Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan penting bagi setiap mahluk hidup secara sosial dan ekonomi. Sehat
yaitu suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit baik fisik, mental dan
sosial. Dari pengertian tersebut memerlukan suatu kesehatan yang optimal dengan
upaya meningkatkan derajat kesehatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan
yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Terutama
pada saat melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. Aktivitas fungsional sehari –
hari ditunjang oleh keempat ekstremitas diantaranya adalah kaki. Kaki merupakan
alat gerak tubuh yang memiliki peran penting untuk melakukan aktivitas. Aktivitas
tersebut di antaranya berdiri, berjalan, berlari, berpindah tempat dan aktivitas
fungsional lainnya. Ketika kehilangan kaki akibat amputasi maka aktivitas manusia
pun akan terganggu. Manusia akan kesulitan melakukan aktivitas secara mandiri
sehingga sebagian besar memelurkan bantuan orang lain (Bash, E., 2015).
Amputasi merupakan pengangkatan anggota tubuh yang melibatkan
pemotongan sebagian atau seluruh anggota badan (Marrelli.T.M:2008). Amputasi
ekstremitas bawah dilakukan lebih sering dari pada ekstremitas atas, pada umumnya
amputasi disebabkan oleh kecelakaan, gangguan kongenital dan penyakit, termasuk
penyakit Peripheral Artery Disease (PAD) (Risnanto:2014). Chronic Limb
Ischaemia merupakan salah satu klasifikasi dari Peripheral Artery Disease (PAD).
Peripheral Artery Disease (PAD) secara luas mencakup penyakit vascular
disebabkan terutama oleh aterosklerosis dan proses patofisiologis tromboli yang
normal struktur dan fungsi aorta, cabang arteri visceralnya dan arteri dari
ekstremitas bawah.4 Chronic Limb Ischaemia merupakan penurunan aliran darah
pada tungkai bawah yang ditandai nyeri ketika istirahat dan berlangsung lebih dari
dua minggu, disertai adanya bisul atau gangren maupun tanda- tanda sekunder dari
Peripheral Artery Disease (PAD) (Dieter:2017). Chronic Limb Ischaemia memiliki
resiko gangren dan kehilangan fungsi dari tungkai sehingga memiliki resiko

1
amputasi. Menurut WHO pada tahun 2010 Prevalensi amputasi di USA 350.000-
1000.000 dan insiden 20.000-30.000 dalam setahun. Insiden tertinggi pada gol umur
50-75 tahun dan 240.000 kasus yang sudah di amputasi akibat Chronic Limb
Ischaemia. Kebanyakan amputasi 80% dilakukan pada komplikasi penyakit
pembuluh darah perifer dan sebagian besar melibatkan anggota tubuh bagian
bawah. 40% dilakukan pada penderita diabetes. Sedangkan indikasi lain termasuk
trauma, tumor ganas, kongenital deformitas. Pada tahun 2015 di rawat jalan terdapat
86 kasus amputasi dan 146 kasus amputasi di RSPAD Gatot Soebroto. Selanjutnya
data pada tahun 2015 hingga 2016 naik hingga 35,3%.
Fisioterapi memegang peranan penting terhadap penatalaksanaan post
amputasi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 80 Tahun 2013 pasal 1
yang menyatakan bahwa fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang
ditunjukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara
dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,
elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. Permasalahan
yang muncul akibat dari amputasi kaki di antaranya nyeri luka operasi, penurunan
lingkup gerak sendi penurunan kekuatan otot, dan penurunan kemampuan
fungsional. Dalam hal ini Fisioterapis berperan untuk mempersiapkan kondisi
pasien dari sebelum dan sesudah operasi amputasi sampai pemakaian kaki palsu.
Dengan menggunakan modalitas TENS dan terapi latihan berupa aktif ROM
exercise, stretching, strengthening, core stability exercise.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Amputasi?
2. Apa etiologi dari Amputasi?
3. Bagaimana patofisiologi dari Amputasi?
4.   Apa saja manifestasi klinis dari Amputasi?
5.  Apa saja komplikasi dari Amputasi?
6.   Apa saja pemeriksaan penunjang pada Amputasi?

2
7.   Bagaimana penatalaksanaan pada Amputasi?
8.   Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Amputasi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Amputasi
2. Untuk mengetahui etiologi dari Amputasi
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Amputasi
4.  Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Amputasi
5.  Untuk mengetahui komplikasi dari Amputasi
6.   Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada Amputasi
7.   Untuk mengetahui penatalaksanaan pada Amputasi
8.   Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Amputasi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Amputasi adalah pembedahan yang melibatkan pemotongan sebagian atau
seluruh anggota badan. Syarat anggota tubuh yang bisa diamputasi adalah memiliki
sel syaraf, pembuluh darah, dan otot . Amputasi ekstremitas bawah dilakukan lebih
sering dari pada ekstremitas atas, pada umumnya amputasi disebabkan oleh
kecelakaan, gangguan congenital dan penyakit, termasuk penyakit Peripheral
Artery Disease (PAD). Chronic Limb Ischaemia merupakan salah satu klasifikasi
dari Peripheral Artery Disease (PAD). Chronic Limb Ischaemia merupakan
penurunan aliran darah pada tungkai bawah yang ditandai nyeri ketika istirahat dan
berlangsung lebih dari dua minggu, disertai adanya bisul atau gangren maupun
tanda- tanda sekunder dari Peripheral Artery Disease (PAD). Chronic Limb
Ischaemia memiliki resiko gangren dan kehilangan fungsi dari tungkai sehingga
memiliki resiko amputasi. Amputasi below knee adalah suatu jenis amputasi yang
dilakukan pada bawah lutut yang biasanya terjadi karena cidera traumatis ataupun
karena penyakit pembuluh darah (Guyton, 2007).

Gambar 1. Amputasi ekstrimitas bawah

2.2 Etiologi
Trauma merupakan penyebab utama amputasi di seluruh dunia. Jumlah orang
yang di amputasi adalah karena trauma bervariasi dari negara ke negara. Di negara-
negara maju, trauma biasanya terjadi sebagai akibat kecelakaan industri,
kecelakaan pertanian, atau kendaraan bermotor kecelakaan, yang meliputi mobil,

4
sepeda motor dan kereta api. Trauma menyumbang sekitar 30% dari amputasi baru
(Enrico, 2004).

Penyakit terdiri dari ada penyakit peripheral vascular, penyakit yang


menyebabkan amputasi, penyakit pembuluh darah dengan sirkulasi yang buruk
adalah yang paling umum. Penyakit ini membatasi aliran darah arteri untuk
ekstremitas bawah menyebabkan bisul dan gangren, yang dapat menyebabkan
amputasi. Diabetes adalah penyebab umum lain dari kehilangan anggota tubuh.

Ada diperkirakan 135.000.000 orang dengan diabetes di dunia. Komplikasi


diabetes menurunkan sirkulasi dan sensasi pada tungkai. Hal ini dapat
mengakibatkan bisul dan infeksi yang dapat menyebabkan amputasi. Tumor
merupakan ekstremitas yang terkena tumor di angkat untuk mencegah penyebaran
kanker dan menghindari kematian. Kusta dapat menyebabkan hilangnya sensasi di
tangan dan kaki. Bisa terjadi terinfeksi dan, jika tidak diobati dapat menyebabkan
amputasi. Kongenital Adanya deformitas sejak bayi. Dari seluruh kasus, sekitar 1%
penyebab amputasi yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir terjadi karena adanya
deformitas.

2.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan post operasi
amputasi antara lain sebagai berikut :
1. Phantom Sensation, didefinisikan sebagai suatu sensasi yang timbul tentang
keberadaan bagian yang diamputasi. Pasien mengalami sensasi seperti dari alat gerak.
Kondisi ini dapat disertai dengan perasaan rasa baal yang tidak menyenangkan.
Phantom sensation dapat juga terasa sangat nyata sehingga pasien dapat mencoba
untuk berjalan dengan kaki yang telah diamputasi. Dengan berlalunya waktu,
phantom sensation cenderung menghilang tetapi juga terkadang akan menetap untuk
beberapa dekade. Biasanya sensasi terakhir yang hilang adalah yang berasal dari jari,
jari telunjuk atau ibu jari, yang terasa seolah-olah masih menempel pada puntung.
2. Phantom Pain, dapat timbul lebih lambat dibandingkan dengan phantom
sensation. Sebagian besar phantom pain bersifat temporer dan akan berkurang

5
intensitasnya secara bertahap serta menghilang dalam beberapa minggu hingga
kurang lebih satu tahun. Bagaimanapun juga sejumlah ketidamampuan dapat timbul
menyertai rasa nyeri pada beberapa pasien amputasi. Phantom pain secara bervariasi
digambarkan sebagai nyeri yang berbentuk seperti cramping, electric shock like
discomfort, crushing, burning, atau shooting dan dapat bersifat intermitten,
berkelanjutan, hilang timbul dalam suatu siklus yang berdurasi beberapa menit.
Sering pula digambarkan sebagai rasa nyeri seperti diputar atau distorsi dari bagian
tubuh.Edema, pada punting akan menyebabkan proses penyembuhan yang lambat dan
akan membuat fitting prostetik menjadi sulit. Edema dapat dicegah dengan berbagai
macam cara seperti elastic bandaging. Kontraktur sendi/deformitas, pada alat gerak
bawah, adanya kontraktur panggul sangat mengganggu karena membuat pasien
kesulitan untuk mengekstensikan panggulnya dan mempertahankan pusat gravitasi di
lokasi normalnya. Sementara itu jika pusat gravitasi mengalami perubahan, maka
akan semakin banyak energi yang diperlukan untuk melakukan ambulasi. Adanya
tendensi kontraktur fleksi lutut terdapat pada amputasi bawah lutut yang dapat
membatasi keberhasilan fitting sebuah prostetik. Deformitas ini dapat timbul karena
nyeri, kerja otot dan pasien yang duduk untuk jangka waktu lama dalam kursi roda
(Vitriana, 2002).

2.4 Patofisisologi
Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit
pembuluh darah, cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi harus
dilakukan karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya meliputi :
1. Kecepatan metabolism
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada
fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan
kecepatan metabolisme basal.

2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari

6
anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini
menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian
tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan
sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan
rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga
terjadi peningkatan diuresis.

3. Sistem respirasi

a) Penurunan kapasitas paru

Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot
intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi
maksimal dan ekspirasi paksa.

b) Perubahan perfusi setempat

Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio
ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi
peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.

c) Mekanisme batuk tidak efektif

Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga


sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu
gerakan siliaris normal.

4. Sistem Kardiovaskuler

a) Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan


mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada
pasien dengan immobilisasi.

b) Penurunan cardiac reserve

Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan


waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.

7
c) Orthostatik Hipotensi

Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana arteriol dan
venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada
vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume
darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak
cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya
klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan
pingsan.

5. Sistem Muskuloskeletal

a) Penurunan kekuatan otot

Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai


O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan
sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.

b) Atropi otot

Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan
fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.

c) Kontraktur sendi

Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya
keterbatasan gerak.

d) Osteoporosis

Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan


organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.

6. Sistem Pencernaan

a) Anoreksia

Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi


kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan
kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.

8
b) Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter


anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon,
menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.

c) Sistem perkemihan

Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada
dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi dan
pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :
- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.

- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman


dan dapat menyebabkan ISK.

7. Sistem integumen

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong
akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke
jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal
kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai
darah.

2.5 Klasifikasi
a. Berdasarkan tujuannya amputasi dibagi atas
1. Amputasi sementara.
Amputasi ini mungkin diperlukan jika penyembuhan primer tidak
mungkin terjadi. Alat gerak diamputasi sedistal mungkin, kemudian dibuat flap
kulit yang dijahit secara longgar diatas gumpalan kasa. Re-amputasi kemudian
dilakukan saat kondisi stump memungkinkan.
2. Defenitive end bearing amputation.
Amputasi ini dilakukan jika kemudian akan diberikan beban berat badan pada
ujung stump. Pada keadaan ini parut amputasi tidak boleh terletak diujung stump

9
dan tulang harus padat tidak berongga. Untuk itu tulang harus dipotong
melewati sendi atau mendekati sendi. Contohnya adalah amputasi melewati sendi
lutut dan Syme’s amputation.
3. Defenitive non-end bearing amputation.
Ini merupakan amputasi yang paling sering dilakukan. Seluruh amputasi
anggota gerak atas dan kebanyakan amputasi anggota gerak bawah termasuk
dalam jenis ini. Karena beban berat badan tidak akan ditumpukan pada ujung
stump, maka parut luka dapat terletak terminal.
b. Berdasarkan teknik yang dipakai secara garis besar amputasi dibagi atas :
1. Closed amputation
pada amputasi jenis ini, ujung stump ditutup dengan flap kulit.
Amputasi jenis ini memerlukan pemasangan drain yang biasanya dibiarkan
selama 48-72 jam setelah operasi. Ujung stump akan memiliki bentuk yang lebih
baik dengan letak parut yang diatur tidak pada ujung stump sehingga
memudahkan pemakaian prostesis kemudian. Amputasi seperti ini dilakukan pada
keadaan yang tidak disertai infeksi berat dengan kerusakan jaringan lunak atau
kontaminasi yang minimal.
2. Open amputation
ujung stump tidak ditutup dengan flap kulit dan amputasi ini
dilakukan sebagaitindakan sementara yang akan diikuti dengan penjahitan
sekunder, re-amputasi, revisi, dan rekonstruksi plastik. Open amputation
bertujuan untuk mencegah atau menghilangkan infeksi sehingga penutupan
stump dapat dilakukan tanpa resiko terbukanya kembali jahitan.
Indikasinya adalah bagi luka yang terinfeksi dan kerusakan jaringan lunak
luas atau kontaminasi tinggi. Open amputation terbagi dua jenis, yaitu open
amputation with inverted skin flaps dan circular open amputation. Pada jenis
yang pertama penutupan luka dilakukan kemudian setelah 10-14 haritanpa
memerlukan pemendekan stump. Pada jenis kedua penyembuhan luka sering lama
dan dipengaruhi oleh tarikan kulit terus menerus diujung stump yang cenderung
menarik seluruh jaringan ke ujung stump. Circular open amputation juga diikuti

10
oleh pembentukan parut diujung stump yang akan menyulitkan pemasangan
prosthesis. Untuk menghindari penyembuhan yang lama dan letak parut yang tidak
baik, circuler open amputation sering diikuti dengan re-amptation yang lebih
proksimal.
c) Berdasarkan indikasinya :
1. Infeksi berat pada anggota gerak tubuh yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik.
2. Gangguan sirkulasi darah yang menyebabkan kematian jaringan (gangren)
pada anggota gerak tubuh, misalnya pada penderita penyakit arteri
perifer atau diabetes.
3. Cedera berat pada anggota gerak tubuh, seperti akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, atau ledakan.
4. Tumor ganas atau kanker pada anggota gerak tubuh.
5. Cacat lahir yang mengakibatkan gangguan bentuk dan fungsi anggota gerak
tubuh.

Gambar 2. Traumatic amputasi

Berbagai alasan di atas dapat menyebabkan gangguan pada fungsi dan bentuk organ,
sirkulasi darah, serta susunan otot, saraf, dan tulang. Jika organ gerak tersebut tidak
lagi dapat diselamatkan, maka perlu dilakukan amputasi.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen, untuk mengidentifikasi abnormalitas tulang
2. CT Scan, mengidentifikasi lesi neopalstik, osteomfelitis, pembentukan hematoma

11
3. Angiografi dan pemeriksaan aliran darah, mengevaluasi perubahan sirkulasi /
perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensial penyembuhan jaringan
setelah amputasi
4. Kultur luka, mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab
5. Biopsy, mengkonfirmasi diagnosa benigna / maligna
6. Led, peninggian mengidentifikasi respon inflamasi
7. Hitung darah lengkap / deferensial, peninggian dan perpindahan ke kiri di duga
proses infeksi

2.7 Penatalaksanaan
Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga
tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap post operatif.
1. Pre Operatif .
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya
untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan
operasi. Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang berkaitan dengan
kondisi fisik,khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani
operasi.
2. Intra Operatif.
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klien.
Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan
kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan. Perawat berperan
untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat
dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan
dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat
membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi
jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya
dimasa postoperatif
3. Post Operatif.
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda

12
vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut
merupakan tindakan yang mengancam jiwa. Perawat melakukan pengkajian tanda-
tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan
kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan
cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri. Daerah luka
diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau
kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-
benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah. Awal masa
postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu
menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien. Perawat
bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat
menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien. Berikutnya fokus
perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk
pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan
yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri
Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang
sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada
klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan
nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu
klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien
benar adanya.
4. Replantasi atau pemasangan kembali
Prosedur penyambungan bagian tubuh yang putus umumnya disebut sebagai
replantasi. Prosedur ini dapat dilakukan pada jari, tangan, atau lengan yang telah
putus akibat kecelakaan maupun cedera serius. Tujuannya tidak lain adalah agar
pasien dapat memperoleh kembali fungsi bagian tubuh yang sebelumnya putus
dengan seoptimal mungkin.

13
Gambar 3. Replantasi jari

Replantasi tangan putus dilakukan dalam tiga tahap berikut :


a) Mengambil potongan jari yang putus dan menaruhnya dalam kain kassa yang
lembap. Jika tidak ada kain kassa, Anda bisa menggunakan handuk dengan bahan
yang lembut. Ingat, handuk harus dalam keadaan lembap, tidak benar-benar
basah hingga menampung air di dalamnya.
b) Setelah itu, yang perlu dilakukan ialah membungkus potongan jari tadi dengan
kantong plastik atau wadah steril. Kemudian, letakkan potongan es batu yang
telah dimasukkan ke dalam plastik pada wadah berisi potongan jari yang telah
dibalut handuk. Ingat, jangan sampai potongan jari tersebut bersentuhan langsung
dengan es. Oleh karena itu, Anda wajib membungkusnya dengan handuk yang
lembap. Jangan gunakan dry ice karena justru bisa merusak jaringan jari yang
terputus secara permanen. Jika hal itu terjadi, potongan jari tersebut tidak bisa
disambungkan kembali ke tempat asalnya.
c) tangan dibersihkan dari jaringan yang rusak dengan hati-hati.
d) Ujung tulang dari kedua bagian tangan dipendekkan, lalu digabungkan
dengan pen, kawat, atau kombinasi lempeng dan sekrup khusus. Alat-alat ini
akan membantu menahan posisi tangan selama proses pemulihan jaringan.
e) Otot, tendon, pembuluh darah, dan saraf diperbaiki agar dapat disambung
kembali. Dokter juga dapat membuat jaringan cangkok dari tulang, kulit, dan
jaringan lainnya yang terlibat bila diperlukan.

14
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Biodata
2. Keluhan Utama: Keterbatasan aktivitas, gangguan sirkulasi, rasa nyeri dan
gangguan neurosensori
3. Riwayat kesehatan Masa Lalu: kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi,
trauma dan fraktur), cara penanggulangan dan penyakit (diabetes melitus)
4. Riwayat kesehatan sekarang: kapan timbul masalah, riwayat trauma,
penyebab, gejala (tiba tiba/perlahan), lokasi, obat yang diminum, dan cara
penanggulangan.
5. Pemeriksaan Fisik: keadaan umum dan kesadaran, keadaan integumen (kulit
dan kuku), kardiovaskuler (hipertensi dan takikardia), neurologis (spasme otot
dan kebas atau kesemutan), keadaan ekstremitas, keadaan rentang gerak dan
adanya kontraktur, dan sisa tungkai (kondisi dan fungsi).
6. Riwayat Psikososial: reaksi emosional, citra tubuh, dan sistem pendukung
7. Pemeriksaan diagnostik: rontgen (lokasi/luas), Ct scan, MRI, arteriogram,
darah lengkap dan kreatinin.
8. Pola kebiasaan sehari-hari: nutrisi, eliminasi, dan asupan cairan.
9. Aktifitas / Istirahat. Gejala : keterbatasan actual / antisipasi yang
dimungkinkan oleh kondisi / amputasi
10. Integritas Ego. Gejala : masalah tentang antisipasi perubahan pola hidup,
situsi financial, reaksi orang lain, perasaan putus asa, tidak berdaya. Tanda :
ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri, keceriaan semu
11. Seksualitas. Gejala : masalah tentang keintiman hubungan
12. Interaksi Sosial. Gejala : masalah sehubungan dengan kondisi tentang peran
fungsi, reaksi orang lain

15
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (luka amputasi, pasca
pembedahan)
2. Resiko infeksi ditandai dengan trauma jaringan, kulit yang terluka
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang

3.3 Intervensi
Diagnosa 1
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (luka amputasi, pasca
pembedahan)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, maka tingkat
nyeri menurun.
Kriteria Hasil :
1. Keluhan nyeri menurun (skala 5)
2. Grimace menurun (skala 5)
3. Sikap protektif menurun (skala 5)
4. Gelisah menurun (skala 5)
5. Kesulitan tidur menurun (skala 5)
6. Frekuensi nadi membaik (skala 5)
Intervensi
- Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
6. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
7. Monitor efek samping penggunaan analgetik

16
- Terapeutik
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
- Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Diagnosa 2
Resiko infeksi ditandai dengan trauma jaringan, kulit yang terluka
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, maka tingkat
infeksi menurun.
Kriteria Hasil :
1. Demam menurun (skala 5)
2. Kemerahan menurun (skala 5)
3. Nyeri menurun (skala 5)
4. Bengkak menurun (skala 5)
5. Kultur area luka membaik (skala 5)
Intervensi
- Observasi

1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik

- Terapeutik

1. Batasi jumlah pengunjung


2. Berikan perawatan kulit pada area edema
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien

17
4. Pertahankan teknik aseptic pada pasien

- Edukasi

1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi


2. Ajarkan mencuci tangan dengan benar
3. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka operasi
4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan

Diagnosa 3
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, maka mobilitas
fisik meningkat
Kriteria Hasil :

1. Pergerakan ekstrimitas meningkat (skala 5)


2. Kekuatan otot meningkat (skala 5)
3. Rentang gerak / ROM meningkat (skala 5)
4. Nyeri menurun (skala 5)
5. Kelemahan fisik menurun (skala 5)

Intervensi.
- Observasi

1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya


2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

- Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar bed)


2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan

18
- Edukasi

1. Anjurkan mobilisasi dini


2. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk ditempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi roda)

19
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk
asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi
yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-
baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar
bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk
memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus
benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam
menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi

4.2 Saran
Sehat merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi
fisik yang sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa
mengalami hambatan. Maka menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam
tubuh menjadi sangat penting mengingat betapa berpengaruhnya sistem organ
tersebut terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas seseorang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arifin S.,& Yani S. 2013. Atlas Anatomi Otot Manusia Untuk Fisioterapi. Banten: PT. Sejahtera
Bersama.

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.

Dieter S., Robert. 2017. Critical Limb Ischemia. Springer International Publishing Switzerland.

Enrico, P. 2004. A Manual for the Rehabilitation of People with Limb Amputation. USA:
Department of Defense MossRehab Amputee

Rehabilitation Program MossRehab Hospital. Guyton A.C & Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran ed.11 diterjemahkan oleh dr.Irawati dkk. Jakarta: EGC.

Thukkani A.K, Kinlay S. 2015. Endovascular intervention for peripheral artery disease. Circ Res.
April 24th. 116 (9):1599-613.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jaksel: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jaksel: DPP PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jaksel: DPP PPNI

Vitriana. 2002. Rehabilitasi Pasien Amputasi Bawah Lutut dengan Menggunakan Immediate Post
Operative Prosthetic. [Online].

21

Anda mungkin juga menyukai