Anda di halaman 1dari 17

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Analitik I dengan judul percobaan


“Iodometri dan Penentuan Kadar Cu ” oleh :
Nama : Nila Ardia Cahyani
Nim : 1613042005
Kelas/kelompok : Pendidikan Kimia A/ IV (empat)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator Asisten, maka laporan
ini dinyatakan telah diterima.

Makassar, November 2017


Koordinator Asisten Asisten

Sakinah Seh Alydrus Nurul Ilmi


NIM. 13131441017 NIM. 1413441013

Mengetahui,
Dosen Penanggungjawab

Drs. H. Alimin, M.Si


NIP. 19600815 1986001 1 002
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Analitik I dengan judul percobaan


“Iodometri dan Penentuan Kadar Cu ” oleh :
Nama : Nila Ardia Cahyani
Nim : 1613042005
Kelas/kelompok : Pendidikan Kimia A/ IV (empat)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator Asisten, maka laporan
ini dinyatakan telah diterima.

Makassar, November 2017


Koordinator Asisten Asisten

Sakinah Seh Alydrus Nurul Ilmi


NIM. 13131441017 NIM. 1413441013

Mengetahui,
Dosen Penanggungjawab

Drs. H. Muh. Yunus, M.Si


NIP. 19651231 198903 1 0017
A. JUDUL PERCOBAAN
Iodometri dan Penentuan Kadar Cu
B. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah melakukan percobaan ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengetahui pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya
2. Menentukan kadar Cu dalam CuSO4
C. LANDASAN TEORI
Titrasi dapat diartikan sebagai pengukuran volume suatu larutan
dari suatu reaktan yang dibutuhkan untuk bereaksi sempurna dengan sejumlah
tertentu reaktan lainnya. Seringkali titrasi digunakan untuk mengukur volume
larutan yang ditambahkan pada suatu larutan yang telah diketahui volumenya.
Biasanya konsentrasi dari salah satu larutan dikenal sebagai larutan standar,
telah diketahui dengan tepat. Setiap metode titrasi selalu terjadi reaksi kimia
antara komponen analit dengan titrant yang dinyatakan dengan persamaan
umum:
aA + tT produk
“a” adalah jumlah mol analit (A) yang akan bereaksi stoikiometri dengan “t”
mol titrant (T) atau “a” dan “t” menggambarkan koefisien reaksi dalam
persamaan reaksi setaranya. Analit adalah komponen dari suatu larutan
sampel yang hendak ditetapkan berapa kuantitasnya, sedangkan titran adalah
larutan standar yang telah diketahui dengan tepat berapa konsentrasi dari
larutannya ( Ibnu, 2004: 93-100).
Titrasi iodometri adalah salah satu jenis titrasi redoks yang
melibatkan iodium. Titrasi iodometri termasuk jenis titrasi tidak langsung
yang dapat digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai
potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium iodide atau
senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Berbeda
dengan titrasi iodometri yang mereaksikan sampel dengan iodium, maka pada
proses iodometri ini, sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan KI
berlebih dan akan menghasilkan I2 yang selanjutnya ditirasi dengan larutan
baku natrium tiosulfat (Na2S2O3). Banyaknya volume Na2S2O3 yang
digunakan titran setara dengan banyaknya sampel (Asip, 2013: 24-25).
Menurut Cairns (2004: 139) titrasi redoks adalah titrasi yang
melibatkan proses oksidasi dan reduksi. Kedua proses ini selalu terjadi
secaraan, bersama dan merupakan bagian yang sangat penting dalam ilmu
kimia. Segala sesuatunya, mulai dari reaksi ionik yang sederhana hingga pada
proses pembentukan energi didalam mitokondria manusia, bergantung pada
kedua proses ini.
a. Oksidasi didefinisikan sebagai hilangnya hidrogen, atau perolehan
oksigen, atau hilangnya elektron
b. Reduksi didefinisikan sebagai perolehan hidrogenm atau hilangnya
oksigen, atau perolehan elektron.
Sistem redoks iodin (triiodida)-iodida,
I3- + 2e 3I-
mempunyai potensial standar sebesar +0,54V. Karena itu iodin adalah sebuah
agen pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada kalium permanganat,
senyawa serium (IV), dan kalium dikromat. Di lain pihak, ion iodida adalah
agen pereduksi yang termasuk kuta, lebih kuat, sebagai contoh, daripada ion
Fe(II). Dalam proses-proses analitik, iodin digunakan sebagai sebuah agen
pengoksidasi (iodometri), dan iodida dipergunakan sebagai sebuah agen
pereduksi (iodometri). Dapat dikatakan bahwa hanya sedikit saja substansi
yang cukup kuat sebagai unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin.
Karena itu jumlah dari penentun-penetuan iodometrik adalah sedikit. Namun
demikian, banyak agen pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara
lengkap dengan ion iodida, dan aplikasi proses iodometrik cukup banyak.
Kelebihan dari ion iodida ditambahkan kedalam agen pengoksidasi yang
sedang ditentukan, membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan
larutan natrium tiosulfat (Day, 2002: 296).
Menurut Pursitasari (2014: 175-176) iodin (I2) sukar larut dalam
air, namun mudah larit dalam larutan yang megandung ion iodida membentuk
triiodida (I3-). Kelarutannya dapat ditingkatkan dengan menambahkan kalium
iodida. Penambahan kalium iodida juga dapat mengurangi sifat mudah
menguap dari iodin. Iodin merupakan oksidaor yang lebih lemah daripada
kalium permanganat dan kalium dikromat. Analisis titrimetri yang melibatkan
iodin dibedakan menjadi dua yaitu titrasi iodometri langsung dan titrasi
iodometri tidak langsung.
a. Titrasi iodometri langsung (iodimetri)
Iodometri langsung merupakan titrasi terhadap larutan analit
dengan larutan iodin sebagai larutan strandar (titran) menggunakan indikator
amilum.
b. Titrasi iodometri tak langsung (iodometri)
Iodometri tak langsung meruapakan titrasi terhadap larutan analit
dengan larutan natrium tiosulfat sebagai larutan standar (titran) menggunakan
indikator amilum. Banyak indikator kuat yang dianalisis dengan
menambahkan sejumlah tertentu kalium iodida berlebih dan menitrasi iodin
yang dibebaskan dengan laritan natrium tiosulfat.
Kelemahan dari titrasi iodometri adalah: (1) larutan ido adalah
oksidator lemah, tak stabil karena mudah menguap; (2) dapat mengoksidasi
karet, gabus, dan zat- zat organik lainnya; (3) dipengaruhi oleh udara serta (4)
tidak dapat dilakukan pada suasan basa, yakni pada pH > 9. Perbedaan yang
lain dari iodometri dan iodimetri adalah pada iodometri perubahan warna
pada titik ekivalen (TE) dari biru menjadi tak berwarna, sedangkan pada
iodimetri perubahan wara pada titik ekivalen (TE) dari tak berwarna menjadi
biru (Ibnu, 2004: 120-121).
Larutan-larutan iodin standar dapat dibuat melalui penimbngan
langsung iodin murni dengan pengenceran dalam sebuah labu volumetrik.
Iodin akan dimurnikan oleh sublimasi dan ditambahkan kedalam sebuah
larutan KI yang terkonsentrasi, yang ditimbang secara akurat sebelum dan
sesudah penambahan iodin. Namun demikian, biasanya larutan tersebut
distandarisasi terhadap sebuah standar primer, AS2O3 paling sering
dipergunakan. Kekuatan reduksi HAsO2 tergantung pada pH, seperti yang
ditunjukan oleh persamaan dibawah:
HAsO2 + I2 + 2H2O H3AsO4 + 2H+ + 2I-
nilai konstanta keseimbangan untuk reaksi ini adalah 0,17 karena itu reaksi
ini tdak berjalan sampai selesai pada titik ekuivalen.namun, jika konsentrasi
ion hidrogen diturunkan, reaksi dipaksa bergeser kenanan dan dapat dibuat
cukup lengkap sehingga bisa digunakan untuk titrasi. Biasanya lurutannya
disangga pada pH sedikit diatas 8, dengan menggunakan natrium bikarbonat
dan titrasi akan memberi hasil yang sempurna (Day, 2002: 296-297).
Menurut Khopkar (1990: 59-60) terdapat beberapa pilihan reaksi
iodometrik, diantaranya:
a. Reaksi iodium- tiosulfat. Jika larutan iodium dalam larutan KI pada
suasana netral maupun asam ditirasi maka menghasilkan reaksi berlangsung
dibawah pH = 5, sedangkan pada larutan alkali larutan asam hypoiodus (HOI)
terbentuk.
b. Reaksi denga tembaga. Kelebihan KI berekasi dengan Cu (II) untuk
membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen.
c. Oksigen terlarut. Dengan menggunakan metode Winkler, oksigen terlarut
(DO) dapat ditentukan.
d. Air dengan metode Karl Fischer. Ini meliputi titrasi sampel dalam metanol
tidak berair dengan dengan reagen yang terbuat dari I2. SO2, dan piridin dalam
metanol.
Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I,
yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula- mula
coklat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning, kuning- muda, dan
seterusnya sampai akhirnya lenyap. Amilum dengan I2 membentuk suatu
kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas. Penambahan amilum ini
harus menunggu sampai mendekati titik akhir titrasi (bila iod suad tinggal
sedikit yang tampak dari warnanya yang kuning- muda). Maksudnya adalah
agar amilum tidak membungkus iod dan menyebabkannya sukar lepas
kembali. Hal itu akan membuat warna biru akan sulit sekali lenyaap sehingga
titik akhir titrasi tidak kelihatan tajam lagi. Bila iod masih banyak sekali
bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini menggangu
perubahan warna pada titik akhir (Harjadi, 1993: 212-213).
Zat yang akan ditentukan direaksikan dengan iod iodida biasanya
digunakan larutan KI berlebih. Zat oksidator direduksi dengan membebaskan
I2 yang jumlahnya ekuivalen. I2 kemudian dititrasi dengan S2O42- sehingga
terjadi reaksi sebagai berikut:
I2 + 2 S2O42- 3 I- + S2O62-
Larutan baku iod dapat dibuat dari unsur murninya. Standarisasi dapat
dilakukan dengan asam arsenic (H3AsO3) sebagai standar primernya. Larutan
iod adalah oksidator lemah, tak stabil karena mudah menguap, dapat
mengoksidasi karet, gabus, dan zat-zat organic lainnya dan dipengaruhi oleh
udara dengan reaksi sebagai berikut:
4 I- + O 2 + 4 H + 2 I2 + 2 H2O
serta tidak dapat dilakukan pada suasana basa, yakni pH > 9 akan terjadi
reaksi
I2 + OH- HIO + 2 H2O
perbedaan yang lain dari iodometri adalah: dilihat pada iodometri yang terjadi
perubahan warna pada titik ekuivalen (TE) dari biru menjadi tidak berwarna,
sedangkan pada iodometri perubahan warna pada titik ekuivalen (TE) dari tak
berwarna menjadi biru (Ibnu, 2004: 120-121).
Penentuan kadar iodida secara spektrofotometri berdasarkan
pembentukan kompleks amilum-iodium menggunakan oksidator iodat
diperoleh bahwa untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan kompleks berwarna dan mencari ketepatan waktu pengukuran
absorbansi larutan kompleks amilum-iodium. Hasil penentuan pengaruh
konsentrasi iodida terhadap pembentukan kompleks iodium-amilum diperoleh
bahwa semakin banyak jumlah I- yang digunakan maka akan semakin
banyak kompleks amilumiodium yang terbentuk, sehingga reaksi akan
berjalan semakin cepat seiring dengan terbentuknya senyawa kompleks
amilum-iodium (Febrianti, 2013: 53-55).
D. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Erlenmeyer tutup asa 250 ml 6 buah
b. Gelas kimia 50 ml 1 buah
c. Pipet volum 25 ml 2 buah
d. Ball pipet 1 buah
e. Buret 50 ml 2 buah
f. Statif dan klem @2 buah
g. Gelas ukur 10 ml 1 buah
h. Gelas ukur 25 ml 1 buah
i. Gelas ukur 50 ml 1 buah
j. Corong biasa 1 buah
k. Botol semprot 1 buah
l. Pipet tetes 5 buah
m. Lap kasar 1 buah
n. Lap halus 1 buah
2. Bahan
a. Larutan kalium iodida (KI) 0,1 N
b. Larutan kalium iodida (KI) 1 N
c. Larutan sampel tembaga (II) sulfat (CuSO4)
d. Larutan kalium bikromat (K2Cr2O7) 0,1 N
e. Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
f. Larutan asam klorida (HCl) pekat
g. Indikator amilum (C6H10O5)n
h. Aquades (H2O)
i. Tissue
j. Label
E. PROSEDUR KERJA
1. Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 N dan Standarisasinya
a. Larutan Na2S2O3 diukur sebanyak 250 ml
b. Sebanyak 25 ml larutan standar K2Cr2O7 0,1 N (standra primer) di pipet dan
ditambahkan 6 ml HCl pekat dan 30 ml KI 0,1 N
c. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan tiosulfat standar dengan
menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang.
d. Dicatat volume titran yang digunakan
e. Cara kerja ke (b) dan (c) diulangi sebanyak 3 kali dan dicatat volume titran
rata- rata
f. Normalitas larutan standar dihitung dengan rumus sebagai berikut:
( V X N ) K 2Cr 2O 7
N tio =
V tio
2. Menentukan Cu dalam CuSO4
a. Diambil sebanyak 25 ml larutan sampel CuSO4 yang netral dan ditambahkan
25 ml KI 1 N
b. Dititrasi Iodium yang dibebaskan dengan larutan tio yang telah distandarisasi
dengan menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang
c. Dicatat volume titran yang digunakan
d. Diulangi titrasi sebanyak tiga kali dan dicatat volume titran rata-rata
e. Dihitung kadar Cu dalam sampel
( V X N ) tio
Kadar Cu = X BM Cu
V sampel
F. HASIL PENGAMATAN
1. Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 N dan Standarisasinya
Larutan K2Cr2O7 0,1 N 25 ml (kuning) + 6 ml HCl pekat (bening) → larutan
berwarna kuning + larutan KI 0,1 N (bening) → larutan berwarna coklat

pekat dititrasi dengan →Na2 S2 O 3 0,1 N larutan berwarna kuning + indikator

amilum (putih) → larutan berwarna hijau tua

dititrasi dengan Na2 S2 O 3 0,1 N larutan berwarna hiaju bening.



No. No. Titrasi ke- Volume Titrasi
1. I 28,4 ml
2. II 29,2 ml
3. III 29,2 ml
Volume rata-rata 28,93 ml
2. Menetapkan Cu dalam CuSO4
Larutan sampel CuSO4 25 ml (biru) + 25 ml larutan KI 1 M (bening) → larutan

berwarna kuning pekat dititrasi dengan →Na2 S2 O 3 0,1 N larutan berwarna kuning

kecoklatan + 3 tetes indikator amilum dititrasi dengan Na 2 S2 O 3 0,1 N larutan


berwarna putih susu


No. No. Titrasi ke- Volume Titrasi
1. I 23,8 ml
2. II 24,0 ml
3. III 24,0 ml
Volume rata-rata 23,93 ml
G. ANALISIS DATA
1. Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3)
Diketahui: N K2Cr2O7 = 0,1000 N
V K2Cr2O7 = 25 ml
V1 = 28,4 ml
V2 = 29,2 ml
V3 = 29,2 ml
Ditanyakan: V Na2S2O3 = ...........?
N Na2S2O3 = ……..?
Penyelesaian:
V1 + V2 + V3
V́ Na2S2O3 =
3
28 ,4 m l + 29,2 ml + 29,2 ml
=
3
= 28,93 ml
N K Cr O × V K Cr O
N Na2S2O3 =
2 2 7 2 2 7

V Na S O
2 2 3

0 ,1 000 N × 25 ml
=
28,93 m l
= 0,0864 N
2. Menetapkan Cu dalam CuSO4
Diketahui: N Na2S2O3 = 0,0864 N
BM Cu = 63,546 g/mol
V CuSO4 = 25 ml
V1 = 23,8 ml
V2 = 24,00 ml
V3 = 24,00 ml
Ditanyakan:
Kadar Cu = ……?
Penyelesaian:
V1 + V2 + V3
V Na2S2O3 =
3
23 , 8 m l + 2 4 m l + 24 ml
=
3
= 23,93 ml
( V X N ) Na2 S 2O 3
Kadar Cu = ×BM Cu
VCuSO X ekv Cu 4

23, 93 m l x 0, 0864 N
= ×63,546 m g/ m mol
25 ml X 2 mek/mmol
127 ,726 mg /ml
=
50
= 2, 554 mg/ml
H. PEMBAHASAN
Titrasi iodometri adalah salah satu jenis titrasi redoks yang melibatkan
iodium yang merupakan jenis titrasi tidak langsung yang dapat digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih
besar dari pada sistem iodium iodide atau senyawa-senyawa yang bersifat
oksidator seperti CuSO4.5H2O (Asip, 2013). Adapun prinsip dasar dari titrasi
iodometri yaitu didasarkan pada reaksi reduksi oksidasi (redoks). Sedangkan
prinsip kerjanya yaitu pencampuran, pengocokan, proses titrasi dan pengamatan.
Pada percobaan ini terdapat dua kegiatan yaitu standarisasi larutan natrium
tiosulfat (Na2S2O3) dan penentuan Cu dalam CuSO4.
1. Pembuatan Larutan Na2S2O3 dan Standarisasinya
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan normalitas dari larutan standar
natrium tiosulfat (Na2S2O3). Percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri
yang merupakan salah satu jenis titrasi redoks secara tidak langsung. Titrasi
iodometri dikatakan titrasi tidak langsung dikarenakan analat (K 2Cr2O7) tidak
langsung terlibat dalam tahap titrasi, melainkan analat direaksikan terlebih dahulu
dengan pereaksi yang jumlahnya berlebih (KI), lalu kemudian larutan baku
tersebut dititrasi (Harjadi, 1993: 125).
Pada percobaan ini larutan standar Na2S2O3 merupakan larutan standar
sekunder yang mana konsentrasinya dapat berubah-ubah, dikarenakan larutan
standar sekunder tidak stabil dalam penyimpanan. Untuk itulah dilakukan
standarisasi larutan standar natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan kalium
bikromat (K2Cr2O7) sebagai larutan standar primer untuk menentukan konsentrasi
larutan standar sekunder secara tepat. Larutan K2Cr2O7dalam percobaan ini
bertindak sebagai oksidator kuat yang mengoksidasi I- dan larutan Na2S2O3
bertindak sebagai reduktor lemah yang mereduksi Cr2O72-.
Percobaan ini dilakukan dengan terlebih dahulu menambahkan asam
klorida (HCl) pekat ke dalam larutan K2Cr2O7. Penambahan HCl pekat berfungsi
sebagai pemberi suasana asam sehingga reaksi berlangsung lebih cepat karena
iodida mudah dioksidasi dalam larutan asam menjadi iodin bebas. Kemudian
larutan campuran ditambahkan dengan larutan KI. Penambahan larutan KI
berfungsi sebagai zat pengoksidasi untuk membebaskan ion dari iodide . Adapun
reaksi yang terjadi yaitu:
K2Cr2O7 2 K+ + Cr2O72-
KI K + + I-
Oksidasi : 2I- I2 + 2e- x3
Reduksi : Cr2O72- + 14 H+ + 6e- 2 Cr3+ + 7 H2O x1
Cr2O72-+ 6 I-+ 14 H+2 Cr3++ 3 I2+ 7 H2O
Sehingga reaksi lengkapnya yaitu,
K2Cr2O7(aq) + 6 K (aq) + 14 HCl(aq)          8 KCl(aq) + 2 CrCl3(aq)+ 3 I2(aq)+ 7 H2O(l)
Larutan selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3.Penambahan
Na2S2O3 berfungsi untuk mereduksi iodida (I2) menjadi iodium (I-). Dalam
percobaan ini, indikator amilum ditambahkan ketika larutan yang dititrasi mulai
mendekati titik akhir titrasi, yang ditandai dengan larutan mulai berubah warna
menjadi kuning pekat. Pada percobaan ini digunakan indikator amilum karena
kemampuan amilum untuk mendeteksi adanya iod dan dapat menekan dengan
mudah iodida pada konsentrasi < 10-5 M. Penambahan amilum dilakukan pada
saat menjelang akhir titrasi, yang ditandai dengan warna larutan menjadi kuning
pekat. Hal ini dilakukan karena jika amilum ditambahkan pada awal titrasi maka
I2 akan teradsorbsi oleh amilum karena I2 terdisosiasi sangat lambat. Penambahan
amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik akhir titrasi (bila iod sudah
tinggal sedikit yang tampak dari warnanya yang kuning muda). Maksudnya ialah
agar amilum tidak membungkus iod dan menyebabkan sulit untuk lepas. Hal itu
akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak kelihatan
tajam lagi (Harjadi, 1993: 212). Akhir titrasi ditandai dengan hilangnya warna
biru dari indicator dan larutan berubah warna menjadi hijau bening. Adanya
perubahan warna menandakan bahwa semua iod yang dibebaskan telah bereaksi
dengan natrium tiosulfat. Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Na2S2O3 Na++S2O32-
KI K + + I-
Oksidasi : 2 S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2 I-
2 S2O32-+ I2 S4O62-+ 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya yaitu,
2Na2S2O3 (aq) + I2 (aq)             Na2S4O6 (aq) + 2 NaI(aq)
Proses titrasi diulangi sebanyak tiga kali, hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh data titrasi yang lebih akurat dan teliti. Hasil yang diperoleh dalam
percobaan ini yaitu larutan yang dititrasi berubah warna menjadi hijau bening dan
volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi pertama, kedua dan ketiga secara
berurutan yaitu 28,4 mL, 29, 2 ml dan 29,2 ml . Sehingga volume total Na2S2O3
yang digunakan sebesar 28,93 ml, serta diperoleh normalitasnya adalah sebesar
0,0864 N. Hal ini menandakan bahwa konsentrasi larutan standar Na 2S2O3berubah
atau tidak tetap setelah larutan Na2S2O3dipindahkan ke dalam buret, dari yang
awalnya konsentrasinya sebesar 0,1 N menjadi 0,0864 N setelah distandarisasi. Ini
membuktikan bahwa larutan Na2S2O3 sebagai larutan standar sekunder
konsentrasinya tidak stabil dalam penyimpanannya.
2. Penentuan Cu dalam CuSO4
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar Cu dalam larutan CuSO 4.
Percobaan ini dilakukan dengan menambahkan larutan KI ke dalam larutan
sampel yaitu larutan CuSO4, sehingga larutan berubah warna menjadi cokelat.
Penambahan KI bertindak sebagai zat yang akan mereduksi ion Cu 2+ menjadi Cu,
dan penambahan CuSO4 berfungsi sebagai oksidator dengan mengoksidasi I-
menjadi I2. CuSO4 mengalami reduksi menghasilkan tembaga (I) iodida.Dan
perubahan warna yang terjadi yaitu menandakan bahwa telah terjadi reaksi antara
KI dengan CuSO4. Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
CuSO4 Cu2+ + SO42-
KI K + + I-
Oksidasi : 2 I- I2 + 2e-
Reduksi : Cu2+ + 2e- Cu
Cu2++ 2 I- Cu + I2
Sehingga reaksi lengkapnya yaitu,
2 CuSO4 (aq)+ 4 KI(aq)                 2 K2SO4 (aq) + CuI(aq) + I2 (aq)
Larutan selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3. Dalam
percobaan ini, indikator amilum ditambahkan ketika larutan yang dititrasi mulai
mendekati titik akhir titrasi, yang ditandai dengan larutan mulai berubah warna
menjadi coklat susu. Pada percobaan ini digunakan indikator amilum karena
kemampuan amilum untuk mendeteksi adanya iod dan dapat menekan dengan
mudah iodida pada konsentrasi < 10-5 M. Penambahan indikator amilum tidak
dilakukan di awal titrasi, hal ini dimaksudkan karena kompleks amilum
-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya akan banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh
amilum jika ditambahkan pada awal titrasi. Dalam percobaan ini, proses titrasi
harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodida
oleh udara bebas. Dalam percobaan ini, akhir titrasi ditandai dengan hilangnya
warna biru pada saat penetesan indikator dan larutan berubah warna menjadi putih
susu. Adanya perubahan warna menandakan bahwa semua iod yang dibebaskan
telah bereaksi dengan natrium tiosulfat. Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Na2S2O3 Na+ + S2O32-
KI K + + I-
Oksidasi : 2 S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2 I-
2 S2O32-+ I2 S4O62- + 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya yaitu,
2Na2S2O3 (aq) + I2 (aq)             Na2S4O6 (aq) + 2 NaI(aq)
Proses titrasi diulangi sebanyak tiga kali, hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh data titrasi yang lebih akurat dan teliti. Hasil yang diperoleh dalam
percobaan ini yaitu larutan yang dititrasi berubah warna menjadi putih susu dan
volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi pertama, kedua dan ketiga secara
berurutan yaitu 23,8 ml, 24,0 ml dan 24,0 ml. Sehingga volume total Na2S2O3
yang digunakan sebesar 23,93 ml, serta diperoleh kadar Cu dalam larutan CuSO 4
sebesar 2,554 mg/ml. Hal ini menandakan bahwa dalam 25 mL larutan CuSO4
terdapat 2,554 mg/ml L Cu, artinya bahwa dalam 1 ml larutan sampel CuSO 4
terdapat 2,554 mg Cu.
I. KESIMPULAN & SARAN
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah:
a. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 dengan menggunakan larutan kalium
bikromat sebagai larutan standar primer. Normalitas larutan Na2S2O3yang
diperoleh sebesar 0,0864 N.
b. Penentuan kadar Cu dalam sampel CuSO4 diperoleh kadar Cu sebesar 2,554
mg/ml, yang artinya bahwa dalam 1 ml larutan sampel CuSO 4 terdapat 2,554
mg Cu.
2. Saran
Untuk praktikan selanjutnya, sebaiknya lebih teliti lagi dalam menitrasi
larutan, sehingga tidak terjadi kesalahan penambahan titran yang berlebih setelah
melewati titik akhir titrasi.
DAFTAR PUSTAKA

Asip, Faisol & Thomas Okta. 2013. Adsorbsi H 2S Pada Gas Alam Menggunakan
Membran Keramik Dengan Metode Titrasi Iodometri. Jurnal Teknik
Kimia, 4 (19).

Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Day, R.A. & A.L Underwood 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.

Febrianti, Sita., Hermin Sulistyarti & Atikah. 2013. Penentuan Kadar Iodida
Secara Spektrofometri Berdasarkan Pembentukan Kompleks Amilum-
Iodium Menggunakan Oksidator Iodat. Jurnal Studi Kimia, 1 (1)

Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta : PT Gramedia.

Ibnu, M. Sodiq., dkk. 2004. Kimia Analitik I. Malang: JICA.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.

Pursitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai