Dengan semakin baiknya penanggulangan masalah kesehatan di Indonesia, maka umur harapan hidup
seseorang akan makin panjang dan akan menyebabkan semakin meningkatnya jumlah penduduk usia
lanjut di Indonesia.
Berdasarkan data biro pusat statistik, jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 adalah 203.456.000
orang, dimana 17.767.709 jiwa (7.79&) merupakan penduduk lansia. Prediksi tahun 2010 jumlah
penuduk lansia sekitar 9,77% ( 23.992.552jiwa) dan tahun 2020 meningkat menjadi 11,2% ( 28.822.879
jiwa)(DepSos RI, 2003)
Dengan bertambahnya populasi lansia tersebut, meningkat pula terjadinya penyakit non infeksi atau
penyakit tidak menular. Menurut Riskesdas 2013, penyakit terbanyak pada usia lanjut adalah Penyakit
Tidak Menular (PTM) antara lain hipertensi, artritis, stroke, penyakit paru obstructive (PP)K) dan
diabetes mellitus (DM) ( Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2016)
Penderita lansia memerlukan pendekatan yang berbeda dari penderita golongan lain. Hal ini karena
terdapat kondisi-kondisi tertentu pada lansia yang perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi kesalahan saat
menegakkan diagnosis. Kondisi – kondisi yang membuat lansia berbeda dengan golongan populasi lain
antara lain (Martono H, 2000):
- Terjadi perubahan-perubahan pada Lansia yang tidak disebabkan oleh penyakit tetapi penurunan
fisiologis karena proses penuaan
- Terjadi akumulasi proses patologi kronik yang biasanya bersifat degenerative
- Keadaan social ekonomi sering tidak membantu kesehatan dan kesejahteraan penderita lanjut usia
- Adanya penyakit iatrogenik karena obat-obatan
- Adanya penyakit akut (infeksi, stroke, infark jantung) yang akan memperberat keadaan di atas.
Demikian juga gangguan neurologi pada lansia , perlu pendekatan yang seksama teristimewa karena
gangguan neurologi merupakan penyebab disabilitas utama pada lansia. Sistim saraf pada lansia
mengalami penurunan fisiologis normal karena proses penuaan. Dalam menegakkan diagnosis gangguan
neurologis kita perlu memperhatikan kondisi-kondisi tersebut di atas. Kesalahan dalam menegakkan
diagnosis gangguan neurologis akan menyebabkan kesalahan dalam terapi/penatalaksanaan yang bisa
menimbulkan dampak seperti timbulnya penyakit iatrogenic yang bisa memperburuk kondisi usia lanjut.
Pada paper ini akan dibicarakan beberapa masalah dalam penegakan diagnosis gangguan neurologi pada
usia lanjut.
I. Kondisi-kondisi pada populasi lansia yang menyebabkan perbedaan dengan populasi dewasa
muda dari segi neurologi
I.1 Perubahan pada sistim saraf karena penuaan .
Table 1. Change of nervous system in aging
Neuroanatomic Location Change
3
I.2 Perbedaan penyakit antara lansia dan dewasa muda.
Perbedaan kharakteristik penyakit pada usia lanjut dan dewasa muda diperlihatkan pada table
2.
Tabel 2. Perbedaan penyakit antara usia lanjut dan dewasa muda
Parameter Pada usia lanjut Pada usia
muda
Kharakteristik tersebut di atas sesuai dengan hasil Rikesdas 2013 Kemenkes yang menyebutkan
penyakit terbanyak pada lanjut usia adalah Penyakit Tidak Menular (PTM) antara lain hipertensi, artritis,
stroke, Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM), Kanker, penyakit Jantung
Koroner, batu ginjal, gagal jantung, gagal ginjal Selain itu masalah degeneratif menurunkan daya tahan
tubuh sehingga penderita lansia rentan terkena penyakit akut (infeksi dan penyakit akut lain)(Infodatin
Kemenkes, 2016) Brocklehurst dan Allen menambahkan , pada lansia selalu terdapat aspek psikologik
dan social ekonomi, serta penyakit iatrogenic. (Martono H, 2000).
B. Pemeriksaan memori pada usia lanjut juga perlu memperhatikan perubahan fungsi
memori pada penuaan normal (Tabel 4)
Declarative
Semantic Unchanged up to
age 70 years
Episodic Reduced
Recognition Unchanged
Acquisition Reduced
Retrieval Reduced
pemeriksaan penunjang berdasarkan pada parameter penurunan fisiologi pada penuaan dan patologi yang
mendasari penyakit (Martono H, et al , 2000)
Pada populasi dewasa muda , penyakit pada satu organ akan memberi gejala (simptom ) dan tanda
(sign) yang khas pada penyakit dan organ yang bersangkutan dan dijadikan model dalam pendidikan
kedokteran dan kesehatan sehingga disebut model medik. Dengan mempelajari gejala dan tanda tersebut
dokter dapat mendiagnosis jenis penyakit dan organ yang terkena. Namun pada usia lanjut diagnosis
penyakit model medik tidak bisa dikerjakan karena gejala dan tanda yang timbul tidak khas dan
merupakan akibat dari berbagai penurunan fisiologik bercampur berbagai keadaan patologik menjadi satu
. Karena itu penyakit pada usia lanjut digambarkan sebagai model geriatrik atau model bio-psiko-sosial
seperti diperlihatkan pada gambar 1. Untuk mendiagnoss kelainan yang ada diperlukan analisis multi
dimensional yang mencangkup bukan saja keadaan fisik, tetapi juga psikis, social dan lingkungan
penderita (Martono H, 2000)
Gambar 1: Perbedan skematik pederita dewasa dan lanjut usia
( Martono. H, 2000)
Dalam menangani penderita lansia yang datang dengan keluhan neurologi , perlu mengembangkan
model geriatrik(bio-psiko-sosial) ini agar dapat menegakkan diagnosis dengan benar sehingga
penatalaksanaan juga benar.
Sebagai contoh kedua model ini adalah kasus subdural hematoma pada trauma kepala. Pada usia
dewasa muda trauma kepala yang cukup berat bisa menimbulkan rupture pembuluh darah vena antara
otak dan tengkorak yang menimbulkan perdarahan (subdural hematom akut) dengan gejala /tanda yang
jelas. Seperti penurunan kesadaran, sakit kepala. Muntah proyektil sebagai gejala tekanan intrakranial
yang meningkat Gejala yang menunjukkan lokasi seperti hemiparesis kontralateral lesi yang biasanya
terjadi akut dan jelas disebabkan oleh trauma. Sedangkan pada usia lanjut , gejala tidak khas, karena
trauma ringan saja bisa menimbulkan perdarahan . Perdarahan yang terjadi dari sedikit, tambah lama
tambah banyak dan berlangsung chronis. Adanya ruang kosong akibat atrofi kepala pada usia lanjut,
menyebabkan perdarahan tersebut mengisi ruang kosong terlebih dahulu, sehingga gejala tekanan
intracranial yang meningkat dan hemiparesis akibat perdarahan tidak begitu jelas. Kejadian trauma sudah
tidak dingat lagi oleh penderita. Lebih dari 80% penderita dengan chronic subdural hematoma ini
mengeluh sakit kepala yang lebih ringan. Bisa diikuti dengan satu atau kombinasi dari gejala ; perubahn
tingkah laku dan keperibadian, confusion, perubahan bicara, kelemahan tungkai dan kesemutan, apatis,
lethargy , drowsness, penglihatan double, gangguan keseimbangan, hilangnya memori. Lebih dari 40%
SDH pada usia lanjut salah diagnosis pada saat masuk Rumah Sakit sering dengan demensia.
( Neurosurgery, University of Michigan)
Dalam bidang geriatric dikenal penegakan diagnosis khusus yang disebut assesmen geriatric.
Assesment geriatric tersebut bertujuan :
Untuk melaksanakan assessment geriatri tersebut diperlukan tim interdisipliner terdiri dari dokter,
perawat,psikolog. Dalam penagtalaksanaan kita perlu memperhatikan ;
a. Pada satu penderita usia lanjut masalah neurologi sering dijumpai bersama-sama dengan
satu atau lebih penyakit medis lain srhingga perlu kerjasama multisisipliner.
b. Pengobatan yang biasa diberikan pada suatu penyakit dapat merupakan kontraindikasi
yang menimbulkan komplikasi pada penyakit yang kedua.
c. Penderita lanjut usia sering mendapat banyak obat masing-masing dengan side efek dan
interaksi dari obat dapat menyebabkan reaksi bertentangan dan menimbulkan penyakit
baru
d. Usia lanjut sering menunjukkan respon pengobatan yang lambat
II.3. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan neurologi usia lanjut (Mardjono M,
1990) :
Observasi penderita sejak ia masuk ruang pemeriksaan sangat penting. Cara jalannya, sikapnya
waktu duduk atau berbaring, adanya gerakan involunter dan lain-lain dapat memberi petunjuk
kearah suatui diagnosis
Tidak jarang dalam wawancara penderita timbul masalah untuk menentukan apa sebenarnya yang
merupakan keluhan utama. Keluhan utama sering terselubung oleh keluhan lain. Keadaan mental
penerita dan kemunduran panca indra juga akan mempersulit pengambilan anamnesis. Depresi
yang dialami penderita tidak jarang menyerupai demensia.
Wawancara keluarga penderita penting sekali. Keluarga penderita dapat memberikan tambahan
informasi mengenai keadaan dan tingkah laku penderita.
Parameter normal pada pemeriksaan neurologi harus mempertimbangkan perubahan-perubahan
pada usia lanjut (table 3)( Serven ,JI, 2008 )
Fungsi intelektual dan daya ingat perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan perubahan-
perubahan fungsi memori pada penuaan normal. (table 4) (Pickholtz JL, 2008)
Reaksi tubuh terhadap keadaan sakit pada usia lanjut mengalami perubahan. Gejala menjadi tidak
khas, tidak jarang asimptomatik. Misal rasa nyeri tidak selalu dikemukakan, pengaturan suhu
badan mengalami deteorisasi, sehingga suhu pada infeksi tidak selalu naik bahkan mungkin
terjadi hipotermi. Usia lanjut sering tidak memperlihatkan gejala yang khas seperti pada usia
muda. Tumor otak atau subdural hematoma sering tidak memperlihatkan gejala peningkatan
tekanan intracranial atau gejala neurologi lainnya. Kelemahan otot anggota gerak mungkin
disebabkan oleh inaktivitas atau penyakit lain. Kurangnya kemampuan menggerakkan lengan
atau tungkai dapat disebabkan oleh arthritis sendi-sendi, fraktur leher femur. Berbagai gejala yang
dianggap patologis pada usia muda dapat ditemukan pada orang lanjut usia sehat, misal fasikulasi
otot paha, reflex pergelangan kaki yang negative. (Mardjono M, 1990)
Salah satu dilema bagi dokter ialah menentukan pemeriksaan apa yang harus dilakukan atau
pemeriksaan apa yang tidak perlu dilakukan. Secara umum tujuan dari pemeriksaan penunjang adalah
untuk memastikan diagnosis dan untuk menyingkirkan diferensial diagnosis (Mardjono M, 1990).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang biasanya digunakan pada neurogeriatri adalah:
Ringkasan :
10
degeneratif. Penyakit neurologi pada usia lanjut merupakan penyebab utama ketidak mampuan
dan ketergantungan pada usia lanjut.
Karena penyakit pada usia lanjut merupakan gabungan komponen penurunan fungsional usia
lanjut dan patologi penyakit serta dipengaruhi aspek sosial dan lingkungan, gejala dan tanda
penyakit pada usia lanjut sering tersembunyi. Untuk penegakan diagnosis diperlukan model
geriatrik (bio-psiko-sosial) , analisis multi-dimensional mencangkup fisik, psikik, sosial dan
lingkungan dan bekerja dalam tim interdisipliner. Pemeriksaan neurologi pada usia lanjut
hendaknya memperhatikan komponen tersebut di atas. Lansia juga sering menderita lebih dari
satu penyakit dan memerlukan kerjasama multidisipliner.
Parameter normal dari pemeriksaan neurologi pada usia lanjut hendaknya mempertimbangkan
perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut dan memperhatikan respon tidak spesifik dari
penderita
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk diagnosis dan menyingkirkan diagnosis diferensial .
Analisis hasil pemeriksaan penunjang hendaknya memperhatikan perubahan yang terjadi pada
proses penuaan .
Daftar Pustaka :
Departemen Sosial RI, 2003. Kebijakan dan Program pelayanan soaial lanjut usia di Indonesia.
Joseph I serven: Neurological examination of the older adult. In clinical neurology of thr older adult.
Lipincot William & wilkin, Philadelphia, 2008:5-7
Julie L Pickholtz, Cognitive changes Assosiated with Normal Aging. In clinical Neurology of the older
adult. Lippincot willia & wilkin, Philadelphia, 2008: 64-71
Mahar mardjono: beberapa masalah dalam penanganan penderiuta Neurologi lanjut usia. Dalam
neurogeriatri. Buku tahunan nerurologi II. Badan penerbit UNDIP. Semarang, 1990: 23-34
Martono H. 2000. Penderita geriatric dan assessment geriatric. Dalam : Darmojo RB, Martono H .buku
ajar geriatric. penerbit FK UI, Jakarta : 82-106
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI . 2016 Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia.
InfoDatin
11
Rita A Richard: Gerontology and Neurology. In Clinical Neurologyof the Older Adult. Lippincot Williams
& wilkin, Philadelphia, 2008: 3-4