Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Kasus HIV/AIDS


2.1.1 Definisi Manajemen Kasus
Manajemen kasus merupakan salah satu metode intervensi yang dilakukan oleh
pekerja sosial ditujukan untuk memberikan pelayanan yang komprehensif dalam
menangani kebutuhan dan permasalahan ODHA berkaitan dengan permasalahan
medis dan psikososial. Manajemen kasus juga dapat dikatakan sebagai pelayanan
yang mengkaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan
penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi individu-individu yang
membutuhkan bantuan itu
Manajemen kasus merupakan bagian dari pelaksanaan praktek intervensi
pekerjaan social. Manajemen kasus dalam penanganan ODHA digunakan untuk
memastikan berjalannya koordinasi pelayanan dan keberlanjutan pemberian
perawatan kepada ODHA. Fleishman (1998) mengemukakan bahwa orang yang
terjangkiti HIV/AIDS akan berhadapan dengan situasi dimana dia harus berhadapan
dengan hasil tes HIV yang positif, berhadapan dengan stigma dan diskriminasi,
menghadapi rasa sakit akut yang terus menerus, dan berhadapan dengan berbagai
sistem pelayanan medis, sosial dan hukum yang kompleks yang menghasilkan
kecemasan dan hambatan secara berlebihan diluar kemampuan mereka. Oleh karena
itu, individu, pasangan atau keluarga yang menghadapi penyakit dan masalah HIV
seringkali membutuhkan seorang manajer kasus dan pembela untuk dapat
membimbing mereka dalam menghadapi lingkaran masalah kehidupan yang
menyulitkan tersebut.
Menurut Brooks (2010), mengemukakan bahwa manajemen kasus HIV terdiri
dari pelayanan yang berpusat pada seseorang yang menghubungkan orang dengan
pelayanan dukungan psikososial dan perawatan kesehatan secara tepat waktu, dan
menghubungkan klien kepada tingkat perawatan dan dukungan yang tepat.
Manajemen kasus juga memberikan pelayanan konseling perawatan untuk menjamin
bahwa ODHA mempunyai kesediaan dan kesanggupan untuk menjalani proses
perawatan dan pemberian obat-obatan. Selanjutnya Brooks menjelaskan tentang lima
elemen yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus HIV, yaitu (1) Advokasi; (2)
Servive Delivery and Planning; (3) Rujukan dan Penyediaan Informasi; (4) Follow up
dan konsitensi perawatan sesuai dengan kontinum pelayanan; dan (5) Membangun
ketrampilan, edukasi dan konseling (Brooks dalam Poindexter, 2010).

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Manajemen Kasus


a. Tersedianya akses pelayanan & koordinasi yang mencakup bantuan berbasis
masyarakat
b. Memungkinkan orang-orang yang mempunyai masalah untuk menjalani
kehidupan secara normal dalam lingkungan alamiah.
c. Menyadari bahwa hidup dengan HIV merupakan tantangan biopsikososial
dan spiritual.
d. Karena krisis dapat terjadi dalam seluruh spektrum masa penyakit dan
kemungkinan kebutuhan Odha akan berubah.
e. Pencegahan dan pengurangan resiko merupakan komponen pelayanan MK
HIV.
f. Program terpadu, memperhatikan peningkatan mutu melalui evaluasi hasil.
g. Menjaga kerahasiaan Odha
h. Memperhatikan kompetensi budaya
i. Ekonomis, memanfaatkan sumber perawatan dan dukungan melalui
koordinasi dengan lembaga formal dan informal
j. Pendekatan individual yang potensial meningkatkan kesadaran Odha untuk :
1) Mentaati saran petugas kesehatan secara benar , 2) Mengurangi
penyebaran HIV pada orang lain
k. Pendekatan berbasis pemberdayaan yang menghilangkan ketergantungan
Odha pada lembaga
Sedangkan manfaat bagi ODHA adalah sebagai berikut :
a. Menjamin kontinuitas pelayanan (holistik, terpadu dan berkesinambungan)
b. Memperoleh akses pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan
c. Memperoleh pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga mengurangi resiko
HIV (seperti munculnya infeksi oportunistik)
d. Penyediaan pelayanan yang menekankan hubungan yang aman,
konfidensial, dan menghargai
2.1.3 Kriteria Seorang Manajer dalam Manajemen Kasus
Pelaksanaan manajemen kasus yang baik memerlukan seorang manajer kasus
dan pola penanganan setiap klien yang mungkin berbeda-beda. Praktek manajemen
kasus menjadi praktek profesional karena penanganan klien tidak saja dilakukan oleh
seorang pekerja sosial namun ditangani pula oleh ahli/profesi lainnya yang relevan
sesuai dengan kebutuhan penanganan setiap kasus klien. Berikut kriteria seorang
manajer dalam manajemen kasus, yaitu :
a. Bekerja dan peduli pada program penanggulangan HIV/AIDS
b. Mampu menjaga kerahasiaan Odha
c. Mampu bekerja erat dengan tim perawatan kesehatan
d. Mampu memfasilitasi Odha pada akses perawatan dan dukungan
e. Mencakupkan upaya pengurangan resiko dan pendidikan HIV dalam
intervensi

2.1.4 Fungsi atau Kegiatan Inti Manajemen Kasus


Manajemen kasus bersifat fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan individu
dan masyarakat. Semua sistem manajemen kasus memiliki aktivitas-aktivitas: a)
intake atau penerimaan awal klien, b) Asesmen kebutuhan, kekuatan dan sistem
dukungan personal, c) Pengembangan rencana pelayanan individu, pasangan dan
keluarga secara komprehensif dan mutual, d) Koordinasi didalam dan antar lembaga
pelayanan yang diperlukan untuk mengimplementasikan rencana pelayanan, e)
Memonitor perkembangan untuk menilai efektivitas rencana intervensi kepada klien,
dan f) Reevaluasi secara periodik terhadap rencana dan revisi rencana sebagai
kebutuhan dan perubahan situasi dari waktu ke waktu (Brooks dalam Poindexter,
2010).
Berikut penjelasan dari kelima kegiatan inti dalam manajemen kasus, yaitu :
a. Intake/Penerimaan Awal
 Membangun hubungan kolaboratif dengan klien
 Pengumpulan informasi
 Memberi informasi : persyaratan,batas layanan, hak dan tanggungjawab
klien
Selama Intake, dilakukan asesmen awal kebutuhan klien untuk :
 Menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan dan sumber
daya yan tersedia
 Melakukan tinjauan hak-hak dan kewajiban klien
 Mendaftarkan klien dalam sistem penyedia pelayanan atas persetujuan
klien
b. Asesmen
Asesemen merupakan kegiatan awal dalam manajemen kasus untuk
mengidentifikasi dan memahami kondisi ODHA serta permasalahannya baik
secara medis maupun psikososial. Proses asesmen dilakukan oleh tim asesmen
yang terdiri dari pekerja sosial, tim medis, dan manajer kasus atau konselor.
Pekerja sosial melakukan asesmen awal untuk mengali data diri dan keluarga
calon klien ODHA dengan cara mewawancara berdasarkan form (borang)
asesmen awal yang telah tersedia. Pada data diri ini juga digali tentang potensi
dan minat klien. Asesmen untuk data kesehatan dilakukan oleh tim medis yang
terdiri dari dokter dan perawat.
Data kesehatan yang diidentifikasi meliputi hasil VCT, kondisi infeksi
opportunistik, jenis dan kepatuhan penggunaan ARV, perilaku berisiko, dan
perkembangan kesehatan terakhir. Untuk ODHA perempuan yang sedang
hamil juga ditanyakan tentang sejarah rujukan PMTCT (pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak). Sedangkan data psikososial yang digali adalah latar
belakang keluarga, kondisi mental dan emosi, hubungan dengan lingkungan,
dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta isu-isu masalah yang berkaitan
dengan permasalahan psikologis. Asesmen psikososial ini dilakukan oleh
konselor yang juga merangkap sebagai manajer kasus. Form-form asesmen
tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan yang cukup detail untuk memahami
kondisi biopsikososial klien ODHA.
1) Asesmen risiko penularan mencakup :
 Upaya mengidentifikasi hambatan bagi klien untuk mengurangi
risiko penularan
 Upaya pendidikan mengenai penularan HIV dan cara-cara
memperkecil resiko.
2) Asesmen kemampuan klien mengikuti perawatan, yaitu :
 Upaya mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan dukungan
c. Perencanaan Pelayanan
Perencanaan penanganan kasus dilakukan secara umum, dalam artian
seluruh klien mendapatkan layanan berdasarkan standar yang sama.
Penanganan kasus dibagi menjadi dua kegiatan yaitu penanganan kasus secara
medis dan penanganan kasus secara sosial psikologis. Setiap klien apabila
mengalami masalah medis akan dirujuk ke layanan kesehatan, sedangkan
apabila yang menonjol masalah sosial psikologis akan mendapatkan bantuan
konseling. Namun demikian seluruh klien akan mendapatkan pelayanan secara
umum seperti layanan bimbingan sosial, psikologis, bimbingan fisik dan
vokasional. Berikut merupakan bagian dari perencanaan pelayanan yaitu :
1) Mengidentifikasi dan mendokumentasikan :
 Pelayanan yang dibutuhkan klien, tujuan dan hasil yang ingin dicapai
 Langkah - langkah pelayanan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan klien
 Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan klien
d. Pengkaitan dan Rujukan
Elemen lainnya yang penting dalam manajemen kasus HIV/AIDS adalah
referal atau rujukan dan penyediaan informasi. Rujukan merupakan tahapan
intervensi ketika lembaga layanan atau pekerja sosial memiliki keterbatasan
kemampuan dalam memberikan layanan kepada klien ODHA. Hal ini
dilakukan berkaitan dengan prinsip manajemen kasus untuk kontinuitas
pelayanan (Brook, 2010). Rujukan dilakukan oleh peksos, pendamping atau
oleh manajer kasus bila ada klien yang membutuhkan layanan lain yang tidak
bisa diberikan. Misalnya, rujukan ke kelompok dukungan (support group) atau
rujukan medis ke rumah sakit. Penyediaan infomasi yang diberikan lebih
banyak terkait dengan masalah HIV dan AIDS, misalnya keteraturan minum
obat, pentingnya menjaga kesehatan dan informasi-informasi terkait dengan
peningkatan motivasi. Informasi terkait adengan pihak-pihak yang dapat di
akses untuk rujukan cukup memadai menurut penerima manfaat (klien).
Namun demikian penyediaan informasi tentang pekerjaan, atau lapangan
pekerjaan yang dapat di akses tidak ada menurut penerima manfaat.
Berikut merupakan beberapa kegiatan dari pelaksanaan system rujukan adalah :
1) Melaksanakan strategi perencanaan pelayanan dalam rangka mencapai
kebutuhan klien
2) Mengkoordinasikan pelayanan dan rujukan-rujukan itu sendiri
3) Mengadvokasi pelayanan terhadap klien jika dia tidak sanggup
mendapatkannya
4) Mengkoordinasikan dengan manajer kasus lain dengan siapa klien akan
bekerja
5) Membuat perjanjian dan pelaksanaan rujukan kepada lembaga lain
e. Monitoring dan Evaluasi
1) Memastikan semua kegiatan dilaksanakan sesuai rencana dan sesuai
jadwal yang ditentukan
2) Meyakinkan bahwa klien diakses secara tepat kepada lembaga yang
dibutuhkan/sesuai
3) Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang mungkin diperoleh
klien selama menerima pelayanan
4) Menentukan apakah klien masih membutuhkan pelayanan manajemen
kasus
5) Mengases kembali dan memperbaiki rencana pelayanan supaya selalu
tepat Menyediakan dokumentasi yang tepat

2.1.5 Contoh Jaringan Manajemen Kasus


2.2 Legal dan Etik Terhadap HIV/AIDS
2.2.1 Aspek Legal Terhadap ODHA
1. Dalam pasal 4 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kesehatan
2. Dalam Pasal 5 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa
terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber
daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan
terjangkau
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Penanggulangan HIV/AIDS
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 812/Menkes/SK/
VII/2007 Tentang kebijakan perawatan paliatif menteri kesehatan republik
indonesia.
5. Pada Bagian Kelima Pasal 30 dan 31 menjelaskan tentang pengobatan dan
perawatan bagi ODHA sebagai berikut :
 Pasal 30 ayat 1 : setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak
pengobatan dan perawatan ODHA.
 Pasal 30 ayat 2 : dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud ayat (1) tidak mampu memberikan pengobatan dan
perawatan, wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain
yang mampu atau ke rumah sakit rujukan ARV.
 Pasal 31 ayat 1 : setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan
konseling pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara
nasional dan mendapatkan pengobatan.
 Pasal 31 ayat 2 : registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan,
nomor urut ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium
klinis saat pertama kali ditegakkan diagnosisnya.
 Pasal 31 ayat 3 : registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat
2 harus dijaga kerahasiaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
 Perlindungan hukum dan HAM terhadap Pasien HIV/AIDS :
Permasalahan pokok yang meyangkut hukum berkaitan dengan maraknya
kasus HIV/AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pengidap HIV dan pasien
AIDS. Aspek hukum dan HAM merupakan 2 komponen yang sangat penting
dan ikut berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang
dilaksanakan. Salah satu sifat utama dari fenomena HIV AIDS terletak pada
keunikan penularan dan pencegahannya berhubungan dengan dan atau
tergantung pada perilaku manusia. Terdapat 2 hak asasi fundamental yang
berkaitan dengan epidemi HIV/AIDS : 1) Hak terhadap kesehatan, 2) Hak untuk
bebas dari diskriminasi yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Hak atas pelayanan kesehatan
Dalam Pasal 5 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan terdapat
kesamaam hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Tenaga medis,
paramedik dan tenaga kesehatan lainnya, ketersediaan obat dan alat
kesehatan.
2. Hak atas informasi
Dalam Pasal 7 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan secara
tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi
dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8 :
Penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV/AIDS.
3. Hak atas kerahasiaan
 UU Kesehatan Pasal 57 :
Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya.
 UUPK No.29/2004 (paragraf 3 dan 4) : mengatur tentang rekam
medis dan rahasia kedokteran
 Rekam medik : bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter-
pasien.
Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik
Asas kerahasiaan yaitu kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien
telah meninggal. Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai kewajiban etik
melindungi hak klien tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang
berhubungan dangan klien. Hak klien atas kerahasiaan ini juga di lindungi
oleh hukum sehingga apabila kita melanggarnya kita bisa terkena sangsi
hukum.
Terdapat perkecualian dimana rahasia pasien HIV/AIDS bisa dibuka
yaitu bilamana sebagai berikut :
a) Berhubungan dengan administrasi (Steward Graeme, 1997)
b) Bila kita dimintai keterangan di persidangan (Steward Graeme, 1997)
c) Informasi bisa diberikan pada orang yang merawat atau memberikan
konseling dan informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat,
mengobati atau memberikan konseling pada klien. (Steward Graeme,
1997)
d) Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan instruksi Menkes no
72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita
dengan gejala AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui atau
menemukan seseorang dengan gejala AIDS wajib melaporkan kepada
sarana pelayanan kesehatan yang di teruskan pada dirjen P2M dan
diteruskan ke Depkes. Hal ini penting untuk menjaga kepentingan
masyarakat banyak dari tertular HIV/AIDS. (Depkes RI, 2003)
e) Informasi diberikan kepada partner sex/keluarga yang merawat klien
dan berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau
menginformasikan pada keluarga/pasangan seksnya dan melakukan
hubungan seksual yang aman. Hal ini berkaitan dengan tugas tenaga
kesehatan untuk melindungi masyarakat, keluarga dan orang terdekat
klien dari bahaya tertular HIV. Dalam hal ini, petugas kesehatan boleh
membuka status HIV pasien hanya jika petugas mengidentifikasi
keluarga/partner sex klien berisiko tinggi tertular, pasien menolak
memberi tahu pasangannya atau melakukan hubungan sex yang aman,
pasien telah diberi konseling tentang pentingnya memberitahu
pasangan/keluarganya dan melakukan hubungan sex yang aman,
tenaga kesehatan telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban
melindungi orang lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien
tetap menolak memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status
penyakitnya (Schwarzwald et al).
4. Hak atas persetujuan tindakan medis
UU Kesehatan Pasal 56 : Persetujuan tindakan medis atau informed
consent. Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien
setelah pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,
implikasi hasil tes positif ataupun negatif yang brrupa konseling pra tes.
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari informed consent
yaitu
a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi
yang memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya
b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16 : dalam melaksanakan
kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan.

c. PP No 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1 : bagi


tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan
informasi dan meminta persetujuan. UU no 23 tahun 1992 tentang
tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2 : tindakan medis tertentu hanya bisa
dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan atau keluarga.

Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah
klien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi
hasil tes positif atau negatif yang berupa konseling pra tes. Dalam
menjalankan fungsi perawat sebagai advokat bagi klien, tugas perawat
dalam informed consent adalah memastikan bahwa informed consent telah
meliputi tiga aspek penting yaitu :
a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela
b. Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas
dan kemampuan untuk memahami
c. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup
sebagai pertimbangan untuk membuat keputusan.
2.2.2 Konsep Etik/Aspek Etik dan Hukum Terhadap Pasien HIV/AIDS
Etik berasal dari bahasa Yunani “ethos“ yang berarti adat kebiasaan yang baik
atau yang seharusnya dilakukan. Dalam organisasi profesi kesehatan pedoman baik
atau buruk dalam melakukan tugas profesi telah dirumuskan dalam bentuk kode etik
yang penyusunannya mengacu pada sistem etik dan asas etik yang ada. Meskipun
terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata
nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi dasar etik di bidang kesehatan.
Kesehatan klien senantiasa akan saya utamakan“ tetap merupakan asas yang tidak
pernah berubah. Asas dasar tersebut dijabarkan menjadi enam asas etik, yaitu:
1. Asas menghormati otonomi klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang cukup
2. Asas kejujuran
Tenaga kesehatan hendaknya mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang
terjadi, apa yang akan dilakukan serta risiko yang dapat terjadi.
3. Asas tidak merugikan
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan risiko
yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan.
4. Asas Manfaat
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien untuk
mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya
5. Asas kerahasiaan
Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
6. Asas keadilan
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial ekonomi,
pendidikan, jender, agama, dan lain sebagainya. (Hariadi, 2004)

Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional dan
internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a.Empati
Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih sayang
dan kesediaan saling menolong
b.Solidaritas
Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidakadilan yang
diakibatkan oleh HIV/AIDS
c.Tanggung jawab
Bertanggung jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan pada
ODHA. (Depkes RI, 2003).

Dalam asuhan perawatan sangat penting dengan memperhatikan aspek etik dalam
merawat ODHA, berikut perilaku profesional terhadap ODHA yaitu :
1. Tidak menyakiti ( Do no Harm)
 Perawat harus memastikan hubungan terapeutik degan ODHA tidak
membahayakan Odha secara fisik maupun psikologis
 Perawat bertanggung jawab membantu ODHA untuk mendapatkan
pengobatan HIV/AIDS baik tindakan langsung maupun rujukan ke Tim Ahli
 Tidak membedakan ODHA karena status HIV-nya. Perilaku diskriminasi
petugas kesehatan akan menghambat ODHA untuk mendapatkan akses
terhadap yankes
2. Otonomi
 Menghargai dan menghormati keputusan ODHA terkait pengobatan dan
keterbukaan statusnya
 Membantu ODHA menentukan dan mencapai tujuan secara realistis dan
obyektif
 Menjelaskan dengan jelas tentang konsekuensi pilihan ODHA, seperti tidak
mau terus minum obat ARV, tidak mau menggunakan kondom atau tidak
mau membuka status kepada keluarganya. Keputusan ODHA berdasarkan
pengetahuan yang optimal
 Tidak mendikte ODHA untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
3. Equality (Keadilan)
 Perawat harus memperlakukan ODHA secara adil, tidak dibedakan
berdasarkan jenis kelamin, umur, orientasi seksual, dan status sosial
 Perawat memberikan askep sesuai kebutuhan pasien tanpa melihat status
ODHA (berpendidikan atau tidak berpendidikan)
4. Kerahasiaan
 Menjaga dan menyimpan informasi pribadi (rahasia) terkait ODHA
 Menjaga semua informasi yang diketahui tentang ODHA
 Perawat dg alasan apapun dilarang membuka informasi yang bersifat
rahasia tanpa seijin ODHA
 Dilarang membicarakan informasi ODHA dengan teman, klg, atau orang
lain yg tidak berkepentingan
 Dilarang mendiskusikan tentang ODHA dg tim kesehatan lain di tempat
terbuka sehingga didengar orang lain
 Perawat hanya boleh membocorkan informasi rahasia ODHA, kalau tidak
dibocorkan akan membahayakan hidup ODHA
5. Consent ( Persetujuan )
 ODHA harus memberika persetujuan untuk VCT, kunjungan rumah,
rujukan dan terapi
 Sebelum dilakukan prosedur atau tindaka apapun harus dijelaskan kpd
ODHA termasuk keuntungan dan kerugian tindakan tersebut. Tanyakan
apakah ODHA sudah paham.
 Persetujuan ditandatangani ODHA dengan disaksikan oleh saksi yang
ODHA pilih
6. Perilaku Profesional
 Mengikuti protokol atau SOP dalam melakukan tindakan atau prosedur
terhadap ODHA
 Selalu aktif berpartisipasi dalam diskusi kasus dengan tim kesehatan lain
 Terus mempertahankan dan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan
klinis
 Disiplin
 Terlihat siap dalam bekerja
 Menepati janji dan komitmen
 Menjaga hubungan professional dengan ODHA, tim kesehatan lain dan
kolega sendiri
 Perawat selalu menjaga kesehatan dan penampilan agar menjadi role model
bagi ODHA dan keluarganya.
2.3 Pencegahan Transmisi HIV serta Penanganan Terhadap HIV

2.3.1 Cara Pencegahan:


1. Hindarkan hubungan seksual diluar nikah. Usahakan hanya
berhubungan dengan satu orang pasangan seksual, tidak berhubungan
dengan orang lain.
2. Pergunakan kondom bagi resiko tinggi apabila melakukan hubungan
seksual.
3. Ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung virus,
hendaknya jangan hamil. Karena akan memindahkan virus AIDS pada
janinnya.
4. Kelompok resiko tinggi di anjurkan untuk menjadi donor darah.
5. Penggunaan jarum suntik dan alat lainnya (akupuntur, tato, tindik )
harus dijamin sterilisasinya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk
mencegah penularan AIDS yaitu, misalnya : memberikan penyuluhan-
penyuluhan atau informasi kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatau
yang berkaitan dengan AIDS, yaitu melalui seminar-seminar terbuka, melalui
penyebaran brosur atau poster-poster yang berhubungan dengan AIDS, ataupun
melalui iklan diberbagai media massa baik media cetak maupun media
elektronik.penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus menerus
dan berkesinambungan, kepada semua lapisan masyarakat, agar seluarh
masyarakat dapat mengetahui bahaya AIDS, sehingga berusaha menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan virus AIDS (Widoyono, 2010).

2.3.2 Penanganan HIV/AIDS


A. Penanganan Umum
1) Setelah dilakukan diagnosa HIV, pengobatan dilakukan untuk
memperlambat tingkat replikasi virus. Berbagai macam obat
diresepkan untuk mencapai tujuan ini dan berbagai macam
kombinasi obat-obatan terus diteliti. Untuk menemukan obat
penyembuhannya.
2) Pengobatan-pengobatan ini tentu saja memiliki efek samping,
namun demikian ternyata mereka benar-benar mampu
memperlambat laju perkembangan HIV didalam tubuh.
3) Pengobatan infeksi-infeksi appertunistik tergantung pada zat-zat
khusus yang dapat menginfeksi pasien, obat anti biotic dengan dosis
tinggi dan obat-obatan anti virus seringkali diberikan secara rutin
untuk mencegah infeksi agar tidak menjalar dan menjadi semakin
parah
B. Penanganan Khusus
1) Penapisan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian
dilakukan atas permintaan pasien dimana setelah proses konseling
risiko PMS dan hubungannya dengan HIV, yang bersangkutan
memandang perlu pemeriksaan tersebut.
2) Upayakan ketersediaan uji serologic
3) Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang
berkiatan dengan kehamilan da risiko yang dihadapi
4) Bagi golongan risiko tinggi tetapi hasil pengujian negative lakukan
konseling untuk upaya preventif (penggunaan kondom)
5) Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi
oportunistik.
6) Lakukan terapi (AZT sesegera mungkin, terutama bila konsentrsi
virus (30.000-50.000) kopi RNA/Ml atau jika CD4 menurun secara
dratis
7) Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang
dihadapi (pervaginanm atau perabdominam, perhatikan prinsip
pencegahan infeksi).
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, D. M. 2010. HIV-Related Case Management. In C. C. Poindexter (Ed.), Handbook


of HIV and social work: Principles, practice and populations. New Jersey: John
Wiley and Sons Inc.
Chernesky, R.H., & Grube, B. 2000. Examining the HIV/AIDS case management process.
Health & Social Work, 25(4), 243-253.
Cipto Susilo. 2006. Pengaruh penyuluhan terhadap penurunan stigma masyarakat tentang
HIV/AIDS. Skripsi. PSIK FK Unair.
Giddens, B., Ka'opua, L. S., & Tomaszewski, E. P. 2002. HIV/AIDS Case Management. In
A. S. Robert & G. J. Greene (Eds.), Social worker' desk references. New York:
Oxford University Press, Inc.
Granich, Reuben, Mermin, Jonathan, 2003 (Terjemahan). Ancaman HIV dan Kesihatan
Masyarakat. Yogyakarta, Insist Press
Herien. 2006. Rasa ingin diakui faktor pemicu kenakalan remaja. Bogor: Program Studi
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Institut Pertanian Bogor. Dipetik dari
http;//www.damandiri.or.id/cetakartikel.php?id=534
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Laporan Ditjen Penyebaran Penyakit Menular dan PPL
tentang Kes HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta
Nasronudin. 2007. HIV & AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial,
Surabaya, Airlangga Universiti Press
Widoyono. 2010. Penyakit Tropis : Epidomologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series

Anda mungkin juga menyukai