Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi hepatitis B

Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukan merupakan virus sitopatik. Kelainan sel hati yang
diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang
terinfeksi VHB dengan tujuan akhir mengeliminasi VHB tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan dalam pendahuluan, hepatitis B dapat berkembang secara akut
dan kronis. Apabila eliminasi VHB dapat berlangsung secara efisien, maka infeksi VHB dapat
diakhiri, namun apabila proses tersebut kurang efisien, makan akan terjadi infeksi VHB yng
menetap. Proses eliminasi yang tidak efisien dipengaruhi oleh faktor virus maupun pejamu.
Adapun faktor viral dan pejamu sebagai berikut:
Faktor virus dan faktor pejamu mempengaruhi respon imun
Faktor virus
- Toleransi imun terhadap produk VHB
- Hambatan terhadap sel T sitotoksik yang berfungsi melisis sel terinfeksi
- Terjadinya mutan VHB yang tidak memprodusi HBeAg
- Integrasi genom VHB dalam sel hati
Faktor Penjamu
- Genetik
- Rendahnya produksi IFN
- Adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid
- Kelainan fungsi limfosit
- Faktor kelamin atau hormonal
Hepatitis B akut
VHB bersifat non-sitopatik, dengan demikian kelainan sel hati pada infeksi VHB disebabkan
oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB. Pada kasus hepatitis B akut,
respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga
terjadi nekrosis pada sel yang mengandung VHB dan muncul gejala klinik yang kemudian
diikuti kesembuhan. Pada sebagian penderita, respon imun tidak berhasil menghancurkan sel hati
yang terinfeksi sehingga VHB terus menjalani replikasi.
Pada infeksi primer, proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum dapat
dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas innate pada liver
mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek, yakni beberapa menit sampai
beberapa jam. Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell (sel NK)
pada hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-T) yang kemudian memicu teraktivasinya sel-
sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus, termasuk diantaranya interferon (terutama
IFN-α). Kenaikan kadar IFN-α menyebabkan gejala panas badan dan malaise. Proses eliminasi
innate ini terjadi tanpa restriksi HLA, melainkan dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T
yang terangsang oleh adanya IFN-α.
Dalam Textbook of Gastroenterology, juga disebutkan peran imunitas innate dalam mengaktivasi
imunitas adaptif yang terdiri dari respon humoral dan seluler. Respon humoral bersama-sama
dengan antibodi akan mencegah penyebaran virus dan mengeliminasi virus yang sudah
bersirkulasi. Terdapat eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan pada sel hati dengan mekanisme
non-sitolitik yang diperantarai aktivitas sitokin. Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali dan
menjadi marker pada infeksi akut. Lebih lanjut, pada studi yang dilakukan oleh Busca dan
Kumar pada tahun 2014, juga disebutkan fase awal infeksi viral ditandai dengan adanya produksi
sitokin, interferon tipe 1 (IFN)-α/β dan aktivasi sel natural-killer. Studi tersebut juga menemukan
munculnya sel T CD8+ cenderung tidak langsung membunuh hepatosit yang terinfeksi,
melainkan mengontrol replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ dependen.
Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi sel limfosit T
dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan kompleks peptida VHB-
MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen
Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah
mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Sel T
CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi
tersebut bisa berupa nekrosis sel hati yang dapat meningkatkan kadar ALT. Respon imun yang
pertama terjadi sekitar 10 hari sebelum terjadi kerusakan sel hati. Respon imun tersebut muncul
terhadap antigen pre-S, disusul respon terhadap HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang
terkuat adalah respon terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum kerusakan sel hati.
Petanda serologik pada hepatitis akut sebagai berikut:
 HBsAg (+) 6 minggu setelah infeksi dan (-) 3 bulan setelah awal gejala. Bila (+) lebih dari 6
bulan, infeksi VHB akan menetap.
 Anti HBs (+) 3 bulan setelah awal gejala dan menetap.
 HBeAg (+) dalam waktu pendek, kalau (+) lebih dari 10 minggu akan terjadi kronisitas
 Anti-HBc (+) sembuh sempurna
 IgM anti-HBc (+) titer tinggi pada hepatitis akut, namun bila (+) dalam waktu lama bisa terjadi
hepatitis kronik
 IgG anti-HBc (+) titer tinggi tanpa anti-HBs menunjukkan adanya persistensi infeksi VHB.
Gambar 1. Petanda serologik infeksi VHB pada hepatitis B akut
Pada infeksi akut hepatitis B dapat terjadi peningkatan respon imun seluler yang spesifik dan
signifikan, sedangkan pada infeksi kronis individu yang terinfeksi memiliki respon anti-HBV
yang rendah. Sel efektor yang predominan menginfiltrasi hepatoseluler adalah makrofag.
Imunitas cell-mediated dapat mencetuskan peningkatan respon imun yang bertujuan
menghilangkan virus, namun di satu sisi respon imun yang tidak adekuat dapat menyebabkan
jejas hepatoseluler yang kronis. Limfosit T sitotoksik akan berinteraksi dengan target utama
melalui reseptor HBV-specific T-cell dan molekul antigen presenting HLA class I pada hepatosit
dan menyebabkan apoptosis hepatosit. Dengan mensekresi sitokin (termasuk diantaranya
interferon), limfosit T sitotoksik akan menginduksi berbagai sel antigen-nonspecific
inflammatory ke dalam liver, dan menghasilkan jejas nekroinflamasi pada liver.
Hepatitis B kronis
Pada hepatitis B akut, tubuh berusaha mengeliminasi VHB baik dengan mekanisme innate
maupun spesifik, serta non-sitolitik seperti yang telah dijelaskan di atas. Eliminasi virus melalui
respon spesifik akan menunculkan produksi antibodi seperti anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe.
Fungsi anti-HBs adalah menetralkan partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke
dalam sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Persistensi
infeksi VHB disebabkan oleh adanya respon imun yang tidak efisien oleh faktor viral maupun
pejamu.
Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan aktivasi sel T sitotoksik
yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain secara terus- menerus, hal ini dapat
menjelaskan terjadinya inflamasi kronis yang persisten pada infeksi hepatitis B kronis.5
Persistensi infeksi VHB juga dapat disebabkan adanya mutasi pada daerah precore DNA yang
menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi VHB.8 Interaksi antara VHB dan respon imun tubuh terhadap VHP sangat berperan
dalam derajat keparahan hepatitis. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar
pula kerusakan jaringan hati dan sebaliknya.
Pada masa anak-anak maupun dewasa muda, sistem imun tubuh dapat toleran terhadap VHB,
sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya namun tidak terjadi
peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan ini VHB berada dalam fase replikatif dengan titer
HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT
relatif normal. Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran dimana pada fase ini jarang terjadi
serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk menginduksi serokonversi juga tidak
efektif.
Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi dimana
pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap virus ditandai dengan adanya
peningkatan pada kadar ALT. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya
sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Fase ini disebut fase immune clearance (imunoeliminasi). Pada
fase ini, baik dengan bantuan pengobatan maupun spontan, 70% individu dapat menghilangkan
sebagai besar partikel VHB tanpa disertai kerusakan sel hati yang berarti (serokonversi HBeAg).
Bila titer HBsAg rendah dengan HBeAg negatif dan anti-HBe positif secara spontan, disertai
kadar ALT yang normal, pasien sudah berada dalam fase residual (non-replikatif). Namun dapat
terjadi reaktivasi pada 20-30% pasien dalam fase ini. Pada sebagian pasien kekambuhan, terjadi
fibrosis setelah nekrosis yang berulang-ulang. Dalam fase ini replikasi sudah mencapai titik
minimal, namun resiko pasien untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat. Hal ini
diduga disebabkan adanya integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati.
Hal tersebut terbagi dalam empat fase pada infeksi hepatitis B.

Gambar 2. Fase hepatitis B kronis


Gambar 4. Profil serologis dan status hepatitis B
Komplikasi akibat hepatitis B kronis mencakup terjadinya sirosis hepatis dan karsinoma
hepatoseluler.

Anda mungkin juga menyukai