Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

TERHADAP KECEMASAN MATEMATIKA DAN GENDER

Dosen Pengampu : Meyta Dwi Kurniasih M.Pd

Agustina (1701105091)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

2019

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi modern, memajukan daya pikir serta daya analisis
manusia. Matematika memiliki peranan besar dalam setiap aspek kehidupan,
Beberapa ilmuan menyatakan “Mathenatics is the queen as well as the servant of all
sciences” (Matematika adalah ratu sekaligus pelayan semua ilmu pengetahuan).
Sebagai ratu, matematika seolah menjadi pedoman untuk semua ilmu pengetahuan
dan sebagai pelayan, matematika melayani ilmu–ilmu lainya yang menggunakan
matematika untuk penelitian dan pengembangan dirinya.
Mempelajari matematika akan melatih seseorang untuk memiliki kemampuan
berpikir secara kritis, logis, analitis, kreatif dan sistematis. Kemampuan tersbut akan
mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan diberbagai permasalahan
hidupnya. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan mempelajari matematika akan
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia, yang siap hidup menghadapi
tantangan zaman yang terus berubah, tak pasti dan kompetitif seperti saat ini.
Berdasarkan Permendiknas No.22 tahun 2006, salah satu tujuan dari
pembelajaran matematika adalah kemampuan pemecahan masalah. Polya dalam
bukunya yang sangat fenomenal How To Solve It mengartikan pemecahan masalah
sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu
tujuan yang tidak mudah untuk segara dicapai. Merujuk dari pengertian pemecahan
masalah menurut Polya tersebut, berarti masalah yang dikatakan sebagai sebuah
pemecahan masalah adalah suatu masalah yang bersifat menantang dan tidak rutin.
Sifat pemecahan masalah yang demikian, dapat mengajarkan siswa untuk terbiasa
menghadapi tantangan, berpikir secara mendalam dan tidak tergesa-tergesa dalam
mengambil suatu keputusan dari permasalahan baik itu dalam konteks matematika
ataupun dalam konteks dunia nyata.

NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) sebagai sebuah


lembaga yang bergerak dalam bidang penggembangan kurikulum pembelajaran
matematika di Amerika Serikat, menyatakan bahwa pemecahan masalah harus
menjadi fokus pada kurikulum matematika di sekolah. Hal tersebut karena
pemecahan masalah adalah tujuan yang prinsipil dalam proses pembelajaran, yaitu
untuk mengembangkan keinginan berpikir.
Proses berpikir dalam pemecahan masalah sudah seharusnya
mendapatkan perhatian para pendidik terutama untuk mengembangkan siswanya
agar terbiasa berpikir secara logis. Cooney et al. dalam Hudojo mengatakan
bahwa mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah memungkinkan siswa itu
menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan didalam kehidupan, sebab
siswa akan terbiasa untuk mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis
informasi, dan meneliti kembali hasil yang diperolehnya. Dengan demikian tidak
disalahkan jika ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa pemecahan
masalah adalah jantungnya matematika (Heart of mathematics).
Pentingnya pemecahan masalah tidak sejalan dengan kualitas
kemampuan pemecahan masalah yang sesungguhnya. Kenyataan menunjukan
prestasi matematika siswa Indonesia masih tergolong rendah. TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study) sebagai suatu studi internasional
dalam bidang matematika dan sains yang dilaksanakan untuk mengetahui dan
mendapatkan informasi mengenai pencapain prestasi matematika dan sains di
negara-negara peserta melaporkan di tahun 2011, skor rata-rata prestasi
matematika kelas 8 siswa Indonesia menduduki peringkat 38 dari 42 negara
peserta. Dimana dalam TIMSS soal atau masalah yang diberikan berisfat tidak
rutin atau membutuhkan penalaran yang tidak sederhana.
Rendahnya kemamapuan pemecahan masalah matematis siswa, bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal maupun faktor internal
siswa. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa, seperti
metode atau strategi pembelajaran. Sementara itu faktor internal adalah faktor
yang berasal dari dalam diri siswa, seperti emosi dan sikap terhadap matematika.
Faktor internal memiliki peranan yang cukup besar dalam kemampuan pemecahan
masalah matematika. Hal tersebut disebabkan karena pemecahan masalah
matematika itu sendiri, yang bersifat tidak rutin dan membutuhkan tingkat
pemahaman yang tidak sederhana. Sehingga dapat menimbulkan konflik dalam
diri siswa.
Dalam proses pembelajaran ada siswa yang cepat paham, namun banyak
juga yang tidak. Siswa yang tidak mudah paham tersebut biasanya akan
mengalami rasa cemas. Terdapat dua kemungkinan terhadap siswa yang cemas
tersebut. Pertama siswa akan cuek dan bersikap acuh dengan tugas matamatika
yang diberikan, kedua siswa akan berusaha semaksimal mungkin untuk
memahami matematika. Namun hal tersebut dapat meningkatkan rasa cemas
mereka saat tidak kunjung ditemukan penyelesaian. Wicaksono dan Saufi
mengatakan rasa cemas yang meningkat akan memperburuk pemahaman siswa
terhadap matematika itu sendiri. Selain faktor kecemasan ada faktor lain yang
tidak kalah penting dalam pemecahan masalah matematika, yaitu faktor gender.

Perbedaan gender tentu menyebabkan perbedaan fisiologis dan psikologis


antara laki-laki dan perempaun. Sehingga siswa laki-laki dan perempuan tentu
memiliki banyak perbedaan dalam belajar. Kimura dan Hampson dalam Jensen
mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki cara yang sangat berbeda
dalam mendekati dan menyelesaikan masalah. Khusus dalam pembelajaran
matematika Kruteski dalam Nafi’an mengatakan laki-laki lebih unggul dalam
penalaran, sedangkan perempuan lebih unggul dalam ketepatan, ketelitian,
kecermatan, dan keseksamaan berpikir.
Perbedaan gender selain mempengaruhi cara belajar juga mempengaruhi
kecemasan matematika. Furner dan Duffy mengemukakan bahwa salah satu faktor
yang dapat menimbulkan kecemasan matematika, adalah faktor gender. Hal
tersebut disebabkan karena perbedaan cara berpikir antara laki-laki dan
perempuan. Peneliti terdahulu mengatakan perbedaan cara berpikir antara laki-laki
dan perempuan dipengaruhi oleh keadaan struktur fisik dan biologis otak yang
berbeda, yang akibatnya dapat menimbulkan perbedaan prilaku, pengembangan,
dan pengolahan kognitif. Dimana perbedaan-perbedaan tersebut akan
mengakibatkan cara yang berbeda dalam menyelesaikan sebuah masalah serta
mengolah rasa cemas.
Dengan adanya informasi mengenai masalah yang ditimbulakan oleh
adanya tingkat kecemasan yang berlebihan serta perbedaan cara berpikir dan
menyelesaikan masalah antara laki-laki dan perempuan, serta pentingnya
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa pada latar belakang diatas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh
Kecemasan Matematika (Mathematics Anxiety) dan Gender Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, permasalahan


yang akan dibahas dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan pemecahan masalah matematika non
rutin masih rendah.
2. Kecemasan matematika dianggap sebagai salah satu penghambat dalam proses
pembelajaran matematika, khususnya pemecahan masalah matematika
3. Kecemasan matematika belum banyak diteliti secara spesifik sebagai faktor
yang menentukan keberhasilan kemampuan pemecahan masalah matematika.
4. Perbedaan biologis, fisikologis, dan psikologis antara laki-laki dan perempuan
dianggap sebagai pembentuk perbedaan cara berpikir dan menyelesaikan
masalah.
5. Karakteristik gender dan kecemasan merupakan faktor yang berinteraksi dan
berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui pengaruh tingkat kecemasan
matematika (Mathematics Anxiety) dan gender terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa. Adapun pembatasan masalah yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah :
1. Kecamasan matematika yang dimaksud adalah gejala-gejala kecemasan yang
dialami siswa dalam proses pembelajaran matematika.
2. Tingkat kecemasan yang akan diukur, adalah tingkat kecemasan rendah dan
tinggi.
3. Gender yang dimaksud adalah jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.
4. Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud adalah kemampuan siswa
dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang bersifat tidak rutin.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan
masalah diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika antar
siswa yang memiliki kecemasan rendah dengan siswa yang memiliki
kecemasan tinggi?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika
antara siswa laki-laki dan siswa perempuan?
3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara kecemasan matematika dan gender
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa?

E. Tujuan Penelitian
Bersesuaian dengan rumusan penelitian masalah diatas, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Menganalisis pengaruh kecemasan matematika terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika.
2. Menganalisis pengaruh gender terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika.
3. Menganalisis ada tidaknya pengaruh interaksi antara kecemasan matematika
dan gender terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika

BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini meliputi: Kemampuan pemecahan
masalah matematika, kecemasan matematika, dan gender dalam pembelajaran
matematika.
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
a. Pengertian Masalah
Pengertian masalah pada dasarnya adalah kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan. Masalah menurut sebagian ahli pendidikan
matematika adalah pertanyaan yang harus dijawab atau direspon, namun tidak
semua pertanyaan otomatis menjadi masalah. Sumardyono mengatakan
sebuah pertanyaan setidaknya memiliki kedua ciri berikut untuk dikatakan
sebagai sebuah masalah, yaitu soal tersebut harus menantang pikiran
(challenging) dan soal tersebut tidak otomatis dikateahui cara penyelesainnya
(nonroitine). Sejalan dengan Sumardyono dan Hudojo, Shadiq mengatakan
bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat
dipecahakan dengan prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui
si pelaku.

Memperhatikan pengertian-pengertian masalah tersebut diatas,


nampak bahwa sebuah masalah akan tergantung dengan individu, waktu dan
tempat. Masalah menurut seseorang belum tentu akan menjadi masalah untuk
orang lain, masalah saat ini belum tentu akan tetap menjadi masalah untuk
beberapa waktu yang akan datang, dan masalah di tempat A belum tentu akan
menjadi masalah di tempat B.
Masalah dalam matematika merupakan pertanyaan atau soal yang
belum diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Polya dalam Hudojo
mengatakan tardapat dua jenis masalah dalam matematika, yaitu masalah
untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan. Masalah menemukan
adalah masalah-masalah matematika yang dapat berbentuk teoritis atau
praktis, abstrak atau konkret, termasuk didalamnya teka-teki yang menuntut
siswa menemukan variabel masalah, menghasilkan atau mengkonstruksi
semua jenis obyek yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah.
Sementara itu, masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukan bahwa
suatu pertanyaan itu benar atau salah atau tidak keduanya dimana
pertanyaannya dapat berbentuk hipotesis dan konkulasi dari suatu teorema.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang pengertian masalah
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu keadaan, dimana
keadan tersebut belum ditemukan cara penyelesainya, bersifat tidak rutin dan
memunculkan rasa tertantang pada si pemecah masalah, sedangkan masalah
dalam matematka adalah soal yang bersifat non rutin serta belum diketahui
prosedur pemecahanya oleh si pemecah masalah. Dimana masalah akan
bergantung pada waktu, tempat, dan si pemecah masalah.

b. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Dalam menyelesaikan masalah matematika, seoarang siswa harus


menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah itu sendiri. Menurut Dodson
dan Hollander dalam Suryawan kemampuan pemecahan masalah yahg harus
ditumbuhkan siswa dalam mempelajari matematika adalah: 1) Kemampuan
mengerti konsep dan istilah matematika; 2) Kemampuan untuk mencatat
kesamaan, perbedaan, dan analogi; 3) Kemampuan untuk mengidentifikasi
elemen terpenting dan memilah prosedur yang benar; 4) Kemampuan untuk
mengetahui hal yang tidak berkaitan; 5) Kemampuan untuk menaksir dan
menganalisis; 6) Kemampuan untuk memvisualisasikan dan
menginterprestasikan kualitas ruang; 7) Kemampuan untuk memperumum
berdasarkan beberapa contoh; dan 8) Kemampuan untuk berganti metode
yang telah diketahui.

Shadiq mengatakan siswa tidak akan tertarik untuk belajar


memecahkan masalah jika ia tidak tertantang untuk mengerjakannya. Karena
itu, selain memperhatikan karakteristik pemecah masalah, guru juga harus
mampu memotivasi siwa untuk merasa tertantang dalam mengerjakan
pemecahan masalah itu sendiri. Jika siswa merasa tertantang, maka mereka
akan berusaha semaksimal mungkin untuk memecahkan masalah yang
diberikan. Sebab itu sangatlah penting untuk memformulasikan kalimat pada
masalah yang akan disajikan kepada para siswa dengan cara yang semenarik
mungkin, baik itu dalam penyajian, keterkaitan masalah dengan dunia nyata,
serta jangan memberikan masalah yang terlalu sulit. Pemberian masalah yang
tidak pernah dapat diselesaikan siswa dapat menurunkan motivasi serta
meningkatkan rasa cemas mereka.
2. Kecemasan Matematika
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
perasaan tidak tentram, khawatir, dan gelisah. Kecemasan merupakan
ganguan psikologi yang berisafat wajar dan dapat timbul kapan dan
dimanapun. Setiap orang pasti pernah menggalami kecemasan dengan tingkat
yang berbeda-beda. Rasa cemas biasa muncul dikarenakan terdapat suatu
keadaan yang harus dihadapi atau diselesaikan. Gunarso mengemukakan
keemasan merupakan kekuatan yang besar untuk menggerakan tingkah laku
baik tingkah laku normal ataupun tingkah laku yang menyimpang, yang
terganggu dan keduanya merupaka pernyataan, penampilan, penjelmaan, dan
pertahanan terhadap rasa cemas yang muncul.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan


adalah gejala emosi yang memberikan perasaan tidak nyaman, rasa takut, rasa
khawatir, rasa gelisah, rasa tidak menyenangkan akan sesuatu yang akan
terjadi yang dirasa mengancam, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan atau
keadaan yang tidak kondusif dan menimbulkan perasaan tertekan (frustasi)
yang dapat menghambat seseorang untuk mendapatkan tujuan yang diingkan

3. Gender dalam Pembelajaran Matematika


Secara etimologis kata gender yang berasal dari bahasa inggris diartikan
sebagai jenis kelamin. Di dalam Women’s Encyclopedia, sebagaimana dikutip
Jamil dan Lubis, bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat. Karena gender berkembang sesuai dengan konsep kultural
masyarakat, maka gender tidak bersifat tetap atau akan terbentuk sesuai pola
sbudaya yang sedang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, dimana
budaya tersebut akan menentukan perbedaan-perbedaan yang mungkin terjadi
pada laki-laki dan perempuan, hal ini sejalan dengan pendapat Santrock yang
mengatakan bahwa peran gender adalah harapan sosial yang menentukan
bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak, dan
merasakan.
Berkenaan dengan perbedaan gender yang tersebut diatas, maka terdapat
perbedaan prestasi antara keduanya. Dari beberapa penelitian terdahulu
menunjukan bahwa laki-laki lebih berprestasi dibidang matematika dibanding
perempuan. Salah satunya adalah data PISA (Programme for International
Student Assessment) tahun 2006 dan 2009 tentang literasi matematika. Pada Studi
PISA tahun 2006 menunjukan bahwa dari 57 negara yang ikut berpartisipasi,
terdapat 14 negara yang laki-lakinya secara signifikan lebih unggul dibanding
perempuan dan hanya ada satu negara yang perempuannya lebih unggul
dibanding laki-laki. Sedangkan pada studi PISA 2009 dari keseluruhan 65
negara yang berpartisipasi laki-laki lebih unggul di 35 negara sedangkan
perempuan unggul di 5 negara, sementara itu dari 30 negara lain yang ikut
berpartisipasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada siswa laki-laki
dan perempuan. Dimana literasi matematika adalah kemampuan dalam
memahami, menggunakan dan melakukan refleksi terhadap bacaan
(matematika), kemampuan ini dapat mendukung dalam penyelesaian pemecahan
masalah matematika.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMA INDOCEMENT yang beralamat di
Jl. Raya Puspanegara No. 1 Kec. Citeureup Kab. Bogor Kode pos 16810 . Waktu
penelitian di semester genap tahun ajaran 2019/2020, tepatnya pada tanggal 8
sampai 16 Maret 2020.
B. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kausal
komperatif atau ex post facto. Kerlinger dalam Emzir mengatakan penelitian ex
post facto adalah penyelidikan empiris dimana peneliti tidak mengendalikan
variabel bebas secara langsung atau eksistensi variabel tersebut telah terjadi.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain treatment by level 2x2 dengan
variabel bebas kecemasan matematika dan gender serta dengan variabel terikat
kemampuan pemecahan masalah matematika. Desain treatment by level
digunakan dengan tujuan untuk memberikan dasar-dasar pengamatan stratifikasi
yang lebih baik. Stratifikasi dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan
matematika siswa, yaitu siswa dengan kecemasan tinggi dan siswa dengan
kecemasan rendah. Berikut adalah tabel desain treatmen by level 2 x 2 :
Tabel 3.1
Desain Treatment by Level 2x2
Kecemasan Gender (B)
(A) Laki-laki (B1) Perempuan (B2)
Rendah (A1) A1 B1 A 1 B2
Tinggi (A2) A2 B1 A 2 B2

Keterangan :
A1B1 : Kelompok siswa laki-laki dengan kecemasan matematika rendah
A2B1 : Kelompok siswa laki-laki dengan kecemasan matematika tinggi
A1B2 : Kelompok siswa perempuan dengan kecemasan matematika rendah
A2B2 : Kelompok siswa perempuan dengan kecemasan matematika tinggi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas X SMP PUSPANEGARA yang berjumlah 160 siswa,
adapun sampel yang digunakan sebanyak 120 siswa. Distribusi responden akan
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.2

Distribusi Populasi Penelitian Berdasarkan Kelas dan Gender

Kelas Jumlah Gender


Siswa Laki-laki Perempuan
VIII A 35 16 19
VIII B 35 20 15
VIII C 36 15 21
VIII D 33 17 16
VIII BP 21 16 5
Total 160 84 76
Persentase 52,5% 47,5%

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified


random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi di mana
populasinya dibagi-bagi terlebih dahulu menjadi kelompok yang relatif homogen
(stratum) untuk menjamin keterwakilan dari masing-masing stratum. Adapun teknik
pengambilan sampel dilaksanakan sebagai berikut:
Populasi kelas X terdiri dari 160 siswa
1. 76 siswa perempuan dipilih secara random menjadi 60 siswa, kemudian 60
siswa itu dibagi lagi menjadi 22 siswa dengan kecemasan rendah dan 22 siswa
dengan kecemasan tinggi
2. 84 siswa laki-laki dipilih secara random menjadi 60 siswa, kemudian 60
siswa itu dibagi lagi menjadi 22 siswa dengan kecemasan rendah dan 22 siswa
dengan kecemasan tinggi

A. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Data diperoleh dari tes tertulis kemampuan pemecahan
masalah kepada 88 sampel yang terpilih. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pengumpulan data tersebut sebagai berikut:
1. Variabel yang Diteliti
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecemasan matematika
(mathematics anxiety) dan gender, sedangkan variabel terikatnya adalah
kemampuan pemecahan masalah matematika.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa yang menjadi sampel
penelitian, guru, dan peneliti.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen kecemasan
matematika dan instrumen kemampuan pemecahan masalah matematika.
Berikut akan dijelaskan kedua instrumen tersebut:
a. Instrumen Kecemasan Matematika
Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan
matematika adalah lembar kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara memberi seprangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Jenis kuesioner yang
digunakan adalah kuesioner tertutup, yaitu responden memilih salah satu
alternatif jawaban dari setiap pernyataan yang telah tersedia. Kuesioner yang
digunakan akan diukur menggunakan skala Likert. Skala Likert adalah skala
yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau
seklompok orang tentang fenomena sosial.
Kuesioner terdiri dari empat alternatif pilihan jawaban, yaitu SS
(Sangat setuju), S (Setuju), TS (Tidak setuju), dan STS (Sangat tidak setuju)
dimana pilihan ragu-ragu ditiadakan, hal ini untuk menghindari jawaban yang
bersifat ganda (multi interpretabel).

Kecemasan matematika dalam penelitian ini digolongkan kedalam 2


tingkatan yaitu, kecemasan rendah dan kecemasan tinggi. Teknik yang
digunakan dalam pengelompokan tingkat kecemasan adalah dengan cara
memberi skor pada masing-masing siswa yang telah mengisi kuesioner,
kemudian skor diurutkan dari skor terendah samapai tertinggi, selanjutnya
diambil 22 siswa dengan skor terendah dan 22 siswa dengan skor tertinggi
dari masing-masing kelompok, sedangkan untuk 16 siswa dengan skor
pertengahan ditiadakan, hal tersebut dikarenakan untuk menghindari adanya
skor yang sama, namun masuk dalam katagori kecemasan yang berbeda.
b. Intrumen kemampuan pemecahan masalah matematis
Penelitian ini menggunakan instrumen tes berbentuk uraian sebanyak 5
soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
pada pokok bahasan luas dan keliling lingkaran. Soal tes tertulis disusun
berdasarkan aspek-aspek pemecahan masalah menurut Polya. Adapun
indikator yang akan diukur melalui tes tertulis kemampuan pemecahan
masalah matematika akan disajikan sebagaimana terdapat dalam tabel
berikut:
Tabel 3.3
Kisi-kisi instrumen kemampuan pemecahan masalah matematis

Indikator Materi Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika


Memahami Menyusun Melaksanakan Memeriksa
masalah Rencana rencana kembali
Menghitung 1a 1a 1a 1b
keliling lingkaran
Menyelesaikan 2a 2b 2c 2d
masalah yang
berkaitan dengan
keliling lingkaran
Menghitung luas 3a 3a 3b 3c
Lingkaran
Menyelesaikan 4a 4b 4c 4d
masalah yang
berkaitan dengan
luas lingkaran
Menyelesaikan 5a 5b 5c 5d
masalah yang
berkaitan dengan
luas lingkaran

Skor kemampuan pemecahan masalah matematis akan diukur dengan


menggunakan rubrik holostik. Rubrik holistik adalah pedoman untuk menilai
berdasarkan kesan keseluruhan atau kombinasi semua kriteria. Berikut
akan ditampilkan tabel rubrik penskoran tes kemampuan pemecahan
masalah matematika yang diadaptasi dari Kadir dalam Wulandari:

Tabel 3.4
Pedoman penskoran tes kemampuan pemecahan masalah
Skor Memahami Membuat Melaksanakan Memeriksa
masalah rencana Rencana kembali
0 Salah Tidak ada Tidak melakukan Tidak ada
menginterpre rencana, penghitungan pemeriksaan/tidak
stasi masalah membuat ada ktrampilan
rencana yang lain
tidak relevan
1 Salah Membuat Melaksanakan Ada pemeriksaan
mengiterprest rencana prosedur yang tetapi tidak tuntas
asi sebagian pemecahan benar,mungkin
soal,mengaba yang tidak menghasilkan
ikan kondisi dapat jawaban yang
soal dilaksanakan benar tetapi salah
Perhitungan
2 Memahami Membuat Melakukan proses Pemeriksaan
soal rencana yang benar, dilaksanakan
selengkapnya pemecahan mungkin untuk melihat
yang menghasilkan kebenaran proses
benar,tetapi jawaban yang
salah dalam benar
hasil/tidak ada
hasil
3 Membuat Hasil dan proses
rencana yang yang benar
benar tetapi
belum lengkap
4 Membuat
rencana sesuai
dengan
prosedur dan
mengarah pada
solusi yang
benar

Anda mungkin juga menyukai