IMPETIGO
PENYUSUN :
Thiufatin Terezky Brilyanti, S.Ked
K1A1 15 025
PEMBIMBING :
dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Impetigo
Fakultas : Kedokteran
Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada
Januari 2020.
Pembimbing
IMPETIGO
I. PENDAHULUAN
Onikomikosis menggambarkan infeksi jamur pada kuku yang
disebabkan oleh dermatofita, jamur non-dermatofita, atau yeast. Tinea
Unguium mengacu secara ketat pada infeksi dermatofita pada kuku.1
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 80-90% kasus tinea unguium
disebabkan oleh jamur dermatofita, khususnya Trichophyton rubrum dan
Trichophyton mentagrophytes, 5-17% lainnya disebabkan oleh yeast
terutama Candida sp, dan 3-5% disebabkan oleh non-dermatofita seperti
Aspergillus sp atau Scopulariopsis.2
Gejala yang seringkali nampak pada infeksi ini adalah kerusakan pada
kuku, diantaranya kuku menjadi lebih tebal dan nampak terangkat dari dasar
perlekatannya atau onycholysis, pecah-pecah, tidak rata dan tidak mengkilat
lagi, serta perubahan warna lempeng kuku menjadi putih, kuning, coklat,
hingga hitam.2
Tinea unguium mungkin tidak menyebabkan mortalitas, namun
menimbulkan gangguan klinis yang signifikan secara alami, mengurangi
estetika, bersifat kronis, dan sulit diobati. Hal tersebut kemudian dapat
mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup penderita. Infeksi
jamur dapat meningkatkan infeksi bakteri, selulit, urtikaria kronis, dan
sebagai reservoir jamur yang kemudian menginfeksi bagian tubuh lainnya
serta dapat ditransmisikan atau ditularkan ke individu lainnya.2
Khususnya kuku kaki, sering terkena infeksi jamur, terutama dalam
kaitan dengan tinea pedis kronis atau rekuren. Pada kenyataannya, reservoir
infeksi di kuku adalah penyebab penting infeksi kulit oleh jamur yang
berkelanjutan dan berulang. Yang terkena mungkin hanya satu atau
beberapa kuku, tetapi seiring dengan waktu terdapat kecenderungan
penambahan jumlah kuku yang terkena. Kuku menebal dan berubah warna,
secara klasik menghasilkan gambaran kuning kecokelatan. Mungkin
3
7. Lunula
4
1. Inisiasi infeksi
Langkah pertama dalam infeksi adalah inokulasi elemen jamur
yang mampu berkecambah ke kulit atau setidaknya berikatan dengan
elemen-elemen ke stratum korneum. Stratum korneum yang rusak, oklusi
dan maserasi memfasilitasi hal ini. Ketika elemen jamur vital menempel
cukup lama pada stratum korneum, diperlukan tempat berkecambah, hifa
berkembang yang menyebar secara sentrifugal terutama di lapisan bawah
stratum korneum. Selama berkecambang berbagai gen jamur itu
mengkode untuk mengaktifkan protein mikotik. Paparan sinar UV
mungkin langsung ke arah pertumbuhan hifa yang kedalam. Sejumlah
enzim yang dilepaskan oleh dermatofit selama pertumbuhan
memungkinkannya menurunkan dan memanfaatkan keratin dan protein
lain serta lipid dan DNA. Sejauh mana enzim tertentu diproduksi setelah
aktivasi masing-masing gen sangat bergantung pada pasokan nutrisi.
Degradasi enzimatik substrat berkontribusi secara langsung dan mungkin
juga secara tidak langsung melalui perubahan diferensiasi epidermis
menjadi gangguan pada pertahanan epidermis. Selain enzim, faktor
mikotik yang berpotensi patogen lebih lanjut mungkin berperan dalam
invasi dermatofita. Ini termasuk xanthomegnin sebagai racun dermatofita,
mannan sebagai faktor imunsupresif, hemaglutinin dan faktor-faktor
yang secara kooperatif dapat menyebabkan reaksi hemolitik. Zat dengan
efek antibiotik yang dihasilkan oleh dermatofit mungkin penting untuk
jamur untuk menegaskan diri mereka pada kolonisasi bakteri.10
2. Peran keratinosit
Stratum spinosum dengan keratinositnya adalah garis depan sel-sel
yang vital dihadapkan oleh jamur pada infeksi dernatofit pada kulit yang
berserat. Keratinosit sendiri berpartisipasi secara langsung dalam
pertahanan dermatofit dan disamping itu, mengaktifkan sel lebih lanjut
melalui sitokin yang dilepaskan. Karena itu mereka memainkan peran
kunci dalam respon awal terhadap tinea. Keratinosit mengekspresikan
Toll-like receptors (TLR) yang dapat mengenali patogen (reseptor
9
Gambar 2. DLSO1
Gambar 3. DLSO17
2. SWO
Sebuah plakat berkapur putih terlihat di lempeng kuku proksimal,
yang mungkin menjadi terkikis dengan hilangnya lempeng kuku. Secara
diagnostik, kuku yang terlibat bisa dihilangkan dengan mudah dengan
dikikir dibandingkan dengan trauma kuku, yang berwarna putih,
mengandung area udara. Dalam beberapa kasus, kuku superfisial bisa
terlibat. SWO dapat hidup berdampingan dengan DLSO. Terjadi hampir
secara eksklusif di kuku kaki, jarang terjadi pada kuku tangan. 7 Bentuk
ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok
untuk membuktikan adanya elemen jamur.11
Gambar 4. SWO1
15
Gambar 5. SWO17
3. PSO
Titik putih muncul dari bawah lipatan kuku proksimal. Pada
waktunya, perubahan warna putih mengisi lunula, akhirnya meluas ke
distal untuk melibatkan banyak permukaan bawah kuku. Pasien yang
diobati dengan azoles oral menunjukkan gangguan kuku yang terlibat.
Umumnya terjadi pada kuku kaki.7 Pada bentuk ini, kuku bagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering
diserang dari pada kuku tangan.11
Gambar 6. PSO1
16
Gambar 7. PSO7
Onikomikosis yang disebabkan oleh T. Rubrum biasanya dimulai pada
sudut distal kuku dan melibatkan persimpangan kuku dan dasar kuku.
Terjadi perubahan warna kekuningan, yang menyebar ke proksimal sebagai
goresan di kuku. Kemudian, hiperkeratosis subungal menjadi menonjol dan
menyebar sampai seluruh kuku yang terkena. Secara bertahap, seluruh kuku
menjadi rapuh dan terpisah dari dasar kuku karena menumpuknya
subungual keratin. Kuku tangan dan kuku kaki memiliki tampilan yang
sama, dan kulit sekitar kemungkinan terlibat, dengan karakteristik branny
scaling dan eritema.12
Onikomikosis yang disebabkan oleh T. Mentagrophytes biasanya
dangkal, dan tidak ada peradangan paronikial. Infeksi umumya dimulai
dengan pendangkalan kuku dibawah kutikula yang menggantung dan tetap
di lokalisasi ke sebagian kuku. Namun, pada waktunya, seluruh lempeng
kuku mungkin terlibat. White superficial onychomycosis adalah nama yang
diberikan untuk satu jenis infeksi kuku superfisial yang disebabkan oleh
jamur ini dimana bintik-bintik putih kecil berkapur muncul pada kuku atau
lempeng kuku. Bagian ini sangat dangkal sehingga dapat dengan mudah
dikikir. T. Violaceum, T. Schoenleinii, dan T. Tonsuran kadang-kadang
menyerang kuku, seperti halnya Trichocporon beigelii.12
Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan
penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram.
Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral
17
ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa nyeri
dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar
penyembuhannya.11
X. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
kerokan kuku dengan KOH 10-20% atau dilakukan biakan untuk
menemukan elemen jamur.11
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada
pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis
yang dapat berupa kerokan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik
diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan
dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk kuku, bahan diambil dari
bagian kuku yang sakit dan diambil sedalam-dalamnya sehingga mengenai
seluruh tebal kuku, bahan dibawah diambil pula.4
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.4
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk
sediaan kuku adalah 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di
atas api kecil. Pada saat mulai ke luar uap dari sediaan tersebut, pemanasan
sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH,
sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur
lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta
Parker superchroom blue black.4
Pada sediaan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati.4
18
Gambar 9. Onikolisis18
2. Liken planus kuku
Liken planus kuku merupakan perubahan pada kuku berupa
belah longitudinal, lipatan kuku yang mengembung (pterigium kuku),
dan kadang-kadang anokia. Lempeng kuku menipis dan papul liken
planus dapat mengenai lempeng kuku.4
Gambaran klinis yaitu adanya belah longitudinal (longitudinal
rigdes) dan pitting. Matriks akan membentuk kuku yang rapuh dan
dapat disertai koilonikia. Mengenai beberapa atau seluruh kuku. Bila
ada atrofi atau jarungan parut pada matriks dan lipatan kuku
proksimal, maka akan terjadi pterigium kuku.4
3. Paronikia
Paronikia adalah inflamasi pada kulit yang mengelilingi kuku
jari atau kuku kaki. Dapat bersifat akut atau kronis dan paling umum
disebabkan oleh infeksi dengan bakteri atau jamur. Gejalanya meliputi
kemerahan dan bengkak pada kulit di sekitar kuku, formasi nanah di
dekat kuku, nyeri dan rasa tidak nyaman saat di sentuh, perubahan
warna dan kuku meruncing (ridging), dan tidak adanya kutikula.15
Gejala pertama adanya pemisahan lempeng kuku dari eponikium
yang disebabkan oleh trauma atau maserasi pada tangan yang sering
kena air. Celah yang lembab itu, kemudian terkontaminasi oleh kokus
piogenik atau jamur.4
Pada pasien dengan paronikia akut, hanya satu kuku biasanya
yang terlibat. Kondisi ini ditandai dengan onset cepat, eritema, edema,
dan ketidaknyamanan atau nyeri lipatan kuku proksimal dan lateral,
biasanya dua sampai lima hari setelah trauma. Pasien dengan paronkia
awalnya hanya berupa infeksi dangkal dan akumulasi bahan purulen
di bawah lipatan kuku, seperti yang ditunjukkan oleh drainase nanah
saat lipatan kuku dikompres. Infeksi yang tidak diobati dapat
berkembang menjadi abses subungual, dengan rasa sakit dan
pembengkakan matriks kuku. Pembentukan nanah secara proksimal
dapat memisahkan kuku dari ikatan yang mendasarinya, menyebabkan
elevasi lempeng kuku. Pada paronikia kronis, kutikula berpisah dari
lempeng kuku, meninggalkan daerah antara lipatan kuku proksimal
dan lempeng kuku yang rentan terhadap infeksi oleh patogen bakteri
dan jamur.15
23
sugestif onikomikosis pada lebih dari 10% lempeng kuku; (2) perubahan
warna (putih-kuning atau coklat), (3) onikolisis, dan (4) hiperkeratosis
subungual lateral. Rekurensi dapat diamati pada 10-53% kasus.17
XIV. KESIMPULAN
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Klasifikasi berdasarkan anatomi yang terlibat yaitu Distal and
Lateral Subungual Onychomycosis (DLSO), Superficial White
Onychomycosis (SWO), Proximal Subungual Onychomycosis (PSO). Agen
penyebab yaitu T. Rubrum dan T. Mentagrophytes. Tinea unguium banyak
pada anak atau dewasa dan umumnya terkena pada laki-laki. Tinea unguium
adalah jamur dermatofitosis yang paling sukar dan lama disembuhkan.
Kuku menjadi rusak dan rapuh. Bentuknya tidak lagi normal. Dibagian
bawah kuku akan menumpuk sisa jaringan yang rapuh.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
kerokan kuku dengan KOH 10-20% atau dilakukan biakan untuk
menemukan elemen jamur. Diferensial diagnosis yaitu psoriasis, liken
planus kuku, paranokia. Dapat terjadi kegagalan terapi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A. S., Leffel, D.J.,
Wolff, K. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II.
8th Edition. New York; Mc Graw-Hill Medical Publishing Division; 2292-
2295.
2. Setianingsih, I., Arianti, D.C., Fadilly, A. 2015. Prevalnce and Risk Factor
Analysis of Tinea Unguium Infection On Pig Farmer In The Tanah Siang
Sub-district, Central Kalimantan. Jurnal Buski 5(3): 155-161.
3. Brown, R.G., Bourke, J., Cunliffe, T. 2015. Dermatologi Dasar Untuk
Praktik Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 229.
4. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2017. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ketujuh, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 111-378
5. Sondakh, C.E., Pandaleke, T., Mawu, F.O. 2016. Profil Dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari-Desember 2013. Jurnal e-Clinic (eCl) 4(1).
6. Pratama, K.F., Prasasti, C.I. 2016. Gangguan Kulit Pemulung Di TPA
Kenep Ditinjau dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja. The
Indonesian Journal Of Occupational Safety and Health 6(2): 135-145.
7. Wolff, K., Johnson, R.A. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. Volume II B. 6th Edition. New York; Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division; 1016-1021.
8. Rizkya, A., Thaha, M.A., Rusmawardiana, Tjekyan, R.M. 2015. Nilai
Diagnostik Dermatophyte Strip Test pada Pasien Tinea Unguium. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan 2(1): 20-24.
9. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S. 2016. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 320.
10. Brasch, J. 2010. Pathogenesis of Tinea. Journal of The German Society of
Dermatology 8: 780-786.
11. Harahap, Marwali. 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates;
26
80.
12. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Andrews’ Disease of The
Skin : Clinical Dermatology. 11th Edition. Saunders Elsevier: 295-297.
13. Siregar, R.S. 2017. Atlas Berwarna SARIPATI Penyakit Kulit Edisi 3; 28.
14. Daili, E.S., Menaldi, S.L., Wisnu, I.M. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta Pusat: PT Medical
Multimedia Indonesia; 32.
15. Sari, P.O., Cania, E. 2018. Prinsip Pencegahan dan Pengobatan Paronikia
Akut dan Kronis. Medula 8(1): 54-60.
16. Lipner, S.R., Scher, R.K. 2015. Prognostic Factors in Onychomycosis
Treatment. Journal of Infectious Diseases and Therapy 3(1): 1-6.
17. Sigall, D.A., Tosto, A. Arenas, R. 2016. Tinea Unguium: Diagnosis and
Treatment in Practice. Mycopathologia.
18. Tan, E.S., Chong, W.S., Tey. 2012. Nail Psoriasis. American Journal of
Clinical Dermatology 13(6): 375-388.
19. Yorulmaz, A., Bulut, P.D., Yalcin, B. 2018. Nail Lichen Planus: A Patient
With Atypical Presentation. Our Dematology Online: 434-436.