Anda di halaman 1dari 28

IDENTIFIKASI MASALAH YANG TERJADI PADA LANSIA

A. IDENTIFIKASI MASALAH ULKUS DIABETIK


Orang lanjut usia mengalami kemunduran dalam sistem fisiologisnya dan
penurunan fungsi berbagai organ, termasuk fungsi homeostatis glukosa sehingga
penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus dan komplikasi luka diabetes akan lebih
mudah terjadi. Diabetes mellitus dengan komplikasi luka diabetes pada geriatri terjadi
karena timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor :
pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi tubuh berubah menjadi air
53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral menurun 1% sehingga
tinggal 5%.
Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan
penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin sehingga
kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga
adalah perubahan pola makan yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi
sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat
adalah perubahan neurohormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 dan
dehydroepandrosteron plasma (Rochmah, 2016). Prevalensi diabetes mellitus pada
lanjut usia (geriatri) cenderung meningkat, hal ini dikarenakan diabetes mellitus pada
lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam
pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah
tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2013). Pada
sebuah penelitian oleh Cardiovascular Heart Study (CHS) di Amerika didapati hanya
12 % populasi lanjut usia dengan diabetes mellitus yang mencapai kadar gula darah di
bawah nilai acuan yang ditetapkan American Diabetes Association.
Ulkus diabetikum merupakan salah satu bentuk dari komplikasi kronik
penyakit diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat
disertai adanya kematian jaringan setempat. Ulkus diabetik merupakan luka terbuka
pada permukaan kulit akibat adanya penyumbatan pada pembuluh darah di tungkai
dan neuropati perifer akibat kadar gula darah yang tinggi sehingga klien sering tidak
merasakan adanya luka, luka terbuka dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob. Kadar LDL yang tinggi juga memainkan peranan

1
penting untuk terjadinya ulkus uiabetik melalui pembentukan plak atherosklerosis
pada dinding pembuluh darah. Ulkus kaki pada klien diabetes mellitus yang telah
berlanjut menjadi pembusukan memiliki kemungkinan besar untuk diamputasi
(Nursalam, 2017).
Beberapa penyebab terjadinya ulkus diabetikum pada lansia yang pertama
adalah neuropati diabetik merupakan salah satu manifestasi dari diabetes mellitus
yang dapat menyebabkan terjadinya luka diabetes. Pada kondisi ini sistem saraf yang
terlibat adalah saraf sensori, motorik dan otonom. Neuropati perifer pada penyakit
diabetes meliitus dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan
autonom. Kerusakan serabut motorik dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot,
deformitas (hammer toes, claw toes, kontraktur tendon achilles) dan bersama dengan
adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang
terjadi akibat rusakanya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri
sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi
akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering dan terbentuknya fisura kulit dan
edema kaki (Corwin, E.J. 2015).
Yang kedua ulkus diabetikum pada lansia disebabkan oleh angiopati diabetik
yang merupakan suatu penyempitan pada pembuluh darah yang terdapat pada
penderita diabetes. Pembuluh darah besar atau kecil pada lansia mudah mengalami
penyempitan dan penyumbatan oleh gumpalan darah. Jika terjadi sumbatan pada
pembuluh darah sedang atau besar pada tungkai, maka dapat mengakibatkan
terjadinya gangrene diabetic, yaitu luka pada daerah kaki yang berbau busuk dan
berwarna merah kehitaman. Adapun angiopati dapat menyebabkan terganggunya
asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik sehingga kulit sulit sembuh. Dengan kata lain,
meningkatnya kadar gula darah dapat menyebabkan pengerasan, bahkan kerusakan
pembuluh darah arteri dan kapiler (makro/mikroangiopati). Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen ke jaringan, sehingga timbul
risiko terbentuknya nekrotik (Syaifuddin, 2018).
Yang ketiga ulkus diabetikum pada lansia disebabkan oleh pheripheral
vascular disease, ini terjadi karena adanya arteriosklerosis dan ateoklerosis. Pada
arteriosklerosis terjadi penurunan elastisitas dinding arteri sedangkan pada
aterosklerosis terjadi akumulasi “plaques” pada dinding arteri berupa; kolesterol,
lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit dan kalsium. (Sjamsuhidajat, dkk. 2016).

2
Selain itu, penyebab ulkus diabetikum pada lansia juga bisa dikarenakan
penurunan sensasi nyeri pada kaki dapat menyebabkan tidak disadarinya trauma
akibat pemakaian alas kaki. Trauma yang kecil atau trauma yang berulang, seperti
pemakaian sepatu yang sempit menyebabkan tekanan yang berkepanjangan dapat
menyebabkan ulserasi pada kaki (Tambayong, 2015). Kemudian juga dapat
disebabkan oleh infeksi yang biasanya terdiri dari polimikroba. Hiperglikemia
merusak respon immunologi, hal ini menyebabkan leukosit gagal melawan patogen
yang masuk, selain itu iskemia menyebabkan penurunan suplai darah yang
menyebabkan antibiotik juga efektif sampai pada luka (Muttaqin, A & Sari, K. 2015).
Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus diabetikum pada lansia
adalah angipati, neuropati dan infeksi. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan
hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga
akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu
yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada
pembuluh darah yang lebih besar maka lansia akan merasa sakit pada tungkainya
sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan
terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan
terjadinya luka yang sukar sembuh. Infeksi sering merupakan komplikasi yang
menyertai ulkus diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati,
sehingga faktor angipati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus
diabetikum (Arjatmo, T. 2016).
Proses masalah ulkus diabetikum pada lansia terjadi diawali dengan adanya
hiperglikemi yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan neuropati dan kelainan
pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motoric dan
autonom menyebabkan berbagai perubahaan pada otot dan kulit yang selanjutnya
mengakibatkan terjadinya perubahan ditribusi tekanan pada telapak kaki dan
kemudian akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
mengakibatkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah
yang kurang akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes
(Arjatmo, T. 2016).

3
Selanjutnya, proses ulkus diabetikum terdiri dari adanya kavitas sentral dan
biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi oleh kalus keras dan
tebal. Awalnya pembentukan ulkus berhubungan dengan adanya hiperglikemia yang
memberikan dampak terhadap saraf perifer, keratin, kolagen dan suplai vaskuler.
Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin yang keras pada daerah kaki yang
mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer dapat menyebabkan terjadinya
trauma berulang yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan area kalus.
selanjutnya dapat menyebabkan terbentuknya kavitas yang membesar dan akhirnya
ruptur yang melus sampai ke permukaan kulit dan menimbulkan terjadinya ulkus.
Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal menghalangi resolusi.
Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang
inadekuat menimbulkan close space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi system
imun yang abnormal, bakteri sulit dibersihkan, dan infeksi menyebar ke jaringan
sekitarnya (Muttaqin, A & Sari, K. 2015).
Menurut (Syaifuddin, 2018) neuropati sensori perifer dan trauma merupakan
penyebab utama terjadinya ulkus. Neuropati lain yang dapat menyebabkan ulkus
adalah neuropati motorik dan otonom. Neuropati adalah sindroma yang menyatakan
beberapa gangguan pada saraf. Pada pasien dengan diabetes beberapa kemungkinan
kondisi dapat menyebabkan neuropati yaitu pada kondisi hiperglikemia aldose
reduktase mengubah glukosa menjadi sorbitol, sorbitol banyak terakumulasi pada
endotel yang dapat mengganggu suplai darah pada saraf sehingga axon menjadi atropi
dan memperlambat konduksi impuls saraf (Corwin, E.J. 2015).
Neuropati sensori menyebabkan terjadinya penurunan sensitifitas terhadap
tekanan atau trauma, neuropati motorik menyebabkan terjadinya kelainan bentuk pada
sendi dan tulang. Neuropati menyebabkan menurunnya fungsi kelenjar keringat pada
perifer yang menyebabkan kulit menjadi kering dan terbentuknya fisura. Penyakit
vaskuler yang terdiri dari makroangiopati dan mikroangiopati menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah pada organ. Adanya neuropati, penyakit vaskuler
dan trauma menyebabkan terjadinya ulkus pada ekstremitas (Tambayong, 2015).

4
FOKUS INTERVENSI PADA MASALAH LANSIA

A. FOKUS INTERVENSI MASALAH LUKA DIABETIKUM


Peningkatan pengetahuan tentang perawatan kaki merupakan hal yang sangat
penting karena pengetahuan tersebut akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya
hidup pasien diabetes melitus dan diharapkan dapat mengubah perilaku pasien diabetes
melitus sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dalam perawatan kaki serta dapat
meningkatkan kualitas hidup yang produktif mapupun dapat menurunkan angka kejadian
ulkus kaki diabetes dan amputasi (Arjatmo, T. 2016).
Penderita yang kurang pengetahuan dalam perawatan kaki akan berakibat fatal,
kaki bisa terjadi ulkus diabetik dan akan bertambah memburuk jika tidak mendapatkan
pendidikan kesehatan. Sesuai dengan penelitian Noordiani (2013), yang menjelaskan
bahwa faktor lain yang berkontribusi pada terjadinya ulkus diabetik adalah perilaku
maladaptif. Perilaku maladaptif yang dimaksud adalah kurang patuh dalam melakukan
pencegahan luka, pemeriksaan kaki, memelihara kebersihan, kurang melaksanakan
pengobatan, aktivitas yang tidak sesuai, serta kelebihan beban pada kaki. (Ikram, A.
2018).
Salah satu latihan fisik yang dapat dilakukan adalah senam kaki diabetes. Senam
kaki diabetes terdiri dari gerakan-gerakan yang melibatkan sendi-sendi kaki yang dimulai
dari menggerakkan sendi jari-jari kaki kemudian pergelangan kaki dan lutut. Gerakan
senam kaki diabetes lebih mudah dilakukan dibandingkan senam diabetik serta tidak
membutuhkan ruangan dan peralatan khusus sehingga dapat dilakukan di berbagai
tempat dan waktu. Senam kaki diabetes dapa melancarakan aliran darah sampai ke ujung
kaki (Nursalam, 2017).
Usaha perawatan dan pengobatan yang ditujukan terhadap ulkus
diabetikum antara lain dengan antibiotika atau kemoterapi. Perawatan
luka dengan mengompreskan ulkus dengan larutan klorida atau
larutan antiseptic ringan. Misalnya rivanol dan larutan kalium
permanganate 1 : 500 mg dan penutupan ulkus dengan kassa steril.
Alat-alat ortopedi yang secara mekanik yang dapat merata tekanan
tubuh terhadap kaki yang luka amputasi mungkin diperlukan untuk
kasus ulkus diabetikum (Muttaqin, A & Sari, K. 2015).

5
Ada beberapa komponen dalam tindakanUlkus Diabetik (Muttaqin, A & Sari, K. 2015) :
1. Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar untuk memberikan semua unsur
makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah kadar glukosa darah yang
tinggi dan menurunkan kadar lemak.
2. Latihan
Dengan latihan ini misalnya dengan berolahraga yang teratur seperti senam kaki
diabetes mellitus akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian kadar insulin.
3. Pemantauan
Dengan melakukan pemantaunan kadar glukosa darah secara mandiri diharapkan pada
penderita diabetes dapat mengatur terapinya secara optimal.
4. Terapi (jika diperlukan)
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan
kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari.
5. Pendidikan
Tujuan dari pendidikan ini adalah supaya pasien dapat mempelajari keterampilan
dalam melakukan penatalaksanaan yang mandiri agar luka cepat sembuh dan mampu
menghindari luka menjadi lebih parah.
6. Kontrol nutrisi dan metabolic
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka.
Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh dalam proses penyembuhan.
Perlu memonitor Hb diatas 12 gram/dl dan pertahankan albumin diatas 3,5 gram/dl.
Diet pada penderita DM dengan selulitis atau gangren diperlukan protein tinggi yaitu
dengan komposisi protein 20%, lemak 20% dan karbohidrat 60%. Infeksi atau
inflamasi dapat mengakibatkan fluktuasi kadar gula darah yang besar. Pembedahan
dan pemberian antibiotika pada abses atau infeksi dapat membantu mengontrol gula
darah.Sebaliknya penderita dengan hiperglikemia yang tinggi, kemampuan melawan
infeksi turun sehingga kontrol gula darah yang baik harus diupayakan sebagai
perawatan pasien secara total.

6
7. Stres Mekanik
Perlu meminimalkan beban berat (weight bearing) pada ulkus. Modifikasi weight
bearing meliputi bedrest, memakai crutch, kursi roda, sepatu yang tertutup dan sepatu
khusus.Semua pasien yang istirahat ditempat tidur, tumit dan mata kaki harus
dilindungi serta kedua tungkai harus diinspeksi tiap hari. Hal ini diperlukan karena
kaki pasien sudah tidak peka lagi terhadap rasa nyeri, sehingga akan terjadi trauma
berulang ditempat yang sama menyebabkan bakteri masuk pada tempat luka.

Sedangkan menurut (Syaifuddin, 2018) Intervensi pada lansia dengan ulkus diebtikum
yaitu :
1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.
Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda
penyebaran infeksi dapat membantu menentukan tindakan
selanjutnya.
2. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga
kebersihan diri selama perawatan.
Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara
untuk mencegah infeksi kuman.
3. Lakukan perawatan luka secara aseptik.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran
infeksi.
4. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik,
pengobatan yang ditetapkan.
Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat
meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat,
mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil
kemungkinan terjadi penyebaran infeksi.
5. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
Rasional: Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.

7
6. Rawat luka dengan baik dan benar : Membersihkan luka secara abseptik
menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada
luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
Rasional: Merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka
dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa
balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.

7. Ajarkan klien atau keluarga tentang perawatan luka yang baik dan benar
Rasional : mengajarkan klien tentang perawatan luka dengan baik dan benar
diharapkan klien dapat merawat lukanya dengan mandiri jika berada dirumah.
8. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus
pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus
untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan,
pemeriksaan kadar gula darah untuk mengetahui perkembangan penyakit.
9. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
10. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah : Atur kaki
sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat), hindari
penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal di belakang
lutut dan sebagainya.
Rasional: meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi
oedema.
11. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi
kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan
obat vasokontriksi.
Rasional: kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok
dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk
mengurangi efek dari stres.
12. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri luka yang dialami
pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami
pasien.

8
13. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang
terjadi akan mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan
pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan.
14. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional: Rangsang yang berlebihan dari lingkungan akan
memperberat rasa nyeri.
15. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa
nyeri yang dirasakan pasien.
16. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan
pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan
kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
17. Lakukan massage saat rawat luka.
Rasional : Massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan
pengeluaran pus.
18. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional : Obat-obat analgesik dapat membantu mengurangi
nyeri pasien.

9
FAKTOR RESIKO PEMBERIAN POLIFARMASI

Menurut (Prest, M. 2017) polifarmasi adalah penggunaan beberapa


obat. Walaupun tidak ada jumlah pasti obat yang dikonsumsi untuk
mendefinisikan polifarmasi, mayoritas menggunakan 3 sampai 5 obat per
pasien. Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memiliki
banyak masalah kesehatan, yang memerlukan terapi obat obatan yang
beragam. Dalam penelitian yang dilakukan di Quebec, menunjukkan
bahwa individu-individu diatas usia 75 tahun rata rata mengonsumsi
enam obat yang berbeda.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi sistem kesehatan
secara global saat ini adalah meningkatnya jumlah pasien dengan
penyakit kronis. Penyakit kronik pada pasien geriatri menyebabkan
meningkatnya jumlah peresepan obat yang diberikan kepada pasien.
Pemberian banyak obat atau polifarmasi didefinisikan sebagai
penggunaan beberapa obat, sebagian besar penelitian terbaru yang
dilakukan di Eropa dan Australia menetapkan bahwa polifarmasi adalah
penggunaan lebih dari lima macam obat. Obat-obatan adalah yang paling
sering digunakan dan disalahgunakan sebagai terapi untuk masalah
kesehatan pada pasien geriatric (Rochmah, W. 2016).’
Layanan kesehatan profesional bagian geriatri sangat bergantung
pada farmakoterapi untuk meringankan gejala, meningkatkan kualitas
hidup dan status fungsional, menyembuhkan atau pengelolaan penyakit
yang berpotensi untuk memperpanjang kelangsungan hidup.Prevalensi
polifarmasi telah dianalisis dalam banyak studi dengan hasil yang berbeda
dalam hal pengaturan klinis. Biasanya polifarmasi ini terkait erat dengan
jumlah penyakit atau multimorbiditi. Prevalensi multimorbiditi pada pasien
geriatri berkisar antara 35 persen menjadi 80 persen, tergantung pada
metode pengumpulan data, definisi dan kondisi kronis multimorbiditi,
jumlah dan kondisi kronis yang termasuk dalam analisis. Sebuah
penelitian dari pusat pelayanan kesehatan primer di Riyadh Arab Saudi,
menemukan prevalensi polifarmasi 89,1%. Selain multimorbiditi, penyakit
kronik spesifik seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung,

10
penyakit paru obstruksi, gagal ginjal kronik dan diabetes melitus adalah
prediktor dari polifarmasi (Prest, M. 2017).
Semakin banyaknya obat yang dikonsumsi sering kali dikaitkan
dengan potensi yang lebih besar untuk terjadinya interaksi obat dan efek
samping. Interaksi obat merupakan penyebab dari 15% sampai 20%
insidensi adverse drug reaction. Menurut beberapa peneliti, insidensi
adverse drug reaction meningkat sebanding dengan jumlah obat yang
digunakan oleh seorang individu. Sebagai contoh, 4% dari efek samping
per tahun dilaporkan ketika kurang dari lima obat yang dikonsumsi,
namun hal ini meningkat menjadi 54% ketika lebih dari lima obat yang
diresepkan (Askandar T. A. 2013).
Prevalensi polifarmasi telah dianalisis dalam banyak studi dengan
hasil yang berbeda dalam hal pengaturan klinis. Biasanya polifarmasi ini
terkait erat dengan jumlah penyakit atau multimorbiditi. Prevalensi
multimorbiditi pada pasien geriatri berkisar antara 35 persen menjadi 80
persen. Sebuah penelitian dari pusat pelayanan kesehatan primer di
Riyadh Arab Saudi, menemukan prevalensi polifarmasi 89,1%. Selain
multimorbiditi, penyakit kronik spesifik seperti hipertensi, penyakit
jantung koroner, gagal jantung, penyakit paru obstruksi, gagal ginjal
kronik, dan diabetes melitus adalah prediktor dari polifarmasi (Gustaviani,
R. 2013).
Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat
universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat
progresif, berubahan secara bertahap, akumulasi dan intrinsik. Proses
penuaan menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di
dalam tubuh seperti gastrointestinal, sistem genitouria, sistem imunologi,
sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Oleh sebab
itu, penyakit pada populasi usia lanjut berbeda perjalanan dan
penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain, dimana
penyakit bersifat multipatologi, degeneratif, saling terkait, kronis,
cenderung menyebabkan kecatatan lama sebelum terjadinya kematian
dan dalam pengobatan sering terdapat polifarmasi. Pada usia lanjut yang
menderita lebih dari satu penyakit dan mendapat berbagai macam obat

11
secara bersamaan merupakan kelompok yang rentan terhadap interaksi
obat. Risiko interaksi obat meningkat sesuai dengan jumlah obat yang
diresepkan dan pasien geriatri biasanya mendapatkan obat yang lebih
banyak dibandingkan pasien usia lainnya (Rochmah, W. 2016).
Alasan polifarmasi pada pasien geriatri adalah penyakit kronis yang
multipatologi, obat diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi
dalam pengelolaan pengobatan, gejala yang dirasakan pasien kadang
tidak jelas, pasien kadang sering meminta resep, dan pemberian obat
untuk menghilangkan efek samping obat justru diberikan obat baru.
Prevalensi polifarmasi berbeda dalam berbagai penelitian, tergantung
pada definisi polifarmasi . Definisi polifarmasi yang kita gunakan adalah
penggunaan secara bersamaan ≥ 5 macam jenis obat, karena cutoff ini
telah dikaitkan dengan hasil efek samping obat yang terkait dengan
terjadinya kelemahan, resiko jatuh, cacat, dan kematian pada pasien
geriatri. Prevalensi polifarmasi sebanyak 64.72 % termasuk angka yang
tinggi (Prest, M. 2017).

Dalam penelitian sebelumnya di Jerman hanya 10 % prevalensi


polifarmasi, disini pengobatan berbasis pada asuransi kesehatan. Di
Norwegia prevalensi penggunaan polifarmasi sebanyak 47% dalam
penanganan penyakit, dan 57 % polifarmasi di swedia pada pasien
geriatric yang berumur lebih dari 75 tahun. Tingginya angka polifarmasi
pada penelitian ini mungkin karena penelitian ini dilakukan pada pusat
pengobatan rujukan dari berbagai daerah karena memilki penyakit yang
rumit atau multimorbiditas. Mungkin juga akibat pengobatan yang
diberikan secara gratis, sedangkan dinegara-negara eropa pasien
seringkali harus membeli obat atau membayar biaya resep obat.
Kunjungan lebih dari satu poliklinik akibat multimorbiditas juga
merupakan faktor pemberian polifarmasi pada pasien (Gustaviani, R.
2013).
Penyakit yang banyak diderita oleh pasien geriatri adalah penyakit
cardiovaskular seperti Atrial fibrilasi (AF), Penyakit Jantung Koroner, Gagal
Jantung, hipertensi, serta penyakit diabetes melitus, penyakit paru-paru,

12
arthritis, patah tulang, serta keganasan. Ini semua merupakan penyakit
kronis yang perlu kontrol yang ketat terhadap penyakitnya, penyakit
geriatri kebanyakan bersifat endogenik, multipel, kronik, bergejala atipik
dan rentan terhadap penyakit atau komplikasi yang lain. Pada pasien
geriatri, berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh akan
mempengaruhi tanggapan terhadap obat. Berbagai perubahan tersebut
disebut dengan perubahan farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal
khusus lain yang merubah perilaku obat didalam tubuh (Rochmah, W.
2016).
Risiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan obat yang
diresepkan. Pasien dengan penyakit kritis dan pasien geriatri berisiko
tinggi untuk mengalami interaksi obat http://jurnal.fk.unand.ac.id 5 Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(Supplement 1) bukan hanya karena
mengkonsumsi obat yang lebih banyak, tetapi juga karena adanya
gangguan mekanisme homeostasis yang tidak memungkinkan untuk
menetralkan beberapa efek yang tidak diinginkan (Prest, M. 2017).
Polifarmasi terbanyak adalah 12 macam obat yang didapat oleh
beberapa orang pasien. Obat-obat yang didapat adalah Glikuidon,
simvastatin, sodium bicarbonate, allopurinol, furosemid, aspirin,
bisoprolol, telmisartan, amlodipin, lansoprazol, sukralfat, cefixime.
Interaksi obat yang serius pada pasien ini adalah amlodipin dengan
simvastatin. Amlodipin meningkatkan kerja simvastatin dan interaksi ini
mengancam keselamatan jiwa yang serius, berpotensi untuk
meningkatkan risiko miopati/rhabdomyolisis dan membatasi dosis
simvastatin tidak lebih dari 20 mg/hari disaat yang sama saat digunakan.
Efek yang signifikan yang harus dimonitor ketat adalah toleransi antara
aspirin dan gliquidon. Aspirin meningkatkan efek dari gliquidon dengan
mekanisme yang tidak diketahui yaitu meningkatkan risiko hipoglikemia.
Sodium bikarbonat dan allopurinol menghambat absorpsi gastrointestinal.
Telmisartan dan bisoprolol dan aspirin meningkatkan kadar serum
potasium. Aspirin, bisoprolol dan furosemid menurunkan kadar serum
potasium. Sedangkan efek minor atau interaksi yang tidak signifikan
adalah cefixime dengan aspirin, cefixime dapat meningkatkan efek dari

13
aspirin dengan meningkatkan kompetisi tingkat keasaman obat (anionic)
pada renal tubular clearance (Rochmah, W. 2016).
Kebutuhan untuk mengurangi pemberian polifarmasi, studi
longitudinal telah menunjukkan bahwa polifarmasi semakin meningkat
selama bertahun-tahun. Pasien polifarmasi sering tidak mematuhi obat
yang diresepkan. Ketidakpatuhan ini meningkatkan secara linier jumlah
obat yang digunakan oleh pasien menjadi 80 % dengan satu obat
dibanding 20% dengan enam atau lebih obat yang diberikan. Strategi
untuk mengurangi pemberian obat dan pemahaman terhadap kelompok
penyakit yang mengharuskan pemberian polifarmasi perlu dimengerti
oleh setiap dokter terhadap pasien-pasien geriatri. Kunjungan rumah serta
umpan balik berupa penjelasan dari dokter dan mengetahui prinsip
pemberian obat yang benar untuk pasien usia lanjut merupakan alasan
untuk tidak menutup kemungkinan menghindari polifarmasi (Gustaviani,
R. 2013).
Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat
atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar
karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan.
Perubahan fisiologis ini terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar
dapat, menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan
farmakokinetik obat tersebut. Farmakodinamik menggambarkan efek obat
terhadap tubuh. Sebagai contoh Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat
fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena
itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA (Prest, M. 2017).
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko
munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam
beberapa kasus memang diperlukan terapi dengan beberapa agen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 45% efek samping obat yang
menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen
farmakologis Penelitian juga mengatakan baha efek samping obat terjadi
6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada
pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika
lebih dari 8 obat digunakan. Efek samping obat polifarmasi terutama

14
timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau
menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urine, dan
malaise. Efek samping ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain
untuk mengatasinya (Rochmah, W. 2016).
PEMERIKSAAN DAN INTERPRETASI PADA HASIL GULA DARAH
LANSIA

Proses penuaan merupakan siklus kehidupan yang ditandai dengan


tahapan menurunnya berbagai fungsi organ dalam tubuh yang ditandai
dengan rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit. Hal
tersebut disebabkan karena seiring meningkatnya usia, terjadi perubahan
dalam struktur dan fungsi pada sel, jaringan serta sistem organ.
Perubahan tersebut mempengaruhi kemunduran kesehatan fisik yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada kerentanan terhadap penyakit.
(Nasrullah, 2016).

Masalah kesehatan yang banyak ditemukan akibat dari proses


menua adalah diabetes mellitus. Masalah kesehatan ini sering di temui
pada lansia karena terjadinya penurunan fungsi organ tubuh jantung, hati,
dan ginjal serta peningkatan fungsi organ tubuh pada lansia akibat
berkurangnya jumlah kemampuan sel tubuh (Fatmah, 2010).

Diabetes Melitus yang merupakan salah satu dari lima kondisi kronis
paling utama yang mempengaruhi lansia. Diabetes militus adalah
penyakit yang di tandai dengan kadar glukosa yang berlebih atau
melebihi normal (hiperglikemia) di akibatkan oleh tubuh yang kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif, (H.R. DR. Hasdianah, 2012).

Menurut internasional Of Diabetic Ferderation (IDF) di tahun 2012


menunjukkan bahwa China merupakan negara dengan prevalensi
diabetes tertinggi di dunia dengan jumlah penderita mencapai 92,3 juta
jiwa. Berdasarkan data survelensi terpandu penyakit (STP) prevalensi DM
di Bali pada Tahun 2014 sebanyak 5,9 % dan kabupaten Gianyar

15
termasuk 5 besar lansia DM di bali dengan jumblah 1.770 jiwa (Dinkes
Provinsi Bali, 2015).

Apabila diabetes melitus tidak dikelola dengan baik dapat


menimbulkan berbagai komplikasi yang dapat mengancam kehidupan.
Bila tidak ditangani, komplikasi Diabetes Mellitus dapat menyerang
seluruh anggota tubuh seperti gangguan pembuluh darah otak (stroke),
pembuluh darah mata (retinopati, gangguan penglihatan), pembuluh
darah jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah ginjal (gagal
ginjal), dan pada pembuluh darah kaki (luka yang sukar (luka yang sukar
sembuh/ganggren) (Putri, NK dan Isfandiari, 2013)

Sejak tahun 2000, presentasi penduduk lansia di Indonesia sudah


melebihi 7% sehingga Indonesia mulai masuk dalam kelompok negara
berstruktur tua. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan
meningkatkan permasalahan kesehatan pada lansia. Permasalahan
kesehatan ini terjadi karena adanya proses menua yang menyebabkan
banyak perubahan pada tubuh lansia seperti perubahan psikologis, sosial
dan penurunan fungsional tubuh. Akibat penurunan kapasitas fungsional
ini lansia umumnya tidak berespons terhadap berbagai rangsangan
seefektif yang dapat dilakukan pada orang yang lebih muda.

Penurunan kapasitas untuk merespon rangsangan menyebabkan


lansia sulit untuk memelihara kestabilan status fisikawi dan kimiawi tubuh
atau memelihara homeostasis tubuh. Gangguan terhadap homeostasis ini
menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ dan meningkatkan
kerentanan terhadap berbagai penyakit. Salah satu homeostasis yang
terganggu yaitu sistem pengaturan kadar glukosa darah. Gangguan
pengaturan glukosa darah pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi
insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama, dan peningkatan kadar
glukosa darah postprandial, diantara ketiga gangguan tersebut yang
paling berperan adalah resistensi insulin. Resistensi insulin tersebut dapat
disebabkan oleh perubahan komposisi lemak tubuh lansia berupa
meningkatnya komposisi lemak dari 14% menjadi 30% (masa otot lebih
sedikit sedangkan jaringan lemak lebih banyak), menurunnya aktivitas

16
fisik sehingga terjadi penurunan reseptor insulin , perubahan pola makan
lebih banyak makan karbohidrat, dan perubahan neurohormonal.

Terganggunya sistem pengaturan glukosa darah mengakibatkan


peningkatan glukosa darah lebih dari normal. Glukosa darah meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Seiring dengan proses penuaan
semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya Diabetes
Melitus. Diabetes Melitus pada lansia umunya bersifat asimptomatik,
walaupun ada gejala seringkali berupa gejala yang tidak khas seperti
kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif
atau kemampuan fungsional. Hal tersebut yang menyebabkan diagnosis
Diabetes melitus pada lansia agak terlambat.

Kondisi fisik dan atau mental lansia yang tidak memungkinkan lagi
untuk melakukan aktivitas fisik dan berperan dalam pembangunan
nasional butuh perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah Indonesia mengadakan pelayanan bagi lansia, salah satunya
yaitu Panti Werda (Sasana Tresna Werda)Panti Sosial Tresna Werdha
(PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin adalah panti terbesar di Sumatera Barat
dengan jumlah lansia terbanyak. Hasil studi penelitian awal pada Juni
2015 didapatkan jumlah lansia pada PSTW Sabai Nan Aluih adalah 110
orang yang dibagi menjadi 14 wisma.

Usia lansia pada PSTW ini berkisar dari 61 -101 tahun dengan
jumlah lansia laki-laki 70 orang dan perempuan 40 orang. Berdasarkan
uraian latar belakang, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian tentang gambaran glukosa darah pada lansia di Panti Tresna
Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran glukosa darah pada


lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin. Data
didapatkan dengan pengukuran langsung glukosa darah pada Desember
2015 pada seluruh lansia yang menghuni Panti Sosial Tresna Werdha
Sabai Nan Aluih Sicincin. Jumlah lansia yang menghuni panti tersebut

17
sekitar 110 orang dan 27 orang lansia yang memenuhi kriteria inklusi.
Subyek penelitian dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Subyek penelitian dikelompokkan berdasarkan umur menjadi tiga
kelompok yaitu : 60-74 tahun, 75-90 tahun, dan >90 tahun. Jumlah lansia
yang berusia 60- 74 tahun adalah 12 orang (44,44%), kelompok 75-90
tahun adalah 15 orang (55,56%), dan kelompok usia >90 tahun tidak ada
yang memenuhi kriteria inklusi sehingga persentase kelompok usia >90
tahun adalah 0%.

Subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan 19 orang


lansia laki-laki atau sekitar 70,37% dan 8 orang lansia wanita atau sekitar
29,63%. Pada penelitian ini ditemukan lansia yang memenuhi kriteria
diabetes sebanyak 4 orang (14,81%) dan lansia yang memiliki glukosa
normal sebanyak 23 orang (85,19%). Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Rosyada dan Trihandini tahun 2013 yang dilakukan pada
poliklinik lansia Puskesmas Kecamatan Jatinegara ditemukan lansia yang
masuk kedalam kriteria diabetes melitus sekitar 35,5 %.11 Hal ini
disebabkan karena sekitar 50% lansia mengalami gangguan pada
metabolisme glukosa sehingga lansia cenderung mengalami peningkatan
glukosa darah.

Berbeda dengan penelitian Sibarani tahun 2010, tidak ditemukan


lansia yang memenuhi kriteria diabates. Semua lansia yang menjadi
responden yaitu 37 orang memiliki glukosa darah kurang dari 140 mg/dl
dimana rata-rata glukosa darah dari 37 lansia tersebut adalah 109,63
mg/dl yang menunjukkan bahwa glukosa darah lansia tergolong
normal.12 Sama seperti penelitian Sibarani, penelitian dari Fakhrudin
tahun 2013 didapatkan bahwa dari 20 orang lansia yang menjadi subjek
tidak ada yang mengalami peningkatan glukosa darah. Pada penelitian
tersebut didapatkan rata-rata kadar glukosa darah lansia < 140 mg/dl)
ada sekitar 28 lansia (75,7 %), usia 75-84 tahun adalah 6 lansia (16,2%)
dan usia ≥85 tahun adalah 3 lansia (8,1%).12 Semua lansia yang menjadi
responden dari Sibarani memiliki glukosa darah dengan rata-rata 109, 63
mg/dl.

18
Pada penelitian Sibarani tidak ditemukan peningkatan kadar glukosa
darah pada lansia. Terlihat dari penelitian tersebut selain faktor usia
terdapat faktor lain yang bisa mempengaruhi kadar glukosa darah pada
lansia seperti asupan makanan, aktivitas fisik, obat-obatan, pengetahuan,
pendidikan dan keterpaparan terhadap sumber informasi. Distribusi
frekuensi kadar glukosa darah pada lansia berdasarkan jenis kelamin
didapatkan lansia pria dengan glukosa darah normal sebanyak 16 orang
(84,21%) sedangkan lansia wanita sebanyak 7 orang atau (87,50%).

Terlihat dari presentase glukosa darah normal antara lansia pria dan
wanita tidak terlalu banyak perbedaan. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Sibarani tahun 2010 seluruh lansia pria dan wanita memiliki
kadar glukosa darah normal dengan rata-rata glukosa darah pada wanita
yaitu 109,45 mg/dl dan lansia pria 114 mg/dl. Dari kedua penelitian ini
jenis kelamin tidak mempengaruhi kadar glukosa darah sedangkan
berdasarkan Fakhruddin tahun 2013 jenis kelamin mempengaruhi kadar
glukosa darah karena perubahan persentase komposisi lemak tubuh pada
lansia wanita lebih tinggi daripada lansia pria yang dapat menurunkan
sensitifitas insulin Perubahan komposisi lemak pada wanita yang telah
menopouse terjadi karena penurunan kadar hormon estrogen dan
progesteron. Apabila hormon estrogen dan progesteron menurun
penggunaan lemak pada lansia wanita menjadi berkurang.

Terlihat juga terjadinya peningkatan gula darah sewaktu seiring


pertambahan umur. Umur merupakan salah satu faktor mandiri terhadap
peningkatan gula darah. Semakin tua usia seseorang maka risiko
peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan toleransi glukosa akan
semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh melemahnya semua fungsi organ
tubuh termasuk sel pankreas yang bertugas menghasilkan insulin. Sel
pankreas bisa mengalami degradasi yang menyebabkan hormon insulin
yang dihasilkan terlalu sedikit sehingga kadar gula darah menjadi tinggi.
Peningkatan kadar gula darah juga dapat disebabkan karena
terganggunya homeostasis pengaturan gula darah. Gangguan pengaturan
gula darah pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya

19
pelepasan insulin fase pertama, dan peningkatan kadar gula darah
postprandial. (Rochmah, 2009).

Selain faktor usia terdapat faktor lain yang bisa mempengaruhi


kadar gula darah pada lansia seperti asupan makanan, aktivitas fisik,
obat-obatan, pengetahuan, pendidikan dan keterpaparan terhadap
sumber informasi.

E. IDENTIFIKASI MASALAH NEUROLOGI


Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat membimbing
kearah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi terhadap lansia. Perubahan
structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian lain dari system
saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan
dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar
dipengaruhi oleh kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah diketahui akan
terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis dapat termasuk
kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada
usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan
terhadap terjadinya perubahan neurologis fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat
suatu perlambatan reflek tendon profunda. Terdapat kecendrungan kearah tremor dan langkah
yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan
berkurangnya gerakan yang sesuai. Fungsi system saraf otonom dan simpatis mungkin
mengalami enurunan secara keseluruhan.
Anatomi Fisiolgi Sistem Saraf Pada Lansia
Sistem persarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah mengalami
perubahan adalah sebagai berikut :
1.    Otak
Perbandingan pada otak yang normal dan otak otak pada lansia yang telah mengalami
perubahan fungsi adalah sebagai berikut :
a.       Normal
Otak terletak di dalam rongga kepala, yang pada orang dewasa sudah tidak dapat lagi
membesar, sehingga bila terjadi penambahan komponen rongga kepala sehingga dapat

20
meningkatkan TIK. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi
1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan
ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10%
selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron
yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.
b.      Lansia
Penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal
kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atropi cerebral
(berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur angsur tonjolan dendrite
dineuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif
terjadi fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di
sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria. RNA, Mitokondria dan
enzyme sitoplasma menghilang, inklusi dialin eosinofil dan badan levy, neurofibriler menjadi
kurus dan degenerasi granulovakuole.
Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60 tahun dan
menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik menurun
menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin, posisi sendi).
Tampilan sesori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat.
2.      Saraf otonom
Perbandingan pada saraf otonom yang normal dan saraf otonom pada lansia yang telah
mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut :
a.       Normal
1). Saraf simpatis
Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan aktifitas
saluran cerna.
2). Saraf Parasimpatis
Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis.
b.      Lansia
Pusat penegndalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang dikatakan
sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah penurunan
asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada “neurotransmisi” pada
ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan asetil-kolin yang disebabkan terutama

21
oleh penurunan enzim utama kolin-asetilase.Terdapat perubahan morfologis yang
mengakibatkan pengurangan jumlah reseptor kolin.
Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural, regulasi suhu sebagai
tanggapan atas panas atau dingin terganggu, otoregulasi disirkulasi serebral rusak sehingga
mudah terjatuh.
3.      Sistem Saraf Perifer
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada lansia yang
telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:
a.       Normal
1). Saraf Aferen
. Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari kepala,
pembuluh darah dan ekstermitas. Saraf eferen menyampaikan rangsangan dari luar ke pusat
2). Saraf Eferen
Berfungsi sebagai pembawa informasi sensorik dari otak menuju ke luar dari susunan
saraf pusat ke berbagai sasaran (sel otot/kelenjar).
b.      Lansia
1). Saraf Aferen
Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi penurunan
penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena ransangan.
2). Saraf Eferen
Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut dikarenakan
terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer.
4.      Medulla Spinalis
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada lansia yang
telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:
a.       Normal
Fungsinya :
1.      Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu, Cornu motorik/ cornu ventralis.
2.      Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut.
3.      Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
4.      Mengadakan komun ikasi antara otak dan semua bagian tubuh.
b.      Lansia

22
Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga mempengaruhi
pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk menggerakkan otot dan
sendinya secara maksimal.

FOKUS INTERVENSI PADA MASALAH NEUROLOGI


1.      Stroke atau cedera cerebrovaskuler
Penyakit ini menunjukkan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun
structural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari
selulruh system pembuluh darah otak. Patologis ini menyebabkan perdarahan dari sebuah
robekan yang terjadi pada dinding pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi
parsial atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau
permanen.
Perubahan perfusi jaringan serebral adalah suatu keadaan dimana individu mengalami
penurunan dalam nutrisi dan oksigenasi pada tingkat seluler sehubungan dengan kurangnya
suplay darah kapiler.
Diagnosis keperawatan
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan
oklusi, hoemoragic, vasospasme serebral dan oedema serebral.
Ditandai dengan :
1.      Perubahan suhu kulit (dingin pada ekstremitas), warna biru atau ungu.
2.      Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori.
3.      Perubahan pada respon motorik atau sensorik, gelisah.
4.      Deficit sensori, bahasa, intelektual dan emosi.
5.      Perubahan tanda-tanda vital
Criteria hasil :
a.       Mempertahankan tingkat kesadaran membaik, fungsi kognitif, dan motorik.
b.      Memdemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan
TIK.
c.       Menunjukkan tidak ada kelanjutan kekambuhan.
d.      Memperlihatkan penurunan tanda dan gejala kerusakan jaringan.
Intervensi
1.      Tentukan factor yang berhubungan dengan atau penyebab khusus selama penurunan perfusi
serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.

23
2.      Observasi dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan
normalnya.
3.      Observasi tanda-tanda vital.
4.      Evaluasi pupil catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya.
5.      Catat perubahan dalam penglihatan.
6.      Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi seperti fungsi bicara.
7.      Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi natomis (netral).
8.      Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi aktifitas sesuai
indikasi.
9.      Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa.
10.  Kaji kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan kemngkinan serangan kejang.
11.  Beri oksigen sesuai indikasi.
2.      Sakit Kepala
Merupakan suatu gejala dari penyakit dan dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
gangguan organic.
Beberapa jenis sakit kepala adalah sebagai berikut :
a.       Migraine
Penyebab tidak diketahui. Diperkirakan akibat dari spasme pembuluh darah intra cranial.
Sering terjadi pada wanita remaja dan dewasa muda berhubungan dengan riwayat asma atau
alergi.
b.      Cluster
Diperkirakan gangguan vaskuler. Histamine memegang peranan yang sangat penting.
Umumnya terjadi pada pria usia muda dan dewasa.
c.       Ketegangan otot
Kontraksi otot yang sangat berlebihan di sekitar kulit kepala, wajah, leher, dan tubuh bagian
atas. Kemungkinan akibat vasodilatasi dari arteri cranial. Kebanyakan pada usia dewasa
terutama pada wania.
d.      Arthritis temporalis
Diperkirakan akibat dari mekanisme autoimun pada klien berusia diatas 50 tahun.
Nyeri akut adalah suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
tidak nyaman yang berat atau perasaan yang tidak menyenangkan.
Diagnose keperawatan :
Nyeri akut berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi atau tekanan saraf,
vasospasme, dan peningkatan TIK.
24
Ditandai dengan :
1.      Mengatakan nyeri, dipengaruhi oleh factor lain, misal, perubahan posisi.
2.      Nyeri, pucat disekitar wajah.
3.      Prilaku tidak terarah.
4.      Perubahan pola tidur.
5.      Preokupasi dengan nyeri.
6.      Respon autoimun.
7.      Mengfokukaskan pada diri, penyempitan focus.
Criteria hasil :
a.       Melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol
b.      Menunjukkan atau menggunakan prilaku untuk mengurangi kekambuhan.
Intervensi
1)      Catat intensitas, karakteristik, lokasi, lama, factor yang memperburuk.
2)      Observasi adanya tanda nyeri non verbal, misal, ekpresi wajah, posisi tubuh, gelisah,
menangis atau meringis.
3)      Catat adanya pengaruh nyeri, misal, hilangnya perhatian pada hidup, penurunan aktifitas
dan penurunan berat badan.
4)      Anjurkan untuk beristirahat didalam ruangan yang tenang.
5)      Berikan kompres dingin pada kepala.
6)      Berikan kompres panas, lembab atau kering pada leher, lengan sesuai kebutuhan.
7)      Masase daerah kepala, leher dan lengan jika klien dapat menoleransi sentuhan.
8)      Gunakan teknik sentuhan yang terapeutik.
9)      Observasi adannya mual atau muntah
3.      Alzheimer atau Demensia
Adalah proses degenerative yang terjadi pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar otak
depan yang mengirim informasi ke korteks serebral.
Perubahan proses pikir adalah suatu keadaan dimana individu mengalami gangguan
dalam pengoperasian dan aktifitas kognitif.
Diagnose keperawatan :
Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, kehilangan memori,
gangguan tidur.
Ditandai dengan :
a.       Hilang kosentrasi
b.      Hilang ingatan
25
c.       Tidak mampu membuat keputusan
d.      Idak mampu menginterprestasikan stimulasi
e.       Disorientasi waktu, tempat, orang, lingkunga dan peristiwa
f.       Tingkah laku social yang tidak tepat
Criteria hasil :
1.     Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi kejadian yang
menegangkan terhadap emosi.
2.      Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang negative.
3.      Mampu mengenali perubahan dalam berfikir.
4.     Mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak diinginkan, ancaman dan
kebingungan.
Intervensi
a)      Kaji derajat gangguan kognitif.
b)      Pertahan lingkkungan yang menyenangkan dan tenang.
c)      Lakukan pendekatan dengan cara perlahan dan tenang.
d)     Tatap wajah ketika berbicara dengan klien.
e)      Panggil klien dengan namanya.
f)       Gunakan suara yang agak rendah dan berbicara dengan perlahan pada klien.
g)      Hindari klien dari aktifitas dan komunikasi yang di paksakan.
h)      Gunakan hal yang humoris saat berinteraksi pada klien.
i)        Hormati klien dan evaluasi kebutuhan secara spesifik.
j)        Berikan kesempatan untuk saling memiliki.
k)      Ciptakan aktivitas sederhana dan bermanfaat.
l)        Evaluasi pola tidur, catat letargi, peningkatan peka rangsang, sering menguap dan garis
hitam dibawah mata.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo, T. 2016. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Askandar Tjokroprawiro A. 2013. Polifarmasi Obat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Corwin, E.J. 2015. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Gustaviani, R. 2013. Efek Samping Polifarmasi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Ikram, A. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus. Jakarta : Salemba
Medika.

Muttaqin, A & Sari, K. 2015. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta :
Salemba Medika.

Nursalam. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Endokrin.
Jakarta : Salemba Medika.

Prest, M. 2017. Penggunaan Obat Pada Lanjut Usia Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo.

27
Putra Yudiana. 2019. Gambaran Gula Darah Pada Lansia Di Panti Sosial
Tresna Wredha Wana Sraya Denpasar Dan Panti Sosial Wredha Santi
Tabanan. BMJ. Vol 6 No 1, 2019: 44-49

Reswan Hayyumahdania , Yustini Alioes , Rauza Sukma Rita.2017.


Gambaran Glukosa Darah pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Sabai Nan Aluih Sicincin. Jurnal Kesehatan Andalas.

Rochmah, W. 2016. Farmakodinamika. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Sjamsuhidajat, dkk. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Syaifuddin. 2018. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Tambayong. 2015. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Zulkarnaini Aryaldy.2019. Gambaran Polifarmasi Pasien Geriatri Dibeberapa Poliklinik


RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 8 (Supplement 1).

https://www.scribd.com/doc/221080152/Gangguan-Sistem-Persarafan-Pada-Lansia

28

Anda mungkin juga menyukai