Anda di halaman 1dari 20

KEBUTUHAN RASA NYAMAN (NYERI)

A. Konsep Medis
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal
skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan
atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Aziz Alimul, 2012).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2010).
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang
muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan
adanya kerusakan. Serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan
sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan
dengan durasi kurang dari 6 bulan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional); awitan
yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat hingga akhir
yang dapat diantisipasi atau di prediksi. (NANDA, 2015). Nyeri kronis
serangan yang tiba-tiba atau lambat dari intesitas ringan hingga berat dengan
akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung > 3 bulan
(NANDA, 2012).

2. Fisiologi Nyeri
Fisiologi nyeri merupakan alur terjadinya nyeri dalam tubuh. Rasa
nyeri merupakan sebuah mekanisme yang terjadi dalam tubuh, yang
melibatkan fungsi organ tubuh, terutama sistem saraf sebagai reseptor rasa
nyeri.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
a. Reseptor A delta : merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi
6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C : merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
a. Proses Terjadinya Nyeri
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli
akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik
kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf
tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks
serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan
sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi
sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat
membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau
dingin) dan agen kimiawi yang dilepaskan karena trauma/inflamasi.
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk
mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi
potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat.
b. Tahapan Fisiologi Nyeri
1. Tahap Trasduksi
a) Stimulus akan memicu sel yang terkena nyeri utk melepaskan
mediator kimia (prostaglandin, bradikinin, histamin, dan substansi
P) yg mensensitisasi nosiseptor.
b) Mediator kimia akan berkonversi mjd impuls2 nyeri elektrik.
2. Tahap Transmisi
Terdiri atas 3 bagian :
a) Nyeri merambat dari serabut saraf perifer (serabut A-delta dan
serabut C) ke medula spinalis.
b) Transmisi nyeri dari medula spinalis ke batang otak dan thalamus
melalui jaras spinotalamikus (STT) -> mengenal sifat dan lokasi
nyeri.
c) Impuls nyeri diteruskan ke korteks sensorik motorik, tempat nyeri
di persepsikan
3. Tahap Persepsi
a) Tahap kesadaran individu akan adanya nyeri.
b) Memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif utk mengurangi
kompenen sensorik dan afektif nyeri
4. Tahap Modulasi
a) Disebut juga tahap desenden.
b) Fase ini neuron di batang otak mengirim sinyal-sinyal kembali ke
medula spinalis.
c) Serabut desenden itu melepaskan substansi (opioid, serotonin, dan
norepinefrin) yang akan menghambat impuls asenden yang
membahayakan di bag dorsal medula spinalis.
3. Klaisifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri dibagi menjadi 2 yakni nyeri akut dan nyeri kronis.
a. Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang yang tidak memiliki atau melebihi 6 bulan dan ditandai
adanya peningkatan tegangan otot.
b. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya
berlangsung dalam waktu yang lama. Yang lebih dari 6 bulan, yang
termasuk nyeri psikomatis. Dan ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat
dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tersusun dan nyeri
terbakar (sumber Zakiyah Ana 2015).
c. Perbedaan nyeri akut dan kronis
No Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
1 Pengalaman Suatu kejadian Situasi, status
eksistensi
2 Sebab eksternal atau Tidak di ketahui atau
penyakit dalam pengobatan terlalu
lama
3 Serangan Mendadak Bisa mendadak,
berkembang, dan
terselubung

4 Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan


samai bertahun-tahun
5 Pertanyaan nyeri Daerah nyeri tidak di Daerah nyeri sulit
ketahui secara pasti dibedakan
intensitasnya sehingga
sulit di evaluasi
(perubahan perasaan)
6 Gejala klinis Pola respon yang Pola respon yang
khas dengan gejala bervariasi dengan
yang lebih terbatas sedikit gejala
(adaptasi) berlangsung
terus menerus
7 Perjalanan Biasanya berkurang Penderita meningkat
beberapa saat setelah beberapa saat

4. Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoloransi, menahan nyeri (poin tolerance) atau dapat
mengenai jumlah stimulus nyeri sebelum merasa nyeri (point treshold).
Beberapa jenis stimulasi nyeri di antaranya:
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan pada jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.
b. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya, karena adanya oedem akibat
terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
c. Tumor dapat juga menekan reseptor nyeri.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat di pengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya :
a. Artisi nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri tersebut merupakan arti yang negatif. Seperti
membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini mempengaruhi oleh
beberapa faktor seperti : usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya,
lingkungan dan pengalaman.
b. Persis nyeri, merupakan penilaian yang sangat subyektif tempatnya pada
konteks.
c. Toleransi nyeri, toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri
yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri.
Faktor yang mempengaruhi antara lain : alkohol, obat-obatan, hipnotis,
gesekan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat.
d. Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang terhadap nyeri
seperti: nyeri tingkat persepsi, nyeri pengalaman masa lalu, nilai budaya,
harapan sosial kesehatan fisik dan mental. (Hidayat, Aziz, 2012).
6. Sumber Nyeri
a. Cutaneous / superfisial yang meliputi struktur pada kulit dan jaringan
subcutan.
b. Viseral yang meliputi organ-organ yang berada dalam rongga tubuh.
c. Deep srematik yang meliputi tulang otot syaraf dan jaringan-jaringan yang
menyokong.
Upaya Mengatasi Nyeri
1. Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu dengan cara memijatnya pelan –
pelan.
2. Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan sub kutan lain pada tempat cedera dengan
menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai
keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan
dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik
terapi es maupun terapi panas harus digunakan dengan hati – hati dan
dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit ( Smeltzer dan
Bare, 2002 ).
3. Distraksi
Distraksi yaitu mengalihkan perhatian pasien pada sesuatu selain
pada nyeri dapat menjadi strategi yang berhasil.
4. Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Periode relaksasi
yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan
otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri
( Smeltzer dan Bare, 2002)
Tahap relaksasi :
a. Duduk tenang dalam posisi nyaman.
b. Tutup mata perlahan.
c. Kendurkan otot – otot tubuh.
d. Tarik nafas perlahan dan teratur, ambil nafas melalui hidung dan
keluarkan melalui mulut.
5. Imajinasi terbimbing
Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
6. Hipnosis
Keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu.
 Perhitungan skala nyeri
a. Skala ekspresi wajah → digunakan untuk pasien anak – anak.

b. Skala numerik → digunakan untuk pasien dewasa.


0 = tidak nyeri.
1–3 = nyeri ringan (tidak mengganggu aktivitas)
4–6 = nyeri sedang ( mengganggu aktivitas)
7–9 = nyeri berat (tidak bisa melakukan aktivitas)
10 = nyeri sangat berat
(Sumber Zakiyah Ana 2015)
7. Etiologi (Patofisiologi)
Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan
satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun
berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik).
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakan jaringan akibat bedah
atau luka cidera
b. Iskemik jaringan
c. Spasmus otot merupakan suatu keadaan kontraksi yang tak disadari atau
tak terkendali, dan sering menimbulkan rasa sakit. Spasme biasanya terjadi
pada otot yang kelelahan dan bekerja berlebihan, khususnya ketika otot
teregang berlebihan atau diam menahan beban pada posisi yang tetap
dalam waktu yang lama
d. Inflamasi pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif
lainnya.
e. Post operasi (setelah pembedahan)
DM Tipe I DM Tipe II

Reaksi Autoimun Idiopatik, usia, genetic, dll

Sel ß pancreas hancur Jmh sel pancreas menurun

Defisiasi Insulin

Hiperglikemia Katabolisme protein meningkat Liposis meningkat

Pembatasan diet Penurunan BB

Fleksibilitas Intake tidak adekuat Resiko nutrisi kurang


Darah merah
Pelepasan O2
Poliuria Defisit volume cairan

Hipoksia perifer
Perfusi jaringan
Perifer tidak efektif

Nyeri

1) Nosiseptik vs Neuropatik
Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptik
dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh
adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang). Dapat
diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada
organ viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit,
otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).
Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal,
secara umum ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas
stimuli dan nyerinya mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang
terjadi dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan menyebabkan
timbulnya perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik
superfisial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas,
atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai sensasi
tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi
cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).
Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari
adanya kerusakan atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat.
Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik (diabetes
mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit
neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak
terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi
menjadi peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation
pain, sympathetically maintained pain, dan central pain.
Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena
tidak bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat
terjadi bila terjadi perubahan patofisiologis yang menetap setelah
penyebab utama nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini.
Walaupun proses sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal
stimuli noksius, namun cedera saraf dapat membuat perubahan di SSP
yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri neuropatik
memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten.
Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan
digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk,
shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin.
Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik
yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan,
sensitisasi sentral, reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral,
dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang normal menghilang, serta
terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf membuat
koneksi yang lebih luas dari yang normal.
2) Akut vs Kronik
Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan
yang kompleks berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang
berkaitan dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal
dari otot atau organ visera. Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif
terhadap cedera jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli,
spasme otot, dan respon autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara
patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri
neuropatik.
Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses
yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan
untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan
kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya
nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses
penyembuhan selesai. Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang
menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak
memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional
seseorang. Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor
multidimensi, bahkan pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo
tanpa penyebab yang jelas. Nyeri kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau
nyeri neuropatik ataupun keduanya.
Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated
with cancer) dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP).
Banyak ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah
karena komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang
sangat beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari
segi waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini
disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri (invasi
tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh
darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau
karena prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik
dari kemoterapi atau radioterapi). (Sudoyo WA, Setyo Hadi B, Alwi I,
dkk,2012).
8. Manifestasi Klinis
a. Agitas
b. Ansietas
c. Mual dan muntah
d. Mengatupkan rahang atau mengepalkan tangan
e. Perubahan kemampuan untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya
f. Peka rangsang
g. Menggosok bagian yang nyeri
h. Mengorok
i. Postur tidak biasanya ( lutut ke abdomen )
j. Ketidakaktifan fisik atau imobilitas
k. Gangguan konsentrasi
l. Perubahan pada pola tidur
m. Rasa takut mengalami cedera ulang
n. Menarik bila disentuh
o. Mata terbuka lebar atau sangat tajam
p. Gambaran kurus
a. Nyeri Kronis
a. Gangguan hubungan sosial dan keluarga
b. Peka rangsang
c. Ketidakaktifan fisik atau imobilitas
d. Depresi
e. Menggosok bagian yang nyeri
f. Ansietas
g. Tampilan meringis
h. Berfokus pada diri sendiri
i. Tegangan otot rangka
j. Preokupasi somatik
k. Agitas
l. Keletihan
m. Penurunan libido
n. Kegelisahan
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan :
a. Radiologi
b. Laboratorium
c. EEG
d. USG
e. ECG
f. Rontgen
10. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis (Distraksi)
Merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara
mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa
terhadap nyeri yang dialami. Misalnya seorang pasien sehabis operasi
mungkin tidak merasakan nyeri sewaktu melihat pertandingan sepakbola
di televisi. Cara bagaimana distraksi dapat mengurangi nyeri dapat
dijelaskan dengan teori “Gate Control”.Pada spina cord, sel-sel reseptor
yang menerima stimuli nyeri peripheral dihambat oleh stimuli dari
serabut-serabut saraf yang lain. Karena pesan-pesan nyeri menjadi lebih
lambat daripada pesan-pesan nyeri menjadi lebih lambat daripada pesan-
pesan diversional maka pintu spinal cord yang mengontrol jumlah input ke
otak menutup dan pasien merasa nyerinya berkurang. Beberapa teknik
distraksi antara lain: bernafas secara pelan-pelan, massage sambil bernafas
pelan-pelan, mendengar lagu sambil menepuk-nepukkan jari-jari atau kaki,
atau membayangkan hal-hal yang indah sambil menutup mata.
Jenis Teknik Distraksi antara lain :
1) Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.
2) Distraksi pendengaran
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta
gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai
dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi
pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk
menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang,
mengetukkan jari atau kaki. (Tamsuri, 2007).
Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak
karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus
Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah
membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik.
Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don
Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.Dibanding
musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-
karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif
dan motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan
kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya
komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan.
3) Distraksi pernafasan
Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu
objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui
hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian
menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan
menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk
berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang
memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola
pernafasan ritmik. Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien
untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan
lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan
melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri
4) Distraksi intelektual. Antara lain dengan mengisi teka-teki silang,
bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti
mengumpulkan perangko, menulis cerita.
5) Teknik pernafasan
Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang
6) Imajinasi terbimbing
Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan
dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-
angsur membebaskan diri dari dari perhatian terhadap nyeri
a. Farmakologis
Kategori Obat-Obatan Analgesik. Terdapat Tiga macam obat-obatan untuk
mengontrol nyeri yaitu Analgesik non-Opiat, Analgesik Opiat dan Analgesik
adjuvan (WHO, 1986).
1. Analgesik non-Opiat
a) Salisilat
Termasuk didalamnya adlah Aspirin dan Asam Salisilat lainnya.
Aspirin mengandung efek samping gangguan pada lambung dan
perdarahan. Beberapa Asam Salisilat seperti Choline magneium
trisalisilat (Trilisat) dan Salsalat(Salgesic) mempunyai efek samping
gastrointestinal dan pendarahan yang lebih rendah dibandingkan
Aspirin. Aspirin bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin.
b) Asetaminophen
Merupakan obat non-Salisilat dan mempunyai prinsip yang sama
dengan Aspirin, akan tetapi tidak mempunyai efek anti-inflamasi.
Mekanisme dalam membebaskan nyeri tidak diketahui dengan pasti,
tidak seperti Aspirin yang menghambat sintesis prostaglandin akan
tetapi melalui mekanisme sentral.
c) NSAIDs (Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs)
Keefektifan dari obat-obatan NSAID ini bervariasi, beberapa
macam darinya sama efektif seperti Aspirin dan Asetaminofen.
Obat-obatan yang termasuk dalam kelompok ini menghambat
agregasi platelet, kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan
koagulasi atau klien dalam terapi antikoagulan. Termasuk dalam
kelompok ini adalah : Ibuprofen , Naproksen, Indometasin,
Tolmetin, Piroxicam, Keterolac (toradol).
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengumpulan Data
b. Keluhan utama
1) Keluhan yang paling dirasakan klien
2) Klien mengatakan nyeri
a) P (Paliatif) :Faktor yang mempengaruhi gawat atau
ringannya nyeri
b) Q (Qualitatif) : Seperti apa, tajam, tumpul, atau tersayat
c) R (Regio) : Daerah perjalan nyeri
d) S (Severe) : Keparahan atau intensitas nyeri
e) T (Time) : Lama waktu serangan atau frequensi nyeri
c. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital    : Tekanan darah, nadi, pernafasan
2) Perilaku                   : Meletakkan tangan di paha, tungkai, dan paha
flexi
3) Expresi wajah
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Nyeri akut/kronis b.d agen cidera fisik
b. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular
c. Gangguan pola tidur b.d ketidaknyamanan fisik
d. Ketidakefektifan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang
kurang
e. Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskular
f. Ansietas b.d krisis situasional
3. Rencana Tindakan (Intervensi)
a. Nyeri akut/kronis b.d agen cidera fisik
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
1) Melaporkan nyeri yang terkontrol dari skala 6 menjadi skala 2.
(skala 0-10)
2) Ekspresi nyeri wajah berkurang
3) Tekanan darah dipertahankan pada kisaran normal
Intervensi:
a. Kaji nyeri secara komprehensif
b. Monitor tanda-tanda vital
c. Berikan pasien lingkungan yang tenang dan mendukung
d. Ajarkan teknik non farmakologi relaksasi nafas dalam
e. Kolaborasi pemberian analgesik
b. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) Klien meningkat dalam aktivitas fisik (gerak otot dan gerak sendi)
2) Meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
3) Kekuatan tubuh bagian bawah meningkat
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
b. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah latihan dan lihat
respon pasien saat latihan
c. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
d. Berikan ROM aktif dan pasif pada pasien
e. Latih pasien dalam pemenuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
c. Gangguan pola tidur b.d ketidaknyamanan fisik
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan diharapkan masalah dapat teratasi dengan
kriteria hasil:
1) Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari
2) Kesulitan memulai tidur berkurang
3) Pasien tampak segar
Intervensi:
a. Monitor kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam
b. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
d. Kolaborasi pemberian obat tidur
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
yang kurang
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan diharapkan masalah
teratasi dengan kriteria hasil:
1) Keinginan untuk makan meningkat
2) Intake nutrisi meningkat
Intervensi:
a. Kaji nutrisi pasien
b. Berikan makanan yang terpilih
c. Jelaskan pada pasien pentingnya nutrisi bagi tubuh
d. Kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi
e. Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskular
Kriteria hasil:
1) Mampu untuk membersihkan tubuh sendiri secara mandiri dengan
atau tanpa alat bantu
2) Mampu untuk merawat mulut dan gigi secara mandiri dengan atau
tanpa alat bantu
Intervensi:
a. Memantau kebersihan kuku menurut kemampuan perawatan
diri pasien
b. Memberikan bantuan sampai pasien sepenuhnya dapat
mengasumsikan perawatan diri
c. Ajarkan keluarga untuk mendukung kemandirian dengan
membantu hanya ketika pasien tak mampu melakukan
(perawatan diri)
d. Bina konsistensi dari satu shift ke shift berikutnya terkait
rutinitas lingkungan dan perawatan
f. Ansietas b.d kritis situasional
Kriteria hasil:Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan masalah dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas
3) Vital sign dalam batas normal
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi:
a. Monitor vital sign
b. Identifikasi tingkat kecemasan
c. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
rasa takut
d. Ajarkan pasien teknik relaksasi
e. Kolaborasi pemberian obat untuk mengurangi cemas
4. Implementasi
Merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksananakan: melaksanakan intervensi/aktivitas yang
telagh ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan
intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencaan dapat tepat waktu dan efektif
terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan
klien, kemudian bila perawtan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat
respon pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan
informasi ini kepada penyedian perawatan lainnya.kemudian dengan
menggunakan data dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan
dalam tahap proses keperawatan berikutnya.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan
tersebut tercapai. Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian
ulang, kemudian disusun rencana, kemudian dilaksanakan dalam
implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam evaluasi belum
teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai