak.
Ketentuan tersebut berlaku jika ikatan janji itu dikaitkan dengan jangka
waktu tertentu.

Islam menetapkan hak menerima atau menolak khitbah/pinangan


terletak pada wanita yang akan dipinang. Bukan hak salah seorang walinya
atau orang-orang yang akan menikahkannya, tanpa seizin atau kesedian dari
wanita tersebut. Jika seorang wanita telah dilamar atau ia telah meminta
untuk dinikahkan, maka hanya dia sendirilah yang berhak untuk bersikap
menerima atau menolak.

Jika terjadi pembatalan atau pemutusan ikatan khitbah, dan salah


satu pihak telah memberikan sesuatu, maka ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:

1. Jika yang diberikan itu adalah mahar yang diberikan dimuka, maka
pihak wanita harus mengembalikan mahar tersebut. Mahar yang
diberikan sebelum akad nikah, maka statusnya adalah sesuatu atau
harta yang dititipkan/diamanahkan oleh pihak pria kepada wanita
untuk dijadikan sebagai mahar pada saat akad nikah. Karena
statusnya sebagai titipan, maka harus dikembalikan kepada pihak
pria saat akad khitbah dibatalkan.

2. Jika yang diberikan itu adalah biaya pesta pernikahan, maka harta
itu harus dikembalikan kepada pihak yang memberikan.

3. Jika yang diberikan itu adalah hadiah khitbah dan hadiah lainnya,
maka hadiah tersebut tidak boleh diminta kembali, dan pihak yang

14
diberi juga tidak perlu mengembalikannya. Karena hadiah itu
statusnya seperti hibah.

Hadits Rasulullah saw :

“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu


pemberian atau menghibahkan suatu hibah lalu ia menariknya
kembali kecuali orang tua dalam apa-apa yang diberikannya
kepada anaknya, dan pemisalan orang yang memberikan suatu
pemberian kemudian memintanya kembali adalah seperti seekor
anjing yang memakan sesuatu lalu ia memuntahkannya dan
kembali memakan muntahannnya itu”. (HR. Abu Dawud, An-
Nasa’i,Ibn Majah, At-Tirmidzi)

Khitbah juga memberikan konsekuensi lain yaitu pria lain haram


untuk mengajukan khitbah kepada wanita yang telah dikhitbah, dan wanita
tersebut tidak boleh menerima khitbah pria lain. Jika pria lain tersebut tetap
mengajukannya, maka ia dinilai telah melanggar hak saudaranya. Rasulullah
SAW bersabda:

“Seorang Mukmin adalah saudara mukmin lainnya, maka tidak


halal bagi seorang mukmin membeli diatas pembelian saudaranya dan
tidak halal mengkhitbah diatas khitbahan saudaranya sehingga saudaranya
meninggalkan”. (HR. Muslim dan Ahmad)

“Janganlah sseorang mengkhitbah diatas khitbahan saudaranya


hingga saudaranya itu menikahi atau meninggalkan”. (HR. An-Nasa’i).

15
III. Penutup

A. Kesimpulan

Tata cara peminangan dalam perkawinan dilakukan sebelum


terjadinya akad nikah dan setelah dipilih dengan matang. Dalil tentang
proses peminangan dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 235. Mengenai
tata cara peminangan dijelaskan dalam pasal 12 KHI. Pasal ini menjelaskan
pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang
masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

Syarat meminang terbagi menjadi dua: 1) Syarat Mustahsinah,


adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak
meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum
melangsungkan peminangan; 2) Syarat Lazimah, adalah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.

16
Daftar Pustaka

Ria, Wati Rahmi dan Muhamad Zufikar. Hukum Keluarga Islam. Bandar Lampung:
Zam-zam Tower. 2017.

Tihami, M. A. dan Sohal Sahrani. Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
Jakarta: Raja. 2009.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Raudhatul Jannah.


2009.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2009.

Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan


Bintang. 1974.

az-Zuhailiy, Wahbah. al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 9. Damaskus: Dar al-Fikr.


1997.

Ahmad, Hady Mufa’at. Fiqh Munakahat Hukum Perkawinan Islam. Semarang: Duta
Grafika. 1992.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Jilid 2. Beirut: Dar al-Fikr. 1980.

Zahrah, Abu. Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.

al-Anshari, Zakaria. Fath al- Wahab, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.

Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2016.

Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.

. Kompilasi Hukum Islam.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2010.

17

Anda mungkin juga menyukai