Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN

Rheumatoid Arthritis

Dosen Pengampu: Reni Tri Subekti, S.ST. M.Kes.

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 10

Ratih Kusuma Dewi (142012018032)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG (UMPRI)

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat Asuhan keperawatan yang berjudul
“Rheumatoid Arthritis” ini tepat pada waktunya. PBL ini disusun dalam rangka memenuhi
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Pringsewu.
Dalam penulisan ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun bantuan, baik
berupa informasi maupun bimbingan moril.
Penulis menyadari bahwa laporan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya.

Prngsewu, Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULU
N

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan


inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah dan
menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita
yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki
dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA
pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan
ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan
ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian
besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).

Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti
peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi
(Febriana,2015).

Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk
pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru
akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana,2015).

B. Etiologi Rheumatoid Artritis

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009).

1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
2. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi Dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
3. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis
(Suarjana, 2009).
5. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

C. Klasifikasi Artritis Reumatoid


a. Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe :
1) Reumatoid Arthritis Klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2) Reumatoid Arthritis Defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3) Probable Reumatoid Arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4) Possible Reumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

b. Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :


1) Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,
edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan
kekakuan.
2) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap.

D. Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan


manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009). Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris
berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak,
dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi
berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau
selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada
RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi
manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik
setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi
proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi
sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009). Manifestasi ekstra artikular jarang ditemukan pada
RA (Sjamsyuhidajat, 2010). Secara umum manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian
tubuh. Manifestasi ekstra artikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
1. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3°C, kelelahan (fatigue),
malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal
pada kerusakan sendi (Longo, 2012).
2. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan
dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru,
pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan
diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
3. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry
eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
4. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
5. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
6. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit
RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
7. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia
dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA
sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA
tahap akhir (Longo, 2012).
8. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas (Longo, 2012).
E. Pathway

F. Patofisiologi
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam
darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan
antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan
virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan
sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan
spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit.
Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA.
Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu
sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada
membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B
berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan
pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan
terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat
mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses
sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut
(CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu
mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan
dan depresi (Choy, 2012).
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas,
secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan
pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan
terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau
segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan
perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen,
tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi
yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena
adanya Pannus (Putra dkk,2013).

G. Komplikasi Reumatoid Artritis


Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh
selain sendi. Efek ini meliputi :

a. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya prosesgranulasi di bawah
kulit yang disebut subcutan nodule.
b. Sistem Muskuloskeletal : Pada otot dapat terjadi myosis karena proses granulasi jaringan
otot dan Osteoporosis
c. Sistem Pembulu Darah : Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah
yang disebabkan oleh adanya darah yang membeku.
d. Splenomegali : Slenomegali merupakan pembesaran limfa, jika limfa membesar
kemampuannya untuk menangkap dan menyimpan sel-sel darah akan meningkat.
e. Sistem Pencernaan : Pada sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis
reumatoid.
f. Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas sehingga sukar dibedakan antara
akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik.
g. Infeksi : Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif
akan lebih meningkatkan risiko.
h. Penyakit Paru-Paru : Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru
dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan
dengan merokok.
i. Sindrom Felty : Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri
berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying antirheumatic drugs
(DMARDs).
j. Limfoma dan kanker lainnya : RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh. (Shiel, 2011)

H. PENATALAKSANAAN ARTRITIS REUMATOID


Tujuan utama terapi adalah:
1.  Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2.  memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita.
3.  Mencegah atau memperbaiki deformitas
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana pembantu
untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1.  Istirahat
2.  Latihan fisik
3.  Panas
4.  Pengobatan
a.  Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat serum yang diharapakan adalah 20-
25 mg per 100 ml
b.  Natrium meningkatkan toleransi saluran cerna terhadap terapikolin dan asetamenofen obat
c.   Obat mengatasianti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari keluhan sendi,
memiliki efek steroid sparing sehingga menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
d.  Garam emas
e.  Kortikosteroid
5.  Nutrisi diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
Bila Reumatoid artritis progresif dan, menyebabkan kerusakan sendi, pembedahan dilakukan untuk
mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki fungsi. Pembedahan dan indikasinya sebagai berikut:
a.  Sinovektomi, untuk mencegah artritis pada sendi tertentu, untuk mempertahankan fungsi sendi dan untuk
mencegah timbulnya kembali inflamasi.
b.  Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian.
c.   Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan tangan.
d.  Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran pada persendian.

Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim
pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan
pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).

Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan
dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun analgesik.
Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang
konsisten dalam darah bisa dipertahankan sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat
mencapai tingkat yang optimal (Smeltzer & Bare, 2002).
Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan Reumatoid arthritis menuju pendekatan
farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian
gejala dan perbaikan penatalaksanaan penyakit terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit
tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).

I. Pemeriksaan Penunjang Reumatoid Artritis


Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis :
a. Pemeriksaan cairan sinovial
1) Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3) Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
b. Pemeriksaan darah tepi
1) Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2) Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
1) Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul
subkutan.
2) Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
d. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi
sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang
menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
e. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi
tulang pada sendi
f. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
BABIII
ASUHAN KEPERAWATAN REUMATOID ARTRITIS

1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan
organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan
misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-
bentuk arthritis lainnya.
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk
dengan stres pada sendi; kekakuan pada pagi hari,
biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda Malaise, keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.

b. Kardiovaskuler
Gejala  Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat
intermitten, sianosis, kemudian kemerahan pada jari
sebelum warna kembali normal).
c. Integritas Ego
Gejala Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan ). Ancaman
pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
d. Hygiene
Gejala Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan pribadi. Ketergantungan.

e. Makanan/ Cairan
Gejala Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/cairan adekuat: mual, anoreksia, kesulitan untuk
mengunyah
Tanda Penurunan berat badan, kekeringan pada membran
mukosa.
f. Neurosensori
Gejala Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi
pada jari tangan.
Tanda Pembengkakan sendi simetris
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).
h. Keamanan
Gejala Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus
kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/
pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap
Kekeringan pada mata dan membran mukosa.
i. Interaksi sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain;
perubahan peran; isolasi.

Pengkajian 11 Pola Gordon


a. Pola Persepsi Kesehatan- Pemeliharaan Kesehatan
1) Apakah pernah mengalami sakit pada sendi-sendi?
2) Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya?
3) Riwayat keluarga dengan RA
4) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
5) Riwayat infeksi virus, bakteri, parasit dll
b. Pola Nutrisi Metabolik
1) Jenis, frekuensi, jumlah makanan yang dikonsumsi (makanan yang
banyak mengandung pospor(zat kapur), vitamin dan protein)
2)  Riwayat gangguan metabolik
c. Pola Eliminasi
Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?
d. Pola Aktivitas dan Latihan
1) Kebiasaan aktivitas sehari-hari sebelum dan sesudah sakit
2) Rasa sakit/nyeri pada saat melakukan aktivitas
3) Tidak mampu melakukan aktifitas berat
e. Pola Istirahat dan Tidur
1) Apakah ada gangguan tidur?
2) Aktifitas yang dilakukan sebelum tidur
3) Terjadi kekakuan selama 1/2-1 jam setelah bangun tidur
4) Adakah rasa nyeri pada saat istirahat dan tidur?
f. Pola Persepsi Kognitif
Adakah nyeri sendi saat digerakan atau istirahat?
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
1) Adakah perubahan pada bentuk tubuh (deformitas/kaku sendi)?
2) Apakah pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya?
h.  Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
1) Bagaimana hubungan dengan keluarga?
2) Apakah ada perubahan peran pada klien?
i. Pola Reproduksi Seksualitas
Adakah gangguan seksualitas?
j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Adakah perasaan takut, cemas akan penyakit yang diderita?
k. Pola Sistem Kepercayaan
1) Apakah agama klien ?
2) Adakah gangguan beribadah?
3) Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan ?

2. Diagnosa Keperawatan Artritis Reumatoid

a. Gangguan rasa nyaman nyeri akut/ kronis berhubungan dengan distensi,


proses inflamasi, destruksi sendi.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri,
penurunan, kekuatan otot.
c. Gangguan Citra Tubuh / Perubahan Penampilan Peran berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan
penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal,


penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.

Intervensi

NO Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan

1 Gangguan rasa NOC : NIC : Pain Management


nyaman nyeri a. Pain Level a. Lakukan pengkajian nyeri
akut/ kronis b. pain control secara komprehensif
berhubungan c. comfort level termasuk lokasi,
dengan distensi, Setelah dilakukan tindakan karakteristik, durasi,
proses inflamasi, keperawatan selama …. frekuensi, kualitas
destruksi sendi. Pasien tidak mengalami dan faktor presipitasi
nyeri, dengan kriteria hasil: b. Observasi reaksi
a. Mampu mengontrol nyeri nonverbal dari
b. Melaporkan bahwa nyeri ketidaknyamanan
berkurang dengan c. Kontrol lingkungan yang
menggunakan dapat mempengaruhi nyeri
manajemen nyeri d. Kurangi faktor
c. Mampu mengenali nyeri presipitasi nyeri
(skala, intensitas, e. Kaji tipe dan sumber
frekuensi dan tanda nyeri) nyeri untuk
d. Menyatakan rasa nyaman menentukan intervensi
setelah nyeri berkurang f. Ajarkan tentang teknik
e. Tanda vital dalam rentang non farmakologi:
normal napas dala, relaksasi,
f. Tidak mengalami distraksi, kompres
hangat/ dingin
gangguan tidur g. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
h. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali

2 Gangguan NOC : NIC : Exercise therapy :


mobilitas fisik a. Joint Movement : Ambulation
berhubungan Active
dengan b. Mobility Level a. Monitoring vital sign
deformitas c. Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan dan
skeletal, nyeri, d. Transfer lihat respon pasien saat
penurunan, Performance latihan
kekuatan otot. Setelah dilakukan tindakan b. Konsultasikan dengan
keperawatan terapi fisik tentang rencana
selama…. gangguan ambulasi sesuai
mobilitas fisik teratasi dengan kebutuhan
dengan kriteria hasil: c. Bantu klien untuk
a. Klien meningkat menggunakan
dalam aktivitas fisi tongkat saat berjalan dan
b. Memperagakan cegah terhadap cedera
penggunaan alat d. Ajarkan pasien atau
Bantu untuk tenaga kesehatan lain
mobilisasi (walker) tentang teknik ambulasi
e. Kaji kemampuan pasien
dalam
mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhankebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
kemampuan
g. Dampingi dan Bantu
pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan klien.

3 Gangguan Citra NOC : NIC : Body image


Tubuh / Perubahan a. Body image enhancement
Penampilan Peran b. Self esteem
berhubungan dengan a. Kaji secara verbal dan
perubahan Setelah dilakukan nonverbal respon klien
kemampuan untuk tindakan keperawatan terhadap tubuhnya.
melaksanakan tugas- selama …. gangguan b.Monitor frekuensi
tugas umum, body image mengkritik dirinya
peningkatan pasien teratasi dengan c. Jelaskan tentang
penggunaan energi, kriteria hasil: pengobatan,
ketidakseimbangan a. Body image positif perawatan, kemajuan dan
mobilitas. b. Mampu prognosis
mengidentifikasi penyakit
kekuatan personal d. Dorong klien
c. Mendiskripsikan secara mengungkapkan
faktual perubahan fungsi perasaannya
tubuh e. Identifikasi arti
d. Mempertahankan pengurangan melalui
interaksi sosial pemakaian alat bantu
f. Fasilitasi kontak dengan
individu lain
dalam kelompok kecil
Rencana keperawatan

4 Defisit perawatan NOC : NIC : Self Care assistane :


diri berhubungan Self care : Activity of ADLs
dengan kerusakan Daily Living (ADLs) a. Monitor kemempuan klien
musculoskeletal, untuk perawatan diri yang
penurunan Setelah dilakukan mandiri.
kekuatan, daya tindakan b. Monitor kebutuhan klien
tahan, nyeri pada keperawatan selama …. bantu untuk kebersihan diri,
waktu bergerak, Defisit perawatan diri berpakaian, berhias, toileting
depresi. teratas dengan kriteria dan makan.
hasil: c. Sediakan bantuan sampai
a. Klien terbebas klien mampu secara utuh
dari bau badan untuk melakukan self-care.
b. Menyatakan d. Dorong klien untuk
kenyamanan melakukan aktivitas sehari-
terhadap hari yang normal sesuai
kemampuan untuk kemampuan yang dimiliki.
melakukan ADLs e. Ajarkan klien/ keluarga
c. Dapat melakukan untuk mendorong
ADL secara kemandirian, untuk
mandiri. memberikan bantuan hanya
jika pasien
tidak mampu untuk
melakukannya.
f. Berikan aktivitas rutin
sehari- hari
sesuai kemampuan.
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan

Kata arthritis berasal dari kata Yunani. Pertama, arthron, yang


berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis
berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (sendi tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
Penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
diperkirakan merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan,
hormonal dan faktor sistem reproduksi. Ada beberapa gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak
harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini
memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi. Nyeri,persendian
Bengkak (Reumatoid nodule), Kekakuan pada sendi terutama setelah
bangun tidur pada pagi hari, Terbatasnya pergerakan Sendi-sendi.

2. Saran

Diharapkan mahasiswa dapat memahami materi yang telah di berikan, dan


dapat menginterpretasikan di dalam melakukan tindakan keperawatan
dalam praktik, khususnya pada klien yang menagalami gangguan sistem
muskuloskeletal, Rheumatoid Arthritis, dan mampu memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan Rheumatoid Arthritis.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.

Doenges, E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Kusuma, Hardhi dan Amin Huda N. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2 2013. Yogyakarta: Media hardy.

Lukman dan Nurna Ningsih. 2009.    Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskletal. Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoer, arif. Dkk.2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media aesculapius.

Muttaqin, arif. 2006. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Banjarmasin: Unpublished.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai