Anda di halaman 1dari 10

CRITICAL THINKING IN NUTRITION

“ESSAY : STUNTING”
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Critical Thinking In Nutrition

Disusun Oleh

Luthfi Anisa 190400536

Novita Fauziah Putri 190400540

PROGRAM STUDI ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ALMA ATA

YOGYAKARTA

2020
STUNTING

Dewasa ini, isu kesehatan menjadi banyak diperbincangkan oleh masyarakat


sekitar kita. Berbagai masalah kesehatan dan penyakit menjadi trending topic, baik di
dunia maya maupun di dunia nyata. Tak terkecuali masalah stunting atau biasa
disebut anak kerdil yang merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita
di dunia saat ini. Saat ini sebanyak 159 juta anak mengalami stunting di dunia dan 9
juta dari mereka tinggal di Indonesia (riskesdas, 2013). Meskipun prevalensi stunting
telah mengalami penurunan dari 37,2% (riskesdas, 2013) menjadi 30,8% (riskesdas,
2018), namun masalah stunting di Indonesia masih harus terus ditekan prevalesinya
karena target stunting yang tidak akan menimbulkan masalah bagi suatu negara
menurut rekomendasi WHO adalah ≤ 20%.

Stunting adalah suatu keadaan gagal tumbuh dan kembang pada anak,
sehingga anak terlihat lebih pendek dari anak seusianya. Stunting tidak terlihat pada
saat bayi baru lahir, stunting baru dapat terlihat dalam perkembangan anak selama 2
tahun pada kurva pertumbuhan di buku KIA (memperhatikan tinggi atau panjang
badan, umur dan jenis kelamin balita). Maka dari itu perlu adanya pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan anak setiap bulan di posyandu. Stunting disebabkan
oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada 1000 HPK (hari pertama
kehidupan) yaitu dari janin hingga anak berusia 2 tahun. Sehingga perkembangan
otak dan fisik pada balita stunting akan menjadi terhambat dan mereka akan rentan
terhadap penyakit. Belakangan ini, diketahui juga bahwa stunting dapat disebabkan
oleh penyerapan zat gizi yang terganggu. Akibatnya, anak stunting akan memiliki IQ
yang lebih rendah dibandingkan anak lainnya, sistem imun tubuh lemah sehingga
mudah sakit, rawan terkena obesitas, hipertensi dan diabetes. Jika kondisi ini
dibiarkan, mereka bisa menjadi generasi yang hilang.

Menurut Bapenas, penyebab stunting dapat berupa faktor langsung dan tidak
langsung, diantaranya kurangnya asupan gizi, penyakit infeksi, sanitasi lingkungan,
ketersediaan pangan, pola asuh (asi ekslusif dan mp asi), kesenjangan ekonomi,
sistem pangan, sistem kesehatan, sistem pembangunan dan pemberdayaan
perempuan. Anak stunting tidak hanya dialami oleh keluarga yang memiliki ekonomi
rendah saja, stunting juga dialami orang keluarga yang memiliki ekonomi stabil yang
berada di atas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Ciri-ciri yang dapat
dilihat pada anak stunting yaitu anak terlihat jauh lebih pendek dibandingkan anak
seusianya, lebih pendiam dan apatis, kemampuan mengingat yang rendah dan adanya
keterlamabatan masa pubertas dibandingkan anak seusianya. Sungguh ironis ketika
kita melihat generasi penerus bangsa merupakan generasi stunting, generasi yang
gagal tumbuh sehingga tidak dapat menjadi generasi unggul bangsa Indonesia.
Bayangkan jika kondisi ini terjadi secara terus-menerus, hal apakah yang akan terjadi
pada generasi bangsa Indonesia di masa yang akan datang?

Stunting tidak hanya berdampak pada keluarga tetapi berdampak pula pada
suatu negara. Diperkirakan pada tahun 2030, Indonesia akan mengalami masalah
SDM serius dalam peningkatan daya saingnya. Pertama, potensi kerugian ekonomi
setiap tahunnya adalah 2-3% dari GDP. Kedua, jika PDB Indonesia sebanyak 13.000
triliun rupiah, maka potensi kerugian mencapai 260-390 triliun rupiah/tahun (The
worldbank, 2016). Ketiga, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja
terhambat dan dapat meningkatkan ketimpangan/kesenjangan. Bagi anak yang
mengalami stunting akan berdampak kelak di usia produktifnya, anak stunting akan
berpenghasilan 20% lebih rendah daripada mereka yang tumbuh optimal. Kemudian
anak yang mengalami stunting lebih berisiko mengalami obesitas, berisiko menderita
penyakit tidak menular, sehingga umur harapan hidup menjadi lebih redah
dibandingkan orang normal.

Namun, masih ada harapan dan jalan keluar, stunting bisa dicegah dimulai
dari keluarga dengan memastikan kecukupan gizi pada 1000 HPK, dimulai dari janin
sampai anak berusia 2 tahun. Memastikan kecukupan gizi pada 1000 HPK penting
untuk dilakukan karena dapat mendukung perkembangan otak dan fisik anak,
memperkuat metabolisme tubuh dan mencegah terjadinya stunting. Hal tersebut bisa
tercapai, bila ibu hamil makan makanan yang bergizi seimbang, terutama makanan
yang bersumber protein hewani agar janin sehat dan bayi lahir selamat. Kemudian ibu
hamil mengkosumsi tablet tambah darah 1 butir/hari, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol/minuman bersoda, menghindari makanan berpengawet, dan
mengikuti kelas ibu hamil dan bina keluarga balita. Setelah melahirkan, ibu dapat
melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan memberikan bayi nya ASI saja selama
6 bulan pertama (ASI Eksklusif). Lalu, dilanjutkan dengan memberi makanan
pendamping ASI dengan jumlah, frekuensi dan keberagaman yang cukup. Kemudian
lakukan pemantauan tumbuh kembang anak di fasilitas pelayanan kesehatan secara
berkala. Masyarakat juga harus berperilaku hidup bersih dan sehat dengan tinggal di
lingkungan yang bersih, dimana setiap orang menggunakan jamban sehat. Agar
kondisi ini terwujud, keluarga dan masyarakat perlu dukungan. Pemerintah perlu
merevitasilasi posyandu sebagai sarana pendidikan gizi dan pemantauan tumbuh
kembang balita, melatih para petugas kesehatan dan kader agar mampu mendidik
masyarakat, memberi tablet tambah darah untuk ibu hamil yang mengalami anemia
memberikan kapsul vitamin A dan obat cacing untuk balita, memfasilitasi masyarakat
agar setiap keluarga memiliki dan menggunakan jamban sehat serta mendidik
masyarakat agar dapat mengolah dan menyimpan air minum yang aman.
Program pemerintah yang dijalankan sebagai upaya untuk mencegah stunting
sudah banyak dilaksanakan, yaitu pertama pemberian tablet tambah darah kepada ibu
hamil masih belum sesuai harapan. Sehingga peran tenaga kesehatan perlu
dioptimalkan yaitu dengan melaksanakan edukasi pentingnya mengkonsumsi tablet
tambah darah. Edukasi sebaiknya diberikan secara berkelanjutan karena dengan
pemahaman edukasi yang diberikan akan dapat meningkatkan capaian mengkonsumsi
tablet tambah darah. Kedua, pemberian makanan tambahan ibu hamil pemberian
makanan tambahan yang dikelola oleh tenaga puskesmas diharapkan akan dapat
menurunkan angka kekurangan energi kronis / KEK pada wanita hamil. Peran
petugas dan kader dimasing-masing wilayah desa sangat penting, edukasi dan
motivasi yang diberikan oleh petugas sebaiknya dioptimalkan agar kasus KEK pada
bumil dapat diturunkan sehingga BBLR dan bayi prematur atau bayi yang lahir
sebelum waktunya dapat diturunkan. Ketiga, program ASI Eklusif capaiannya belum
sesuai harapan. Dengan capaian yang rendah tersebut kemungkinan ibu menyusui
belum semua memahami pentingnya ASI Eklusif bagi anaknya. Sehingga petugas
kesehatan dan kader perlu untuk memberikan edukasi dan konseling terkait
menyusui, ASI Eksklusif dan pemberian makanan tambahan bagi anak berusia lebih
dari 6 bulan

Ketahanan pangan dan gizi diperlukan juga untuk intervensi stunting,


terbatasnya akses kelompok miskin terhadap pangan dan terbatasnya intervensi
fortifikasi pangan merupakan masalah dalam intervensi ini. Maka dari itu, pemerintah
berusaha meningkatkan akses untuk mendorong ketahanan pangan. Strategi
pemerintah dalam hal ini adalah dengan memastikan keterjangkauan dan fokus
kepada kualitas fortifikasi pangan, perluasan program bantuan pangan non-tunai
untuk keluarga kurang mampu, mempercepat pemenuhan keberagaman pangan
berbasis pangan lokal dan pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
berkelanjutan dan memperkuat mekanisme pelabelan dan penyampaian iklan pangan
untuk memastikan jaminan mutu pangan.

Dalam hal ini dana desa bisa dijadikan inovasi untuk intervensi stunting.
Dalam PP No 60 tahun 2014 menyebutkan bahwa dana desa wajib mengutamakan
kepentingan masyarakatnya. Realisasi dana desa pada tahun 2019 mencapai Rp 42,2
triliun. Nominal tersebut adalah 60,29% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Komitmen pemerintah untuk didukung dengan bergabungnya
Indonesia ke dalam Global Scaling Up Nutrition (SUN) pada tahun 2011. Gerakan ini
memiliki prinsip bahswa semua warna Negara mempunyai hak untuk mendapatkan
akses terhadap makanan yang layak dan bergizi. Global Scaling Up Nutrition (SUN)
ini banyak melibatkan kelompok yang berbeda-beda baik pemerintah maupun swasta,
Lembaga Sosial Masyarakat, ilmuwan, masyarakat sipil dan PBB bersama-sama
melakukan tindakan kolektif. Diperlukan intervensi gizi yang terpadu, mencakup
intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif, jika ingin penyelenggaraan
intervensi ini berhasil, harus diprioritaskan pemantauan perbaikan gizi, tumbuh
kembang anak dan pencegahan stunting. Intervensi gizi spesifik dibagi menjadi
intervensi prioritas (intervensi yang memiliki dampak paling besar), intervensi
pendukung (intervensi yang berdampak pada masalah gizi terkait stunting dan
diprioritaskan setelah intervensi prioritas), dan intervensi prioritas sesuai kondisi
tertentu (saat darurat bencana atau program gizi darurat). Sedangkan untuk intervensi
gizi sensitif mencakup peningkatan penyediaan air minum dan sanitas, peningkatan
kualitan dan pelayanan gizi, peningkatan kesadaran pengasuhan gizi ibu dan anak.
Program pencegahan stunting ini diselenggarakan untuk menyasar kelompok
prioritas, di lokasi prioritas, dan melalui intervensi prioritas. Untuk lokasi prioritas
pada tahun 2020-2024 semua desa prioritas menjadi prioritas di semua
kabupaten/kota prioritas secara bertahap yang sebelumnya pada tahun 2019 hanya
1.600 desa fokus di 160 kabupaten/kota prioritas.

Semua program ini adalah investasi yang sangat menguntungkan, karena jika
angka stunting dapat diturunkan maka pertumbuhan ekonomi bisa ditingkatkan.
Investasi untuk mencegah stunting menjanjikan keuntungan 48 kali lipat, artinya jika
kita berinvestasi 100 juta maka keuntungannya bisa mencapai 4,8 miliar rupiah. Jadi
tunggu apalagi, siapapun anda, pemerintah pusat atau daerah, anggota DPR atau
DPRD, orangtua, tokoh agama dan masyarakat, petugas kesehatan, pengusaha atau
wartawan, harus berperan aktif dalam mencegah stunting. Dalam situasi seperti ini
kolaborasi tenaga kesehatan dan lintas sektor sangat dibutuhkan terutama sector
pembangunan, perdagangan dan pertanian. Dalam sektor pembangunan dibutuhkan
infrastruktur yang merata di setiap daerah di Indonesia supaya distribusi bahan
makanan bisa diakses dengan mudah. sektor pertanian dan perdagangan ikut serta
dalam andil masalah stunting karena sektor pertanian merupakan pilar yang utama
dalam ekonomi di Indonesia. Jika hasil tani rendah maka akan berkurang pula
ketersediaan pangan untuk masyarakat. Sering kali petani menjual dagangan mereka
kepada tengkulak, hal ini menyebabkan rantai perdagangan yang cukup panjang dan
akan berujung dengan harga yang jauh beda dari yang petani berikan dan petani
hanya mendapat keuntungan kecil dari hasil panen. Permasalahan ini akan berdampak
kepada buruknya asupan gizi di Indonesia dan diperburuk oleh sistem distribusi yang
memakan waktu cukup lama. Buruknya sistem distribusi ini menunjukan bahwa
sektor perdangan di Indonesia belum cukup baik, selain karena daerah di Indonesia
dipisahkan oleh laut, sistem distribusi ini membutuhkan biaya yang mahal
mengakibatkan bahan pangan mengalami kerusakan sebelum sampai di tempat
tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah
Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Pekanbaru : LPPM
STIKes Hang Tuah Pekanbaru.

Republik Indonesia, 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam rangka
Seribu Hari Kehidupan (1000 HPK) versi 5 September 2012. Diakses dari
http://www. kgm.bappenas.go.id tanggal 23Maret 2020.

Riskesdas. 2013. Penyajian Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Diakses dari www.litbang.depkes.go.id tanggal 23Maret 2020.

Scaling Up Nutrition. 2013. Country Progress In scaling up nutrition. Januari 2013


Diakses dari scalingupnutrition.org/resources tanggal 23Maret 2020.

Unicef. 1990. Strategy for improved nutrition of children and women in developing
countries. New York.

Unicef. 2013. Improving Child Nutrition The achievable imperative for global
progress. Diaksesdariwww.unicef.org/media/files/nutrition_ report_2013.pdf
tanggal 23Maret 2020.

Unicef Indonesia. 2013. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak. Diakses dari
www.unicef.org tanggal 23Maret 2020.

Indriyani, Eny., Dewi ,Yulia Lanti Retno., dan Salimo, Harsono. 2018.
Biopsychosocial Determinants of Stunting in Children Under Five: A Path
Analysis Evidence from the Border Area West Kalimantan. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Indriyani, dkk. 2018. Prenatal Factors Associated with the Risk of Stunting: A
Multilevel Analysis Evidence from Nganjuk, East Java. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Mugianti, dkk. 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan
Sukorejo Kota Blitar. Malang : Poltekkes Kemenkes Malang.

Kusumawati, Erna., Rahardjo, Setiyowati., Sari, Hesti Permata. 2015. Model


Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia di Bawah Tiga Tahun.
Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.

Ningrum, Ema Wahyu dan Utami, Tin. 2018. Stunting Status And Development Of
Children Under 5 Years Old In Padamara Community Health Service
Centre In Indonesia. Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.

Setiawan, Eko., Machmud, Rizanda., Masrul. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018.
Padang : Universitas Andalas Padang.

Ariati, N dkk. 2018. Description Of Nutritional Status And The Incidence Of Stunting
Children In Early Childhood Education Programs In Bali-Indonesia. Bali
Medical Journal.

Manggala, A dkk. 2018. Risk factors of stunting in children aged 24-59 months.
Paediatrica Indonesiana.

Ni’mah, Khoirun dan Nadhiroh, Siti Rahayu. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Balita. Surabaya : Universitas Airlangga.

Gibson RS, 2005. Principles of Nutritional Assessment, Second Edition. Oxford


University Press, Inc., New York.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia.


Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Vonaesch, P. et al. 2017. Factors Associated With Stunting In Healthy Children Aged
5 Years And Less Living In Bangui (RCA). Plos One.
Sutarto., Mayasari, Diana., Indriyani, Reni. 2018. Stunting, Faktor Resiko dan
Pencegahannya. BandarLampung : Universitas Lampung & Poltekkes
Kemenkes Tanjungkarang.

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Stunting


di Indonesia.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 Kabupaten/Kota


Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta : Sekretariat
Wakil Presiden Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai