Rheumatoid Arthritis
FAKULTAS KESEHATAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat Asuhan keperawatan yang berjudul
“Rheumatoid Arthritis” ini tepat pada waktunya. PBL ini disusun dalam rangka memenuhi
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Pringsewu.
Dalam penulisan ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun bantuan, baik
berupa informasi maupun bimbingan moril.
Penulis menyadari bahwa laporan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULU
N
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti
peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi
(Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk
pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru
akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana,2015).
1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
2. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi Dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
3. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis
(Suarjana, 2009).
5. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi
proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi
sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009). Manifestasi ekstra artikular jarang ditemukan pada
RA (Sjamsyuhidajat, 2010). Secara umum manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian
tubuh. Manifestasi ekstra artikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
1. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3°C, kelelahan (fatigue),
malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal
pada kerusakan sendi (Longo, 2012).
2. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan
dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru,
pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan
diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
3. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry
eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
4. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
5. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
6. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit
RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
7. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia
dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA
sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA
tahap akhir (Longo, 2012).
8. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas (Longo, 2012).
E. Pathway
F. Patofisiologi
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam
darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan
antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan
virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan
sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan
spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit.
Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA.
Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu
sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada
membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B
berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan
pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan
terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat
mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses
sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut
(CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu
mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan
dan depresi (Choy, 2012).
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas,
secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan
pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan
terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau
segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan
perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen,
tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi
yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena
adanya Pannus (Putra dkk,2013).
a. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya prosesgranulasi di bawah
kulit yang disebut subcutan nodule.
b. Sistem Muskuloskeletal : Pada otot dapat terjadi myosis karena proses granulasi jaringan
otot dan Osteoporosis
c. Sistem Pembulu Darah : Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah
yang disebabkan oleh adanya darah yang membeku.
d. Splenomegali : Slenomegali merupakan pembesaran limfa, jika limfa membesar
kemampuannya untuk menangkap dan menyimpan sel-sel darah akan meningkat.
e. Sistem Pencernaan : Pada sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis
reumatoid.
f. Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas sehingga sukar dibedakan antara
akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik.
g. Infeksi : Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif
akan lebih meningkatkan risiko.
h. Penyakit Paru-Paru : Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru
dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan
dengan merokok.
i. Sindrom Felty : Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri
berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying antirheumatic drugs
(DMARDs).
j. Limfoma dan kanker lainnya : RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh. (Shiel, 2011)
Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim
pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan
pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).
Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan
dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun analgesik.
Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang
konsisten dalam darah bisa dipertahankan sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat
mencapai tingkat yang optimal (Smeltzer & Bare, 2002).
Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan Reumatoid arthritis menuju pendekatan
farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian
gejala dan perbaikan penatalaksanaan penyakit terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit
tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan
organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan
misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-
bentuk arthritis lainnya.
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk
dengan stres pada sendi; kekakuan pada pagi hari,
biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda Malaise, keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.
b. Kardiovaskuler
Gejala Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat
intermitten, sianosis, kemudian kemerahan pada jari
sebelum warna kembali normal).
c. Integritas Ego
Gejala Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan ). Ancaman
pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
d. Hygiene
Gejala Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan pribadi. Ketergantungan.
e. Makanan/ Cairan
Gejala Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/cairan adekuat: mual, anoreksia, kesulitan untuk
mengunyah
Tanda Penurunan berat badan, kekeringan pada membran
mukosa.
f. Neurosensori
Gejala Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi
pada jari tangan.
Tanda Pembengkakan sendi simetris
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).
h. Keamanan
Gejala Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus
kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/
pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap
Kekeringan pada mata dan membran mukosa.
i. Interaksi sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain;
perubahan peran; isolasi.
Intervensi
1. Kesimpulan
2. Saran
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi dan Amin Huda N. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2 2013. Yogyakarta: Media hardy.
Lukman dan Nurna Ningsih. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskletal. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8. Jakarta: EGC.