Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM KESEHATAN KESELAMATAN KERJA


(K3)

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Andra Aryan 1109045039


Indah Puji Lestari 1109045003
Melinda Akira 1109045042
Rezkie Zulfikri 1109045018

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap pekerja akan dihadapkan pada kondisi lingkungan kerja yang berbeda-
beda. Lingkungan kerja diharapkan memiliki kondisi yang aman dan nyaman bagi
pekerjanya agar pekerja merasa nyaman dan fokus pada pekerjaannya.
Lingkungan kerja yang baik tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi pekerja
itu sendiri, tetapi juga bagi perusahaan karena semua pekerjaan dapat
dilaksanakan dengan baik dan selesai sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan
sebelumnya.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan kerja banyak sekali potensi
bahaya yang mengancam keselamatan baik secara fisik maupun secara mental
atau pikiran. Kondisi di lingkungan kerja seperti ini tentu saja merugikan terutama
bagi pekerja yang berhadapan langsung dengan gangguan-gangguan di
lingkungan kerja tersebut. Gangguan-gangguan tersebut dapat berakibat fatal bagi
pekerja apabila waktu terpaparnya cukup lama.

Gangguan-gangguan di lingkungan kerja bervariasi sesuai dengan jenis maupun


lokasi pekerjaannya, contohnya adalah kebisingan. Kebisingan merupakan bunyi
yang tidak diinginkan dan bersifat mengganggu, kebisingan dapat ditimbulkan
dari suatu kegiatan atau alat kerja. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari
campuran sejumlah gelombang dari berbagai macam frekuensi.

Selain kebisingan, ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kenyamanan


lingkungan kerja contohnya seperti penerangan. Penerangan yang baik akan
meciptakan suasana yang baik pula di lingkungan kerja, sehingga pekerja dapat
berkonsentrasi dengan baik serta nyaman saat bekerja. Tetapi sebaliknya, jika
sumber penerangan atau pencahayaan di lingkungan kerja buruk, maka akan
menimbulkan masalah bagi pekerjanya, apalagi indera penglihatan merupakan
bagian penting dalam setiap pekerjaan.

Sayangnya, gangguan-gangguan di lingkungan kerja tersebut seperti kebisingan


dan faktor penerangan ini sering diabaikan oleh pekerja. Karena ingin mengejar
target kerja selesai dengan waktu yang singkat serta ingin mendapatkan
keuntungan, pekerja maupun pihak perusahaan seringkali mengesampingkan
kesehatan dan keselamatan kerja.

Untuk itu, tindakan pengendalian dan pengelolaan dari gangguan-gangguan


tersebut perlu dilakukan agar kerugian-kerugian yang diakibatkan dari gangguan
tersebut dapat diminimalisasi sehingga kondisi lingkungan kerja yang baik dapat
tercapai dan dapat memberi keuntungan, baik pihak perusahaan maupun pihak
pekerjanya.

1.2 Tujuan
- Untuk mengetahui tingkat kebisingan dan intensitas penerangan pada
lingkungan kerja.
- Untuk mengetahui alat pengukuran tingkat kebisingan dan intensitas
penerangan.
- Untuk mengetahui usaha pengendalian terhadap kebisingan dan
penerangan di lingkungan kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Kebisingan
Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia. Dikatakan
tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang, bunyi-bunyian tersebut akan
dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan
kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan
kematian. Semakin lama telinga mendengar kebisingan, makin buruk pula dampak
yang diakibatkannya, diantaranya adalah pendengaran dapat semakin berkurang.

Bising dalam kesehatan kerja, bising diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran) maupun secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran),
berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Kebisingan
didefinisikan sebagai “suara yang tak dikehendaki, misalnya yang merintangi
terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya, atau yang menyebabkan rasa
sakit atau yang menghalangi gaya hidup. (JIS Z 8106 [IEC60050-801] kosa kata
elektro-teknik internasional Bab 801: akustikal dan elektroakustik)”. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki
dan dapat menganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian
(Buchari, 2007).

Seseorang cenderung mengabaikan bising yang dihasilkannya sendiri apabila


bising yang ditimbulkan tersebut secara wajar menyertai pekerjaan, seperti bising
mesin ketik atau mesin kerja. Sebagai patokan, bising yang hakekatnya mekanik
atau elektrik, yang disebabkan kipas angin, transformator, motor, selalu lebih
mengganggu daripada bising yang hakekatnya alami (angin, hujan, air terjun dan
lain-lain).
Pengukuran kebisingan dilakukan dengan menggunakan sound level meter.
Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi. Tekanan
bunyi adalah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan oleh getaran
partikel udara karena adanya gelombang yang dinyatakan sebagai amplitudo dari
fluktuasi tekanan. Jika kita mengukur bunyi dengan satuan Pa ini, maka kita akan
memperoleh angka-angka yang sangat besar dan susah digunakan. Skala decibell
ini hampir sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi,
yang secara kasar sebanding dengan logaritma energi bunyi. Ini berarti bahwa
energi bunyi yang sebanding dengan 10, 100, dan 1000 akan menghasilkan
ditelinga pengaruh yang subyektif sebanding dengan logaritmanya, yaitu masing-
masing 1, 2, dan 3. Bila skala logaritma ini dikalikan dengan 10 maka diperoleh
skala decibell. Skala decibell ini menggunakan referensi ambang batas
kemampuan dengar 20 mPa. Tingkat tekanan bunyi dari berbagai bunyi yang
sering kita jumpai dinyatakan dalam skala Pa dan dB (Anonim A, 2011).

Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan


menjadi dua, yaitu:
a. Bising interior
Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin
gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alat-alat musik, dan
juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut
seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain.

b. Bising eksterior
Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara,
dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenis-jenis bising yang sering
dijumpai antara lain meliputi:
- Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara
yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.
- Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising
yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.
- Bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal
terbang.
- Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain
(Anonim A, 2011).

Sifat suatu kebisingan ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi suara, dan waktu
terjadinya kebisingan. ketiga faktor diatas juga dapat menentukan tingkat
gangguan terhadap pendengaran manusia. Kebisingan yang mempunyai frekuensi
tinggi lebih berbahaya daripada kebisingan dengan frekuensi lebih rendah. Dan
semakin lama terjadinya kebisingan disuatu tempat, semakin besar akibat yang
ditimbulkannya.

Disamping itu juga terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan
studi tentang kebisingan, faktor tersebut berupa bentuk kebisingan yang
dihasilkan, berbentuk tetap atau terus-menerus (steady) atau tidak tetap
(intermittent). Kerusakan pendengaran manusia terjadi karena pengaruh kumulatif
exposure dari suara diatas intensitas maksimal dalam jangka waktu lebih lama dari
waktu yang diijinkan untuk tingkat kebisingan yang bersangkutan (Anonim A,
2011).

Gangguan pendengaran adalah pada tingkat pendengaran yang berakibat kesulitan


dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami
pembicaraan. Secara kasar, gradasi gangguan pendengaran karena bising itu
sendiri dapat ditentukan menggunakan parameter percakapan sehari-hari.

Menurut ISO derajat ketulian adalah sebagai berikut:


- Jika peningkatan ambang dengar antara 0 – 25 dB, masih normal
- Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB, disebut tuli ringan
- Jika peningkatan ambang dengar antara 41 – 60 dB, disebut tuli sedang
- Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB, disebut tuli berat
- Jika peningkatan ambang dengar antara . 90 disebut tuli sangat berat
(Buchari, 2007)

Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua


berdasarkan tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu
pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensias tinggi (diatas
NAB) dan kedua, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah
NAB), yaitu:
a. Pengaruh kebisingan intensitas tinggi, sebagai berikut:
- Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya
kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan
daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau
ketulian.
- Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya
terputus-putus dan sumber kebisingannya tidak diketahui.
- Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti: meningkatnya tekanan darah dan tekanan
jantung, resiko serangan jantung meningkat, dan gangguan pencernaan.
- Reaksi masyarakat, apabila kebisingan dari suatu proses produksi
demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya menuntut agar
kegiatan tersebut dihentikan.

b. Pengaruh kebisingan intensitas tingkat rendah


Tingkat intensitas kebisingan rendah banyak ditemukan di lingkungan kerja
seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas
kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis tidak
menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering
dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab
stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan
kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi.
Secara spesifik stres karena kebisingan dapat menyebabkan dampak, yaitu:
- Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.
- Gangguan reaksi psikomotor.
- Kehilangan konsentrasi.
- Penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan
efisiensi dan produktivitas kerja (Anonim A, 2011).

Pengendalian kebisingan mutlak diperlukan untuk memperkecil pengaruhnya pada


kesehatan kita. Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu
pengendalian bising aktif (active noise control) dan pengendalian bising pasif
(passive noise control).

Pada Active Noise Control dapat dilakukan dengan Kontrol pada Sumber.
Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan dengan modifikasi sumber,
yaitu penggantian komponen atau mendisain ulang alat atau mesin supaya
kebisingan yang ditimbulkan bisa dikurangi. Program maintenance yang baik
supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya mengurangi
faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi elemen getar,
melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin.

Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan usaha


proteksi secara personal. Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah
penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini
disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa mengurangi
desibel yang masuk ke telinga lebih besar dari earplugs (Anonim B, 2010).

Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan pembinaan


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta melengkapi karyawan dengan alat
pelindung diri (ear muff dan ear plug).
2. 2. Penerangan
Pencahayaan ruangan khususnya di tempat kerja yang kurang memenuhi
persyaratan tertentu dapat memperburuk penglihatan, karena jika pencahayaan
tidak sesuai, pupil mata harus menyesuaikan cahaya yang diterima oleh mata.
Akibatnya mata harus memicing atau berkontraksi secara berlebihan. Hal ini
menjadi salah satu penyebab mata cepat lelah, karena ada batas waktu dimana
matabingin rileks. Kondisi pencahayaan di tempat kerja yang kurang memadai
juga dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak rileks dan sulit untuk
berkonsentrasi.

Pencahayaan yang tidak memadai pada pekerjaan yang memerlukan ketelitian


akan menimbulkan dampak yang sangat terasa pada mata yaitu terjadinya
kelelahan otot mata (kelelahan visual) dan kelelahan syaraf mata. Kelelahan visual
ditandai dengan penglihatan kabur, rangkap, nyeri kepala, mata merah, berair,
mata terasa perih, gatal, tegang, mata mengantuk, dan berkurangnya kemampuan
akomodasi. Kelelahan syaraf ditandai dengan perpanjangan waktu reaksi,
perlambatan gerak, dan gangguan psikologis. Kelelahan ini erat bertalian dengan
penurunan produktivitas kerja, kepekaan kontras, dan kecepatan persepsi menjadi
turun (Siti Sakdiah, 2008).

Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada permukaan.


Satuannya adalah lux (1 lm/m2), dimana lm adalah lumens atau lux cahaya. Salah
satu faktor penting dari lingkkungan kerja yang dapat memberikan kepuasan dan
produktivitas adalah adanya penerangan yang baik. Penerangan yang baik adalah
penerangan yang memungkinkan pekerja dapat melihat obyek-obyek yang
dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.

Penerangan yang cukup dan diatur dengan baik juga akan membantu menciptakan
lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga dapat memelihara
kegairahan kerja. Telah kita ketahui hampir semua pelaksanaan pekerjaan
melibatkan fungsi mata, dimana sering kita temui jenis pekerjaan yang
memerlukan tingkat penerangan tertentu agar tenaga kerja dapat dengan jelas
mengamati obyek yang sedang dikerjakan. Intensitas penerangan yang sesuai
dengan jenis pekerjaannnya jelas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Sanders dan McCormick (1987) menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15
perusahaan, dimana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikkan
hasil kerja antara 4-35%. Selanjutnya Armstrong (1992) menyatakan bahwa
intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguna visibilitas dan
eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat
menyebabkan glare, reflections, excessive shadows, visibility dan eyestrain.
Semakin halus pekerjaan dan mnyangkut inspeksi serta pengendalian kualitas,
atau halus detailnya dan kurang kontras, makin tinggi illuminasi yang diperluka,
yaitu antara 500 lux sampai dengan 100 lux (Suma’mur, 1987).

Tenaga kerja disamping harus dengan jelas dapat melihat obyek-obyek yang
sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda atau alat dan
tempat disekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan. Maka penerangan
umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana terdapat banyak mesin dan
proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus didesain sedemikian
rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja. Pekerjaan yang berbahaya
harus dapat diamati dengan jelas dan cepat, karena banyak kecelakaan terjadi
akibat penerangan kurang memadai.

Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu
penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dan sinar
matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk mengunakan
penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula disediakan
penerangan buatan yang memadai. Hal mi untuk menanggulangi jika dalam
keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa penggunaan
penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh karena lampu
yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat
penerangan pada-tiap tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis
pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intensitas penerangan yang
lebih rendah dan tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian yang
lebih tinggi (Anonim A, 2011).

Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan menambah beban
kerja, karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan namun juga akan memberikan
kesan yang kurang higienis, dan dengan penerangan yang baik akan
memungkinkan pekerja dapat melihat objek yang dikerjakan dengan jelas dan
menghindarkan dari kesalahan kerja. Akibat lain dari kurangnya penerangan
dilingkungan kerja akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi karyawan.
Gejala kelelahan fisik dan mental antara lain adalah sakit kepala, menurunnya
kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dalam mendirikan bangunan tempat
kerja misalnya pabrik, perkantoran, sekolah dll, sebaiknya memperhatikan
ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut :
- Jarak antara gedung atau bangunan-bangunan lain tidak mengganggu
masuknya cahaya matahari ketempat kerja.
- Jendela-jendela dan ventilasi untuk masuknya cahaya matahari harus
cukup, seluruhnya sekurang-kurangnya 1/6 daripada luas bangunan.
- Apabila cahaya matahari tidak mencukupi ruangan tempat kerja, harus
diganti dengan penerangan lampu yang cukup.
- Penerangan tempat kerja tidak menimbulkan suhu ruangan panas (tidak
melebihi 32C)
- Sumber penerangan tidak boleh menimbulkan silau dan bayang-bayang
yang mengganggu kerja.
- Sumber cahaya harus menghasilkan daya penerangan yang tetap dan
menyebar dan tidak berkedip-kedip (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3. 1. Waktu Pengukuran
Lokasi praktikum penerangan dilakukan di Perpustakaan Fakultas Teknik,
Universitas Mulawarman. Pada hari Jum’at tanggal 12 April 2013 pada pukul
11.00 -11.30 WITA. Dan lokasi praktikum kebisingan dilakukan di Bengkel
Anugrah Jalan P.M. Noor Samarinda Utara. Pada hari Sabtu tanggal 13 April
2013 pada pukul 10.00 - 11.00 WITA.

3. 2. Alat dan Bahan


3. 2. 1. Alat
 Sound Level Meter (Model SL-4011) Merk Lutron
 Light Meter (Model LX-101A) Merk Lutron
 Kamera (dokumentasi)
 Alat ukur (meteran)
 Papan Scanner

3. 2. 2. Bahan
 Baterai type 6F22 9V (for transistor radios)
 Alat tulis

3. 3. Metode Kerja
3. 3. 1. Metode Pengukuran dan Perhitungan Kebisingan
Langkah 1 : Identifikasi rencana lokasi pengukuran tingkat kebisingan
(Form K-1)
1. Informasi sumber bising (jenis sumber bising, perawatan, usia
mesin/alat, APD, SOP mesin, dll.
2. Informasi pekerja (usia, lama kerja, kesehatan pekerja, dll)
3. Informasi waktu kerja (shift kerja, jam kerja, waktu istirahat)

Langkah 2 : Persiapan Pengukuran (Form K-2)


1. Identifikasi kelengkapan peralatan dan bahan (SLM dan kondisi baterai)
2. Kalibrasi alat SLM
3. Persiapan kamera untuk dokumentasi lingkungan sekitar lokasi praktek
4. Persiapan alat ukur jarak (meteran) untuk mengukur sumber bising dan
pekerja
5. Penentuan lokasi dan waktu pengukuran yang proporsional

Langkah 3 : Pengukuran Lapangan (Form K-3)


1. Melakukan pengukuran sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan
2. Mencatat hasil pengukuran pada form sampel
3. Mencatat lamanya terpapar per hari (untuk lokasi kerja)
4. Melakukan dokumentasi pengukuran
5. Mencatat kondisi-kondisi sekitar yang dianggap perlu

Langkah 4 : Wawancara pada Pekerja (Form K-4)


1. Melakukan wawancara singkat kepada tenaga kerja terkait keluhan
pendengaran
2. Penggunaan Alat Pelindung Diri/APD (ear plug atau ear muff)
3. Riwayat kesehatan/pemeriksaan tenaga kerja
4. Pengelolaan waktu kerja/shift
5. Kegiatan setelah bekerja (dirumah)
6. Waktu istirahat dalam satu hari
7. Dan mencatat informasi lain yang dianggap perlu
Langkah 5 : Perhitungan tingkat kebisingan
1. Melakukan tabulasi/pengelompokan data
2. Hasil pengelompokan data digunakan rumus perhitungan
3. Mencari data LTMS (Waktu L1 s/d L3 dan waktu L1 s/d L7) (Form K-
5A)
4. Perhitungan Ls (Siang hari) dan Lm (Malam hari) (Form K-5B)
5. Perhitungan LSM (Form K-5C)
6. Membuat laporan sementara mengenai hasil pengukuran untuk arahan
pengendalian atau pengelolaan kebisingan

Langkah 6 : Pembahasan (Form K-6)


1. Melakukan perbandingan hasil perhitungan terhadap baku mutu
2. Membandingkan hasil perhitungan terhadap hasil wawancara
3. Melakukan identifikasi lokasi pengukuran dan tenaga kerja (jika
diperlukan) setelah mendapatkan hasil perhitungan, sebagai upaya
pengendalian atau pengelolaan kebisingan

3. 3. 2. Metode Pengukuran dan Perhitungan Penerangan


Langkah 1 : Identifikasi rencana lokasi pengukuran intensitas penerangan (Form
P-1)
1. Informasi lokasi pengukuran penerangan (lokasi pengukuran: penerangan
setempat atau penerangan umum)
2. Informasi jenis pekerjaan (tingkat pekerjaan atau ketelitian pekerjaan)
3. Informasi kondisi ruangan (jumlah meja/alat dan luas ruangan per m2)
4. Informasi waktu kerja (shift kerja, jam kerja, waktu istirahat)

Langkah 2 : Persiapan Pengukuran (Form P-2)


1. Identifikasi kelengkapan peralatan dan bahan (Lux meter dan kondisi
baterai)
2. Persiapan kamera untuk dokumentasi lingkungan sekitar lokasi praktek
3. Persiapan pengukuran ruangan (meteran) dan dokumentasi penerangan
alami dan penerangan umum serta kondisi warna ruangan, lantai dan atau
peralatan pada lokasi pengukuran pekerja
4. Penentuan lokasi dan waktu pengukuran yang proporsional
Langkah 3 : Pengukuran Lapangan (Form P-3)
1. Melakukan pengukuran sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan,
penerangan setempat (Form P-3A) dan atau penerangan umum (Form P-
3B)
2. Mencatat hasil pengukuran pada form sampel (hingga mendapat nilai
angka yang stabil) dan pengulangan hingga 3 kali pengukuran (rata-rata)
3. Melakukan dokumentasi kegiatan pengukuran
4. Mencatat kondisi-kondisi sekitar yang dianggap perlu

Langkah 4 : Wawancara pada pekerja (Form P-4)


1. Melakukan wawancara singkat pada tenaga kerja terkait keluhan gangguan
penglihatan (efek silau, kelelahan pada mata, rasa kurang nyaman hingga
kurang kewaspadaan)
2. Riwayat kesehatan/pemeriksaan tenaga kerja
3. Pengelolaan waktu kerja/shift
4. Dan mencatat informasi lain yang dianggap perlu

Langkah 5 : Pembahasan (Form P-5)


1. Melakukan perbandingan hasil perhitungan terhadap baku mutu
2. Membandingkan hasil perhitungan terhadap data wawancara
3. Melakukan identifikasi lokasi perhitungan, sebagai upaya pengendalian
atau pengelolaan penerangan umum atau penerangan setempat
BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Kebisingan
4.1.1 Data praktikum

101,4 98,4 102 100,3 102,2 99,6 98,9 97,6 100,5 88,2
91,9 97,2 96,5 100,5 102,2 85,5 100,4 97 100,6 85,2
92,9 98,4 100,1 96 95,3 99,5 93,2 87,1 92,6 98,6
97,6 87,9 93,7 86,5 90,6 97,6 83,4 79,3 82,6 87,7
94,1 96,5 94,5 98 98,7 98,9 98,4 90,5 81,2 81,3
85,2 99,8 93,2 99,1 99,3 99 99,4 99,1 96,8 97,1
99 83,3 97,7 95,9 97,3 95,5 98,4 97,2 86,7 93,9
97,1 99,9 99,3 97,8 94,7 98,2 94,1 99,1 98,5 96,9
100,2 96,2 96,8 92,9 95,9 89,9 103,8 87,4 96,5 99
97,8 98,6 97,5 97,2 97 90 96,5 96,2 96,2 95,9
95,7 97,5 94,3 97,5 98,8 97,8 98,1 96 95,7 89,9
90,2 91,3 80,3 94 93,4 84,6 78,3 97,3 93,9 92,8

Tabulasi Data Pengukuran


No. Lk Nk

1. 78 1

2. 79 1

3. 80 1

4. 81 2

5. 83 3
6. 85 4

7. 87 6

8. 88 1

9. 90 6

10. 91 3

11. 93 11

12. 94 6

13. 95 2

14. 96 14

15. 97 15

16. 98 15

17. 99 14

18. 100 9

19. 101 2

20. 102 3

21. 103 1

𝐿𝑘 1920
Rata-rata = 𝑁𝑘 = = 91,4 dB
120
1
LTMS = 10 Log x 120 x 120 x 10 (0,1 x 91,4)

= 91,4 dB

4.1.2 Analisis Kebisingan


Sumber bising yang dihasilkan dari bengkel las Anugrah adalah berasal dari
kegiatas las dan pemakaian gerinda. Selain itu bengkel las tersebut terletak ± 5 m
dari jalan raya sehingga kebisingan tidak hanya dari peralatan las dan mesin
gerinda melainkan juga dari kendaraan bermotor di jalan PM Noor.

Berdasarkan hasil perhitungan dari data pengukuran didapatkan nilai kebisingan


sebesar 91,4 dB pada bengkel Anugrah. Nilai tersebut melebihi nilai ambang batas
(NAB) kawasan industri yang telah ditetapkan oleh KepMen LH tahun 1996 yang
bernilai 70 dB.

Tingkat kebisingan yang melebihi NAB tersebut dikarenakan tidak adanya tidak
adanya ruangan khusus, yang dilengkapi dengan peredam suara. Serta para
pekerja yang berkontak langsung dengan alat yang menghasilkan sumber
kebisingan, sehingga resiko mengalami gangguan pendengaran akan lebih tinggi.

Dari hasil wawancara yang didapat dengan salah satu pekerja di Bengkel
Anugrah, beliau mengakui tidak mengalami gangguan pendengaran meskipun
nilai kebisingan di lokasi tersebut cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan indera
pendengaran mereka cukup adaptis dan telah terbiasa karena sering terpapar
dengan kebisingan di lokasi tersebut.

Sehingga untuk pengendalian dan upaya pengelolaan kebisingan di lokasi bengkel


Anugrah tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan APD yang berupa ear
plug/ear muff. Untuk penggunaan APD sendiri, di dalam Bengkel Anugrah
aktivitas pengelasan lebih pada pengutamaan penggunaan perlindungan pada
indera penglihatan, yakni menggunakan kacamata.

4.1.3 Faktor Kesalahan


Faktor-faktor kesalahan utama dan mendasar dalam melakukan metode
pengukuran lebih pada faktor teknis. Faktor-faktor teknis tersebut seperti,
kesalahan kalibrasi pada alat ukur Sound Level Meter, misalnya mode siang dan
mode malam. Kemudian titik-titik pengukuran yang tidak sesuai saat melakukan
pengukuran, misalnya saat menggunakan Sound Level Meter justru jaraknya jauh
dari aktivitas yang memiliki sumber kebisingan.

4.2 Penerangan (Cahaya)


4.2.1. Data praktikum
Data Pengukuran Penerangan Setempat
Hasil Pengukuran (Lux)
Rata-
Ruangan/Lokasi Pengukuran Pengukuran Pengukuran
rata
I II III
Perpustakaan 348 359 358 355
Perpustakaan 147 149 148 148
Perpustakaan 135 133 134 134
Perpustakaan 492 534 582 536
Perpustakaan 233 240 230 234,3

Rata −rata
Rata-rata = =281 lux
5

Data Pengukuran Penerangan Umum


Hasil Pengukuran (Lux)
Rata-
Ruangan/Lokasi Pengukuran Pengukuran Pengukuran
rata
I II III
Perpustakaan 116 117 118 117
Perpustakaan 659 655 657 657
Perpustakaan 280 272 271 274,3
Perpustakaan 269 259 258 262
Perpustakaan 142 152 156 150
Perpustakaan 112 112 112 112
Perpustakaan 278 275 276 276,3
Perpustakaan 439 448 453 446,6
Perpustakaan 417 424 440 427
Perpustakaan 940 936 931 935,6

Rata −rata 3657,8


Rata-rata = = = 365,78 lux
10 10

4.2.1. Analisis Penerangan


Berdasarkan hasil perhitungan pengukuran penerangan yang dilaksanakan di
dalam Perpustakaan Fakultas Teknik Universitas Mulawarman, didapatkan hasil
dari penerangan setempat yaitu 281 lux dan hasil pengukuran penerangan umum
yaitu 364,78 lux.

Sedangkan jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Perburuhan No.7 Tahun


1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, Serta Penerangan Tempat Kerja
yaitu untuk kategori kegiatan tingkat teliti adalah sebesar 300-700 lux. Sehingga
penerangan umum sesuai dengan standar. Namun untuk penerangan setempat
hasil yang diperoleh ternyata tidak memenuhi batas criteria yang telah ditentukan.

4.2.2. Faktor Kesalahan


Faktor-faktor kesalahan utama dan mendasar dalam melakukan metode
pengukuran lebih pada faktor teknis. Faktor-faktor teknis tersebut seperti,
kesalahan kalibrasi pada alat ukur Lux Meter dan kesalahan penempatan Lux
Meter terhadap arah datangnya cahaya.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
- Dari hasil yang didapat dari bengkel las Anugrah adalah 91,4 dB,
sedangkan untuk batas maksimal yg terdapat pada ketentuan KepMen LH
tahun 1996 adalah 70 dB, itu berarti melebihi tingkat batas yang
ditentukan. Dan dari hasil yang didapat dari Perpustakaan Fakultas Teknik
UNMUL adalah data pengukuran setempat sebesar 281 lux dan data
pengukuran umum sebesar 365,78 lux dari data tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa untuk penerangan setempat tidak memenuhi kriteria
baku mutu, sedangkan untuk penerangan umum sudah memenuhi baku
mutu.
- untuk pengukuran kebisingan dilakukan dengan menggunakan alat Sound
Level Meter, dan untuk pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan
menggunakan LUX Meter.
- Untuk pengendalian kebisingan dilakukan dengan menggunakan APD
seperti earplug atau earmuff, sedangkan untuk pengendalian intensitas
cahaya dilakukan dengan menyesuaikan penerangan dengan kegiatan yang
akan dilakukan di ruangan tersebut

5.2 Saran
Diharapkan agar praktikan bisa melakukan pengukuran kebisingan tidak
hanya pada bengkel las tetapi bisa juga dilakukan di tempat lain seperti
kegiatan konstruksi bangunan dan pengukuran intensitas cahaya tidak hanya
dilakukan di perpustakaan atau tempat kerja namum bisa juga dilakukan di
tempat lain seperti industry panel elektronik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim A. 2011. Pengaruh Kebisingan, Temperatur, dan Pencahayaan Terhadap


Performa Kerja. (http://teknologi.kompasiana.com/) diakses pada 17 April 2013
20.17 WITA.

Anonim B. 2010. Pengendalian Kebisingan.


(http://environmentalsanitation.wordpress.com/) diakses pada 17 April 2013 pukul
20.22 WITA.

Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU


Repository.

Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan,


Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang


Baku Tingkat Kebisingan.

Siti Sakdiah. 2008. Gambaran Tingkat Pencahayaan. FKM UI.

Suma’mur. 1987. Hyperkes Kesehatan Kerja Dan Ergonomi. Jakarta: Muara


Agung Dharma Bhakti.

Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip


Dasar). Jakarta: Rhineka Cipta Karya.
LAMPIRAN

Gambar 1.1 Lokasi pengukuran tingkat kebisingan (kiri), pengukuran tingkat


kebisingan menggunakan sound level meter (kanan).

Gambar 1.2 Pengambilan/pengumpulan data tingkat kebisingan (kiri), sesi


wawancara pada pekerja di lokasi pengukuran (kanan).
Gambar 1.3 Alat untuk mengukur intensitas penerangan Lux Meter (kiri),
pengukuran intensitas penerangan umum (kanan)

Gambar 1.4 Pengukuran intensitas penerangan setempat (kiri), sesi wawancara


terhadap pekerja di lokasi pengukuran

Anda mungkin juga menyukai