Anda di halaman 1dari 6

N.

Identitas Jender dalam Al-Qur’an

Sebagai agama yang universal, Islam mengandung ajaran yang utuh berkaitan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan
manusia dengan alam. Berbagai ketimpangan dan bias yang terjadi dalam relasi antara laki-
laki dan perempuan di masyarakat, antara lain bersumber dari kurang tepatnya memahami
teks Al-Qur’an dan hadis Nabi yang merupakan sumber utama ajaran Islam.

Dalam Al-Qur’an identitas jender meliputi istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan
perempuan, gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin, damir atau kata ganti yang
berhubungan dengan jenis kelamin, dan kata sifat disadarkan kepada bentuk muzakkar dan
mu’annas`

Adapun istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam Al-
Qur’an, yaitu ar-rijal dan an-nisa.

Kata ar-rijal diartikan laki-laki, lawan perempuan dari jenis manusia, kata ini digunakan
umumnya untuk laki-laki yang sudah dewasa. Contoh surat al-Baqarah/2 : 282 : “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dan laki-laki diantaramu.”

Ar-rijal (jamak) dari ar-rajul juga punya dan an-nisa dari al-ma’rab digunakan untuk
menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan az-zakar dan al-unsa,
penekanannya adalah jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Kata az-zakar juga
digunakan untuk jenis kelamin binatang (al-An’am/6: 144)

Dalam Al-Quran kata ar-rajul juga punya kecenderungan variasi makna. Dalam surah al-
Baqarah/2: 282,kata ar-rajul berarti jender laki-laki dan disebut 55 kali dalam Al-Qur’an.

Dalam surah al-Baqarah/2: 282,kara ar-rijal berarti laki-laki tertentu yang mempumyai
kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada
permpuan. Dalam surah an-Nisa/4: 34, kata ar-rijal berarti pelindungan (protector,
maintainer) sesuai dengan sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

Al-Qur’an surah an-Nisa/4: 32 dan 75, al-Ahzab/33: 4 dan 23, al-Anfal/7: 46,at-Taubah/9:
108, serta Sad/38: 62, semua kata ar-rajul dalam surah dan ayat-ayat tersebut berarti jender
laki-laki.
Kemudian, kata ar-rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan terdapat pada
surah al-Araf/7: 46 dan al-Ahzab/33: 23. Adapun kata ar-rajul dalam arti nabi atau rasul
terdapat dalam surah al-A’ra/7: 63 dan 69, Yunus/10: 2, al-Mu’minun/23: 25 dan 38,
saba’/34: 43, az-Zukhruf/43: 31, al-An’am/6: 9, al-Isra/17: 47, al-Furqan /25: 8, Yusuf/12:
109, serta an-Nahl/16: 43. Adapun dalam surah al-Anbiya/21: 7 yang dimaksud adalah Nabi
Muhammad sallallhu ‘alaihi wasalam.

Selanjutnya, kata ar-rajul dalam arti tokoh masyarakat terdapat dalam surah Yasin,/36: 20,
yang dimaksud dengan kata rajulun dalam ayat ini menurut Tasfir Jalalain adalah seseorang
tokoh yang amat disegani oleh kaumnya, yaitu Habib an-Najjar.

Dalam surah al-A’raf/7: 48 kata rijalan pada ayat ini berarti para pembesar (al-‘uzama’)
sewaktu masih hidup didunia.

Kata ar-rajul dalam arti tokoh masyarakat terdapat pula pada surah al-Qasas/28: 20, Gafir/40:
28,al-A’raf/7: 48 dan 155, al-Kahf/18: 32 dan 37,al-Ma’dah/5: 15 dan 28, al-Jinn/72: 6, al-
Ahzab/33: 23 dan 40, serta an-Nahl/16: 76. Selanjutnya, satu-satunya ayat yang menerangkan
ar-rajul dalam arti budak yaitu pada surah az-Zumar/39: 29, kata rajulan disini berarti
‘abdun mamlukun artinya hamba yang dimiliki.

Tentang pengertian an-nisa, kata ini adalah bentuk jamak dari kata al-ma’rab berarti
perempuan yang sudah matang atau dewasa. Al-unsa berarti jenis kelamin perempuan secara
umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah berusia lanjut. Kata an-nisa’ dalam berbagai
bentuknya terulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an.

Kata an-nisa dalam arti jender perempuan, dapat dilihat dalam surah an-Nisa’/4: 7, 32. An-
nisa’ dalam arti istri-istri dapat dilihat dalam surah al-Baqarah/2: 222 dan 223.

Kata az-zakar dalam Al-Qur’an mengacu kepada konteks kebahasan dan dalam berbagai
bentuknya terulang 18 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini banyak digunakan untuk menyatakan
laki-laki dari faktor biologis (seks).

‘Abdullah Yusuf ‘Ali secara konsisten menerjemahkan ar-rajul dengan the man dan an-
nisa’/ al-mar’ab dengan the women/the women , sementara az-zakar diterjemahkan dengan
the male dan al-unsa dengan the female.
Kata az-zakar sebagaimana halnya al-unsa digunakan juga untuk menunjuk jenis kelamin
pada binatang, hal ini ditunjukkan dalam surah al-An’am/6: 143. Kata az-zakarain dan al-
unsayain menunjuk kepada jenis jantan dan betina pada hewan.

Masih banyak kata lain yang terkait dengan jender disebut dalam Al-Qur’an yang tentunya
tidak mungkin dibahas disini semua, misalnya kata al-mar’u/al-imru’ dan al mar’ab/al-
imra’ab yang dapat dilihat pada surah ‘Abasa/80: 34-35 dan at-Tur/52: 21. Dalam Al-Qur’an
juga terdapat kata az-zauj yaitu suami,az-zaujab/istri, dan kata zaujain berarti berpasang-
pasangan.

Ada pula kata al’ab, yaitu ayah dalam surah Yusuf/12: 63 dalam arti orang tua (at-Taubah/9:
23) dan dalam arti nenek moyang (al-Baqarah/2: 170).

Kata al-umm dalam arti sesuatu yang dianggap inti dan utama (Ali’Imran/3: 7), dan berarti
tempat tinggal atau tempat kembali (al-Qari’ah/101: 9), dan lain-lain.

O. Al-Qur’an yang Terkesan Bias Jender

Sebagaimana wacana keagamaan (islam) relatif telah menempatkan posisi perempuan


sebagai penduduk kelas dua, sebagai sesuatu yang melekat dalam dirinya, sebagai hakikat
yang baku dan normatif (diberlakukan di segala ruang dan waktu). Padahal dalm Al-
Qur’andan hadis Nabi terdapat sejumlah pernyataan yang memberikan kepada kaum
perempuan tempat yang sejajar dengan tempat kaum laki-laki, misalnya dalam sura al-
Ahzab/33: 53, an-Nahl/16: 97, dan al-Hujurat/49: 13.

Demikian juga dalam hadis Nabi: an-Nisa’ syaqa’iq ar-rijal (kaum perempuan adalah saudara
kandung laki-laki). Dalam hadis lain disebutkan ma akraman-nisa’ illa karim wa la
abanabunna illa la’im (tidak menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang
memiliki pribadi terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan kecuali orang-orang
yang berjiwa rendah). Pada sisi lain fakta-fakta sosial periode awal islam memperlihatkan
betapa banyak kaum perempuan, para istri Nabi, dan para sahabat Nabi yang memiliki
intelektualitas melebihi kaum laki-laki. Mereka juga terlibat secara aktif dalam peran sosial-
sosial,politik, dan kebudayaan. ‘A’isyah adalah istri Nabi yang cerdas, guru besar dan
pejuang. Demikian juga Ummu Salamah dan ummabatul-mu’minin lainnya. Wallabu a’alam
bis-sawab.
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Persoalan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis, karena ia sangat
menentukan nasib sebuah keluarga, kelompok, masyarakat, dan bangsa. Sejarah telah
membuktikan bahwa diantara ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah
masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa,tegas,adil,berpihak pada kepentingan
rakyat, memiliki visi yang kuat, dan menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Korea
Selatan misalnya, negara tersebut mampu bangkit pasca perang 1950-an dan menjadi salah
satu macam ekonomi dunia saat ini, karena proses perubahan radikal dan fundamental yang
dilakukan oleh salah seorang pemimpinnya, yaitu Park Chung Hee. Dia terinspirasi dari ayat :

“sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri. (ar-Ra’d/13: 11)”

Ayat tersebut ditulis di sebuah masjid saat beliau berkunjung ke Malaysia pada dekade 1960-
an, Park Chung Hee mampu mengubah bangsa korea ke arah yang lebih baik dan mampu
memberika landasan yang kuat bagi perubahan itu sendiri. Dr. Mhathir Muhammad dengan
kepemimpinannya yang tegas dan visioner, telah membawa negara Malaysia menjadi negara
yang kuat dan disegani dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, hubungan internasional,
maupun bidang-bidang lainnya. Demikian pula kepemimpinan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, yang
adil,jujur, dan tegas telah membawa masyarakat dan bangsanya pada kesejahteraan yang
optimal dalam berbagai bidang kehidupan. Pada masa beliaulah tidak ada lagi mustahik
zakat, karena semuanya telah tersejahterakan dengan baik.

Ajaran islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak
boleh diabaikan dalam pembangunan keluarga,kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara.
Al-Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara
pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Contohnya adalah kisah Nabi
Yusuf, seorang Nabi yang juga dipercaya untuk memegang amanah mengelola keuangan dan
perekonomian masyarakat. Nabi Yusuf, dengan bermodalkan kejujuran dan kecerdasannya
(yusuf/12: 55),mampu menyelamatkan Mesir dari krisis pangan dan krisis ekonomi
berkepanjangan.

“Dia (yusuf) berkata, “jadikanlah aku bendaharawan negeri(mesir); karena sesungguhnya


aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan”. (Yusuf/12: 55).
Di bawah ini kepemimpinan beliau, Mesir mampu mempertahankan tingkat kemakmurannya
meskipun kondisi perekonomian global saat itu berada pada situasi yang tidak
menguntungkan akibat musim paceklik yang sangat dahsyat, sehingga supplay barang
kebutuhan pokok menjadi terganggu.

Demikian pula dengan kepemimpinan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yang mampu
menciptakan revolusi peradaban hanya dalam waktu 23 tahun. Beliau adalah tipikal
pemimpin yang sangat luar biasa dan tidak ada tandingannya. Potensi para sahabat mampu
dioptimalkan dengan baik sehingga mereka dapat memerankan dirinya sebagai anasirut
taqyir atau agen-agen perubahan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih positif.
‘Abdurrahman bin ‘Auf, dengan potensi yang dimilikinya, oleh Rasulullah dijadikan sebagai
kunci penting yang mampu menggerakan perekonomian masyarakat. Abu Bakar dan ‘Umar
bin al-Khattab, dipersiapkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi negarawan
besar. Demikian pula dengan Khalid bin Walid , yang dioptimalkan perannya sebagai
jenderal perang yang sangat disegani dan ditakuti dunia pada saat itu. ‘Ali bin Abi Thalib,
yang dididik menjadi ilmuwan dan pemimpin yang dipersiapkan sejak muda. Abu Zarr al-
Gifari, yang dididik menjadi tokoh yang menjadi penyeimbang dan pengingat penguasa untuk
tidak bermain-main dengan jabatannya ‘Aisyah, disamping sebagai istrinya,beliau juga
dipersiapkan sebagai seorang ilmuwan yang mampu menjawab berbagai pertannyaan dari
masyarakat, terutama dari kaum perempuan. Masih banyak contoh para sahabat lainnya, yang
mampu menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia.

Yang sangat luar biasa adalah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menjadikan
mereka sebagai tim yang solid dan kompak sehingga melalui tangan merekalah dakwah islam
tersebar luas ke seluruh jazirah dan penjuru dunia. Kesemuanya membuktikan bahwa
persoalan kepemimpinan bukan merupakan persoalan kecil yang dapat dipermainkan. Ia
adalah persoalan serius yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya di yaumil-akhir.
Karena itu, ajaran islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati dalam memilih
pemimpin, karena salah memilih pemimpin dan salah dalam meletakannya,berarti sama
dengan turut berkonstribusi dalam menciptakan kesengsaraan masyarakat.

Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Allah mampu di hadapan
manusia. Dihadapan Allah kelak pada hari akhir akan terjadi saling melempar kesalahan,
antara pemimpin dengan rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya, jika tidak dilandasi
dengan nilai-nilai tauhidullah dan kedudukan kepada ajaran-Nya.
Karena persoalan kepemimpinan terkait dengan urusan dunia dan akhirat,maka Al-Qur’an
melarang kaum muslim mengangkat pemimpin kaum nonmuslim yang memmusuhi Allah
dan Rasul-Nya serta kaum muslim secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai