Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KECEMASAN PADA

PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

DI SUSUN OLEH:

1. AULIYA HIMAWATI J210170023


2. M. ILHAM FAJRI J210170053
3. ELLY NOVITASARI J210170067

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (S1)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2020
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KECEMASAN PADA
PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

ABSTRAK

Kecemasan merupakan salah satu permasalahan psikologis yang sering muncul pada pasien
gagal jantung kongestif (GJK). Kecemasan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
pasien GJK. Kecemasan dapat ditangani melalui intervensi nonfamakologis, salah satunya
adalah relaksasi otot progresif (ROP). ROP merupakan salah satu teknik relaksasi yang cukup
mudah dan sederhana, serta sangat mungkin untuk diaplikasikan pada pasien GJK. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan
pasien GJK di ruang rawat inap RSU dr. Slamet Garut. Penelitian ini menggunakan desain
quasi experimental dengan rancangan pretest and posttest with control group. Teknik sampel
yang digunakan adalah consecutive sampling. Sampel sebanyak 46 pasien, 23 pasien untuk
kelompok intervensi dan 23 pasien untuk kelompok kontrol. Kecemasan diukur
menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Data dianalisis dengan Wilcoxon dan
Mann-Whitney test. Hasil analisa data menunjukan bahwa terdapat penurunan rerata skor
kecemasan yang signifikan antara pre dan post baik pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (p=0.000) dan terdapat perbedaan rerata penurunan skor kecemasan yang signifikan
di antara kelompok (p=0.017). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa relaksasi otot
progresif dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien GJK. Perawat diharapkan dapat
menerapakan relaksasi otot progresif di rumah sakit sebagai salah satu terapi komplementer
non farmakologis untuk mengatasi kecemasan.

Kata Kunci: Kecemasan, gagal jantung kongestif, relaksasi otot progresif


BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gagal Jantung Kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk


memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). World Health Organization (WHO)
(2013), sekitar 17,3 juta orang meninggal dari penyakit kardiovaskular pada 2008 dan
Diperkirakan lebih dari 23 juta orang setiap tahun meninggal karena gangguan
kardiovaskular. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2007) menunjukkan bahwa
penyakit jantung tetap menjadi penyebab utama kematian pasien di rumah sakit di
Jakarta, Indonesia. Diperkirakan provinsi Jawa Barat memiliki jumlah tertinggi pasien
dengan gejala gagal jantung sebanyak 96.487 orang (0,3%). Pada tahun 2014,
prevalensi CHF di Garut Indonesia adalah 1.460 kasus dan jumlah pasien dirawat di
rumah sakit karena CHF dari Januari 2015 hingga Februari 2016 adalah 1.680 kasus.
Prevalensi CHF di kabupaten Garut telah meningkat sebanyak 220 kasus sejak 2014
(Pemkab Garut, 2016).

Beberapa manifestasi klinis dari pasien dengan CHF adalah dispnea,


takikardia, kelelahan, intoleransi aktivitas, retensi cairan, penurunan darah arteri kadar
oksigen, edema paru, edema perifer, ketidaknyamanan, dan gangguan pola tidur
(Yancy et al., 2013). Selain masalah fisik, masalah psikologis juga dialami oleh pasien
CHF. Beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan kecemasan kondisi fisik yang
lemah, perawatan berkepanjangan, masuk rumah sakit berulang, prognosis penyakit,
dan biaya pengobatan (Fitriyani, 2015). Situasi tersebut dapat menyebabkan masalah
psikologis seperti stres, kecemasan, ketidakberdayaan, ketakutan dan depresi
(Polikandrioti et al., 2015). Kecemasan adalah keadaan patologis ditandai dengan
perasaan takut disertai dengan tanda somatik hiperaktif sistem saraf otonom (Kapplan,
Saddock, & Grebb, 2010). Kecemasan dapat menyebabkan penurunan kualitas
kehidupan. Schweitzer (2007) menemukan kecemasan itu adalah salah satu penyebab
ketidakpatuhan perilaku pada pasien CHF.

Ada beberapa intervensi keperawatan untuk mengatasi kecemasan, seperti


terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping, CBT (Cognitive Behaviour
Therapy), logotherapy, SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique), dan teknik
relaksasi (Hofmann, 2008). Relaksasi adalah bentuk dari terapi pikiran dan tubuh
(Black & Hawks, 2009). Relaksasi otot progresif adalah salah satunya teknik relaksasi
yang paling sederhana dan telah digunakan secara luas. Menurut Richmond (2004)
relaksasi otot progresif adalah sebuah prosedur relaksasi dengan mengendurkan otot.

Beberapa penelitian tentang relaksasi otot progresif telah dilakukan pada


pasien dengan masalah jantung dan hipertensi dan penyakit kronis lainnya yang
mengalami kecemasan. Relaksasi otot progresif terbukti bisa mengatasi kecemasan
pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi, dan pasien gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis. Hui, Wan, Chan dan Yung (2006) melakukan penelitian untuk
mengevaluasi efektivitas relaksasi otot progresif dan qigong dalam rehabilitasi
program pasien dengan masalah jantung dan hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan
relaksasi otot yang progresif dan qigong efektif dalam mengurangi tekanan darah,
tetapi qigong lebih efektif untuk mengurangi kecemasan dibandingkan dengan
relaksasi otot progresif. Charalambous, Giannakopoulou, Bozas, dan Paikousis (2015)
juga melakukan sebuah penelitian menggunakan metode RCT untuk menyelidiki efek
dari guided imagery dan relaksasi otot progresif terhadap kecemasan dan depresi
pada pasien dengan kanker prostat dan kanker payudara yang menjalani kemoterapi.
Hasil menunjukkan bahwa relaksasi otot progresif dan guided imagery efektif secara
signifikan untuk mengurangi tingkat kecemasan dan depresi seperti yang ditunjukkan
oleh penurunan kadar kortisol.

Relaksasi otot progresif dapat mengatasi kecemasan melalui mekanisme


berikut. Kontraksi dari serabut otot rangka mengarah ke sensasi ketegangan otot
sebagai hasilnya interaksi kompleks dari sistem saraf dan sistem otot (Conrad & Roth,
2007). Gerakan relaksasi otot progresif merangsang sistem limbik di hipotalamus
untuk melepaskan Corticotrophin Realiz Factor (CRF). CRF kemudian merangsang
produksi endorphin dan Pro Opioid Melano Cortin (POMC) oleh hipofisis, yang
meningkatkan produksi ensefalin oleh adrenal medulla. Kemudian, itu mempengaruhi
suasana hati dan memberi perasaan santai (Black & Hawks, (2009). Perasaan santai
bisa mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan kualitas kehidupan pasien
dengan gagal jantung kongestif. Kecemasan yang tidak diobati pada pasien dengan
CHF menyebabkan rawat inap kembali, kualitas hidup menurun, depresi, dan
kecanduan obat anti-kecemasan. Perawat harus memberikan asuhan keperawatan
untuk memenuhi kebutuhan bio-psiko-spiritual pasien. Perawatan˗perawatan tidak
hanya ditujukan untuk merawat masalah fisik, tetapi juga masalah psikologis, seperti
stres dan kecemasan.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kecemasan pada pasien
gagal jantung kongestif?

C. TUJUAN
1. Tujuan umum:
Menggambarkan pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kecemasan pada
pasien gagal jantung kongestif

2. Tujuan khusus:
Menggambarkan pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kecemasan pada
pasien gagal jantung kongestif

Anda mungkin juga menyukai