Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
Tuntutan dan masalah hidup yang semakin meningkat serta perkembangan teknologi
yang pesat menjadi stressor pada kehidupan manusia. Jika individu tidak mampu melakukan
koping dengan adaptif, maka individu beresiko mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa
merupakan gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku seseorang sehingga
menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Gangguan jiwa disebabkan
karena gangguan fungsi sel-sel syaraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan
neutrotransmiter atau substansi tertentu (Febrida, 2007).
WHO, (2009) memperkirakan terdapat 450 juta jiwa diseluruh dunia yang mengalami
gangguan mental, sebagian besar dialami oleh orang dewasa muda antara usia 18-21 tahun,
hal ini dikarenakan pada usia tersebut tingkat emosional masih belum terkontrol. Di
indonesia sendiri prevalensi penduduk yang mengalami gangguan jiwa cukup tinggi, data
WHO, (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 %
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita
gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta jiwa.
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di indonesia terdapat di daerah khusus ibu kota
jakarta yaitu sebanyak 24,3% (Depkes RI, 2008). Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar, (2007) menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6%
dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukan bahwa pada setiap 1000 orang
penduduk terdapat 4 sampai 5 orang yang mengalami gangguan jiwa. Prevalensi gangguan
jiwa di indonesia diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya beban
hidup yang dihadapi oleh masyarakat indonesia.
Halusinasi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang menjadi penyebab seseorang
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Pasien dengan halusinasi jika tidak segera ditangani akan
memberikan dampak yang buruk bagi penderita, orang lain, ataupun lingkungan disekitarnya,
karena pasien dengan halusinasi akan kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan mengalami
panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya, pada situasi ini pasien dapat
melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak
lingkungan.
Peran perawat dalam menangani halusinasi di rumah sakit salah satunya melakukan
penerapan standar asuhan keperawatan yang mencakup penerapan strategi pelaksanaan
halusinasi. Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan keperawatan terjadwal
yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa
yang ditangani. Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal
halusinasi, mengajarkan pasien menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain
saat halusinasi muncul, melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi, serta
minum obat dengan teratur (Akemat dan Keliat, 2010).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menerapkan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan dengan gangguan persepsi
sensori : halusinasi Pendengaran.
2. Tujuan Khusus
halusinasi pendengaran.
Mampu membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan persepsi sensori
: halusinasi Pendengaran.
Mampu membuat intervensi atau rencana keperawatan pada klien dengan gangguan
B. Etiologi
Etiologi, Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
Faktor predisposisi :
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:
Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi
(post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.
Faktor Presipitasi :
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
C. Pohon Masalah
(Keliat, 2005)
D. Manifestasi Klinik
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicara sendiri,pergerakan mata cepat, diam, asyik
dengan pengalaman sensori,kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realitas
rentang perhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau menit, kesukaran berhubungan
dengan orang lain, tidak mampu merawat diri,perubahan Berikut tanda dan gejala menurut
jenis halusinasi (Stuart & Sudden, 1998) :
Data Subjektif
Data Objektif
a. Mudah tersinggung
c. Tampak gelisah, perubahan perilaku dan pola komunikasi kadang berhenti bicara seolah-
olah mendengar sesuatu
i. Respon-respon yang tidak sesuai (tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang
komplek)
2) Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencedrai diri b.d halusinasi pendengaran
2. Gangguan persepsi sensori b.d menarik diri
3. Isolasi social: menarik diri b.d harga diri rendah kronis
SP II SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan 1. Melatih keluarga
sebelumnya. mempraktekkan cara merawat pasien
2. Melatih pasien cara kontrol dengan halusinasi
halusinasi dengan berbincang dengan 2. Melatih keluarga melakukan
orang lain cara merawat langsung kepada pasien
3. Membimbing pasien memasukkan halusinasi
dalam jadwal kegiatan harian.
SP III SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan 1. Membantu keluarga
sebelumnya. membuat jadual aktivitas di rumah
2. Melatih pasien cara kontrol termasuk minum obat (discharge
halusinasi dengan kegiatan (yang biasa planning)
dilakukan pasien). 2. Menjelaskan follow up
3. Membimbing pasien memasukkan pasien setelah pulang
dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2. Menjelaskan cara kontrol halusinasi
dengan teratur minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
3. Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
(Terlampir)
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan asuhan keperawatan pada Tn. S dengan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
Pendengaran yang dilaksanakan di Ruang Murai A RSKJ Soeprapto Bengkulu selama 9 hari dari
tanggal 06 - 05 Juni 2014, pada bab ini penulis akan membahas seluruh tahapan proses
keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, keperawatan, intervensi, implementasi dan
evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian Keperawatan
Dari hasil pengkajian pada Tn. S didapatkan data Tn. S sering keluyuran, tertawa dan
bernyanyi sendiri, mengganggu dan melempar orang dengan barang-barang serta putus obat
± 4 tahun yang lalu. Dalam pengkajian pola fungsional difokuskan pada pola persepsi Tn.
S, didapatkan data bahwa Tn. S mengalami halusinasi pendengaran. Tn. S mendengar suara
atau bisikan orang yang mengumpatnya dengan frekuensi hanya sekali-kali saja pada malam
hari, respon klien tidak tidur dan sering berbicara sendiri. Tn. S mengatakan isi dari
halusinasinya berubah-ubah.
Keluarga klien mengatakan klien sudah 5 kali dirawat di Rumah Sakit Jiwa, pertama kali
Tn. S masuk pada tahun 2010, klien merupakan orang yang mudah tersinggung dan mudah
marah apabila teman atau orang lain menasihatinya dan kadang memukul temannya sehingga
Tn. S banyak diam dan tidur. Tn. S tidak pernah mengalami penganiayaan fisik, tindakan
kriminal maupun adanya penolakan dari lingkunganya.
Manifestasi Klinik Halusinasi menurut Direja (2011): tanda dan gejala halusinasi
pendengaran: data subjektif: mendengarkan suara atau kegaduhan, mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya. Data objektif: bicara atau tertawa sendiri, marah marah tanpa sebab, mengarahkan
telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Dari perbandingan data menurut teori dan data yang ditemukan pada klien tidak muncul
adanya kesenjangan dimana seperti yang dijelaskan dalam teori bahwa tanda gejala gangguan
halusinasi tidak jauh berbeda. Faktor pendukung yang didapatkan penulis selama melakukan
pengkajian adalah klien cukup kooperatif dan hubungan saling percaya antara perawat
dengan klien terbina dengan baik. Faktor penghambat yang didapatkan penulis tidak dapat
melakukan pengkajian dengan maksimal karena keluarga klien pada saat pengkajian belum
ada yang menjenguk. Upaya yang dilakukan penulis untuk mengatasi kendala diatas adalah
penulis melakukan validasi kepada perawat ruangan dan melihat buku status klien.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian pada Tn. S secara garis besar ditemukan data subyektif dan data
obyektif yang menunjukan karakteristik Tn. S dengan diagnosa gangguan persepsi sensori :
halusinasi pendengaran yang ditandai dengan data subyektif Tn. S mendengar suara atau
bisikan orang yang mengumpatnya dengan frekuensi hanya sekali-kali saja pada malam hari,
respon klien tidak tidur dan sering berbicara sendiri. Tn. S mengatakan isi dari halusinasinya
berubah-ubah. Sedangkan data objektif didpatkan Tn. S suka melamun, tersenyum dan
tertawa sendiri, berbicara sendiri dan kadang tidak tidur di malam hari.
Selain itu Tn. S mengatakan mudah tersinggung dan mudah marah apabila teman atau
orang lain menasihatinya dan kadang memukul temannya. Data objektif ditemukan bahwa
Tn. S suka melempar orang dengan barang-barang dan koping maladaktif. Secara garis besar
juga ditemukan data subyektif dan data obyektif yang menunjukan karakteristik Tn. S
dengan diagnose resiko perilku kekerasan.
Menurut Keliat, (2006) pada pohon masalah dijelaskan bahwa Halusinasi terjadi karena
isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri bisa menyebabkan masalah utama/core
problem gangguan persepsi sensori : halusinasi, dari halusinasi bisa menyebabkan
resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Pada pembahasan tentang pohon masalah, klien dengan koping yang maladaptif dimana
klien cenderung menyendiri jika ada masalah menjadi pencetus klien mengalami halusinasi,
dari halusinasi yang dialami klien dengan respon merasa jengkel yang potensial akan
dimanifestasikan dengan perbuatan untuk mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. koping yang maladaptif yaitu cenderung menyendiri jika ada masalah yang
menyebabkan timbulnya halusinasi, dengan respon merasa jengkel dan membanting barang-
barang saat halusinasinya muncul. Sehingga tidak ditemukan kesenjangan antara teori yang
ada dengan fakta yang ditemukan pada klien.
C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran yaitu dengan tujuan umum (TUM) agar klien dapat mengontrol halusinasi yang
dialaminya. Dan dengan lima tujuan khusus (TUK) gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran, antara lain : tujuan khusus pertama (TUK 1), klien dapat membina hubungan
saling percaya. Klien dapat mengenal halusinasinya dari situasi yang menimbulkan
halusinasi, isi, waktu, frekuensi halusinasi, dan respon klien terhadap halusinasinya serta
latihan cara menghardik. Tujuan khusus ketiga (TUK 2) klien dapat memanfaatkan obat
untuk mengontrol halusinasi dengan rasionalnya yaitu dapat meningkatkan pengetahuan dan
motivasi klien untuk minum obat secara teratur. (TUK 3) klien dapat melatih mengontrol
halusinasinya, dengan berlatih cara bercakap-cakap dengan orang lain, (TUK 4) mengalihkan
halusinasinya dengan beraktivitas secara terjadwal. (TUK 5) dukungan keluarga dalam
mengontrol halusinasi dengan rasionalnya keluarga mampu merawat klien dengan halusinasi
saat berada di rumah. Setiap akhir tindakan strategi pelaksanaan diberikan reinforcement
positif yang rasionalnya untuk memberikan penghargaan atas keberhasilan Tn. S
Berdasarkan intervensi yang penulis lakukan pada Tn. S, tidak terdapat adanya
kesenjangan antara konsep dasar teori dengan pembahasan pada kasus, karena penulis
mengacu pada teori yang ada, dimana tahapan – tahapan perencanaan yang dilakukan pada
Ny. A sesuai dengan keadaan dan kondisi klien, serta dalam rencana keperawatan penulis
sudah memasukkan tiga aspek dalam perencanaan, yang meliputi : tujuan umum, tujuan
khusus, dan rencana tindakan keperawatan.
D. Implementasi
Implementasi pertama yang dilakukan pada Tn. S dengan gangguan persepai sensori :
halusinasi pendengaran antara lain : pada tanggal 06 – 08 Agustus 2019, melakukan strategi
pelaksanaan 1 yaitu mengenal halusinasi pada Tn. S, menjelaskan cara mengontrol
halusinasi, dan mengajarkan cara pertama mengontrol halusinasi dengan menghardik
halusinasi. Tn. S dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
memperdulikan halusinasi. Respon Tn. S mampu mengenal halusinasinya dan mau
menggunakan cara menghardik saat halusinasinya muncul.
Implementasi kedua yang dilakukan pada Tn. S dengan gangguan persepai sensori :
halusinasi pendengaran antara lain : pada tanggal 09 – 10 Agustus 2019, melakukan strategi
pelaksanaan 2 yaitu menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan patuh obat, Respon Tn.
S mampu mengenal obat, menyebutkan efek samping, keuntungan dan kerugian, serta prinsip
5 benar obat.
Implementasi ketiga yang dilakukan pada Tn. S dengan gangguan persepai sensori :
halusinasi pendengaran antara lain : pada tanggal 11 – 12 Agustus 2019, melakukan strategi
pelaksanaan 3 yaitu menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap,
Respon Tn. S mampu bercakap-cakap namun masih didampingi oleh perawat atau orang lain.
Implementasi ke empat yang dilakukan pada Tn. S dengan gangguan persepai sensori :
halusinasi pendengaran antara lain : pada tanggal 13 Agustus 2019, melakukan strategi
pelaksanaan 4 yaitu melakukan aktivitas terjadwal dengan memasukkan kegiatan yang Tn. S
sukai. Respon Tn. S mampu melakukan kegiatan tersebut dan masih didampingi perawat atau
orang lain, sehingga dilanjutkan ke tindakan keperawatan diagnose selanjutnya yang muncul
pada Tn. S.
Implementasi ke lima yang dilakukan pada Tn. S dengan RPK antara lain : pada tanggal
14 Agustus 2019, melakukan strategi pelaksanaan 1 yaitu mengenal RPK (penyebab, tanda
gejala, akibat). Respon Tn. S mampu mengenal RPK.
Implementasi ke 6 yang dilakukan pada Tn. S dengan dengan RPK antara lain : pada
tanggal 15-16 Agustus 2019, melakukan strategi pelaksanaan 1 yaitu mengontrol RPK
dengan cara fisik tarik nafas dalam dan pukul bantal kasur. Respon Tn. S mampu melakukan
kegiatan tersebut secara mandiri, sehingga dilanjutkan ke tindakan keperawatan diagnose
selanjutnya yang muncul pada Tn. S.
E. Evaluasi
Pada kasus Tn. S evaluasi yang dapatkan yaitu pada pelaksanaan diagnose gangguan
persepsi sendori: halusinasi pendengaran, strategi pelaksanaan 1-4 tanggal 06 – 13 Agustus
2019, Tn. S berhasil melakukan dengan baik dalam mengenal halusinasi dan klien mampu
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, patuh obat, bercakap cakap dan aktivitas
terjadwal namun masih dalam bimbingan sebagian sehingga dapat dianalisis bahwa masalah
teratasi.
Evaluasi yang dapatkan yaitu pada pelaksanaan diagnose RPK, strategi pelaksanaan 1-2
tanggal 14 – 16 Agustus 2019, Tn. S berhasil melakukan dengan baik dalam mengenal RPK
dan klien mampu mengontrol RPK dengan cara dengan cara fisik: tarik napas dalam dan
pukul bantal kasur. Sehingga sejauh ini dapat dianalisis bahwa masalah teratasi.
Menurut Townsend, (2006) evaluasi keperawatan adalah proses berkesinambungan yang
perlu dilakukan untuk menentukan seberapa baik rencana keperawatan dilakukan. Menurut
Nurjannah, (2005) evaluasi adalah tahap berkelanjutan untuk menilai efek dan tindakan pada
klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, terdapat kesamaan antara konsep dasar teori
dengan kasus Tn. S, karena penulis mengacu pada teori yang ada, dimana
menggunakan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara
respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan keperawatan
terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya
resiko perilaku kekerasan sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus menerus,
membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana terapeutik dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan halusinasi,
pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai system pendukung yang
mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu perawat / petugas kesehatan
juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan
membina kerjasama dalam memberiperawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat
menyimpulkan bahwa peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses
penyembuhan klien.
B. Saran
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti langkah-langkah
proses keperawatan dan melaksanakannya secara sistematis dan tertulis agar tindakan
berhasil dengan optimal
2. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit, sehingga
keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan dapat membantu perawat
bekerja sama dalam pemberian asuhan keperawatan bagiklien.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat BA, Ria UP, Novy H. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta. EGC.
Residen bagian Psikiatri UCLA. 1990. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC
Stuart & Laraia. 2001. Principles and practice of psychiatric nursing.USA: Mosby Company.
Stuart & Sudeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 3. Jakarta : EGC.