Anda di halaman 1dari 18

SUMPAH PROFESI DALAM PANDANGAN ISLAM

Dosen Mata Kuliah:

Kelompok IX

Andi Annisa Azahra (1813015064)


Eni Ayu Putri (1813015084)
Marsya Chikita Amelia (1813015079)
Afifah (1813015054)
Ingwe Violenneofita Cheiya (1813015049)
Najla Nabila Azzahra (1813015089)
Nurul Handayani (1813015074)
Rizki Noor Amelia (1813015069)
Lutviatul Muzhahadah (1813015059)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2018
Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT , karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya , sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang berjudul “Sumpah Profesi dalam
Pandangan Islam”

Tujuan membuat makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum


Sumpah Profesi dalam Pandangan Islam, dan mengetahui contoh serta syarat dan
konsekuensi dari Sumpah adanya sumpah profesi.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan bimbingan, arahan,


dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesainya makalah ini.

Segala upaya telah penulis lakukan dalam penyusunan makalah ini.


Namun, dalam usaha yang maksimal ini, penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dalam hal isi, penulisan,
maupun bahasa. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa
penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik dalam bentuk
materi, dorongan, maupun bentuk lainnya mendapatkan balasan dari Allah swt.
Amin

Samarinda, November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …....................................................................................... i

KATA PENGANTAR………………………………………………….……….......…. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................

B. Rumusan Masalah ......................................................................…….....................

BAB II. TUJUAN

A. Tujuan Penulisan ...............................................................................................

BAB III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Lingkungan ............................................................................…..…


B. Pengertian Lingkungan Fisik .............................................................................
C. Pengertian Lingkungan Non Fisik......................................................................
D. Kasus Lingkungan Fisik……………….............................................................
E. Kasus Lingkungan Non Fisik.............................................................................

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………….......…......
B. Saran ………………………………………………………………............…

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………........……......

LAMPIRAN………………………………………………………………………….....

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam sebuah seremoni
pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya mengandung
unsur spiritualitas. Hal ini dapat dilihat dari teks Demi Allah, saya
bersumpah/berjanji bahwa saya.......... Pada posisi inilah, sumpah menjadi raison
d`etre “pewahyuan” jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan
penuh tanggung jawab.

Oleh sebab itu, penting—sebelum pelantikan dilaksanakan—terlebih dahulu


dihadirkan para rohaniawan masing-masing agama guna menjelaskan arti,
makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri. Dalam lafal sumpah yang
diucapkan di bawah persaksian kitab suci. Intinya, pengikraran kesetiaan,
komitmen, dan kesanggupan—atas nama Tuhan—bahwa jabatan yang
dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-
sungguh dan penuh tanggung jawab.

Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan penyelewengan jabatan


dapat dikontrol, bahkan ditekan dari dalam (jiwa) masing-masing pemimpin
karena ikatan sumpah yang pernah diucapkannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari sumpah?


2. Apa saja syarat-syarat sumpah menurut Islam?
3. Apa saja ayat-ayat dalam Al-quran yang berkaitan dengan sumpah?
4. Apa hukum sumpah dalam Islam?
5. Apa saja pembagian sumpah menurut Islam?
6. Bagaimana sejarah sumpah menurut Islam?
7. Apa saja konsekuensi jika melanggar sumpah menurut Islam?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui definisi dari sumpah


2. Untuk mengetahui syarat-syarat sumpah menurut Islam
3. Untuk mengetahui ayat-ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan sumpah
4. Untuk mengetahui hukum sumpah dalam Islam
5. Untuk mengetahui pembagian sumpah menurut Islam
6. Untuk mengetahui sejarah sumpah menurut Islam
7. Untuk mengetahui konsekuensi jika melanggar sumpah menurut Islam

D. Manfaat Penulisan

1. Memahami dan menambah wawasan mengenai hukum sumpah profesi dalam


Islam

2. Menambah wawasan mengenai kasus pelanggaran sumpah profesi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sumpah

Dalam Islam, ada beberapa sinonim (murâdhifat) yang mempunyai arti


kata sumpah, yakni Yamîn, Half, Îla, dan Qasam. Yang umum dipakai ialah
yamîn, yang dalam bahasa Arab diartikan dengan tangan kanan. Hubungan tangan
kanan dengan kata sumpah dikarenakan kebiasaan orang Arab ketika
melaksanakan sumpah mengambil dan memegang tangan orang yang diajaknya
bersumpah dengan tangan kanannya, hingga kemudian sumpah itu disebut dengan
yamîn. Dalam sejarah Arab, terutama di Mesir, ada kebiasaan bagi tentara yang
akan maju ke medan perang terlebih dahulu berbai’at dengan meletakkan tangan
kanan mereka di atas kitab al-Qur’an, sebagai tanda mereka akan berjuang
dibawah naungan perintah Tuhan. Dalam pengertian bahasa Indonesia sehari-hari,
dapat dibedakan antara sumpah dengan janji, karena sumpah itu harus didahului
dengan ucapan “Demi Allah” dan yang semisalnya, sedangkan janji tidak mesti
demikian.

Sedangkan kata yamîn dalam istilah fiqh sebagaimana disebutkan oleh


Imam Rafi dan Imam Nawawi dalam Kifayatul Akhyar Juz II halaman 152,
“Sumpah menurut syara adalah menyatakan sesuatu atau menguatkan dengan
menyebut lafal ‘Allah” atau sifat-sifatnya.” Definisi ini diperkuat oleh para ulama
fikih bahwa sumpah secara terminologisnya adalah Penegasan dengan ucapan
sesuatu yang mungkin terjadi dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan baik
terhadap sesuatu yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Dari definisi yang
telah disebutkan di atas, kita bisa mengetahui penjelasan dan syarat-syarat sumpah
sebagai berikut :

1. Menguatkan perkataan, berarti orang yang bersumpah harus berniat untuk


bersumpah. Apabila hanya sekedar ucapan sumpah yang tidak dimaksudkan,
maka tidak dihukumi sebagai sumpah, dan ucapannya termasuk sumpah yang
tidak dihukumi sebagai sumpah yang sebenarnya, hal ini sebagaimana firman
Allah: “Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
kamu maksudkan”. (QS. al-Baqoroh [2]: 225). Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata tentang ayat di atas: “(Maksudnya) adalah perkataan seseorang (ketika
ditanya, lalu menjawab) ‘Tidak, demi Allah’, atau ‘Benar, demi Alla/h’.
(padahal dia tidak bermaksud untuk bersumpah)

2. Dari definisi tersebut (menguatkan perkataan), maka seseorang yang


bersumpah dianggap bersumpah apabila telah mukallaf (berakal dan
baligh), serta tidak terpaksa. Sehingga seorang anak yang belum baligh atau
sudah baligh tapi tidak berakal (seperti orang gila), ataupun seseorang yang
dipaksa apabila bersumpah maka sumpahnya tidak dianggap sah. Hal ini
lantaran setiap amalan tidak dibebankan kecuali terhadap hamba yang sudah
mukallaf, sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa ‘Tidak ditulis beban
kewajiban/dosa dari tiga golongan, anak kecil sehingga dewasa/baligh, orang
gila/tidak berakal sehingga berakal, dan orang yang tidur sehingga dia
bangun.'(HR. Abu Dawud no. 4298, Nasa’i 100/2, Ibnu Majah no. 2041, dan
dishohihkan oleh al-Albani dalam al-‘lrwa‘ no. 297)

3. Dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan,berarti harus ada sesuatu yang


diagungkan yaitu Allah atau nama-Nya atau sifat-sifat-Nya, karena Dia-lah
yang Maha Agung dan lebih patut diagungkan, sedangkan selain-Nya maka
semuanya telah dilarang untuk digunakan sebagai sesuatu yang diagungkan
dalam sumpahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah
melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian,
barangsiapa hendak bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama
Allah atau diam”.(HR. Bukhori 2/161, dan Muslim 5/81)

B. Syarat-Syarat Sumpah

1.) Sumpah dengan nama Allah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang
ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau (jika tidak)
maka diamlah.” [HR. al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 2679]. Maka
orang yang ingin bersumpah hendaklah menyebut “Wallahi”, “Billahi”
atau “Tallahi” yang semuanya bermaksud “Demi Allah”.

2.) Sumpah dengan salah satu dari nama-nama Allah

Berdasarkan hadis di atas juga, boleh bersumpah dengan salah satu


nama Allah seperti ar-Rahman, ar-Rahim, al-Khalik dan sebagainya.
Misalnya “Demi ar-Rahman, aku tidak pernah melakukan hal itu”. [Shahih
Fiqh al-Sunnah, 2/288.]

3.) Sumpah dengan salah satu sifat Allah


Sumpah seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Misalnya dalam sabda beliau SAW,
“ Aku berlindung dengan Kemuliaan Engkau, yang tidak ada Tuhan
yang berhak diibadahi melainkan Engkau, yang tidak mati manakala jin
dan manusia akan mati.” [Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam
Shahihnya, hadis no: 7383,]
“Daripada Ibn ‘Umar (radhiallahu ‘anhuma), dia berkata, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersumpah dengan berkata: “Tidak!
Demi yang membolak-balikkan hati.” [Sahih: Dikeluarkan oleh al-
Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 6628.]
Jika seseorang bersumpah dengan sesuatu selain Allah, nama-nama
Allah atau sifat-sifat Allah, sumpahnya bukan saja tidak sah tetapi dia telah
menyekutukan Allah dan orang yang melakukannya perlu segera
mengucapkan syahadah . Ini adalah dosa syirik yang tidak akan diampuni
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala jika orang itu tidak bertaubat. Hadis
berikut menjadi rujukan: Ibn ‘Umar (radhiallahu ‘anhuma) mendengar
seorang lelaki bersumpah: “Tidak, demi Ka’bah!” Lalu Ibn ‘Umar berkata
kepadanya: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sesiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah
berbuat syirik.” [Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud dan dinilai sahih oleh
al-Albbani dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadis no: 3251]

4.) Dari definisi tersebut (dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan),


maka sumpah harus diucapkan dengan lisannya, apabila hanya bersumpah
dalam hatinya, maka sumpahnya tidak sah karena bukan termasuk ucapan.

C. Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Sumpah

Term sumpah dalam syariat Islam didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi,
dan Ijma’ Ulama. Dalam al-Qur’an ada beberapa surat yang menegaskan tentang
sumpah dan pelaksanaannya agar tidak membatalkan sumpah sesudah
meneguhkannya diantaranya al-Maidah : 89, ali-Imran: 77, al-Nahl: 91, al-
Isra’:34, Saba’:3, Al-Taghabun: 7.

‫ض وا ا مللككمي لم اَ لن بل مع لد تل مو دك ي دد هل اَ لو قل مد لج لع مل كتكككم ا‬
‫الكككك لع لل مي ككككمم‬ ‫ادككك إد لذ ا لع اَ هل مد تك مم لو لل تل من قك ك‬ ‫لو أل مو فك وا بد لع مه دد ا‬
‫لك فد ي لل اً إد ان ا‬
‫الككك يل مع لل كم لم اَ تل مف لع لك و لن‬

Artinya:

“ Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. an-Nahl :91]

‫اكككك بد اَل لا مغ دو فد يِ أل مي لم اَ ند كك مم لو للل دك من يك لؤ ا دخ كذ كك مم بد لم اَ لع قا مد تك كم ا مللككمي لم اَ لن َ فل لك فا اَ لر تك هك إد م‬


‫ط لع اَ كم‬ ‫لل يك لؤ ا دخ كذ كك كم ا‬
‫ط دع كمككو لن أل مه لد ي ككككمم أل مو دك مسككلو تك هك مم أل مو تل مح در يكككر لر قل لبككةة َ فل لمككمن للككمم‬ ‫لع لش لر دة لم لس اَ دك ي لن دم من أل مو لس دط لمككاَ تك م‬
‫ك لك فا اَ لر ةك أل مي لم اَ ند كك مم إد لذ ا لح لل مف تك مم اً لو ا مح فل ظك وا أل مي لم اَ نل كك مم اً لككككللذ لد ل‬
‫ك يك بل ييككككن‬ ‫ص يل اَ كم ثل لل ثل دة أل يا اَ ةم اً للذ لد ل‬
‫يل دج مد فل د‬
‫اكككك لل كك مم آ يل اَ تد ده لل لع لا كك مم تل مش كك كر و لن‬
‫ا‬

Artinya:
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-
Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). “ [QS. al-Maidah :89]

‫ق لل كهككمم دفككيِ ا مل دخككلر دة لو لل‬ ‫ك لل لخ لل ل‬ ‫ادككك لو أل مي لم اَ ند ده مم ثل لم لنككاَ قل لد ي لل أك و للل دئكك ل‬


‫إد ان ا لا دذ ي لن يل مش تل كر و لن بد لع مه دد ا‬
‫ب أل لد ي مم‬‫اكككك لو لل يل من ظك كر إد لل مي ده مم يل مو لم ا مل قد يل اَ لم دة لو لل يك لز يك ي ده مم لو لل هك مم لع لذ ا م‬ ‫يك لك لي كم هك كم ا‬

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-
sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian
(pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak
akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan
mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” [QS. ali-Imran :77].

D. Hukum Sumpah Dalam Islam

Sumpah dalam islam dibahas oleh para ulama atau imam besar. Mereka
memiliki pendapat masing-masing mengenai bersumpah dalam islam. Hal
tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Pendapat Imam Malik

Imam Malik berpendapat bahwa bersumpah hukumnya adalah jaiz.


Dalam hal yang dimaksudkan untuk menekankan kepada masalah agama atau
mendorong untuk melaksanakan sesuatu yang lebih maka dianjurkan untuk
melakukan sumpah. Jika sumpah dilakukan dengan hukum mubah, maka
melanggarnya pun mubah namun tetap harus membayar denda kecuali jika
pelanggaran dari sumpah itu menjadi lebih baik.

2. Pendapat Imam Hambali

Imam Hambali memiliki pendapat bahwa hukum bersumpah sangat


bergantung kepada kondisi yang melingkupinya. Bersumpah bisa wajib,
haram, makruh, sunnah atau mubah. Bersumpah dalam kondisi yang
mengarah kepada kewajiban maka hukumnya wajib. Sednagkan jika
bersumpah dalam hal-hal yang sudah jelas diharamkan agama, maka
hukumnya adalah haram, dan seterusnya.

3. Pendapat Imam Syafii

Imam Syafii memiliki pendapat bahwa bersumpah adalah makruh.


Sumpah menjadi sunnah, wajib, haram, dan mubah tergantung kepada
keadaannya. Apabila sumpah diorientasikan pada sunpah yang memberikan
bekasan maksiat maka wajib untuk ditinggalkan, namun jika hal tersebut
justru untuk ditinggalkan (hal maksiat) maka wajib untuk bersumpah.

4. Pendapat Imam Hanafi

Imam Hanafi berpendapat bahwa bersumpah adalah bersifat jaiz atau


lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Untuk itu seorang muslim
hendaknya tidak bersumpah untuk melakukan sesuatu yang main-main atau
hanya sekedar urusan sepele saja

E. Pembagian Sumpah (Yamin)

Para ulama membagi sumpah (Yamin) menjadi tiga:

1. Yamin Laghwu.

Yaitu ucapan seperti sumpah, namun tidak dimaksudkan untuk


sumpah. Misalnya, ucapan seseorang, “Tidak, demi Allah.” Sebagian ulama
menyebutkan, termasuk dalam yamin laghwun adalah sumpah seseorang
terhadap sesuatu/peristiwa sesuai persangkaannya, ternyata hakekatnya
berbeda. Jenis yamin (sumpah) ini tidak ada kaffarah sama sekali.

2. Yamin Mun’aqodah

Yaitu sumpah seseorang (dengan nama/sifat Allah) untuk


melaksanakan sesuatu, namun dia tidak melaksanakannya. Atau untuk tidak
melaksanakan sesuatu kemudian ternyata ia melaksanakannya. Ia telah
melanggar sumpahnya. Maka jenis ini ada kaffarahnya. Menurut Imam Ibnu
Qudamah dalam alMughninya, tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang
kewajiban kaffarah untuk sumpah jenis ini.

3. Yamin al-Ghamush

Yaitu sumpah palsu yang dilakukan oleh seseorang, dan dia sadar
bahwa it telah dusta. Misalnya ia tahu bahwa ia saudaranya mencuri, lalu ia
bersumpah bahwa saudaranya tidak mencuri. Untuk jenis ini, jumhur ulama
tidak mewajibkan kaffarah, tetapi pelaku wajib bertaubat, karena telah
melakukan dosa besar.

Imam al-Baihaqi menulis dalam sunannya sebuah Bab, yaitu Bab:


Yamin Ghamus (sumpah palsu). Beliau meriwayatkan sebuah atsar dari Ibnu
Mas’ud RA, bahwa beliau RA berkata, “Dulu, kami –para sahabat Rasulullah
SAW- menilai sumpah yang tidak ada kafarahnya adalah sumpah palsu.”
Hanya saja, madzhab Assyafi’iy berpendapat; sumpah palsu tetap ada
kaffarohnya. Namun, pendapat jumhur lebih rojih (kuat).

F. Sejarah Sumpah Jabatan

Sumpah jabatan dengan menggunakan mushaf Al-Quran tidak kita dapati


anjuran atau contohnya di zaman Nabi SAW. Kalau pun ada mushaf yang
digunakan dalam sebuah even besar, maka even itu adalah pada saat terjadi
perdamaian antara kedua belah kelompok shahabat yang berperang. Saat itu,
mushaf ditancapkan di atas tombak sebagai lambang perdamaian. Dan dikenal
dalam sejarah sebagai peristiwa tahkim. Lalu entah meniru peristiwa itu atau
tidak, sekarang ini kita sering saksikan adanya sumpah jabatan dengan
menggunakan mushaf Al-Quran. Padahal kita tidak temukan anjuran atau
pensyariatannya dari dalil-dalil yang muktamad.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu diangkat menjadi


khalifah, kita tidak mendapati adanya sumpah dengan menggunakan mushaf.
Demikian juga ketika 2 tahun kemudian Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu
menjadi khalifah, juga tidak ada sumpah dengan mushaf. Hal yang sama juga
terjadi pada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Tidak pernah diriwayatkan bahwa ada mushaf yang diangkat ke atas kepala untuk
dilaksanakan sumpah. Yang ada pada saat itu adalah bai’at. Para sahabat
bersalaman dengan khalifah yang terpilih untuk dibai’at bersama menjadi
pimpinan mereka. Dan esensi bai’at agaknya tidak sama dengan esensi sumpah
jabatan seperti sekarang ini.

Bai’at adalah janji untuk mentaati orang yang dibai’at, bukan mengambil
sumpah orang yang dianggap jadi pemimpin. Yang berjanji bukan si pemimpin,
tetapi sebaliknya, yang berjanji justru yang merasa dipimpin. Mereka yang
berba’iat kepada nabi adalah para sahabat yang berjanji untuk taat kepada perintah
nabi, baik dalam keadaan sigap ataupun dalam keadaan malas. Demikian juga
bai’at-bai’at yang diberikan kepada para khulafaurrasyidin setelahnya, semua
adalah janji dari para sahabat untuk mendengar dan taat. Bukan sumpah jabatan.

Sumpah jabatan barangkali terjadi dalam pidato sambutan para khalifah


setelah dibai’at. Misalnya pidato Umar bin Al-Khattab ra sesaat setelah menerima
janji setia dari para sahabat, beliau meminta agar para sahabat menegur dan
meluruskan dirinya bila melakukan kesalahan.

Namun demikian, seandainya tidak ada contoh sumpah jabatan di dalam


sirah nabawiyah di masa lalu, bukan berarti hal itu tidak boleh dikerjakan. Di
masa sekarang ini, bisa saja dibuat mekanisme khusus untuk memberikan ketaatan
kepada pemimpin yang diangkat, namun dengan sejumlah syarat yang harus
dipenuhi. Kira-kira semacam kontrak politik yang sering kita kenal dewasa ini.
Seorang calon pemimpin yang akan diangkat bernegosiasi dengan beberapa pihak
untuk mendapatkan dukungan. Dukungan itu tentu saja tidak merupakan cek
kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Tetapi berisi sejumlah syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi oleh si pemimpin. Bila syarat itu tidak dipenuhi,
maka dukungan dan ketaatan akan dicabut.

Dan hukumnya sah secara syariat, serta berguna untuk dijadikan acuan
buat para pemimpin untuk berlaku amanah dan istiqaah di dalam menjalankan
wewenang dan kekuasaannya. Seandainya si pemimpin itu dinilai telah menyalahi
apa yang telah disepakati, maka ketaatan bisa dicabut, bahkan kepemimpinannya
bisa digulingkan oleh pihak yang ingin menjatuhkannya sehingga dapat
dijatuhkan

Contoh Sumpah Profesi

SUMPAH APOTEKER

1. Saya bersumpah / berjanji akan mengabdikan hidup saya guna kepentingan


perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan.
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai apoteker.
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-
sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan,
kesukuan, kepartaian, atau kedudukan sosial.
6. Saya ikrar sumpah / janji ini dengan sungguh-sungguh, dengan penuh
keinsyafan

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sebelum seorang Apoteker
melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama
yang dipeluknya. Hal ini disebutkan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah No.
20 Tahun 1962. Diantara bunyi lafal Sumpah Apoteker yaitu :

“Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena


pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker.”

“Lafal ini dijabarkan oleh Pedoman Implementasi - Jabaran kode Etik


Apoteker Indonesia. Maksudnya yaitu merahasiakan kondisi pasien, resep dan
medication record untuk pasien. Seorang Apoteker sudah seharusnya
menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah / Janji Apoteker.
Dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya,
Apoteker harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Allah Ta’ala.“

G. Konsekuensi Akibat Melanggar Sumpah

Allah berfirman,

‫اك دباَللامغدو دفيِ ألميلماَندككمم لوللدكمن يكلؤادخكذككمم بدلماَ لعقامدتككم امللميلماَلن‬


‫لل يكلؤادخكذكككم ا‬
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja.” (Q.s. Al-Maidah: 89)

Makna: “…sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)…”


sebagaimana penjelasan A’isyah adalah kebiasaan orang arab yang mengucapkan
“wallaahi…” (demi Allah), namun maksud mereka bukan untuk bersumpah.

Berdasarkan ayat di atas, orang yang bersumpah untuk melakukan atau


meninggalkan sesuatu, dan dia serius dalam sumpahnya, kemudian dia melanggar
sumpahnya maka dia berdosa. Untuk menebus dosanya, dia harus
membayar kaffarah.

Bentuk kaffarah sumpah telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,


‫طلعاَكم لعلشلردة لملساَدكيلن دممن ألمولسدط لماَ تك م‬
‫طدعكمولن ألمهدليككمم ألمو دكمسلوتكهكمم ألمو تلمحدريكر لرقلبلككةة فللمككمن للككمم يلدجككمد فل د‬
‫صككلياَكم‬ ‫فللكافاَلرتكهك إد م‬
‫ك لكافاَلرةك ألميلماَندككمم إدلذا لحللمفتكمم‬
‫ثلللثلدة ألاياَةم لذلد ل‬

“Kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu langgar. ” (Q.s. Al-
Maidah: 89)

Berdasarkan ayat di atas, kaffarah sumpah ada 4:

1. Memberi makan 10 orang miskin

Memberi makan di sini adalah makanan siap saji, lengkap dengan lauk-
pauknya. Hanya saja, tidak diketahui adanya dalil yang menjelaskan batasan
makanan yang dimaksudkan selain pernyataan di ayat tersebut: “makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu”.

2. Memberi pakaian 10 orang miskin

Ulama berselisih pendapat tentang batasan pakaian yang dimaksud.


Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bahwa batas pakaian yang
dimaksudkan adalah yang bisa digunakan untuk shalat. Karena itu, harus terdiri
dari atasan dan bawahan. Dan tidak boleh hanya peci saja atau jilbab saja.
Karena ini belum bisa disebut pakaian. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
orang miskin yang berhak menerima dua bentuk kafarah di atas hanya orang
miskin yang muslim.

3. Membebaskan budak

Keterangan: Tiga jenis kaffarah di atas, boleh memilih salah satu. Jika
tidak mampu untuk melakukan salah satu di antara tiga di atas maka beralih pada
kaffarah keempat.

4. Berpuasa selama tiga hari


Pilihan yang keempat ini hanya dibolehkan jika tidak sanggup melakukan
salah satu diantara tiga pilihan sebelumnya. Apakah puasanya harus berturut-
turut? Ayat di atas tidak memberikan batasan. Hanya saja, madzhab hanafiyah dan
hambali mempersyaratkan harus berturut-turut. Pendapat yang kuat dalam
masalah ini, boleh tidak berturut-turut, dan dikerjakan semampunya. Demikian
keterangan yang diadaptasi dari Fiqh Sunah Sayid Sabiq, (3/25 – 28).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumpah secara terminologisnya adalah Penegasan dengan ucapan
sesuatu yang mungkin terjadi dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan baik
terhadap sesuatu yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Syarat-Syarat
Sumpah: Sumpah dengan nama Allah, Sumpah dengan salah satu dari nama-nama
Allah, Sumpah dengan salah satu sifat Allah. Bersumpah bisa wajib, haram,
makruh, sunnah atau mubah. Bersumpah dalam kondisi yang mengarah kepada
kewajiban maka hukumnya wajib. Sednagkan jika bersumpah dalam hal-hal yang
sudah jelas diharamkan agama, maka hukumnya adalah haram, dan seterusnya.

B. Saran
Diharapkan setelah membaca dan memahami makalah ini, kita lebih
berhati-hati dalam mengucapkan sumpah. Karena sumpah memiliki makna,
kedudukan dan konsekuensi yang harus ditanggung. Harus bisa melaksanakan
sumpah yang diucap dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai