Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ferika Rafaris

NIM : P07224219017
Topik : HIV/AIDS pada Ibu Hamil

HIV/AIDS pada Ibu Hamil


Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P),
dari awal tahun 2017 sampai per Juni 2019 ada 11.958 ibu hamil di Indonesia yang dinyatakan
positif HIV setelah menjalani tes. HIV dan AIDS pada ibu hamil bukanlah persoalan kecil yang
bisa diabaikan. Pasalnya, ibu hamil yang positif terinfeksi HIV berpeluang besar menularkan
mereka kepada bayinya sejak masih dalam kandungan. Ibu atau bayi dengan HIV/AIDS
berpeluang besar untuk menyumbang angka kematian ibu maupun bayi yang sangat menentukan
derajat kesehatan masyarakat di suatu negara.
Stigma, diskriminasi, dan minimnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS adalah masalah
terbesar di Indonesia dalam upaya menurunkan prevalensi orang dengan HIV. Stigma negatif
tidak hanya muncul dari masyarakat umum, bahkan juga dari tenaga kesehatan. Meski
HIV/AIDS telah masuk ke Indonesia sejak 1987, sebagian besar masyarakat masih belum tahu
tentang penyebab dan cara penularan HIV/AIDS. Bagi sebagian masyarakat, bersentuhan atau
berbagi alat makan atau handuk, misalnya, dianggap dapat menularkan HIV/AIDS.

Perubahan Pola Transmisi


Sebagai salah satu penyakit menular seksual, HIV dan AIDS kerap diasosiasikan dengan
perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) sebagai kelompok
yang berisiko. Pendapat ini hanya cocok pada periode awal penularan HIV/AIDS pada 1987
sampai 1997. Namun secara perlahan penularan HIV/AIDS juga merambah pada kelompok
lainnya yaitu pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA) dengan jarum
suntik sejak 1997 hingga 2007.
Kelompok berisiko seperti pekerja seks hanya menyumbangkan 3,4%, sedangkan masyarakat
umum seperti ibu rumah tangga, karyawan swasta, serta wira usaha menyumbangkan 40,3%
dalam jumlah kasus AIDS di Indonesia pada 2016. Fenomena ini sejalan dengan data
Kementerian Kesehatan pada 2015 yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh (50,3%) bentuk
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan pasangan beda jenis kelamin (heteroseksual).

Padahal, ibu rumah tangga adalah kelompok yang sebagian besar akan menjadi ibu hamil dan
meneruskan keturunan. Kejadian HIV/AIDS pada ibu hamil semakin meningkat dan umumnya
ditemukan pada usia 20-29 tahun. Selain itu, HIV/AIDS pada ibu hamil menyebabkan masalah
yang lebih berat karena dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan menular kepada bayi
melalui masa kehamilan, saat melahirkan dan menyusui.

Penyebab HIV dan AIDS pada Ibu Hamil


HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus. Virus ini
menyerang sel T (sel CD4) dalam sistem imun yang tugas utamanya adalah melawan infeksi.
Virus penyebab HIV menyebar dari satu orang ke lainnya lewat pertukaran cairan tubuh seperti
darah, air mani, cairan pra-ejakulasi, dan cairan vagina yang notabene sangat lumrah terjadi saat
hubungan seksual.

Setelah masuk dalam tubuh, virus dapat tetap aktif menginfeksi tapi tidak menunjukkan gejala
HIV/AIDS yang berarti selama setidaknya 10-15 tahun. Selama masa jendela ini, seorang ibu
rumah tangga bisa saja tidak pernah mengetahui bahwa dirinya terjangkit HIV hingga pada
akhirnya positif hamil. Selain dari hubungan seks, seorang perempuan juga bisa terinfeksi HIV
dari penggunaan jarum suntik tidak steril sewaktu sebelum hamil.

Upaya Penanggulangan
Layanan ANC yang diterima ibu hamil di setiap jenjang pelayanan kesehatan memudahkan
dalam menjaring ibu hamil yang terkena HIV/AIDS. Layanan PMTCT pada dasarnya
menawarkan tes HIV untuk semua ibu hamil, lalu diberikan antiretroviral (ARV) pada ibu hamil
HIV positif. Setelah itu pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan HIV positif dan
pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil HIV positif, serta pemberian makanan terbaik bagi
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.

Layanan ini sangat tepat diberikan bersama dengan ANC yaitu dengan mengambil sampel darah
dari ibu hamil untuk diperiksa status penyakit tidak hanya HIV/AIDS tapi juga penyakit menular
seksual lainnya. Hal ini merupakan kunci awal penjaringan ibu hamil dengan HIV/AIDS karena
pada awalnya pemeriksaan HIV/AIDS hanya berdasarkan perilaku risiko dari ibu tersebut serta
hasil rekomendasi dari tenaga kesehatan.

Apakah Menjadi Hamil akan Mempengaruhi HIV?


Menjadi hamil tidak memperburuk kesehatan perempuan terinfeksi HIV, atau mempercepat
lajunya penyakit. Namun menjadi hamil dapat mengakibatkan penurunan pada jumlah CD4.
Penurunan tersebut umumnya kurang lebih 50, tetapi dapat berbeda-beda. Jumlah CD4
umumnya kembali pada angka semula segera setelah melahirkan.

Walaupun jumlah CD4 mutlak dapat turun, kemungkinan persentase CD4 (CD4%) akan lebih
stabil, dan mungkin lebih baik dipantau CD4% waktu hamil. Namun, bila jumlah CD4 turun di
bawah 200, risiko timbulnya infeksi oportunistik (IO) dapat menjadi lebih tinggi. Infeksi ini
dapat mempengaruhi baik ibu maupun bayi, dan kita mungkin harus lebih waspada HIV,
kehamilan dan kesehatan perempuan 9 terhadap gejala IO dan pastikan bahwa infeksi segera
diobati. Umumnya perempuan hamil seharusnya memakai obat pencegahan IO (profilaksis) yang
sama dengan perempuan tidak hamil, terutama dengan memakai kotrimoksazol bila jumlah CD4
di bawah 200.

HIV tidak mempengaruhi kelanjutan kehamilan pada perempuan yang memakai ART atau tidak.
HIV juga tidak mempengaruhi kesehatan janin, asal ibunya tidak mengalami IO.
Pengobatan HIV pada Ibu Hamil

Penelitian yang disebut sebagai PACTG076 yang dilaporkan pada 1994 menunjukkan bahwa
ARV dapat mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Perempuan hamil memakai satu ARV,
yaitu AZT, sebelum dan saat persalinan, dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu
setelah lahir. Intervensi ini mengurangi risiko bayi menjadi terinfeksi HIV dari 25 persen
menjadi 8 persen.

Setelah 1994, intervensi ini diusulkan untuk semua perempuan HIV-positif di negara maju.
Setelah waktu itu, adalah perkembangan lanjut, terutama setelah ART menjadi semakin umum
pada akhir 1990-an. Angka penularan HIV dari ibu-kebayi di AS sekarang di bawah 1 persen.

AZT masih satu-satunya ARV yang disetujui untuk mencegah infeksi HIV dari ibu-ke-bayi.
Oleh karena ini, beberapa dokter memilih yang memasukkan AZT pada kombinasi obat yang
dipakai oleh perempuan hamil. Namun bila ibu mengalami anemia (kurang darah merah) atau
efek samping lain, atau sudah pakai ART yang tidak mengandung AZT, hal ini mungkin menjadi
alasan untuk memakai kombinasi tanpa AZT. Angka penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang
memakai kombinasi tanpa AZT adalah serupa dengan kombinasi dengan AZT. Petunjuk praktis
adalah “Yang terbaik buat ibu adalah yang terbaik buat bayi.”

Penting diingat bahwa walau ada perkembangan dan keberhasilan yang hebat, penggunaan ART
oleh perempuan hamil masih sesuatu yang cukup baru. Dampak dari penggunaan masih belum
jelas secara keseluruhan. Sebaiknya kita membahas manfaat dan risiko ART dengan dokter. Hal
ini harus termasuk faktor jangka pendek dan panjang, yang telah diketahui dan yang belum
diketahui.

Apakah Benar-Benar Aman Memakai ARV saat Hamil?

Perempuan sering disarankan tidak memakai obat untuk penyakit lain saat hamil. Namun, hal ini
tidak berlaku bila memakai ART saat hamil. Perbedaan ini dapat membingungkan.

Tidak seorang pun dapat meyakinkan bahwa tidak ada risiko sama sekali dari penggunaan ARV
saat kita hamil. Contohnya, beberapa ARV tidak boleh dipakai waktu hamil. Namun ribuan
perempuan sudah memakai ART waktu hamil tanpa mengalami masalah pada bayinya.
Sebaliknya, penggunaan ARV sudah menghasilkan banyak bayi yang terlahir HIV-negatif.
Sampai saat ini, belum ada tanda bahwa penggunaan ARV waktu lahir meningkatkan angka atau
jenis lahir cacat sejak pemantauan dimulai pada 1989.

Waktu dibahas dengan dokter sebelum melahirkan, kita harus menilai manfaat dan risiko
penggunaan ARV untuk kita sendiri dan untuk bayi kita.

Mencegah Penularan HIV dari Ibu Hamil ke Anak

Untungnya, ibu hamil dapat menekan risiko penularan pada bayinya dengan menerapkan langkah
pencegahan HIV yang tepat. Dengan pengobatan dan rencana yang tepat, risiko penularan HIV
dari ibu hamil pada bayi bisa dikurangi sebanyak 2 persen sepanjang masa kehamilan,
persalinan, melahirkan, dan menyusui.

Apabila hasil dari tes HIV positif, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko penularan HIV ke bayi.

1. Rutin minum obat


2. Melindungi bayi selama persalinan
3. Melindungi bayi selama menyusui

Penanganan Kasus HIV/AIDS pada Ibu Hamil

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif pada ibu dengan
HIV/AIDS ketika hamil dan pasca melahirkan merupakan kebahagiaan yang bersumber pada
domain pernikahan dan kondisi kesehatan. Pada domain pernikahan dirasakan adanya
kebahagiaan dan kepuasan seutuhnya, lebih bersemangat dalam hidup, kenyamanan dan
ketrentaman, memperolah banyak kasih sayang dari keluarga yang bersumber dari keharmonisan
rumah tangga serta munculnya keinginan untuk memperoleh keturunan kembali meskipun telah
terdeteksi HIV/AIDS.

Domain kondisi kesehatan yang dialami oleh keempat informan memunculkan rasa syukur,
mereka merasakan kesehatan sangat berarti disaat teman-teman ODHA lain tidak dapat bertahan
hidup. Rasa syukur yang dirasakan berupa: adanya penerimaan serta dukungan yang baik dari
orang terdekat, merasa hidup menjadi lebih bermakna, memiliki harapan masa depan, dan
penerimaan diri.

Adapun adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif ibu
dengan HIV/AIDS ketika hamil dan pasca melahirkan yaitu : (faktor internal) merupakan
pengaruh yang muncul dari dalam diri seseorang, meliputi: adanya spiritualitas pada diri
informan, pernikahan, kondisi kesehatan, dan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Sedangkan
(faktor eksternal) merupakan pengaruh yang muncul dari luar atau lingkungan meliputi:
dukungan suami, dukungan keluarga, serta dukungan teman baik ODHA maupun non ODHA.

Anda mungkin juga menyukai