Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020


UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI SUBARACHNOID BLOK (SAB)


PADA PASIEN DENGAN PLASENTA PREVIA

Oleh :
Rizky Suci Aulia Sari, S.Ked
105505406018

Pembimbing :
dr. Zulfikar Djafar, M. Kes, Sp. An

(Dibawakan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : Rizky Suci Aulia Sari, S.ked

NIM : 105505406018

Judul Laporan kasus : Manajemen Anestesi Subarachnoid Blok (SAB) pada


pasien dengan Plasenta Previa

Telah menyelesaikan Laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2020

Pembimbing,

dr. Zulfikar Djafar, M. Kes, Sp. An

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
Manajemen Anestesi Subarachnoid Blok (SAB) pada pasien dengan
Plasenta Previa. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini,
namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis sampaikan terima kasih
banyak kepada, dr. Zulfikar Djafar, M. Kes, Sp. An, selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang
diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Februari 2020

Rizky Suci Aulia Sari, S.Ked

DAFTAR ISI

iii
LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................2

A. Plasenta Previa......................................................................................2

B. Anestesi Spinal ...................................................................................9

BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................37

BAB IV LAPORAN ANESTESI.....................................................................43

BAB V PEMBAHASAN..................................................................................49

BAB VI PENUTUP..........................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan laporan World Health Organization (2008) angka kematian

ibu di dunia pada tahun 2005 sebanyak 536.000. Kematian ini dapat disebabkan

oleh 25% perdarahan, 20% penyebab tidak langsung, 15% infeksi, 13% aborsi

yang tidak aman, 12% eklampsi, 8% penyulit persalinan, dan 7% penyebab

lainnya.1 Dari seluruh kasus perdarahan antepartum plasenta previa merupakan

penyebab terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian perdarahan antepartum,

kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan terlebih dahulu. 2 Plasenta previa

adalah keadaan plasenta berimplantasi rendah pada segmen bawah rahim,

menutupi atau tidak menutupi orifisium uteri internum pada usia kehamilan lebih

dari 20 minggu dan janin mampu hidup diluar rahim.3

Plasenta previa merupakan indikasi maternal untuk dilakukan Seksio

Sesarea.4 Ada 4 tipe anestesi yang ada yaitu, anestesi umum, anestesi lokal,

sedation anesthesia, dan anestesi regional. Anestesi regional sendiri merupakan

upaya untuk memblok sensasi rasa sakit pada sebagian besar anggota tubuh.

Prosedur ini diindikasikan kepada pasien dengan bedah ekstremitas bawah,

tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obsetri-ginekologi, bedah urologi, bedah

abdomen atas dan bedah abdomen bawah.5 Salah satu prosedur anesthesia regional

adalah anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke

dalam ruang subarachnoid. Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah

dikerjakan.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Plasenta Previa

Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan

yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan

yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa

mendatangkan syok yang fatal. Salah satu sebabnya adalah plasenta previa.

Antisipasi dalam perawatan prenatal adalah sangat mungkin oleh karena pada

umumnya penyakit ini berlangsung perlahan diawali gejala dini berupa

perdarahan berulang yang mulanya tidak banyak tanpa disertai rasa nyeri dan

terjadi pada waktu yang tidak tertentu, tanpa trauma. Sering disertai oleh

kelainan letak janin atau pada

kehamilan lanjut bagian bawah janin tidak masuk ke dalam panggul, tetapi

masih mengambang di atas pintu atas panggul.1 Perempuan hamil yang

ditengarai menderita plasenta previa harus segera dirujuk dan diangkut ke

rumah sakit terdekat tanpa melakukan periksa dalam karena perbuatan tersebut

memprovokasi perdarahan berlangsung semakin deras dengan cepat.7.

1. Definisi

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen

bawah rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari

ostium uteri internum7.

Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya

segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan plasenta yang

2
berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti

perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi.

Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan

kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh

plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari

plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal

maupun dalam masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun

pemeriksaan digital.7,8.

2. Klasifikasi

a. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi

seluruh ostium uteri internum.

b. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian

ostium uteri internum.

c. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada

pinggir ostium uteri internum.

d. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen

bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak

lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2

cm dianggap plasenta letak normal.1

3. Insiden

Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi

dan pada usia di 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda

daripada kehamilan tunggal. Uterus bercacat ikut mempertinggi angka

3
kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan

insidennya berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Di negara maju

insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % mungkin disebabkan

berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya

penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi

lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.8

4. Etiologi

Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim

belumlah diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja

blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar

belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu

penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin

sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut,

cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan

sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di

endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor risiko bagi

terjadinya plasenta previa. Pada perempuan perokok dijumpai insidensi

plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbon mono-

oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi

sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti pada

kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan

pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi

sebagian atau seluruh ostium uteri internum.7,8

4
5. Patofisiologi

Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga

dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya

segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Dengan

melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta

yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat

pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu

serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak

plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan

yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari

plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu

perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi

(unavoidable bleding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan

diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu

berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat

minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan

tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi

pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari

plasenta pada mana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih

lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan

berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang

kejadian perdarahan. Demikianlah perdarahan akan berulang tanpa sesuatu

5
sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa

nyeri (pain-less). Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri

internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena

segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu

pada ostium uteri internum.1

6. Gambaran klinik

Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus

keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi

pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak

banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu

sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada

setiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti

mengalir.1

7. Diagnosis

Perlu diketahui tindakan periksa dalam tidak boleh/kontra-indikasi

dilakukan di luar persiapan double set-up examination. Periksa dalam

sekalipun yang dilakukan dengan sangat lembut dan hati-hati tidak

menjamin tidak akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Jika terjadi

perdarahan banyak di luar persiapan akan berdampak pada prognosis yang

lebih buruk bahkan bisa fatal.7

Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih

yang dikosongkan akan memberi kepastian diagnosis plasenta previa

dengan ketepatan tinggi sampai 96 % - 98 %. Magnetic Resonance

6
Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada

plasenta termasuk plasenta previa. MRI kalah praktis jika dibandingkan

dengan USG, terlebih dalam suasana yang mendesak.1,7,8

8. Komplikasi

a. Anemia bahkan syok.

b. Kejadian plasenta inkreta dan bahkan plasenta perkreta. Paling ringan

adalah

c. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak

terkendali maka dilakukan histerektomi total.

d. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini

memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala

konsekuensinya.

e. Kelahiran prematur dan gawat janin

f. Berisiko tinggi untuk solusio plasenta, seksio sesarea, kelainan letak

janin, perdarahan pascapersalinan, kematian maternal akibat

perdarahan dan disseminated intravascular coagulation (DIC).1

9. Penanganan

Setiap perempuan hamil yang mengalamı perdarahan dalam

trimester kedua atau trimester ketiga harus dirawat dalam rumah sakit.

Pada kehamilan antara 24 minggu sampai 34 minggu diberikan steroid

dalam perawatan antenatal untuk pematangan paru janin.

Jika perdarahan terjadi dalam trimester kedua perlu diwanti-wanti

karena perdarahan ulangan biasanya lebih banyak. Jika ada gejala

7
hipovolemia seperti hipotensi dan takikardia, pasien tersebut mungkin

telah mengalami perdarahan yang cukup berat, lebih berat daripada

penampakannya secara klinis. Transfusi darah yang banyak perlu segera

diberikan.

Pasien dengan semua klasifikasi plasenta previa dalam trimester

ketiga yang dideteksi dengan ultrasonografi transvaginal belum ada

pembukaan pada serviks persalinannya dilakukan melalui seksio sesarea.

Seksio sesarea juga dilakukan apabila ada perdarahan banyak yang

mengkhawatirkan.

Kebanyakan seksio sesarea pada plasenta previa dapat

dilaksanakan melalui insisi melintang pada segmen bawah rahim bagian

anterior terutama bila plasentanya terletak di belakang dan segmen bawah

rahim telah terbentuk dengan baik.

Anestesia regional dapat diberikan dan pengendalian tekanan darah

dapat dikendalikan dengan baik di tangan spesialis anestesia.

Pertimbangan ini dilakukan mengingat perdarahan intraoperasi dengan

anestesia regional tidak sebanyak perdarahan pada pemakaian anestesia

umum. Namun, pada pasien dengan perdarahan berat sebelumnya

anestesia umum lebih baik mengingat anestesia regional bisa menambah

berat hipotensi yang biasanya telah ada dan memblokir respons normal

simpatetik terhadap hipovolemia.1

10. Prognosis

8
Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik

jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih

dini dan tidak invasif dengan USG di samping ketersediaan transfusi darah

dan infus cairan telah ada di hampir semua rumah sakit kabupaten.1

B. Spinal Anestesi

Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering kita sebut juga

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal adalah anestesi regional

dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid

(cairan serebrospinal). Anestesi ini umumnya menggunakan jarum dengan

panjang 3,5 inci (9 cm).9

Gambar : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

9
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

 Kutis

 Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.

 Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung

procesus spinosus.

 Ligamentum interspinosum

 Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1

cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan

vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,

akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita

rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.

 Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah

yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah

tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

 Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus

duramater seperti saat menembus epidural.

10
Median Paramedian
Tepat di prosesus spinosus 1,5-2 cm lateral proc. Spinosus
Ligamen yang dilewati : supraspinosum,
Ligamen yang dilewati : flavum
interspinosum, flavum

Posisi jarum : tegak lurus dengan spinal Posisi jarum : 10-250 dengan spinal

 Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi

spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada

penusukan.11

Ada dua macam teknik pada anestesi spinal, yaitu median spinal anestesi

dan paramedian spinal anestesi. Tabel berikut menyajikan perbadaan antara

median dan paramedian spinal anestesi

11
TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -

1500 ml (pre-loading).

2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit

3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat

menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.

4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista

iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.

12
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen

interspinous.

6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus

menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.

7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum

suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis,

subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum

flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal

dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan

obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.9

Gambar : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

13
Gambar : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan

monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada

dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi

motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa

14
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu

diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan

darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua

yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat

monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit

menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.9

Gambar : Lokasi Dermatom Sensoris

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :

 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

15
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas

daerah analgetik.

 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang

tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml

larutan.

 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal

dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung

menyebar ke cranial.

 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat

batas analgesia yang lebih tinggi.

 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin

besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik

sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan

posisi pasien.11

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua

yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontra indikasi absolut :

16
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa

menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :

Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.

 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.

 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga

subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa

menimbulkan komplikasi neurologis

 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa

terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus

dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya

 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat

menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting.

 Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah

diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran

infeksi.

 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan

bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

17
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak

membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada

pada pasien sebelumnya.

 Kelainan psikis

 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,

bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150

menit.

 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah

jantung akibat efek obat anestesi local.

 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan

 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal

ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang,

dapat membuat pasien tidak nyaman.11

ANESTESI SPINAL

18
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal

yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang

intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-

5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang

tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi,

efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi

distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan

mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.1,2,3

Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam

ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan

serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi

tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka

meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf

simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak

memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi

sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen

spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat

anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.

Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan

metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap

jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah

yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga

19
kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan

muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.

a. Anatomi Kolumna Vertebra

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis

merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping

itu, pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan

serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan

tindakan anestesi spinal.3,4

Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam

spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi

dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus

vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5

lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat

lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah

thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring

daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.

Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal,

12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan

melekatnya kelompok- kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda,

seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal

atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf

servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut

saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut

20
saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla

spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam

klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk

mencapainya pada pembedahan.

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid

dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum

dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta

mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara

arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra

sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal.

Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang

tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan

serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa

medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.3,4

21
Gambar 1. Kolumna Vertebralis.3

b. Anestesi Lokal

1. Mekanisme Anestetikum Lokal

Mekanisme anestetikum lokal yaitu dengan menghambat hantaran

saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup.

Bahan ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Anestetikum lokal

mencegah terjadi pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat

kerjanya terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit

saja.

Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat

permeabilitas membran terhadap ion natrium (Na+) akibat depolarisasi

ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh anestetikum

22
lokal, hal ini terjadi akibat adanya interaksi langsung antara zat anestesi

lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap adanya perubahan voltase

muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek anestesi lokal di dalam

saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap,

kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat

dan faktor pengaman konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini

akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi,

dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.

Anestetikum lokal juga mengurangi permeabilitas membran bagi

(kalium) K+ dan Na+ dalam keadaan istirahat, sehingga hambatan hantaran

tidak disertai banyak perubahan pada potensial istirahat. Menurut Sunaryo,

bahwa anestesi lokal menghambat hantaran saraf tanpa menimbulkan

depolarisasi saraf, bahkan ditemukan hiperpolarisasi ringan. Pengurangan

permeabilitas membran oleh anestesi lokal juga timbul pada otot rangka,

baik waktu istirahat maupun waktu terjadinya potensial aksi.

Potensi berbagai anestetikum lokal sama dengan kemampuannya

untuk meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler.

Mungkin sekali anestesi lokal dapat meningkatkan tegangan permukaan

lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, dengan demikian pori

dalam membran menutup sehingga menghambat gerak ion melalui

membran. Hal ini akan menyebabkan penurunan permeabilitas membran

dalam keadaan istiharat sehingga akan membatasi peningkatan

permeabilitas Na+. Dapat disimpulkan bahwa cara kerja utama bahan

23
anestetikum lokal adalah dengan bergabung dengan reseptor spesifik yang

terdapat pada kanal Na, sehingga mengakibatkan terjadinya blokade pada

kanal tersebut, dan hal ini akan mengakibatkan hambatan gerakan ion

melalui membran.11,13,14,20

2. Klasifikasi Anestetikum Lokal

Anestetikum lokal diklasifikasikan menjadi dua kategori umum

sesuai dengan ikatan, yaitu ikatan golongan amida (-NHCO-) dan ikatan

golongan ester (-COO-). Perbedaan ini berguna karena ada perbedaan

ditandai dalam alergenitas dan metabolisme antara dua kategori bahan

anestetikum lokal. Secara kimiawi bahan anestetikum lokal dapat

diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu : 12,13,15,16

Golongan Ester (-COO-)

1. Prokain

2. Tetrakain

3. Kokain
4. Benzokain
5. Kloroprokain
Golongan Amida (-NHCO-)
1. Lidokain
2. Mepivakain
3. Bupivacaine
4. Prilokain
5. Artikain
6. Dibukain
7. Ropivakain
8. Etidokain

24
9. Levobupivakain
Perbedaan klinis yang signifikan antara golongan ester dan golongan

amida adalah ikatan kimiawi golongan ester lebih mudah rusak

dibandingkan ikatan kimiawi golongan amida sehingga golongan ester

kurang stabil dalam larutan dan tidak dapat disimpan lama. Bahan

anestetikum golongan amida stabil terhadap panas, oleh karena itu bahan

golongan amida dapat dimasukkan kedalam autoklaf, sedangkan golongan

ester tidak bisa. Hasil metabolisme golongan ester dapat memproduksi

para- aminobenzoate (PABA), yaitu zat yang dapat memicu reaksi alergi,

sehingga golongan ester dapat menimbulkan fenomena alergi. Ikatan ester

mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase,

mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus

jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic

amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak
2,29
menembus jaringan. . Hal inilah yang menjadi alasan bahan

anestetikum golongan amida lebih sering digunakan daripada golongan

ester.11,12,13,17

3. Klasifikasi Potensi Dan Masa Kerja Anestetikum Lokal

Klasifikasi anestetikum lokal berdasarkan potensi dan masa kerja dibagi

menjadi tiga kelompok yaitu kelompok I yang memiliki potensi lemah

dengan masa kerja singkat (≈30menit) seperti prokain dan kloroprokain.

Kelompok II adalah kelompok yang memiliki potensi dan masa kerja

menengah (≈60menit) seperti lidokain, mepivakain dan prilokain.

Kelompok III merupakan kelompok yang memiliki potensi kuat dengan

25
masa kerja panjang (>90menit). Contohnya tetrakain, bupivakain,

etidokain dan ropivakain.4,13

Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain,

sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain2,4.

Tabel 2. Jenis anestesi lokal2

Prokain Lidokain Bupivakain


Golongan Ester Amida Amida
Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10

Tabel 3. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%

Tabel 5. Perbandingan golongan ester dan golongan amida4

Klasifikasi Potensi Mula kerja Lama kerja Toksisitas


Ester
Prokain 1 (rendah) Cepat 45-60 Rendah
Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat 30-45 Sangat
rendah

26
Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat 60-180 Sedang
Amida
Lidokain 1-2 (sedang) Cepat 60-120 Sedang
Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Sedang
Prilokain 1-8 (rendah) Lambat 60-120 Sedang
Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang 90-180 Tinggi
Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Ropivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Levobupivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480

Tabel 6. Sifat beberapa anestetik lokal amida17

Agen Waktu-Paruh Eliminasi t1/2 Vdss (L) B (L/menit)


Distribusi (jam)
(menit)
Bupivakain 28 3,5 72 0,47
Lidokain 10 1,6 91 0,95
Mepivakain 7 1,9 84 0,78
Prilokain 5 1,5 261 2,84
Ropivakain 23 4,2 47 0,44
B= bersihan, Vdss= volume distribusi pada keadaan stabil

4. Beberapa anestetik lokal yang sering digunakan4.

1. Kokain

Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa

jalan nafas atas dengan lama kerja 20-30 menit.

2. Prokain

Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%,

penggunaan untuk blok saraf degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15

mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.

4. Lidokain

Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja

27
10 menit dan relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5

jam tergantung konsentrasi larutan. Larutan standar 1 atau 1,5%

untuk blok perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk

infiltrasi, 0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk

blok motorik dan sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot,

4,0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring (pump spray),

5,0% unutk jeli yang dioleskan pada pipa trakea, 5,0% lidokain

dicampur 5,0% prilokain untuk topikal kulit, 5,0% hiperbarik untuk

analgesia intratekal (subarakhnoid).

5. Bupivakain

Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat

dibanding lidokain tetapi lama kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan

kaudal epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam

45 menit, kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk

anestesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk

blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%.

5. Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal

Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain

5% sudah ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas,

sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat

ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik

terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi

penyebaran obat tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik

28
disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan arah

dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi.

Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat

anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang

berhubungan dengan, hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan,

antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal

ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama

cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang

telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat jenis, dosis,

tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan.15

6. Dampak Fisiologis

a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler :

Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung

dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan

penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang

terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen

simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk

menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat,

sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaC1

fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang

mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekwensi nadi dan penurunan

tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat

akselerator jantung.15

29
b. Terhadap sistem pernafasan :

Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di

bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat

pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi

mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi

apnea.

c. Terhadap sistem pencernaan :

Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang

kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka

aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi

walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi

spingter masih normal.

Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang

disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak,

atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus.5

30
Gambar 3. Rumus bangun Bupivacaine HCl

Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan

amida dengan rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6-

dimethilfenil) monoklorida. Oleh karena lama kerja yang panjang, maka

sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini dengan teknik satu

kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama dapat

dipasang kateter dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko toksisitas

menjadi berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup

lama.

Kerugian dari anestesi lokal ini adalah toksisitasnya sangat hebat,

bahkan mungkin sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa obat ini

dapat menimbulkan toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah

fibrilasi jantung. Oleh karena itu pada pemakaian jenis obat ini untuk

anestesi regional diperlukan pengawasan yang sangat ketat.25

Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu

menghambat impuls saraf dengan cara :

a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan

kalium.

Obat ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium

chanel). Dengan demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari

membran sel saraf sehingga tidak terjadi potensial aksi dan hasilnya

31
tidak terjadi konduksi saraf.

b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat

ini bekerja dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid

yang merupakan membran sel saraf, sehingga menutup pori-pori

membran dengan demikian menghambat gerak ion termasuk Na+ .

Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah :

a. Ikatan protein :

Ikatan protein ini penting untuk persediaan dan pemeliharaan blokade

saraf.

b. Konstanta disosiasi (pKa):

pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk

terionisasi dan 50% lainnya tidak terionisasi. Obat dengan pKa

mendekati pH fisiologis (7,4) akan memiliki bentuk ion-ion yang lebih

banyak dibandingkan dengan obat anestesi yang pKa nya lebih tinggi

sehingga akan lebih mudah berdifusi melalui membran, dengan

demikian onsetnya lebih cepat. Bupivakain mempunyai pKa lebih tinggi

(8,1) sehingga mula kerja obat ini lebih lama (5-10 menit) dan analgesia

yang adekuat dicapai antara 15-20 menit.

c. Kelarutan dalam lemak

Obat anestesi lokal semakin tinggi kelarutan dalam lemak, maka

semakin poten dan semakin lama kerja obat tersebut. Struktur

bupivakain identik dengan mepivakain, perbedaannya terletak pada

rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup metil pada cincin

32
piperidin. Tambahan struktur ini menyebabkan peningkatan kelarutan

bupivakain terhadap lemak serta meningkatnya ikatan obat dengan

protein. Potensi bupivakain 3-4 kali lebih kuat dari mepivakain dan 8

kali dari prokain. Lama kerjanya 2-3 kali lebih lama dibandingkan

mepivakain sekitar 90-180 menit.15

Karena termasuk golongan amida, bupivakain dimetabolisme

melalui proses konjugasi oleh asam glukoronida di hati. Sebagian kecil

diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.

Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah

larutan anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar

dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya

adalah dengan menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik

bupivakain.

Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui

mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai

berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu

tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik

yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih

rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga

mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.15

33
Gambar 4. Mekanisme Kerja Anestesi

Lokal

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain

hiperbarik pada Anestesi spinal :

1. Gravitasi :

Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-1,008.

Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal

akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah,

sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan

gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan

sesuai dengan tempat injeksi.

34
2. Postur tubuh :

Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya

dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak

sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih

banyak dari pada yang pendek.

3. Tekanan intra abdomen :

Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan

saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-

saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan

menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang

subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke

kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.

4. Anatomi kolumna vertebralis :

Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-

lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi

tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.

5. Tempat penyuntikan :

Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang

dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih

memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada

L4-5.

6. Manuver valsava :

35
Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika

tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara

mengedan.

7. Volume obat :

Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan

yang dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran

maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20

menit pada semua jenis volume obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc).

Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek

waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat

makin tinggi level blok sensoriknya.

8. Konsentrasi obat :

Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75%

hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih

tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5%

hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama kerja obat akan lebih

panjang secara bermakna pada penambahan volume obat

bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler

akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.

9. Posisi tubuh :

Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan

tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik

pada perubahan posisi tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik

36
akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi

terlentang bisa mencapai level blok T4 sedangkan pada posisi duduk

hanya mencapai T8.

10. Lateralisasi :

Lateralisasi pada larutan anestetika lokal jenis hiperbarik dapat

dilakukan dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada

percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah

penyuntikan obat penyebaran obat pada sisi tubuh sebelah bawah

mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1. 20 menit setelah obat

disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6, sedangkan

pada sisi atas mencapai T7.15

37
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir/ Usia : 23-07-1987/ 33 tahun.

Agama : Islam

Suku : Bugis-Makassar

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal MRS : 7 Februari 2020

No. RM : 53 37 61

Diagnosa : G1P0A0 gr 35 minggu + Plasenta Previa Totalis

Jenis Operasi : Seksio Sesarea

Jenis anestesi : Anestesi spinal

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Keluar darah dari kemaluan sejak 4jam SMRS

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien Ibu hamil, G1P0A0, usia 33 tahun datang ke RSUD Syech

Yusuf dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 4 jam SMRS. Darah

38
yang keluar berwarna merah segar banyaknya 2 kali ganti pembalut dan

perdarahan tidak disertai dengan rasa nyeri. Riwayat perut mulas yang

menjalar ke pinggang makin lama makin sering dan kuat disangkal. Riwayat

keluar air-air disangkal. Pasien mengaku hamil cukup bulan dan gerakan janin

masih dirasakan.

Pasien mengatakan telah memeriksakan kandungannya selama 6 kali

kebidan dan sudah mendapatkan imunisasi TT 2 kali selama kehamilan.

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit dalam

keluarga juga disangkal. Tidak ada riwayat kencing manis, riwayat asma,

riwayat operasi, riwayat sakit jantung, riwayat keluarga darah tinggi, riwayat

keluarga kencing manis, dan tidak merokok. Pasien mengaku HPHT sekitar 06

Juni 2019 yang berdasarkan perhitungan taksiran persalinan 13 Maret 2020

usia kehamilan pasien saat ini sekitar 35 minggu dengan perkiraan berat janin

2.320 gram.

C. PEMERIKSAAN FISIK

 GCS : E4M6V5

 KU : Sakit Sedang/Gizi baik

 BB : 65kg

 Vital Sign :

 Tekanan darah : 100/60 mmHg

 Nadi : 84 x/menit

 Suhu : 36.6°C

 Pernafasan : 20 x/menit

39
 SpO2 : 98%

 VAS : 2-3

 Pemeriksaan obstetrik :

Fundus setinggi 29 cm, teraba bagian bokong pada fundus, letak

memanjang dengan punggung di sebelah kiri, presentasi kepala janin, dan

belum masuk pintu atas panggul. DJJ 146 x/menit, his tidak ada. Pada

pemeriksaan dalam tidak dilakukan. Pada pemeriksaan inspekulo

didapatkan vulva dan vagina tidak ada kelainan, portio livide, OUE

tertutup, Fluor (-), Fluksus: darah (+) aktif, Erosi/Polip/Laserasi (-).

 Status Generalis

o Kulit : Warna kecoklatan, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit

cukup.

o Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma.

o Rambut : Tidak mudah dicabut

o Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sclera ikterik.

o Pemeriksaan Leher

- Inspeksi : Tidak terdapat jejas

- Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran

kelenjar tiroid.

o Pemeriksaan Thorax

a. Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

40
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

 Perkusi :

Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

 Auskultasi : S1 & S2 murni reguler, tidak ditemukan gallop dan

murmur.

b. Paru

 Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ditemukan retraksi.

 Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri.

 Perkusi : Sonor kedua lapang paru

 Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonki dan wheezing

o Pemeriksaan Ekstremitas :

 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

 Turgor kulit cukup, akral hangat

 Psoas sign (+)

 Status Lokalis

Regio inguinal kanan : palpasi tidak ditemukan Blumberg sign (-)

 B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), frekuensi pernapasan: 20
kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi(-/-), wheezing(-/-), massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).

41
 B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah
(-/-),tekanan darah : 100/600 mmHg, denyut nadi : 84 kali/menit, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.

 B3 (Brain) :
Kesadaran: Compos mentis, Pupil: isokor Ø2,5mm/2,5mm, defisit
neurologis(-).
 B4 (Bladder) :
Terpasang Kateter (+)
 B5 (Bowel) :
Peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (+).
 B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Pemeriksaan Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 10.1 11,5-16 g/dL
Leukosit 9.2 x 103 4.0-10.0 103/mm3
Eritrosit 3.22 x 106 3.80-5.80x106/m
Trombosit 225 x 103 150000-500000/mL
CT 7’40” 4-10 menit
BT 2’10” 3-7/2.5-9.5 menit
PT - 10.8-14.4 detik
APTT - 22.6-35.0 detik
INR -

Kimia Klinik
SGOT - <32 U/L
SGPT - <31 U/L
GDS - <140 mg/dL

42
Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif Negatif

2. Ultrasonografi (USG)

Gravid tunggal, hidup, presentasi kepala, plasenta menutupi OUI

Kesan : Palsenta Previa totalis

E. KESAN ANESTESI

Wanita G1P0A0 usia 33 tahun dengan Gr. 35 minggu + Plasenta Previa totalis

dilakukan operasi sectio caesarea (SC) menggunakan teknik anestesi regional

jenis SAB (Sub Arachnoid Blockade) dengan status pasien ASA II

F. PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF

1. Informed consent

mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan.

2. Informed consent

mengenai pembiusan dengan anestesi regional.

3. Menyampaikan

pada pasien mengenai persiapan operasi yaitu puasa ± 8 jam mulai pukul

00.00 WITA.

BAB IV

LAPORAN ANESTESI

43
Tanggal Operasi : 7 Februari 2020

Diagnosa Pre Operasi : G1P0A0 gr 35 minggu + Plasenta Previa totalis,

ASA PS II

Tindakan : Seksio Sesaria

Jenis anestesi : Spinal Anestesi

A. PRE OPERATIF

1. Informed consent kepada pasien tentang tindakan anestesi yang akan

dilakukan.

2. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai.

3. Kandung kemih terpasang kateter.

4. Sudah terpasang cairan infus RL

5. Siapkan conecta triway dan larutan NaCl 0,9% + Oxytocin 2amp

6. Keadaan umum: compos mentis.

7. Tanda vital:

- Tekanan darah : 115/60 mmHg

- Nadi : 90 x/menit

- Suhu : 36.6°C

- Pernafasan : 20 x/menit

B. TINDAKAN ANESTESI

Anestesi spinal

44
C. PENATALAKSANAAN ANESTESI

Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi

sudah lengkap seperti:

1. Kasa steril

2. Sarung tangan steril

3. Povidon Iodine

4. Plester

5. Spinocan

6. Obat anestesi spinal: Bunascan Spinal 0.5%

7. Spoit 5 cc

8. Lampu

9. Monitor tanda vital

10. Alat-alat resusitasi

11. Obat-obat anestesi lainnya jika dibutuhkan seperti atropin, ephedrin,

midazolam, fentanil, pethidin, propofol dan ketamin.

Setelah memastikan semua alat-alat dan medikasi sudah lengkap, pasien

dipasangkan monitor, lalu pasien didudukkan, kepala menunduk, dengan

lutut lurus, kemudian ditentukan lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas

titik hasil perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca

dekstra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan

di vertebral lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis

dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik

L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan

45
jarum spinal no. 25G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa

kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui

kanul (ruang subarachnoid), kemudian disuntikkan obat anestesi, yaitu

Bunascan Spinal 0,5% sebanyak 2 mL namun terlebih dahulu dilakukan

aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid.

Setelah Bupivacaine disuntikkan setengah dari volumenya, kembali

dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser,

setelah yakin Bupivacaine dapat disuntikkan semuanya. Setelah itu luka

bekas suntikan ditutup dengan kasa steril dan selanjutnya pasien dibaringkan

di meja operasi pada posisi supine.

Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 4 lpm.

Dilakukan operasi Sectio sesaria dengan lama operasi ± 90 menit.

D. INTRA OPERATIF

Jam 11.20 WITA pasien masuk ke kamar operasi, pasien dibaringkan

dimeja operasi, dipasang manset di lengan kanan atas dan pulse oxymetri pada

ibu jari tangan kanan. Vital sign pasien sesaat setelah memasuki kamar operasi

TD 110/60 mmHg, Nadi : 80 kpm, RR : 20 kpm, SpO2 : 98 %.

Jam 11.25 pasien dilakukan regional anestesi teknik SAB spinal pada

vertebra lumbal 3-4 menggunakan jarum spinocan no. 25. Setelah dilakukan

regional anestesi tekanan darah pasien 80/50 mmHg. Nadi :

64 kpm, SpO2 : 99 %. Jam 11.30 pasien diberikan medikasi berupa Efedrin 10

mg, setelah itu tekanan darah pasien 100/70 mmHg dengan nadi 72kpm.

46
Setelah bayi dilahirkan pukul 11.40, hubungkan conecta triway dengan

saluran infus RL kemudian jalankan larutan NaCl 0,9% yang sudah

ditambahkan Oxytocin 2 amp.

Selama anastesi berlangsung TD berkisar 110/60 mmHg – 100/70

mmHg dan nadi berkisar 70 - 80x /menit. Monitoring TTV dan cairan

terhadap pasien tetap dilakukan sampai operasi selesai. Lama operasi ± 60

menit.

E. PASCA OPERATIF

1) Pasien masuk diruang pemulihan.

2) Posisi pasien head up 300

3) Monitoring tanda-tanda vital post operasi.

4) Evaluasi keluhan post operasi.

5) Pindah ruangan jika Bromage scale <2

Kriteria Nilai:

 Gerakan penuh dari tungkai (0)

 Tak mampu ekstensi tungkai                (1)

 Tak mampu fleksi lutut                         (2)

  Tak mampu fleksi pergelangan kaki    (3)

F. KEBUTUHAN CAIRAN

 Pre Operasi

Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 jam

65kg x 40-50cc

47
2600 -3575 cc/24 jam (108-149cc/jam)

Puasa 8 jam = 8 jam x kebutuhan cairan/jam

8 x 108-149 cc/jam

864 – 1192 cc

Total Kebutuhan PreOP = 864 – 1192 cc

 Durante Operasi (Kebutuhan cairan selama operasi 60 menit)

Maintenance = 108-149cc/jam

Replacement = EBV = 65 cc x BB = 65 x 65 kg = 4225 cc

EBL = 10% x EBV = 10% x 4225cc = 422.5cc

Diberikan cairan Gliofusal 400cc

Cairan yang hilang karena penguapan selama operasi bedah:

BB x jenis operasi sedang

65x6cc/jam = 390 cc/jam


Estimasi kehilangan darah / EBL : Pasien termasuk estimasi
kehilangan darah kelas I jadi perkiraan kehilangan darah <15%.Jumlah
perdarahan dapat diganti dengan koloid sesuai dengan jumlah
perdarahan atau kristaloid 2-4x jumlah perdarahan.

Total kebutuhan cairan DO:


Maintenance + replacement (perdarahan+cairan oleh penguapan)
= (108) + (400)+(390) = 898 cc

 Post Op
Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 jam

65kg x 40-50cc

2600 -3575 cc/24 jam (108-149cc/jam)

Puasa 6 jam = 6 jam x kebutuhan cairan/jam

48
6 x 108-149 cc/jam (648 – 894 cc)

BAB IV

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi

anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan

49
status fisik ASA & risk faktor. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien ibu

hamil, G1P0A0, usia 33 tahun datang ke RSUD Syech Yusuf dengan keluhan

keluar darah dari kemaluan sejak 4 jam SMRS. Darah yang keluar berwarna

merah segar banyaknya 2 kali ganti pembalut dan perdarahan tidak disertai

dengan rasa nyeri. Riwayat perut mulas yang menjalar ke pinggang makin lama

makin sering dan kuat disangkal. Riwayat keluar air-air disangkal. Pasien

mengaku hamil cukup bulan dan gerakan janin masih dirasakan. Usia kehamilan

pasien saat ini sekitar 35 minggu dengan perkiraan berat janin 2.320 gram.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi

84x/menit, frekuensi napas 20 x/menit dan suhu 36.60C. Pada pemeriksaan

obstetrik didapatkan Fundus setinggi 29 cm, teraba bagian bokong pada fundus,

letak memanjang dengan punggung di sebelah kiri, presentasi kepala janin, dan

belum masuk pintu atas panggul. DJJ 146 x/menit, his tidak ada. Pada

pemeriksaan dalam tidak dilakukan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis serta pemeriksaan obstetri yang

dilakukan maka pasien dicurigai mengalami perdarahan pada kehamilan dengan

keluhan keluar darah tanpa disertai nyeri maka pasien dicurigai menderita

plasenta previa dimana plasenta yang menutupi jalan lahir.

Maka dilanjutkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan Ultrasonografi dan didapatkan kesan Plasenta Previa totalis. Dari

hasil keseluruhan diatas disimpulkan bahwa kondisi fisik pasien termasuk ASA II

yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan dengan tanpa gangguan fungsional

yang substansif.

50
Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi section caesarea atas indikasi

Plasenta Previa totalis dengan menggunakan spinal anastesi hal ini sesuai dengan

salah satu indikasi dilakukan tindakan anastesi spinal yaitu bedah obstetric-

ginekologi. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Selain itu

karena bahaya aspirasi lebih kecil karena pasien sadar, hubungan fisiologis antara

ibu dan bayi terjalin, efek obat terhadap janin lebih kecil.

Perencanaan anestesi dilakukan dengan Anestesi spinal (blok

subarachnoid) merupakan salah satu teknik anestesi regional yang sering dipilih

pada tindakan Sectio Caesarea. Keuntungan anestesi regional adalah penderita

tetap sadar, sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi

bukan kondisi membahayakan pada anestesi regional. Obat anestetik regional

seperti bupivakain tidak terlalu toksik untuk janin. Waktu prosedur analgesia

spinal lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok

motorik dan sensorik yang baik), mulai kerja dan masa pulih yang cepat.Pada

anestesi spinal ibu tetap sadar sehingga bisa melihat bayinya tepat setelah lahir.

Pertimbangan anestesi ini juga dilakukan mengingat perdarahan

intraoperasi dengan anestesia regional tidak sebanyak perdarahan pada pemakaian

anestesia umum. Namun, pada pasien dengan perdarahan berat sebelumnya

anestesia umum lebih baik mengingat anestesia regional bisa menambah berat

hipotensi yang biasanya telah ada dan memblokir respons normal simpatetik

terhadap hipovolemia.

Pada suatu penelitian agen yang digunakan pada anestesi umum adalah

enfluran dan propofol. Enfluran merupakan obat anestesi inhalasi dalam golongan

51
halotan yang mempengaruhi kontraksi otot polos, seperti agen inhalasi ampuh

lainnya, ia merilekskan rahim pada wanita hamil yang berhubungan dengan lebih

banyak kehilangan darah pada saat melahirkan atau prosedur lain pada uterus

yang telah hamil. Sedangkan propofol merupakan obat induksi anestesi yang

mempengaruhi tekanan darah ibu melalui mekanisme penurunan tahanan

pembuluh darah diakibatkan oleh relaksasi dari otot polos pembuluh darah akibat

dari kerja propofol dalam menghambat aktivitas vasokonstriksi dari saraf.

Persiapan pra anestesi yang dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian

dan persiapan pasien, serta persiapan obat anestesi yang diperlukan. Obat yang

diberikan untuk anestesi berupa anestesi lokal. Obat ini menghasilkan blokade

konduksi atau blokade kanal natrium pada dinding saraf secara sementara

sehingga menghambat transmisi impuls di sepanjang saraf yang berkaitan. Obat

anestesi spinal yang dipilih adalah bunascan spinal 0.5% hiperbarik 12,5 mg

(bupivacaine). Dosis bupivakain untuk anestesi spinal yang disarankan pada

beberapa literatur

antara 12 sampai 15 mg. Namun, penggunaan rentang dosis ini

berhubungan dengan kejadian hipotensi arteri pada sekitar lebih dari 80%,

yang berakibat pada morbiditas maternal dan neonatal. Sejumlah penelitian

telah berusaha menentukan dosis optimal bupivakain, tetapi hasil temuan yang

ada yang berbeda-beda dengan dosis berkisar dari 5 sampai 20 mg. Penggunaan

dosis yang lebih rendah bertujuan untuk mengurangi efek samping (hipotensi,

mual, muntah), mengurangi waktu perawatan di post anesthesia care unit (PACU),

dan meningkatkan kepuasan ibu. Namun, dosis rendah berkaitan dengan

52
kecukupan kualitas anestesi, kebutuhan analgesia tambahan, dan mungkin

memerlukan konversi anestesi umum, sehingga menjadi faktor risiko morbiditas

dan mortalitas ibu terkait anestesi.

Bupivakain merupakan anestetik local yang mempunyai masa kerja panjang

dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Salah satu

efek samping dari penggunaan bupivakain yaitu hipotensi, bradikardi, sakit kepala

pasca spinal, gangguan kardiovaskular atau depresi pernapasan.

Sesaat setelah bayi lahir oxytocin yang telah ditambahkan dalam larutan

NaCl dijalankan, pemberian oxytocin secara berkelanjutan untuk merangsang

kontraksi uterus dan mempunyai tujuan untuk mengurangi kehilangan darah.

Pemberian oksitosin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer yang menimbulkan

hipotensi, peningkatan, atau penurunan denyut jantung. 

Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan

cairan selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya. Pada

kasus ini pasien di puasakan selama 8 jam sebelum tindakan operatif. Kebutuhan

maintenance diperoleh dengan cara menentukan berapa kebutuhan cairan pasien

perhariannya berdasarkan berat badan. Didapatkan pasien dengan berat badan 65

kg memiliki kebutuhan cairan maintenance per jamnya sebanyak 108cc/ jam –

149 cc/ jam. Kebutuhan replacement bertujuan untuk menggantikan volume

cairan yang hilang selama 8 jam puasa. Diketahui untuk menggantikan kebutuhan

replacement cairan selama 8 jam puasa sebesar 864 cc – 1192 cc. Salah satu

kekurangan anestesi subaraknoid blok yaitu resiko terjadinya hipotensi. Pra-

hidrasi yang cukup diperlukan untuk mencegah terjadinya hipotesi. Pada kasus

53
ini, aktualnya input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500

ml.

Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan

replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total

estimasi kehilangan darah selama operasi. Pada kasus ini dilakukan tindakan

operasi Section Caesarea yang merupakan jenis operasi sedang dengan lama

tindakan operasi 60 menit. Maka kebutuhan replacement cairan durante operasi

untuk sejamnya sekitar 390 cc . Untuk menggantikan perdarahan durante operatif,

didapatkan dari total estimasi kehilangan darah dan cairan yang terjadi selama

tindakan operatif. Estimasi kehilangan darah pada Pasien termasuk ok

hipovolemik kelas I jadi perkiraan kehilangan darah <15%. Perdarahan dapat

diganti dengan koloid sesuai dengan jumlah perdarahan atau kristaloid 2-4x

jumlah perdarahan. Aktualnya pada kasus ini, total cairan kristaloid yang

diberikan sebanyak 500 ml disertai koloid sebanyak 400 ml. Pertimbangan

pemberian koloid adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada pasien

selama operatif berupa hipotensi. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan

maintenance dan replacement durante operatif telah terpenuhi.

Terapi cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama

puasa (replacement) dan kebutuhan maintenance cairan Pada kasus ini, pasien

diinstruksikan untuk berpuasa 6 jam pasca tindakan operatif. Total cairan yang

dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan selama 6 jam puasa pada

pasien tersebut sebanyak 648 cc – 894 cc. Dengan kebutuhan cairan 2600 – 3575

54
cc/24 jam. Aktualnya pada kasus ini pasien hanya diberikan input cairan sebanyak

500 ml/ 8 jam post operatif. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan post

operatif belum secukupnya terpenuhi. Kebutuhan akan kalori, protein maupun

keseimbangan elektrolit (kecuali hari pertama) seharusnya perlu dipertimbangkan

dalam pemberian jenis cairan post operatif. Proses penyembuhan luka operasi

sangat bergantung pada kecukupan protein. Bilamana asupan kalori post operatif

kurang, sekitar 50 % akan terjadi pemecahan protein cadangan tubuh. Hal ini

mengakibatkan lamanya proses penyembuhan luka yang mempengaruhi waktu

perawatan di Rumah Sakit. Aktualnya pada kasus ini pasien hanya diberikan

cairan kristaloid (Ringer Laktat). Komposisi ringer laktat hanya terdiri atas ion

natrium sebanyak 138 mEq. Kebutuhan kalori pasien perharinya sebanyak 1.300 –

1.950 Kcal/hari. Untuk kebutuhan elektrolit natrium sebanyak 130 - 260 mEq dan

kalium sebanyak 65 - 130 mEq.

Selama dilakukan anestesi, dipantau tanda-tanda vital pasien meliputi

tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu dan saturasi oksigen.

Setelah operasi selesai pasien dipindahkan keruang pemulihan dan disini

dievaluasi kembali dengan melihat tanda-tanda vital dan kesadaran serta

menanyakan keluhan pasien jika ada, setelah keadaan pasien membaik kemudian

dipindahkan ke perawatan

Adapun skor yang digunakan untuk menilai pemulihan post anestesi spinal

yaitu dengan menggunakan Bromage score.

Kriteria Nilai:

 Gerakan penuh dari tungkai (0)

55
 Tak mampu ekstensi tungkai                (1)

 Tak mampu fleksi lutut                         (2)

  Tak mampu fleksi pergelangan kaki    (3)

Interpretasi jika Bromage score <2 dapat pindah ke ruang perawatan.

56
BAB V

PENUTUP

Anestesi regional merupakan upaya untuk memblok sensasi rasa sakit pada

sebagian besar anggota tubuh. Dalam prosedur seperti ini, pasien akan tetap

terjaga namun tidak mampu merasakan sebagian dari anggota tubuhnya. Prosedur

ini diindikasikan kepada pasien dengan bedah ekstremitas bawah, tindakan sekitar

rektum-perineum, bedah obsetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen atas

dan bedah abdomen bawah.

Pada kasus ini, ibu hamil berusia 33 tahun menderita Plasenta Previa totalis

dengan ASA PS II dan dilakukan Sectio Sesaria dengan menggunakan teknik

anestesi spinal. Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik

dari segi anestesi maupun tindakan operasi. Pasien post operasi diruang

pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum

pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik TMA.. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan


persalinan. Dalam: Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan.
Edisi ke-4, Cetakan I. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2016. Hlm. 492-502.
2. Sastrawinata S. Obstetri patologi ilmu kesehatan reproduksi. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC. 2005. Hlm. 83-91.
3. Sumapraja S dan Rachimhadi T. Perdarahan antepartum. Dalam:
Wiknjpasienastro H. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005. Hlm. 365-85.
4. Oentari W, Hestianto A. Seksio Sesarea. Dalam Tanto C, Liwang F,
Hanifati S. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I edisi IV. Jakarta : Media
Aesculapius. 2014. Hal 504
5. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensif Care FKUI. 2009.
6. Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR, Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. 2009
7. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrom
Pbstetrics. 22nd ed. McGraw Hill, 2005, p819-23
8. Kay HH. Placenta Previa and Abruption, in James R, Md Dcott, Ronald S,
Md Gibbs, Beth Y, Md Karlan, et al, Danforth DN. Obstetrics and
Gynaecology, 9th ed, Lippincott Williams & Wilkins Publishers; August
2003
9. Sohail, beshad et all. 2011. Comparison of median and paramedian
technique in spinal anaesthesia. http://www.pafmj.org/showdetails.php?
id=447&t=o diakses 17 februari 2020 pukul 15.41
10. Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. Anesthesia in the Prone Position.
British Journal of Anesthesia. 2008.

58
11. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002
12. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical
Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical
Books: 2006, 151-52, 263-75.
13. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, epidural and caudal blocks. Morgan GE,
Mikhail MS, eds. Clinical Anesthesiology. 4thedition. New York:
McGraw Hill Lange Medical Books: 2006, 289-323.
14. Bernards CM. Epidural and spinal anesthesia. Barash PG, Cullen
BF,Stoelthing RK,eds. Clinical Anesthesia Fifth Edition, Philadelphia:
Lippincott-Williams & Wilkins; 2006, 691-717.
15. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed 1.
Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran Universitas Indonesia. 2001:
124-7.
16. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical
Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical
Books: 2006, 151-52, 263-75
17. Hadzic A, NYSORA. Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain
Management. NYSORA. The McGraw-Hill Companies. 2007

59

Anda mungkin juga menyukai