Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

ANEMIA FANCONI

Oleh :

Nahoya, S.Ked

K1A1 14 104

Pembimbing :

dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp. PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
ANEMIA FANCONI

Nahoya, Tety Yuniarti Sudiro

A. Pendahuluan

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume

eritrosit atau konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan

spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi

patologis dan fisiologis. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat

di seluruh dunia; diperkirakan terdapat pada 43% anak-anak usia kurang

dari 4 tahun. Survei Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56%

anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun 1995

ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah

menderita anemia. Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang

menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat ditanggulangi. Keadaan ini

berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada anak.1

Salah satu jenis anemia adalah anemia aplastik. Anemia aplastik

merupakan suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan

penurunan komponen selular pada darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan

trombosit sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam

sumsum tulang, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Penyebab anemia

aplastik dibagi dua, yaitu primer dan sekunder. Penyebab anemia primer

adalah kongenital (Fanconi’s anemia) dan idiopatik yang didapat sebanyak

(67%). Sindrom Fanconi merupakan penyebab utama dari faktor kongenital

2
yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus,

anomali pada jari, kelainan ginjal dan lain sebagainya. Anemia fanconi

adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana 10% dari pasien

terjadi saat anakanak. Gejala fisik yang khas adalah tinggi badan yang

pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan

alat kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan retardasi

mental. Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit

darah tepi yang menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture

dengan bahan yang menyebabkan pemecahan khromosom seperti

diepoxybutane (DEB) atau mitomycin C (MMC).2

B. Komponen Darah Normal

Darah adalah suatu suspense partikel dalam suatu larutan koloid cair

yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukarab

antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki

sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri.3,4

Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91 sampai 92%

air yang berperan sebagai medium transport, dan 8 sampai 9% zat padat. Zat

padat tersebut antara lain protein-protein seperti albumin, globulin, faktor-

faktor pembekuan, dan enzim; unsure organic seperti zat nitrogen

nonprotein (urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino), lemak netral,

fosfolipid, kolesterol, dan glukosa, dan unsur anorganik berupa natrium,

klorida, bikarbonat, kalsium, kalium, magnesium, fosfor, besi, dan iodium.

Walaupun semua unsur memainkan peran penting dalam hemoestasis, tetapi

3
protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah. Diantara tiga jenis

utama protein serum, albumin yang terbentuk dalam hati berjumlah sebesar

53% dari seluruh protein serum. Peran utama albumin adalah

mempertahankan volume darah dengan menjaga tekanan osmotic koloid,

keseimbangan pH dan elektrolit, serta transport ion-ion logam, asam lemak,

hormone, dan obat-obatan. Globulin sangat berperan dalam pembentukan

antibody (immunoglobulin). Fibrinogen, yang jumlahnya hanya 4%

merupakan salah satu faktor pembekuan darah. 3,4

Unsur sel darah teridiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis

sel darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit

berfungsi sebagai transport atau pertukaran oksigen (O2) dan

karbondioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan

trombosit untuk hemostasis. Sel-sel ini mempunyai umur yang terbatas,

sehingga diperlukan pembentukan optimal yang konstan untuk

mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

jaringan. Pembentukan ini, yang disebut hematopoesis (pembentukan dan

pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra,

pelvis, sternum, iga-iga dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. 3,4

Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua

sel darah normal dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan

kemampuan bermitosis. Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi sel induk

limfoid dan sel induk myeloid yang menjadi sel-sel progenitor. Diferensiasi

terjadi pada saat terdapat faktor perangsangan koloni, seperti eritropoietin

4
untuk pembentukan eritrosit dan G-CSF untuk pembentukan leukosit. Sel-

sel progenitor mengadakan diferensiasi melaui satu jalan. Melalui

serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel ini menjadi sel-sel yang

dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk sumsum dalam

keadaan normal terus mengganti sel-sel yang mati dan memberi respon

terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan

berdifirensiasi menjadi sel tertentu yang dibutuhkan.3,4

C. Hemopoesis

Hemopoeis adalah suatu proses kompleks yang melibatkan banyak

komponen-komponen yang saling terkait antara lain komponen atau

kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah, baik sel-sel induk, sel-sel

bakal, dan sel-sel matur, lalu ada komponen atau kompartemen yang disebut

stroma atau lingkungan mikrohemopoetik yang terdiri atas dua komponen

yaitu komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2

dapat dianggap sebagai tanah dimana benih itu tumbuh. Kedua

kompartemen ini saling berbaur. Lalu kompartemen ketiga terdiri atas zat-

zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,

berdiferensiasi atau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan.

Komponen ini disebut hematopoetic growth factors (HGF) atau factor

pertumbuhan hemopoetik (FPH).4,5

5
Kompartemen sel-sel darah terdiri atas:

1. Sel induk Pluripoten (SIP)

Menurut teori Unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk

plurpoten (pluripoten stem cell). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun

mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.

Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun

1960-an dengan penelitiannya yang menggunakan teknologi pembiakan

invivo pada tikus. Mereka menamakan SIP sebagai CFU-S (colony Forming

Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada decade berikutnya mengembangkan

suatu media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini

(Dexter Culture). Media ini mengaitkan juga pentingnya LMH sedemikian

sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan long term culture

initiating Cell (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan

mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis

yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau disebut juga Colony

Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel

bakal darah untuk terus berproliferasi dan berdiferensiasi sesuai jalur

turunannya (lineage)nya. Sel induk pluripoten mempunyai penanda

imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan yang mengarah ke

suatu jalur turunan yang lain. 4,5

6
2. Sel bakal terkait tugas (SBTT) atau Commited Progenitor Hemopoetic

Cells

Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH berupa

faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdiferensiasi

menjadi sel-sel bakal darah terkait tugas (SBTT) yang berfungsi

menurunkan turunan-turunan sel-sel darah, yaitu jalur-jalur turunan myeloid

dan makrofag yang disebut colony forming unit granulocyte, eritrosit,

megakariosit, monosit (CFU-GEMM), dan jalur turunan limfosit (Lymphoid

Progenitor cells = LPC). 4,5

Sel bakal terkait tugas (CFU-GEMM) ini distimulasi oleh GEMM-

CSF untuk berfiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg, dan CFU-E.

seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF; GM-CSF; dapat menstimulasi CFU-

G dan CFU-MK menjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel matur).4,5

3. Sel-sel darah dewasa

Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eusinofil,

basofil, neutrofil), golongan-golongan monosit/ makrofag, trombosit,

eritrosit dan limfosit B dan T.

Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur denga kompartemen II

yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan

matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang. Stroma terdiri atas

bermacam-macam subkompartemen yaitu fibroblast, adiposit, matriks

7
ekstraseluler, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat

menghasilkan macam-macam zat yang dapat menstimulasi pertumbuhan

sel-sel induk, sel-sel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini

dinamakan colony stimulating factor (CSF) ataupun juga Hemopeotic

Growth Factor (HGF). CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte

disebut granulocyte stimulating factor (G-CSF), sedangakan yang monosit

dan makrofad disebut Monocyte/macrophag Colony Stimulating Factors

(M-CSF).4,5

Stroma yang terdiri dari fibroblast, monosit, makrofag, endotel dan

sebagainya itu disebut sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi

jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi sel-sel

induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih dipersemaian. Kalau

stroma atau LMH ini rusak atau mengalami difesiensi makan pertumbuhan

sel akan terganggu.4,5

Gambar 1. Stem Cell darah.4

8
D. Definisi

Anemia Fanconi adalah sindrom gagal sumsum tulang bawaan yang

ditularkan melalui mode autosomal dan X-linked. Anemia Fanconi

dikaitkan dengan kelainan bawaan, ketidakstabilan genom, dan

kecenderungan kanker. Pendekatan komplemen genetik dan fungsional telah

membantu mendefinisikan 16 produk gen yang bekerja sama dalam jalur

molekuler yang disebut jalur Anemia Fanconi. Jalur Anemia Fanconi ini

diaktifkan sebagai respons terhadap stres seluler yang menyebabkan

gangguan dalam proses replikasi atau transkripsi. Mutasi pada salah satu

gen Anemia Fanconi ini menyebabkan fitur klinis karakteristik Anemia

Fanconi, dengan gagal sumsum tulang merupakan manifestasi paling

umum.6

E. Epidemiologi

Insiden anemia fanconi adalah sekitar tiga per satu juta dan frekuensi

heterozigot diperkirakan 1 banding 300 di Eropa dan Amerika Serikat.

anemia fanconi telah dilaporkan dalam banyak kelompok etnis dan mutasi

pendiri telah dideskripsikan pada Yahudi Ashkenazi, yang memiliki

frekuensi pembawa kira-kira 1 dalam 89, dan Afrikaner di mana frekuensi

pembawa diperkirakan 1 dalam 83.7

Anemia fanconi adalah kondisi yang sangat heterogen secara klinis

dan pasien dapat memiliki berbagai kelainan seperti pada tabel berikut:

9
F. Etiopatofisiologi

Produk-produk dari setidaknya 16 gen yang berhubungan dengan

anemia fanconi/ Fanconi anemia (FA) berinteraksi dalam respons terpadu

yang terungkap dalam sel setelah terpapar dengan kerusakan DNA, yaitu,

“jalur respons kerusakan DNA” (Gambar 2). Karena jalur ini mencakup

dua gen utama yang berhubungan dengan kanker payudara, BRCA1 dan

BRCA2 / FANCD1, jalur ini akan disebut di sini sebagai jalur FA / BRCA.8

Model yang disederhanakan untuk peran protein FA dalam respons

kerusakan DNA terhadap hubungan silang interstrand pada garpu replikasi

yang terhenti ditunjukkan pada Gambar 2. Setelah FANCM dan protein

terkait FA FAAP24 mendeteksi kerusakan DNA, protein yang dihasilkan

dari delapan gen FA (FANCA / B / C / E / F / G / L / M) membentuk

kompleks inti FA, yang memfasilitasi aktivasi jalur. oleh

monoubiquitination dari protein FANCD2 dan FANCI. Kedua protein yang

diaktifkan ini mengikat untuk membentuk dimer (ID2), yang menstabilkan

10
garpu replikasi yang terhenti dan kemudian berinteraksi dalam fokus

perbaikan nuklir dengan produk gen FA hilir dalam jalur perbaikan

kerusakan DNA FA / BRCA. Perbaikan kerusakan kemudian dicapai oleh

protein FA akhir bekerjasama dengan protein dari jalur perbaikan DNA

lainnya. alur FA / BRCA telah dijelaskan hampir seluruhnya melalui studi

genetika FA dan oleh studi biokimiawi dalam sel FA. Selain itu, mutasi

garis kuman (diwariskan) pada setidaknya enam gen FA hilir, FANCD1 /

BRCA2, FANCJ / BRIP1, FANCN / PALB2, FANCO / RAD51C, FANCP

/ SLX4, dan FANCQ / XPF, telah dikaitkan dengan kanker payudara /

ovarium, pankreas, dan kanker lainnya pada individu heterozigot. Pada

orang-orang ini, hilangnya alel tipe-liar kedua terjadi selama masa hidup

mereka dalam sel somatik (non-reproduksi) dan selanjutnya menyebabkan

transformasi ganas (kanker). 8

Gambar 2. Jalur respons kerusakan DNA, yang menghubungkan jalur


FA dan BRCA. 8

11
G. Manifestasi Klinis

Gambaran umum dan gejala yang berhubungan dengan anemia

Fanconi yaitu sebagai berikut:9

1. Prevalensi kelahiran 0,5-2,5 per 105 bayi baru lahir; bervariasi

dengan latar belakang etnis.

2. Mode pewarisan Autosom resesif (> 98%) dan X-linked (-

21-2%)

3. Frekuensi Karir Perkiraan keseluruhan: "1/300 di seluruh

dunia." Diperlukan penilaian ulang

menurut subtipe dan latar belakang etnis.

4. Kelainan congenital Kelainan sinar radial (jari-jari aplastik atau

hipoplastik dan ibu jari tidak ada atau

ekstra) dan kelainan tulang lainnya;

lingkar kepala kecil; bentuk telinga yang

tidak normal; mikrofthalmia; ginjal

ektopik atau sepatu kuda; hipogonadisme;

kelainan jantung; atresia usus atau anal.

5. Kelainan somatik lainnya Perawakan pendek / pertumbuhan

terbelakang; berkurangnya kesuburan;

kelainan pigmentasi kulit

(hiperpigmentasi, bintik-bintik cafe-au-

lait); ketulian. Endokrinopati

mempengaruhi pankreas (diabetes

12
mellitus), defisiensi hormon pertumbuhan,

dan hipotiroidisme; menopause dini.

6. Hematological symptoms Kegagalan sumsum tulang atau anemia

aplastik biasanya dimulai pada 5-10 tahun

dengan trombositopenia. Pengecualian:

pasien D1 dan N dapat meninggal sebelum

usia itu karena AML atau tumor padat

masa kanak-kanak lainnya (seperti

medullo atau nephroblastoma).

7. Resiko kanker 00 kali lipat peningkatan risiko AML,

sebagian besar terjadi pada usia 5-15

tahun, biasanya setelah timbulnya sumsum

tulang. Pada usia yang lebih tua ada

peningkatan risiko yang sama untuk tumor

padat, terutama karsinoma kepala dan

leher atau kerongkongan, serta pada

wanita, vulva dan vagina. Pasien D1 dan N

biasanya mengalami keganasan

selama anak usia dini (<5 tahun).

8. Sindrom yang tumpang sindrom gagal sumsum tulang bawaan:


tindih
Dyskeratosis congenita, Anemia Berlian-

Blackfan, sindrom Shwachman-Diamond,

neutropenia kongenital berat, sindrom

13
trombositopenia absen jari-jari (TAR),

trombositopenia amegakaryocytic.

Sindrom tumpang tindih lainnya: sindrom

Baller-Gerold, sindrom kerusakan

Nijmegen, sindrom Rothmund-Thomson,

sindrom Roberts, sindrom Kerusakan

Warsawa, DK-phocomelia, sindrom

hydrocephalus VACTERL, sindrom

Wiskott-Aldrich.

Gambar 3. Foto anak laki-laki 10 tahun dengan anemia Fanconi menunjukkan


tidak adanya jari-jari dan ibu jari di kanan, ibu jari hipo-plastik di tangan kiri dan
hypo-genitalimus.10

14
H. Diagnosis

Setiap dokter yang mencurigai bahwa seorang pasien mungkin

menderita anemia Fanconi (FA) harus merujuk pasien ke ahli hematologi

dan / atau ahli genetika, yang dapat mengatur pengujian diagnostik.

Laboratorium harus diakreditasi dan disertifikasi untuk melakukan

pengujian FA untuk perawatan klinis, dan harus mengevaluasi banyak

pasien dengan dan tanpa FA. Mengevaluasi sejumlah besar pasien

memungkinkan laboratorium untuk memvalidasi prosedur pengujian FA-

nya, dan untuk menetapkan rentang untuk hasil tes normal dan abnormal. 8

1. Chromosome breakage test

Tes pertama yang harus digunakan untuk mendiagnosis (anemia

Fanconi) FA adalah tes kerusakan kromosom, yang dilakukan pada sampel

darah pasien di laboratorium sitogenetika klinis. Langkah awal melibatkan

pembiakan sampel darah pasien dengan zat kimia yang dikenal sebagai

mitogen sel-T, yang merangsang limfosit (sejenis sel darah putih) untuk

membelah. Selanjutnya, biakan diperlakukan dengan bahan kimia yang

dikenal sebagai agen penghubung silang DNA, seperti mitomycin C (MMC)

dan / atau diepoxybutane (DEB). Akhirnya, jenis dan tingkat kerusakan dan

penataan ulang yang ditemukan dalam kromosom sel dievaluasi. Sel-sel

normal dapat memperbaiki sebagian besar kerusakan kromosom yang

disebabkan oleh agen penghubung-silang DNA, sedangkan sel-sel dari

pasien-pasien dengan FA biasanya menunjukkan beberapa kerusakan

kromosom dan penataan ulang per sel, termasuk penataan ulang yang

15
kompleks seperti gambar radial. Sebagaimana dirinci oleh pedoman

American College of Medical Genetics untuk laboratorium sitogenetik,

laporan hasil tes harus mencakup tingkat kerusakan dan penataan ulang,

serta distribusi kerusakan kromosom di antara sel-sel atau jumlah rata-rata

penyimpangan per sel dengan dan tanpa angka radial. Selanjutnya, semua

tes harus mencakup setidaknya dua kultur independen (mis., sampel yang

diperlakukan dengan konsentrasi MMC yang berbeda, atau satu sampel

yang diperlakukan dengan MMC dan yang kedua dengan DEB, atau

kombinasi lain yang relevan) untuk menunjukkan bahwa hasilnya dapat

diandalkan. Karena beberapa spesimen pasien akan memiliki jumlah sel

darah putih yang sangat rendah, mungkin tidak mungkin untuk membuat

dua kultur untuk tes yang diberikan. Dalam kasus tersebut, spesimen kedua

harus diperoleh dari pasien, jika mungkin, untuk mengkonfirmasi temuan

yang diperoleh dari kultur pertama.

2. Analisis mutasi gen

Jika hasil dari tes kerusakan kromosom adalah positif, maka analisis

mutasi harus dilakukan untuk mengidentifikasi mutasi genetik spesifik yang

telah menyebabkan pasien untuk mengembangkan FA. Mengidentifikasi

mutasi sangat berharga karena alasan berikut:

a. Ini memungkinkan pengujian mutasi khusus anggota keluarga, dan

memungkinkan diagnosis akurat dari individu yang hanya memiliki satu

salinan gen FA yang termutasi (misalnya, orang tua pasien FA) dan

yang tidak memiliki temuan klinis FA, serta diagnosis individu yang

16
memiliki dua salinan gen FA bermutasi (misalnya, pasien) dan

memanifestasikan, atau akan diharapkan untuk memanifestasikan,

temuan klinis FA. Informasi ini memungkinkan manajemen medis yang

tepat dan konseling genetika terfokus.

b. Dapat digunakan untuk skrining pra-nikah, diagnosis prenatal, dan

diagnosis genetik preimplantasi.

c. Ini membantu genotipe akurat dari donor potensial sumsum tulang,

seperti saudara kandung yang tampaknya tidak memiliki FA, sehingga

setiap individu yang memiliki FA yang tidak terdiagnosis tidak akan

digunakan sebagai donor.

d. Memungkinkan pasien yang secara klinis baik dipantau secara ketat

untuk potensi pengembangan anemia aplastik, sindrom mielodisplastik,

leukemia, atau tumor padat.

e. Ini memberikan informasi yang menentukan prospek masa depan pasien

untuk terapi farmakologis atau gen.

3. Analisis kromosom tulang belakang

Setelah diagnosis FA, kromosom sel sumsum tulang pasien harus

dianalisis menggunakan Giemsa banding (G-banding; teknik sitogenetika

yang menandai kromosom dengan pita berwarna dan digunakan untuk

memperoleh pola pewarnaan yang unik dan khas dari masing-masing

kromosom) untuk menentukan apakah klon dengan kelainan kromosom

yang diperoleh ada, dan jika demikian, untuk mengkarakterisasi kelainan

17
yang diamati. Secara khusus, analisis G-banding dapat mendeteksi kelainan

kromosom klon yang diperoleh oleh subset sel sumsum tulang. duiline

Pedoman untuk analisis kromosom untuk kelainan yang didapat

ditentukan dalam edisi 2009 (revisi Januari 2010) Standar dan Pedoman

untuk Laboratorium Genetika Klinik oleh American College of Medical

Genetics. Setidaknya 20 sel yang berbeda dalam tahap metafase dari siklus

sel harus dianalisis menggunakan G-banding, dengan tindak lanjut dan

penyaringan sel tambahan yang diperlukan. Kromosom dari sel normal dan

abnormal harus didokumentasikan dengan karyogram (gambar digital atau

foto kromosom, dengan masing-masing pasangan kromosom sejajar dalam

urutan numerik dari 1 - 22, XX atau XY). Hasilnya harus dirangkum

menggunakan nomenklatur standar yang ditemukan dalam versi terbaru dari

Standar Internasional untuk Sitogenetik

Nomenklatur (ISCN).

Gambar 4. Diagram pemeriksaan untuk menegkkan diagnosis anemia


fanconi. 8

18
I. Penatalaksanaan

1. Administrasi androgen

Androgen adalah hormon pria yang merangsang produksi jumlah sel darah

merah, trombosit, dan sel darah putih pada beberapa pasien FA.

Oxymetholone, androgen 17-alkilasi adalah androgen yang paling umum

digunakan dalam pengobatan pasien FA. Gunakan salah satu dari banyak

risiko. Androgen tidak bisa menyembuhkan secara permanen, tetapi hanya

memperpanjang usia pasien. espon pasien terhadap androgen hanya jika

pengobatan dimulai pada tahap awal. Meskipun 70% pasien merespons

androgen, responsnya lambat, tergantung obat dan tidak lengkap.

Keterbatasan lain termasuk beberapa efek samping seperti maskulinisasi,

jerawat, percepatan pertumbuhan dan penutupan epifisis prematur dan risiko

tumor hati.11

2. Hematopoietic growth factors

Faktor pertumbuhan hematopoietik (HGFs) berikatan dengan afinitas

tinggi terhadap reseptor spesifik yang diekspresikan pada permukaan sel

target dan merangsang stem hematopoietik primitif dan sel progenitor serta

mengaktifkan beberapa sel dewasa. Beberapa faktor pertumbuhan seperti

rekombinan (rh) inter-leukin (IL) -3 dan faktor perangsang koloni

granulosit-makrofag (rhGM-CSF), faktor penstimulasian granulosit (rhG-

CSF), telah digunakan dalam uji coba pada manusia dengan pasien FA.

Pemberian rhGM-CSF meningkatkan jumlah neutrofil pada sebagian besar

pasien pansitopenik, tetapi jumlah trombosit dan konsentrasi hemoglobin

19
umumnya tidak terpengaruh. Dengan demikian, terapi rhGMCSF dapat

digunakan untuk menstabilkan komplikasi neutropenia penyakit. Sebuah

studi pada model fancc - / - mouse menunjukkan bahwa penggunaan jangka

pendek G-CSF baik sendiri atau dalam kombinasi dengan erythropoietin

meningkatkan jumlah darah perifer dan menunda mitomycin C (MMC)

yang diinduksi kegagalan sumsum tulang, tetapi pemberian jangka panjang

menyebabkan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap MMC dan

hipoplasia sumsum tulang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa FANCC

berikatan dengan STAT1 dan memfasilitasi aktivasi oleh gamma interferon

dan faktor pertumbuhan hematopoietik. 11

3. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang (BMT) atau HSCT adalah satu-satunya

terapi kuratif untuk kegagalan sumsum pada pasien FA. Upaya awal dengan

BMT untuk pengobatan kegagalan sumsum memiliki keberhasilan yang

terbatas karena toksisitas regimen terkait yang berlebihan, kegagalan

cangkok, dan penyakit graft-versus-host (GVHD) akut yang parah

menyebabkan angka kematian yang tinggi. Ada juga risiko mengembangkan

tumor padat pada tahap selanjutnya setelah transplantasi sel induk

hematopoietik. Karena sel FA hipersensitif terhadap DNA lintas agen

penghubung, pasien FA menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap

paparan terhadap penggunaan siklofosfamid (CY) atau iradiasi. Jadi

kemoterapi dan rejimen radiasi yang berbeda diusulkan untuk menurunkan

efek samping dalam pengobatan BMT pada pasien FA. siklofosfamid dosis

20
rendah dan iradiasi thoracoabdominal digunakan sebagai rejimen

pengkondisian untuk pasien FA untuk pengobatan BMT. Penggunaan

siklofosfamid dosis rendah dan iradiasi thoracoabdominal juga didukung

oleh penelitian lain di mana 58% kelangsungan hidup pasien di atas 100

tahun bulan dilaporkan. 11

Tingginya tingkat kegagalan cangkok terjadi pada pasien dengan

mosaik sel T dan rejimen terapi standar yang terdiri dari cyclophosphamide

(CY), total penyinaran tubuh (TBI), dan anti-thymocyte globulin (ATG)

tidak cukup untuk membasmi sel T yang resistan terhadap DEB. Studi lebih

lanjut mengkonfirmasi bahwa penggunaan fludarabine dalam terapi

persiapan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup keseluruhan pasien

yang menjalani BMT. Penambahan fludarabine dalam rejimen terapi juga

dilaporkan untuk mengatasi frekuensi penolakan cangkok yang tinggi

karena ablasi limfosit yang resisten terhadap DEB yang tidak lengkap pada

pasien FA mosaik somatik. Itu juga menunjukkan bahwa dalam kasus yang

tidak terkaitdonor BMT, di mana GVHD adalah batasan utama, terapi

kombinasi rejimen persiapan berbasis fludarabine dan penipisan sel T

mengurangi risiko GVHD dan meningkatkan kelangsungan hidup secara

keseluruhan. Karena GVHD telah dikaitkan dengan peningkatan risiko

keganasan pada pasien, strategi untuk mengurangi risiko GVHD dan

meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan telah dikembangkan.

Dalam upaya untuk mengurangi risiko dan tingkat keparahan toksisitas

terkait rejimen, Pasquini dan kelompok pada 2008 mempelajari hasil HSCT

21
pada 148 pasien FA setelah rejimen iradiasi dan non-iradiasi dan

menemukan bahwa pemulihan hematopoietik, GVHD akut dan kronis dan

mortalitas serupa pada kedua rejimen. Gluckman dan Wagner dalam ulasan

baru-baru ini telah mengusulkan bahwa transplantasi sel induk

hematopoietik kandung HLAidentical harus dilakukan sebagai terapi lini

pertama, tanpa terlebih dahulu menggunakan androgen atau kortikosteroid

karena efek sampingnya. Mereka juga mengusulkan bahwa rejimen

pengkondisian terbaik adalah kombinasi rejimen yang mengandung

fludarabine dengan cyclophosphamide (CY) dosis rendah atau Bu dan

antithymocyte globulin (ATG). 11

4. Terapi gen

Kelompok Kerja Terapi Gene FA Internasional telah mengusulkan

strategi optimal untuk melakukan uji klinis terapi gen sel punca di FA.

Kelompok tersebut telah merekomendasikan vektor lentiviral yang

diturunkan secara langsung oleh HIV-1 sebagai vektor yang paling cocok

untuk uji klinis tahap I awal untuk koreksi gen pada anemia fanconi. Untuk

terapi gen FANCA, promotor Phosphoglycerate kinase (PGK) dalam

kombinasi dengan optimalisasi vektor lentiviral berbasis virus woodchuck

hepatitis posttranscriptional regulatory element (WPRE) berguna karena

kombinasi memastikan ekspresi transgen yang stabil dan genotoksisitas

rendah. Kelompok ini menyarankan penggunaan cangkok murni dari

sumsum tulang FA, atau memobilisasi sel darah tepi dan merekomendasikan

untuk panen hematopoetik pada tahap awal penyakit untuk mendapatkan

22
jumlah yang cukup dari sel batang / nenek moyang hematopoietik. Kriteria

inklusi dan eksklusi utama untuk uji klinis terapi gen pada pasien dengan

mutasi garis kuman FANCA bialleleic juga diusulkan. Melakukan protokol

terapi gen multi-pusat menggunakan desain ini selanjutnya akan

memberikan kerangka kerja untuk membangun uji klinis generasi

berikutnya menggunakan berbagai modifikasi. 11

J. Diagnosis Banding

1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH).

PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya

hemoglobinuria dengan trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien

anemia aplastik berkembang menjadi PNH. Hal itu menunjukkan

kemungkinan anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH.

Diagnosis PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen

CD59 sel dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji

urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu gejala

PNH.2

2. Myelodisplastic syndrome(MDS)

MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell yang

terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari sumsum

tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia,

disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia.

Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular,

walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk

23
membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk menentukan

manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan MDS hiposelular adalah

adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya abnormalitas pada

tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS juga

mungkin ditemukan adanya cincin sideroblas (akumulasi besi pada

mitokondria). 2

3. Myelofibrosis.

Ada 2 ciri utama myelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis

dan fibrosis sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis menyebabkan

hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum

tulang menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan terjadinya

peningkatan jumlah megakaryocytes. 2

4. Aleukemic leukemia

Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki cirri kehilangan

sel blast pada darah tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari

semua penderita leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat

muda atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy

menunjukkan sel blast. 7897..

5. Pure red cell aplasia.

Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit

yang ditandai dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang dari

1%, dan sumsum tulang yang normoselular mengandung kurang dari 0,5%

eritroblast. Untuk penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala

24
sitopenia seperti leukemia dapat dibedakan yang pada leukemia ditemukan

tidak selalu adanya penurunan WBC. Kadar WBC pada leukemia dapat

normal, turun, atau meningkat. 2

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawan, Hendry. 2013. Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak.

Kalbemed. Volume 40 (6). Halaman 422-424.

2. Thaha., Wiradewi Lestari., I Wayan Putu Sutirta Yasa. 2012. Diagnosis,

Diagnosis Differensial dan Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi

Sumsum Tulang pada Pasien Anemia Aplastik. Bagian Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Price S., Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

edisi 6. 2012. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Halaman 245-279.

4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke Sistem. Penerbit Buku

Kedokteran. 2013. Halaman 415-440.

5. Setiati Siti, et al. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. 2014.

Halaman 2571.

6. Huard, caroline., et al. 2013. The Fanconi anemia pathway has a dual

function in Dickkopf-1 transcriptional repression. PNAS. Volume 111(6).

Halaman 2152–2157.

7. Tischkowitz., S V Hodgson. 2003. Fanconi anaemia. J Med Genet.

Halaman 1-10.

8. Hays, Laura. 2014. Fanconi Anemia: Guidelines for Diagnosis and

Management. Research Fund, Inc.

9. Oostra, Anneke B., et al. 2012. Diagnosis of Fanconi Anemia:

Chromosomal Breakage Analysis. Hindawi Publishing Corporation.

26
10. M, Fatih., et al. 2010. Fanconi Anemia: 29 Years Experience in a Single

Center. International Journal of Hematology and Oncology. Volume 20 (4).

Halaman 201-205.

11. Shukla, Pallavi., et al. 2012. Current and emerging therapeutic strategies

for Fanconi anemia. The HUGO Journal. Volume 6(1). Halaman 1-8.

27

Anda mungkin juga menyukai