Anda di halaman 1dari 8

TERMINOLOGI:

1. Raccoon eyes: ekimosis periorbital, kondisi warna gelap atau memar


di sekitar mata. Dapat dikaitkan dgn kondisi medis seperti cedera
fraktur bassis cranii, operasi kraniotomi yg merobek meningen, atau
kanker tertentu yang menyebabkan perdarahan internal di sekitar mata.
2. Battle sign: ekimosisi retroauricular atau memar mastoid atau
belakang telinga yang dikaitkan dengan fraktur dasar tengkorak.
3. Cheynes stokes: siklus pernafasan yang amplitudonya mula-mula
naik, kemudian menurun dan berhenti, lalu pernafasan dimulai lagi dari
siklus baru. Pernapasan hiperpneia secara reguler bergantian dengan
apnea.
4. Dilatasi ipsilateral: kondisi pupil yang mengalami dilatasi pada satu
sisi saja yang terkena.
5. ET: endotrakeal tube yang merupakan alat yang digunakan untuk
menjamin jalan napas tetap bebas.

PERMASALAHAN:

1. Mengapa pasien sempat tidak sadar 10 menit lalu sadar kemudian


muntah 3 kali dan kembali tidak sadarkan diri?
2. Apa penyebab dan mekanisme terjadinya raccoon eye dan battle sign?
3. Apa penyebab dan dampak dari jejas pada vertebra thoracal 5 dan
hubungannya dengan mati rasa pada pasien?
4. Pupil dilatasi ipsilateral dan refleks cahaya pupil kedua mata menurun
5. Mengapa hanya sebelah tangan yg mengalami fleksi saat dirangsang
nyeri
6. Interpretasi dan mekanisme temuan hasil pemeriksaan fisik pada
pasien?
a. Berapa GCS korban dan termasuk klasifikasi cedera kepala derajat
apa?
b. TD 70/50 mmHg
c. Pernapasan cheynes stokes
d. Nadi 132 x/menit
e. Suhu 38,8 derajat celcius
f. Jejas ukuran 5x10 pada parietal kanan
7. Tatalaksana awal pasien di skenario

PEMBAHASAN

1. Adanya tanda-tanda lucid interval dan terjadi peningkatan TIK. Pada


saat trauma, terjadi robekan dan perdarahan dari a. meningea media,
maka terjadilah kehilangan kesadaran diawal kejadian. Perdarahan
kemudian berhenti oleh karena spasme pembuluh darah dan
pembentukan gumpalan darah, maka kesadaran dapat kembali sesaat.
Namun, beberapa saat kemudian terjadi perdarahan ulang,
penumpukan darah di ruang epidural ini akan melepaskan duramater
dari tulang tengkorak. Hal ini menimbulkan nyeri kepala menghebat
dan kesadaran menurun, dan terjadi kenaikan tekanan intrakranial yang
kedua. Pada saat ini timbul gejala-gejala distorsi otak.

Mekanismenya:
 Nyeri Kepala dan muntah
Arteri Meningeal medial ruptur  perdarahan  hematoma
epidural  menekan durameter  melepasnya durameter dari
basis cranii dan hematoma bertambah dasar  terjadi
peningkatan TIK  Nyeri Kepala dan muntah
 Pingsan
Peningkatan TIK  kompresi pada siklus formation retikularis
di medulla oblongata  penurunan kesadaran  pingsan

2. Hal tersebut disebebkan oleh fraktur basis cranii


Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign ( Tanda
fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign
(tanda fraktur basis kranii fossa media).

3. Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:


1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasidiskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat
kompresitulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior akibat kompresi tulang.

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke


korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan
menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi
aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek
yang berkelanjutan.
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut
berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis;
transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek
massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia
grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma,
sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam

setelah trauma.
4. Nervus okulomotorius (saraf otak ke III) berjalan di sepanjang tepi
tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus
temporalis yang umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial
ataupun edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berperan untuk
melakukan konstriksi pupil mata berada pada permukaan nervus
okulomotorius ini. Paralisis serabut-serabut parasimpatis tersebut yang
disebabkan oleh penekanan tadi akan mengakibatkan dilatasi pupil
karena aktivitas serabut simpatik tidak terhambat.

5. Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura


tentorial adalah bagian medial lobus temporalis yang disebut Girus
Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan terhadap traktus
piramidalis di Mesensefalon. Traktus piramidalis atau traktus motorik
ini menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan di level foramen
magnum, sehingga penekanan pada traktus ini di level mesensefalon
akan menghasilkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral
(hemiplegia kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia
kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkal. Kadang-
kadang lesi massa ini dapat mendorong bagian dari mesensefalon sisi
kontralateral dari lesi massa tersebut, ke tepi tentorial serebelli
sehingga menimbulkan Hemiplegia Ipsilateral dan Pupil Dilatasi
Ipsilateral yang dikenal sebagai Sindrom Kernohan’s Notch.

6. Interpretasi:
a. GCS: E2(kelopak mata berespon terhadap rangsangan), V2(respon
mengerang), M3(fleksi tangan)  7 cedera kepala berat
b. TD 70/50 mmHg  abnormal rendah, kemungkinan syok
neurogenik.
Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf). Syok
neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena
reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran
darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan
oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat.
Penderita merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah
penderita dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik
kembali secara spontan. Trauma kepala yang terisolasi tidak akan
menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari
penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan
menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis.
c. Pernapasan cheynes stokes  sebagai respon untuk
mengompensasi tekanan parsial O2 dan CO2 dalam darah
d. Nadi 132 x/menit  abnormal meningkat, sebagai respon
kardiovaskular untuk mengompensasi perfusi yang menurun
karena tekanan darah rendah
e. Suhu 38,8 derajat celcius  abnormal tinggi, sebagai respon saat
terjadi kekurangan cairan dengan cara mengurangi kehilangan
cairan dengan mengurangi pelepasan panas tubuh
f. Jejas pada kepala berukuran 5-10 cm menunjukan kemungkinan
terjadi benturan atau trauma terjadi pada kepala saat kecelakaan.

7. Penatalaksanaan Kegawatan Pasien di Skenario


A. Trauma Otak
B. Trauma Medulla Spinalis
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal
pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan
penatalaksanaan adalah realignment dan fi ksasi segmen bersangkutan. Indikasi
operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan
traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma
inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen
konservatif.
Medikamentosa trauma medulla spinalis
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses
lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi
akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat
seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi
radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya
menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman fi siologi trauma medula
spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti
kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida,
thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk golongan
imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil baik namun sampai
saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.
Terapi kerusakan primer trauma medulla spinalis
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan
kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi
lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah
kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan
vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena
penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi
perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.
Terapi kerusakan sekunder trauma medulla spinalis
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran
(outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat
patofisiologi yang sangat variatif.

Anda mungkin juga menyukai