Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

IMPETIGO

PENYUSUN :
Thiufatin Terezky Brilyanti, S.Ked
K1A1 15 025

PEMBIMBING :
dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
1

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Thiufatin Terezky Brilyanti, S.Ked

NIM : K1A1 15 045

Judul : Impetigo

Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada

Januari 2020.

Kendari, Januari 2020

Pembimbing

dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK


2

IMPETIGO

Meildy Susanty Samuddin, Shinta N. Barnas

I. PENDAHULUAN
Onikomikosis menggambarkan infeksi jamur pada kuku yang
disebabkan oleh dermatofita, jamur non-dermatofita, atau yeast. Tinea
Unguium mengacu secara ketat pada infeksi dermatofita pada kuku.1
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 80-90% kasus tinea unguium
disebabkan oleh jamur dermatofita, khususnya Trichophyton rubrum dan
Trichophyton mentagrophytes, 5-17% lainnya disebabkan oleh yeast
terutama Candida sp, dan 3-5% disebabkan oleh non-dermatofita seperti
Aspergillus sp atau Scopulariopsis.2
Gejala yang seringkali nampak pada infeksi ini adalah kerusakan pada
kuku, diantaranya kuku menjadi lebih tebal dan nampak terangkat dari dasar
perlekatannya atau onycholysis, pecah-pecah, tidak rata dan tidak mengkilat
lagi, serta perubahan warna lempeng kuku menjadi putih, kuning, coklat,
hingga hitam.2
Tinea unguium mungkin tidak menyebabkan mortalitas, namun
menimbulkan gangguan klinis yang signifikan secara alami, mengurangi
estetika, bersifat kronis, dan sulit diobati. Hal tersebut kemudian dapat
mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup penderita. Infeksi
jamur dapat meningkatkan infeksi bakteri, selulit, urtikaria kronis, dan
sebagai reservoir jamur yang kemudian menginfeksi bagian tubuh lainnya
serta dapat ditransmisikan atau ditularkan ke individu lainnya.2
Khususnya kuku kaki, sering terkena infeksi jamur, terutama dalam
kaitan dengan tinea pedis kronis atau rekuren. Pada kenyataannya, reservoir
infeksi di kuku adalah penyebab penting infeksi kulit oleh jamur yang
berkelanjutan dan berulang. Yang terkena mungkin hanya satu atau
beberapa kuku, tetapi seiring dengan waktu terdapat kecenderungan
penambahan jumlah kuku yang terkena. Kuku menebal dan berubah warna,
secara klasik menghasilkan gambaran kuning kecokelatan. Mungkin
3

terdapat hiperkeratosis subungual yang signifikan.3 Pada referat ini akan


dibahas secara khusus mengenai infeksi jamur yang mengenai kuku yaitu
tinea unguium.
II. DEFINISI
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita.4 Tinea unguium disebut juga dermatophytic onychomycosis,
ringworm of the nail.5 Tinea unguium merupakan infeksi jamur yang kronis
pada kuku jari kaki atau kuku jari tangan. Kuku menjadi tebal, rapuh dan
tidak mengkilat.6
III. ANATOMI KUKU
Kuku merupakan salahsatu adneksa kulit yang mengandung lapisan
tanduk, terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki. Fungsinya selain
membantu jari-jari untuk memegang, juga digunakan sebagai cermin
kecantikan.4
Lempeng kuku terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua
sisi, satu sisi berhubungan dengan udara luar dan sisi lainnya tidak. Bagian
kuku:4
1. Matriks kuku
Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru.4
2. Dinding kuku (nail wall)
Merupakan lipatan-lipatan kulit yang menutupi bagian pinggir dan atas.4
3. Dasar Kuku (nail bed)
Merupakan bagian kulit yang ditutupi kuku.4
4. Alur Kuku (nail grove)
Merupakan celah antara dinding dan dasar kulit.4
5. Akar Kuku (nail root)
Merupakan bagian proksimal kuku.4
6. Lempeng Kuku (nail plate)
Merupakan bagian tengah kuku yang dikeliling dinding kuku.4

7. Lunula
4

Merupakan bagian lempeng kuku yang berwarna putih, dekat akar


kuku, berbentuk bulan sabit, dan sering tertutup oleh kulit.4
8. Eponikium
Merupakan dinding kuku bagian proksimal, kulit arinya menutupi
bagian permukaan lempeng kuku.4
9. Hiponikium
Merupakan dasar kuku, kulit ari di bawah kuku, yang bebas (free
edge) menebal.4

Gambar 1. Anatomi Kuku4


IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan anatomi yang terlibat7
1. Distal and Lateral Subungual Onychomycosis (DLSO)
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini
menjalar ke proksimal dan dibawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.
Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan
hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.4
Infeksi dimulai dari stratum korneum daerah hiponikium atau
lipatan kuku, memanjang secara subungual, dan secara progresif
melibatkan kuku secara sentripetal dan secara medial. Primer, yaitu yang
melibatkan kuku yang sehat atau sekunder (misalnya psoriasis) terkait
dengan onikolisis. Temuan: onikolisis, hiperkeratosis subungual,
berwarna kuning kecoklatan berubah warna menjadi puing-puing keratin.
Selalu dikaitkan dengan tinea pedis.7
5

2. Superficial White Onychomycosis (SWO)


Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau
keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan
adanya elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan Tricophyton
mentagrophytes sebagai penyebabnya.4
Patogen menginvasi permukaan dorsal kuku. Etiologi: Trichopyton
mentagrophytes atau T. Rubrum (anak). Lebih jarang: Acremonium,
Fusarium, Aspergillus terreus.7
3. Proximal Subungual Onychomycosis (PSO)
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama
menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu
terlihat kuku dibagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal
rusak. Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di
tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering
diserang daripada kuku tangan.4
Patogen masuk melalui area lipatan kutikula kuku posterior dan
kemudian bermigrasi sepanjang alur kuku proksimal untuk melibatkan
matriks yang mendasarinya, proksimal ke dasar kuku, dan akhirnya kuku
yang mendasari. Etiologi: T. Rubrum. Temuan: leukonikia yang meluas
ke distal dari bawah lipatan kuku proksimal. Biasanya terlibat satu atau
dua kuku. Selalu dikaitkan dengan keadaan immunocompromised.7
V. ETIOLOGI
1. Agen penyebab.
Antara 95 dan 97% disebabkan oleh T. Rubrum dan T.
Mentagrophytes. Jarang: Epidermophyton floccosum, T. Vialaceum, T.
Schoenleinii, T. Verrucosum (biasanya hanya menginfeksi ibu jari).7
Dermatofita yang dibagi menjadi tiga genus yaitu Tricophyton,
Epidermophyton, dan Microsoporum. Golongan ini mampu mencerna
keratin dan dapat menyebabkan infeksi yang mengenai kuku.8
2. Molds.
Jarang, patogen primer pada onikomikosis, namun kolonisasi
6

sekunder mengenai kuku atau bagian kuku yang sudah distroofi.


Acremonium, Fusarium dan Aspergillus spp, merupakan penyebab dari
SWO. Dermatosis seperti psoriasis, yang mengakibatkan onikolisis dan
hiperkeratosis subungual, atau onikomikosis dermatofitik dapat menjadi
kolonisasi sekunder/infeksi dari molds. Lebih dari 40 spesies molds
dilaporkan dari isolasi pada distrofi kuku, termasuk Scopulariopsis
brevicaulis, Aspergillus spp., Alternia spp., Acremonium spp., Fusarium
spp., Scytalidium dimidiatum (Hendersonula toruloidea), S. Hyalinum.7
3. Etiologi berdasarkan tipe anatomi
DLSO: T. Rubrum, T. Mentagrophytes. PSO: T. Rubrum. SWO: T.
Mentagrophytes.7
VI. EPIDEMIOLOGI
Onikomikosis adalah penyakit kuku yang paling sering dan
menyumbang 50% dari semua penyebab onikodistrofi. Ini mempengaruhi
14% dari populasi dengan prevalensi yang meningkat di antara individu
yang lebih tua dan insiden meningkat secara keseluruhan. Onikomikosis
juga meningkat dalam insiden di antara anak-anak dan remaja dan
menyumbang hingga 20% dari infeksi dermatofita yang didiagnosis pada
anak-anak. Meningkatnya prevalensi penyakit ini mungkin sekunder dari
mengenakan sepatu yang ketat, meningkatnya jumlah individu pada obat
imunosupresif, dan meningkatnya penggunaan ruang ganti bersama-sama.
Dermatofitosis biasanya dimulai dengan tinea pedis sebelum meluas ke
kuku. Dimana eradikasi lebih sulit. Tempat ini berfungsi sebagai reservoir
untuk kekambuhan lokal atau untuk infeksi yang menyebar ke daerah lain.
Hingga 40% pasien dengan onikomikosis jari kaki menunjukkan infeksi
kulit yang terjadi bersamaan, paling sering tinea pedis (30%).1 Onset usia
yaitu anak atau dewasa. Sekali terkena, tidak ada remisi spontan. Oleh
karena itu, peningkatan insiden dengan meningkatnya usia, 1% setiap
individu <18 tahun; hampir 50% pada usia >70 tahun. Umumnya terkena
pada laki-laki.7
Prevalensi tinea ungium di Asia Tenggara diketahui sangat rendah jika
7

dibandingkan dengan negara-negara barat, persentase kasus dinegara tropis


berkisar 3,8%, sedangkan di negara subtropis maupun negara dengan iklim
yang ekstrim yakni 18%. Faktor-faktor yang mempengaruhi epidemiologi
infeksi diantaranya adalah iklim, geografi, dan imigrasi, selain sosio-
ekonomi dan budaya, serta faktor predisposisi lainnya seperti kontak
langsung dengan tanah maupun hewan. Perbedaan geografi memberikan
perbedaan pada pola epidemiologi dan etiologi tinea unguium. Data
mengenai angka kasus tinea unguium di Indonesia masih sangat sedikit,
terutama pada kelompok beresiko seperti peternak babi.2
VII. FAKTOR RISIKO
Atopi meningkatkan risiko infeksi T. Rubrum, diabetes melitus,
pengobatan dengan obat immunosupresif, HIV/AIDS. Untuk onikomikosis
kuku jari kaki, faktor utama adalah tidak memakai alas kaki.7
VIII. PATOGENESIS
Jamur golongan dermatofita selain mengeluarkan enzim keratinase
yang mencerna keratin, patogenitasnya juga meningkat karena produksi
mannan yaitu suatu komponen dinding sel yang bersifat immunoinhibitory.
Mannan juga mempunyai kemampuan menghambat eliminasi jamur oleh
hospes dengan menekan kerja cell mediated immunity. Patogenitas beberapa
dermatofita juga berkaitan dengan genetik misalnya tinea unguium dapat
terjadi dalam sutau keluarga.9
Semua dermatofita pada prinsipnya mampu menurunkan keratin pada
stratum korneum, rambut dan kuku. Karena itu dapat menyebabkan infeksi
dari jaringan yang mengandung lapisan keratin superfisial pada manusia.
Ketika dermatofita menginfeksi kulit, gen patogen akan diregulasi, faktor
virulensi mikotik dilepaskan dan reaksi pertahanan inflamasi host akan
diatur untuk bergerak. Penetrasi dermatofit ke dalam dermis atau subkutis
terutama terjadi melalui invasi folikel rambut, tetapi lapisan jaringan yang
lebih dalam atau organ visceral biasanya tidak terlibat. Penetrasi dermatofit
ke dalam epidermis mengarah pada respons inang. Mekanisme dermatofita
menginfeksi manusia yaitu:10
8

1. Inisiasi infeksi
Langkah pertama dalam infeksi adalah inokulasi elemen jamur
yang mampu berkecambah ke kulit atau setidaknya berikatan dengan
elemen-elemen ke stratum korneum. Stratum korneum yang rusak, oklusi
dan maserasi memfasilitasi hal ini. Ketika elemen jamur vital menempel
cukup lama pada stratum korneum, diperlukan tempat berkecambah, hifa
berkembang yang menyebar secara sentrifugal terutama di lapisan bawah
stratum korneum. Selama berkecambang berbagai gen jamur itu
mengkode untuk mengaktifkan protein mikotik. Paparan sinar UV
mungkin langsung ke arah pertumbuhan hifa yang kedalam. Sejumlah
enzim yang dilepaskan oleh dermatofit selama pertumbuhan
memungkinkannya menurunkan dan memanfaatkan keratin dan protein
lain serta lipid dan DNA. Sejauh mana enzim tertentu diproduksi setelah
aktivasi masing-masing gen sangat bergantung pada pasokan nutrisi.
Degradasi enzimatik substrat berkontribusi secara langsung dan mungkin
juga secara tidak langsung melalui perubahan diferensiasi epidermis
menjadi gangguan pada pertahanan epidermis. Selain enzim, faktor
mikotik yang berpotensi patogen lebih lanjut mungkin berperan dalam
invasi dermatofita. Ini termasuk xanthomegnin sebagai racun dermatofita,
mannan sebagai faktor imunsupresif, hemaglutinin dan faktor-faktor
yang secara kooperatif dapat menyebabkan reaksi hemolitik. Zat dengan
efek antibiotik yang dihasilkan oleh dermatofit mungkin penting untuk
jamur untuk menegaskan diri mereka pada kolonisasi bakteri.10
2. Peran keratinosit
Stratum spinosum dengan keratinositnya adalah garis depan sel-sel
yang vital dihadapkan oleh jamur pada infeksi dernatofit pada kulit yang
berserat. Keratinosit sendiri berpartisipasi secara langsung dalam
pertahanan dermatofit dan disamping itu, mengaktifkan sel lebih lanjut
melalui sitokin yang dilepaskan. Karena itu mereka memainkan peran
kunci dalam respon awal terhadap tinea. Keratinosit mengekspresikan
Toll-like receptors (TLR) yang dapat mengenali patogen (reseptor
9

pengenalan pola). Melalui ini sinyal reseptor mengaktifkan respon imun


tidak spesifik. ligan yang sesuai pada permukaan jamur yang diduga
tergantung pada pathogen-associated molecular patterns (PAMPs).
Bahkan jika belum terdeteksi, dapat diasumsikan bahwa dermatofita juga
dapat mengekspresikan ligan tersebut. Interaksi dengan dermatofit
selanjutnya menghasilkan peningkatan yang signifikan proliferasi
keratinosit, untuk mengganggu pola keratin dan perubahan besar pada
cornified envelope, yang merupakan konsekuensi secara fungsional akan
rusak. Pertahanan epidermis jelas berkurang yang bisa diukur sebagai
peningkatan kuat dalam kehilangan air transepidermal. Lesi keratinosit
dalam pertahanan tinea sebagai peptida antimikroba. Human
betadefensin 2 baru-baru ini terdeteksi secara imunohistokimia.
Keratinosit (dan mononuklear sel-sel infiltrat) melepaskan beberapa
sitokin inflamasi pada tinea. Selain interferon terutama TNF-α, IL-1, IL-8
dan IL-16 tampaknya penting untuk reaksi inflamasi jaringan. Setidaknya
secara in vitro spektrum sitokin yang dilepaskan oleh keratinosit setelah
distimulasi oleh dermatofit jelas tergantung pada pengaktifan spesies
dermatofit.10
3. Pertahanan tidak spesifik
Pertahanan tidak spesifik karena permukaan kulit tidak pernah
streil, dermatofita juga bersentuhan dengan bakteri. Interaksi antara
dermatofita dan bakteri belum dipelajari secara luas, tetapi Pseudomonas
aeruginosa dapat menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum dan
Tricophyton mentagrophytes, mungkin flora bakteri tertentu di wajah
pada epidermis yang utuh, mencegah perkembangan tinea dan dengan
demikian berkontribusi untuk mekanisme pertahanan tidak spesifik.
Fiksasi dermatofita dalam lapisan korneum mungkin menangkal
peningkatan proliferasi epidermal, yang mempercepat deskuamasi
elemen jamur. Mannan tertentu dari Tricophyton rubrum memiliki efek
menghambat proliferasi. Transferrin dapat menghambat pertumbuhan
jamur dengan mengikat besi sementara beragam asam lemak di kulit
10

memiliki efek antijamur langsung. Granulosit dan makrofag sebagai sel


pertahanan tidak spesifik yang bermigrasi ke kulit yang terkena. Sel-sel
ini tertarik oleh mekanisme yang saling bergantung dan saling
melengkapi serta faktor kemotaksis dengan berat molekul rendah dan
dapat merusak atau membunuh dermatofita. Zat-zat seperti lipid terdiri
dari senyawa yang tersusun dari urea dengan dua asam lemak tidak jenuh
dapat mengaktifkan fagosit in vitro. Selain itu, reseptor spesifik natural
killer cells diubah dan peningkatan monosit CD14-Positive diamati pada
pasien dengan tinea. Fagosit dapat bereaksi terhadap dermatofita dengan
oxidative burst dan pelepasan sitokinin seperti TNF-α. Ketidakcocokan
makrofag dan dermatofita dapat menyebabkan kematian sel jamur atau
makrofag. Mungkin, pengikatan komponen dermatofit ke sel dendritik
memulai mekanisme pertahanan yang tidak spesifik.10
4. Reaksi imun spesifik
Sistem imun spesifik terlibat dalam patogenesis tinea dengan
produksi antibodi dan aktivasi sel pertahanan spesifik. Karena itu, respon
imun humoral serta reaksi seluler yang tertunda dapat terjadi. Fungsi
fagosit pattern-recognition receptors belum meyakinkan diperlihatkan
pada tinea, tetapi mungkin reseptor seperti toll-like receptors seperti
dectin-1 dan dectin-2 berperan pada dermatofita sebagai patogen. Pada
pasien dengan tinea dengan kondisi menurun, beragam antibodi menuju
dermatofita dapat dideteksi di darah dan jaringan, namun demikian,
respon imun humoral yang terkait dengan Th2 tidak memberi
perlindungan terhadap dermatofita, reaksi tipe langsung terhadap
dermatofita muncul pada infeksi persisten. Demikian juga serum yang
meningkat yaitu kadar IgE speifik, khususnya ditemukan pada pasien
tinea dengan atopi, tidak punya efek perlindungan terhadap dermatofita
dan relevansi patogenetik mereka tidak jelas. Sel dendritik di dalam kulit
ditemukan baik di epidermis dan dermis. Sel dendritik epidermal (sel
langerhans) merupakan bagian integral dari protective barrier pada
manusia. Mereka sangat penting untuk pengenalan berbagai agen
11

berbahaya termasuk jamur, dan aktivasi pertahanan limfositik dibentuk


oleh mereka. Sama seperti sel dendritik pada jaringan lain memiliki
fungsi sebagai pengawas dan menentukan fase pertama dari reaksi imun
spesifik. Pada tinea, sel langerhans bermigrasi ke tempat infeksi dimana
mereka kemudian ditemukan meningkat dalam jaringan. Pengikatan sel
dendritik menjadi jamur keratinofilik mungkin terjadi melalui reseptor
CD-SIGN pada permukaan sel. Untuk tujuan ini, sel langerhans dapat
mengekspresikan reseptor dan dengan demikian menghubungkan
pertahanan yang tidak spesifik dan respon imun selektif termasuk
pematanagan sel dendritik, pelepasan sitokin dan aktivasi limfosit. Sel
dendritik memiliki pathogen-recognizing receptor DC-HIL, yang dapat
diaktifkan oleh ligan dermatofiit dan dengan demikian mengatur
presentasi antigen mereka, tetapi secara bersamaan juga menurunkan
pengaktifan sel T. Limfosit tidak secara konstitusional hadir dalam
epidermis, tetapi bermigrasi ke kulit yang terkena tinea dan terlibat dalam
petahanan patogen. Selain itu, granulosit dan neutrofilik makrofag yang
sebagian besar adalah sel T CD4-positive ditemukan pada lesi dermis.
Reaksi imun spesifik yang diperantarai sel T spesifik berkembang pada
tinea.10
5. Efek lokasi
Tinea dapat mempengaruhi setiap area permukaan tubuh dan
arahnya selalu ditentukan oleh kondisi setempat. Oklusi dan maserasi di
daerah intertriginosa memberi titik masuk yang lebih menguntungkan
dan peluang untuk pertumbuhan daripada kulit bebas. Dua “ecotop”
khusus berbeda dari sisa permukaan tubuh: kuku dan folikel rambut,
terutama pada kulit kepala dan jenggot. Infeksi jamur pada kuku oleh
dermatofita adalah infeksi yang paling umum. Kuku dewasa tidak
mengandung sel-sel vital dan tidak memiliki sirkulasi. Jika dermatofit
berhasil menembus ceruk ini, hampir tidak dapat kontak dengan sel
pertahanan atau agen antimikroba hematogen. Jadi, dalam banyak kasus
infeksi permanen pada kuku tanpa kecenderungan sembuh sendiri.
12

Pasien dengan onikomikosis memiliki persentase yang lebih tinggi


CD4+, CD25+, sel T regulatori dalam darah perifer. Pada prinsipnya,
jamur bisa dihilangkan jika kuku tumbuh jauh lebih cepat dari jamur
menembus secara proksimal, tapi jamur memiliki mekanisme kuasi
sehingga penolakan jarang berhasil. Terutama pada orangtua dan
pertumbuhan kuku dengan gangguan trofik yang terlalu lambat. Masih
belum diketahui jika ada mekanisme fisiologis lainnya untuk
menghilangkan dermatofita dari kuku atau untuk membunuh di lokasi
ini. Onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofita hampir selalu
merupakan infeksi kronis dan infeksi inflamasi yang berat.10
Patomekanisme Tinea unguium yaitu:7
1. Onikomikosis Primer/Tinea Unguium
Invasi terjadi pada kuku yang sehat. Probabilitas invasi kuku oleh
jamur meningkat dengan pasokan vaskular yang rusak (yaitu, dengan
bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer),
dalam keadaan posttraumatik (fraktur tungkai bawah), atau gangguan
persarafan (misalnya, cedera pleksus brakialis, trauma tulang belakang).7
2. Onikomikosis Sekunder
Infeksi terjadi pada kuku yang sudah berubah, seperti kuku yang
mengalami psoriasis atau trauma. Onikomikosis kuku jari kaki biasanya
terjadi setelah tinea pedis; keterlibatan kuku yang berhubungan dengan
tinea manuum, tinea corporis, atau tinea capitis. Infeksi kuku kaki
pertama dan kelima mungkin terjadi sekunder akibat kerusakan kuku
oleh alas kaki.7
3. DLSO
Dasar kuku menghasilkan keratin lunak yang distimulasi oleh
infeksi jamur yang terakumulasi di bawah lempeng kuku, sehingga
mengalami peningkatan, suatu perubahan yang secara klnis memberi
kuku yang berubah warna krim yang terkena daripada penampilan
transparan yang normal. Keratin padat dari lempeng kuku tidak terlibat.
Keratin subungual yang terakumulasi meningkatkan pertumbuhan jamur
13

dan produksi keratin. Matriks biasanya tidak diserang, dan produksi


lempeng kuku normal tetap tidak terganggu meskipun infeksi jamur.
Belakangan, dermatofita menciptakan terowongan yang mengandung
udara didalam lempeng kuku, dimana jaringan cukup padar, kuku buram.
Seringkali invasi mengikuti punggung longitudinal dari dasar kuku.
Lokasi infeksi yang terhubung mencegah agen antijamur topikal yang
efektif.7
IX. MANIFESTASI KLINIS
Tinea unguium adalah jamur dermatofitosis yang paling sukar dan
lama disembuhkan. Kuku menjadi rusak dan rapuh. Bentuknya tidak lagi
normal. Dibagian bawah kuku akan menumpuk sisa jaringan yang rapuh. 6
Sekitar 80% dari onikomikosis terjadi di kaki, teruatama di jari kaki yang
besar.7
1. DLSO
White patch terdapat di distal atau permukaan bawah kuku dan
dasar kuku, biasanya dengan batas yang tegas. Pada suatu waktu, warna
keputihan bisa berubah warna menjadi rona coklat atau hitam.
Keterlibatan progresif kuku dapat terjadi dalam hitungan minggu, seperti
pada HIV/AIDS, atau lebih lambat selama berbulan-bulan atau tahunan.
Dengan infeksi progresif, kuku menjadi buram, menebal, pecah, rapuh,
terangkat oleh puing-puing hiperkeratotik yang mendasarinya dalam
hiponikium. Garis-garis putih yang terpinggirkan sejak awal pada margin
kuku bagian distal dan memanjang secara proksimal di isi dengan puing-
puing keratin dan udara. Kuku jari kaki adalah kuku yang sering terlibat.
Keterlibatan kuku biasanya unilateral. Ketika kuku yang terlibat, polanya
biasanya dua kaki dan satu tangan.7 Penyakit ini mulai dari tepi distal
atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan dibawah
kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.11
14

Gambar 2. DLSO1

Gambar 3. DLSO17
2. SWO
Sebuah plakat berkapur putih terlihat di lempeng kuku proksimal,
yang mungkin menjadi terkikis dengan hilangnya lempeng kuku. Secara
diagnostik, kuku yang terlibat bisa dihilangkan dengan mudah dengan
dikikir dibandingkan dengan trauma kuku, yang berwarna putih,
mengandung area udara. Dalam beberapa kasus, kuku superfisial bisa
terlibat. SWO dapat hidup berdampingan dengan DLSO. Terjadi hampir
secara eksklusif di kuku kaki, jarang terjadi pada kuku tangan. 7 Bentuk
ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok
untuk membuktikan adanya elemen jamur.11

Gambar 4. SWO1
15

Gambar 5. SWO17
3. PSO
Titik putih muncul dari bawah lipatan kuku proksimal. Pada
waktunya, perubahan warna putih mengisi lunula, akhirnya meluas ke
distal untuk melibatkan banyak permukaan bawah kuku. Pasien yang
diobati dengan azoles oral menunjukkan gangguan kuku yang terlibat.
Umumnya terjadi pada kuku kaki.7 Pada bentuk ini, kuku bagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering
diserang dari pada kuku tangan.11

Gambar 6. PSO1
16

Gambar 7. PSO7
Onikomikosis yang disebabkan oleh T. Rubrum biasanya dimulai pada
sudut distal kuku dan melibatkan persimpangan kuku dan dasar kuku.
Terjadi perubahan warna kekuningan, yang menyebar ke proksimal sebagai
goresan di kuku. Kemudian, hiperkeratosis subungal menjadi menonjol dan
menyebar sampai seluruh kuku yang terkena. Secara bertahap, seluruh kuku
menjadi rapuh dan terpisah dari dasar kuku karena menumpuknya
subungual keratin. Kuku tangan dan kuku kaki memiliki tampilan yang
sama, dan kulit sekitar kemungkinan terlibat, dengan karakteristik branny
scaling dan eritema.12
Onikomikosis yang disebabkan oleh T. Mentagrophytes biasanya
dangkal, dan tidak ada peradangan paronikial. Infeksi umumya dimulai
dengan pendangkalan kuku dibawah kutikula yang menggantung dan tetap
di lokalisasi ke sebagian kuku. Namun, pada waktunya, seluruh lempeng
kuku mungkin terlibat. White superficial onychomycosis adalah nama yang
diberikan untuk satu jenis infeksi kuku superfisial yang disebabkan oleh
jamur ini dimana bintik-bintik putih kecil berkapur muncul pada kuku atau
lempeng kuku. Bagian ini sangat dangkal sehingga dapat dengan mudah
dikikir. T. Violaceum, T. Schoenleinii, dan T. Tonsuran kadang-kadang
menyerang kuku, seperti halnya Trichocporon beigelii.12
Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan
penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram.
Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral
17

ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa nyeri
dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar
penyembuhannya.11
X. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
kerokan kuku dengan KOH 10-20% atau dilakukan biakan untuk
menemukan elemen jamur.11
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada
pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis
yang dapat berupa kerokan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik
diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan
dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk kuku, bahan diambil dari
bagian kuku yang sakit dan diambil sedalam-dalamnya sehingga mengenai
seluruh tebal kuku, bahan dibawah diambil pula.4
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.4
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk
sediaan kuku adalah 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di
atas api kecil. Pada saat mulai ke luar uap dari sediaan tersebut, pemanasan
sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH,
sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur
lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta
Parker superchroom blue black.4
Pada sediaan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati.4
18

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong


pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Sabouraoud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik
saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat tersebut
diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur
kontaminan.4
XI. PENATALAKSANAAN
Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian,
kerjasama dan kepercayaan antara penderita dan dokter. Kelainan kuku
merupakan kelainan yang banyak penyebabnya. Diagnosis harus ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopik sebelum pengobatan spesifik diberikan.
Pengobatannya sendiri sulit dan lama.11
1. Non-medikamentosa
Meningkatkan kebersihan/higiene penderita13
2. Medikamentosa
A. Sistemik
Griseofulvin; dosis anak 15-20 mg/kgBB/hari, dosis dewasa 500-
1.000 mg/hari selama 2-4 minggu.13 Griseofulvin tidak lagi merupkan
obat pilihan untuk tinea unguium karena memerlukan waktu lama,
sehingga kemungkinan terjadi efek samping lebih besar, serta kurang
efekif.14 Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-6 bulan untuk
kuku jari tangan dan 9-12 bulan untuk kuku jari kaki merupakan
pengobatan standar.11 Efek samping griseofulvin jarang dijumpai,
yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia, dizziness dan insomnia.
Efek samping yang dapat berupa gangguan traktus digestivus ialah
nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan
dapat mengganggu fungsi hepar.4
Obat oral yang efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang
bersifat fungstatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin
19

dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari- 2


minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan
kontraindikasi untu penderita kelainan hepar.4
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik
terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu
obat triazol yaitu itrakonazol yang merupakan pemilihan yang baik.
Khusus onikomikosis dikenal sebagai dosis denyut selama 3 bulan.
Cara pemberiannya sebagai berikut, diberikan 3 tahap dengan interval
1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan dosis 2 x 200 mg sehari
dalam kapsul.4
Hasil pemberian itrakonazol dosis denyut untuk onikomikosis
hampir sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama 3
bulan. Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafin adalah efektif
terhadap onikomikosis.4
Obat antijamur golongan azol dan golongan alilamin mengalami
proses metabolisme oleh enzim sitokrom P450 sehingga dapat terjadi
interaksi dengan berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh
kelompok enzim yang sama misalnya rifampisin, simetidin.4
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250
mg sehari bergantung berat badan.4
Efek samping terbinafin ditemukan kira-kira 10% penderita, yang
tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus,
nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping
yang lain dapat berupa gangguan pengecapan, persentasinya kecil.
Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa
minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula
terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3- 7% kasus.
Interaksi obat dapat terjadi antara lain dengan enmetideine dan
ritompisin.4
B. Topikal: kompres asam salisilat 5%, asam benzoat 10% dan resorsinol
20

5% dalam spiritus. Asam undesilenat dalam bentuk cairan. Tolnaftat


dalam bentuk cairan. Imidazol dalam bentuk cairan.
Siklopiroksolamin dalam bentuk cairan.13 Obat topikal dapat diberikan
dalam bentuk losio atau kombinasi krim bifonazol dengan urea 40%
dengan bebat.11
C. Pengikiran kuku yang rusak disertai pemberian obat topikal, misalnya
krim/solusio golongan imidazol dan cat kuku siklopiroksolamin dapat
merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat menggunakan obat
sistemik. Tetapi cara ini membutuhkan waktu lama dan efektivitasnya
rendah.14 Bedah skalpel tidak dianjurkan terutama untuk kuku jari
kaki, karena kalau residif akan menganggu pengobatan berikutnya.11
XII. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Psoriasis
Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat berakhir dengan
kelainan yang sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits), yang
terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi-lesi
psoriasis pada bagian lain badan dapat menolong membedakannya
dengan tinea unguium. Selain itu, terdapat juga Beau’s lines, onikolisis
atau oilspot.4

Gambar 8. Nail pits18


21

Gambar 9. Onikolisis18
2. Liken planus kuku
Liken planus kuku merupakan perubahan pada kuku berupa
belah longitudinal, lipatan kuku yang mengembung (pterigium kuku),
dan kadang-kadang anokia. Lempeng kuku menipis dan papul liken
planus dapat mengenai lempeng kuku.4
Gambaran klinis yaitu adanya belah longitudinal (longitudinal
rigdes) dan pitting. Matriks akan membentuk kuku yang rapuh dan
dapat disertai koilonikia. Mengenai beberapa atau seluruh kuku. Bila
ada atrofi atau jarungan parut pada matriks dan lipatan kuku
proksimal, maka akan terjadi pterigium kuku.4

Gambar 10. Liken planus kuku19


22

3. Paronikia
Paronikia adalah inflamasi pada kulit yang mengelilingi kuku
jari atau kuku kaki. Dapat bersifat akut atau kronis dan paling umum
disebabkan oleh infeksi dengan bakteri atau jamur. Gejalanya meliputi
kemerahan dan bengkak pada kulit di sekitar kuku, formasi nanah di
dekat kuku, nyeri dan rasa tidak nyaman saat di sentuh, perubahan
warna dan kuku meruncing (ridging), dan tidak adanya kutikula.15
Gejala pertama adanya pemisahan lempeng kuku dari eponikium
yang disebabkan oleh trauma atau maserasi pada tangan yang sering
kena air. Celah yang lembab itu, kemudian terkontaminasi oleh kokus
piogenik atau jamur.4
Pada pasien dengan paronikia akut, hanya satu kuku biasanya
yang terlibat. Kondisi ini ditandai dengan onset cepat, eritema, edema,
dan ketidaknyamanan atau nyeri lipatan kuku proksimal dan lateral,
biasanya dua sampai lima hari setelah trauma. Pasien dengan paronkia
awalnya hanya berupa infeksi dangkal dan akumulasi bahan purulen
di bawah lipatan kuku, seperti yang ditunjukkan oleh drainase nanah
saat lipatan kuku dikompres. Infeksi yang tidak diobati dapat
berkembang menjadi abses subungual, dengan rasa sakit dan
pembengkakan matriks kuku. Pembentukan nanah secara proksimal
dapat memisahkan kuku dari ikatan yang mendasarinya, menyebabkan
elevasi lempeng kuku. Pada paronikia kronis, kutikula berpisah dari
lempeng kuku, meninggalkan daerah antara lipatan kuku proksimal
dan lempeng kuku yang rentan terhadap infeksi oleh patogen bakteri
dan jamur.15
23

Gambar 11. Paronikia akut15

Gambar 12. Paronikia kronis15


XIII. PROGNOSIS
Beberapa faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk dari
onikomikosis, terbagi dalam tiga kategori yaitu karakteristik dan morbiditas
penderita, gambaran klinis kuku dan organisme penyebab.16
Karakteristik dan morbiditas pasien meliputi usia tua (> 60 tahun),
trauma kuku sebelumnya, riwayat onikomikosis sebelumnya, kondisi
imunokompromais, penyakit pembuluh darah perifer dan diabetes mellitus
yang tidak terkontrol. Gambaran klinis kuku antara lain hiperkeratosis
subungual > 2 mm, dermatofitoma, keterlibatan kuku >50%, pertumbuhan
kuku yang lambat, keterlibatan ibu jari, onikolisis berat, paronikia,
keterlibatan matriks kuku, onikomikosis total distrofik. Untuk organisme
penyebabnya adalah ragi, kapang dan infeksi campuran antara jamur dan
bakteri. Apabila terdapat beberapa faktor tersebut, maka prognosis
onikomikosis dapat dikatakan buruk.16
Kegagalan terapi yang dapat terjadi yaitu: (1) tanda-tanda klinis
24

sugestif onikomikosis pada lebih dari 10% lempeng kuku; (2) perubahan
warna (putih-kuning atau coklat), (3) onikolisis, dan (4) hiperkeratosis
subungual lateral. Rekurensi dapat diamati pada 10-53% kasus.17
XIV. KESIMPULAN
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Klasifikasi berdasarkan anatomi yang terlibat yaitu Distal and
Lateral Subungual Onychomycosis (DLSO), Superficial White
Onychomycosis (SWO), Proximal Subungual Onychomycosis (PSO). Agen
penyebab yaitu T. Rubrum dan T. Mentagrophytes. Tinea unguium banyak
pada anak atau dewasa dan umumnya terkena pada laki-laki. Tinea unguium
adalah jamur dermatofitosis yang paling sukar dan lama disembuhkan.
Kuku menjadi rusak dan rapuh. Bentuknya tidak lagi normal. Dibagian
bawah kuku akan menumpuk sisa jaringan yang rapuh.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
kerokan kuku dengan KOH 10-20% atau dilakukan biakan untuk
menemukan elemen jamur. Diferensial diagnosis yaitu psoriasis, liken
planus kuku, paranokia. Dapat terjadi kegagalan terapi.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A. S., Leffel, D.J.,
Wolff, K. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II.
8th Edition. New York; Mc Graw-Hill Medical Publishing Division; 2292-
2295.
2. Setianingsih, I., Arianti, D.C., Fadilly, A. 2015. Prevalnce and Risk Factor
Analysis of Tinea Unguium Infection On Pig Farmer In The Tanah Siang
Sub-district, Central Kalimantan. Jurnal Buski 5(3): 155-161.
3. Brown, R.G., Bourke, J., Cunliffe, T. 2015. Dermatologi Dasar Untuk
Praktik Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 229.
4. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2017. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ketujuh, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 111-378
5. Sondakh, C.E., Pandaleke, T., Mawu, F.O. 2016. Profil Dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari-Desember 2013. Jurnal e-Clinic (eCl) 4(1).
6. Pratama, K.F., Prasasti, C.I. 2016. Gangguan Kulit Pemulung Di TPA
Kenep Ditinjau dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja. The
Indonesian Journal Of Occupational Safety and Health 6(2): 135-145.
7. Wolff, K., Johnson, R.A. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. Volume II B. 6th Edition. New York; Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division; 1016-1021.
8. Rizkya, A., Thaha, M.A., Rusmawardiana, Tjekyan, R.M. 2015. Nilai
Diagnostik Dermatophyte Strip Test pada Pasien Tinea Unguium. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan 2(1): 20-24.
9. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S. 2016. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 320.
10. Brasch, J. 2010. Pathogenesis of Tinea. Journal of The German Society of
Dermatology 8: 780-786.
11. Harahap, Marwali. 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates;
26

80.
12. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Andrews’ Disease of The
Skin : Clinical Dermatology. 11th Edition. Saunders Elsevier: 295-297.
13. Siregar, R.S. 2017. Atlas Berwarna SARIPATI Penyakit Kulit Edisi 3; 28.
14. Daili, E.S., Menaldi, S.L., Wisnu, I.M. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta Pusat: PT Medical
Multimedia Indonesia; 32.
15. Sari, P.O., Cania, E. 2018. Prinsip Pencegahan dan Pengobatan Paronikia
Akut dan Kronis. Medula 8(1): 54-60.
16. Lipner, S.R., Scher, R.K. 2015. Prognostic Factors in Onychomycosis
Treatment. Journal of Infectious Diseases and Therapy 3(1): 1-6.
17. Sigall, D.A., Tosto, A. Arenas, R. 2016. Tinea Unguium: Diagnosis and
Treatment in Practice. Mycopathologia.
18. Tan, E.S., Chong, W.S., Tey. 2012. Nail Psoriasis. American Journal of
Clinical Dermatology 13(6): 375-388.
19. Yorulmaz, A., Bulut, P.D., Yalcin, B. 2018. Nail Lichen Planus: A Patient
With Atypical Presentation. Our Dematology Online: 434-436.

Anda mungkin juga menyukai