TINJAUAN PUSTAKA
Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga saat ini
belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi
dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kejang. Kondisi
yang dapat menyebabkan kejang demam diantaranya adalah infeksi yang mengenai
jaringan ekstrakranial seperti otitis media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013).
Sedangkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab
terjadinya kejang demam antara lain obat-obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti
hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu yang
mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab kejang demam
menurut data profil kesehatan Indonesia (2012) yaitu didapatkan 10 penyakit yang sering
rawat inap di Rumah Sakit diantaranya 11 adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh
penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue, demam tifoid dan paratifoid, penyulit
kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial, indeksi saluran pernafasan
atas dan pneumonia.
Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun merupakan suatu
gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang atau adanya kelainan
susunan saraf pusat. Penyebab utama kejang adalah kelainan bawaan di otak sedangkan
penyebab sekundernya adalah gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit
infeksi. Negara berkembang, kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh
tetanus neonatus, sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan.
Penyebab kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder umumnya berkaitan erat
dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan serta masamasa bayi
baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran, penyebab kejang demam dikarena
infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014).
2.1.4 Manifestasi Klinis Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menyebutkan bahwa kejang pada anak dapat terjadi bangkitan
kejang dengan suhu tubuh mengalami peningkatan yang cepat dan disebabkan karena
infeksi di luar susunan saraf pusat seperti otitis media akut, bronkitis, tonsilitis dan
furunkulosis. Kejang demam biasanya juga terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada saat
demam dan berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik,
klonik, tonik dan fokal atau akinetik. Pada umumnya kejang demam dapat berhenti
sendiri dan pada saat berhenti, anak tidak dapat memberikan reaksi apapun untuk sejenak
tetapi 12 setelah beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali
tanpa adanya kelainan saraf.
Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang mengalami kejang
adalah sebagai berikut : (1) suhu badan mencapai 39 derajat Celcius; (2) saat kejang anak
kehilangan kesadaran, kadang-kadang napas dapat terhenti beberapa saat; (3) tubuh
termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai ke belakang disusul munculnya
gejala kejut yang kuat; (4) warna kulit berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik
ke atas; (5) gigi terkatup dan terkadang disertai muntah; (6) napas dapat berhenti selama
beberapa saat; (7) anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan dipengaruhi
oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi
hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan oleh matabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada neuron dan terdapat gangguan perederan darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang
berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
Karena itu kejang demam yang berlansung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak hingga terjadi epilepsi (Nurindah , 2014).
Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda terhadap hal
yang merugikan dan memudahkan terjadinya suatu penyakit serta mempunyai hubungan
yang spesifik dengan akibat yang dihasilkan (Nurwijaya, 2010). Anak yang mengalami
kejang demam kemungkinan besar akan menjadi penderita epilepsi jika adanya kelainan
neurologis sebelum kejang demam pertama dan kejang demam bersifat kompleks
(Susilowati, 2011).
Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang terjadi kedua
kalinya sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada saat kejang demam
pertama merupakan faktor resiko yang paling penting dalam kekambuhan ini, karena
semakin muda usia pada saat kejang demam pertama, semakin tinggi resiko
keambuhan terjadi dan sebagai perbandingan, sebanyak 20% yang memiliki
kekambuhan kejang demam pertama adalah usia tua lebih dari 3 tahun (Gupta, 2016).
2. Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi kejang
demam dan berdampak pada keterlambatan perkembangan atau pemeriksaan
neurologis yang abnormal sebelum terjadi kejang demam, riwayat kejang demam
kompleks dan terjadi kejang demam berkepanjangan serta menjadi resiko epilepsi.
Resiko epilepsi ini merupakan faktor bawaan yang sudah ada sebelumnya seperti
perinatal, genetik atau keturunan (Panteliadis, 2013).
3. Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak kejang demam
adalah tidak lebih besar dari pada populasi umum dan anak dengan kejang demam
berkepanjangan dapat mengembangkan konsekuensi neurologis jangka panjang
(Bagiella, 2011).
4. Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi lebih dari 30
menit dan merupakan bentuk paling parah dan berpotensi mengancam nyawa dengan
konsekuensi jangka panjang dan bersifat gawat darurat. Anak dengan kejang demam
pertama memiliki potensi status demam epileptikus dimana dikaitkan dengan usia
yang lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah serta durasi yang lebih lama (Gupta,
2016).
5. Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang demam
(pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang demam dan orang
tua dengan riwayat epilepsi tanpa demam (Handy, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa
anak yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga terdekat mempunyai resiko
untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat dan faktor riwayat kejang pada ibu, ayah dan saudara kandung
menunjukkan hubungan yang bermakna karena mempunyai sel yang kosong
(Wijayahadi, 2010).
6. Konsekuensi kejang demam, anak yang mengalami kejang demam sederhana
memiliki resiko yang sangat rendah dibandingkan dengan kejang demam kompleks
karena pada kejang demam kompleks memiliki durasi selama lebih dari 15-20 menit
dan berulang dalam penyakit yang sama (Camfield, 2015).
7. Faktor statistik yaitu faktor resiko kejang demam yang berhubungan dengan
pendidikan orang tua, ibu merokok pada saat sebelum melahirkan atau menggunakan
minuman beralkohol, tingkat demam dan memiliki penyakit gastroenteritis. Faktor
resiko yang paling penting untuk kejang demam adalah usia, karena semakin muda
usia pada saat kejang demam pertama semakin tinggi resiko kekambuhan (Salam, et
al. 2012).
1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba hidup
yang sudah dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari berbagain
macam penyakit. Imunisasi akan memberikan perlindungan seumur hidup pada balita
terhadap serangan penyakit tertentu. Apabila kondisi balita kurang sehat bisa
diberikan imunisasi karena suhu badannya akan meningkat sangat tinggi dan berisiko
mengalami kejang demam. Berbagai jenis vaksinasi atau imunisasi yang saat ini
dikenal dan diberikan kepada balita dan anak adalah vaksin poliomyelitis, vaksin
DPT (difteria, pertusis dan tetanus), vaksin BCG (Bacillus Calmette Guedrin), vaksin
campak (Widjaja, 2009).
2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak
dengan cara jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena benda
tersebut justru dapat menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan ditempat yang
datar dengan posisi menyamping bukan terlentang untuk menghindari bahaya
tersedak, jangan memegangi anak untuk melawan, jika kejang terus berlanjut selama
10 menit anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat dan setelah kejang
berakhir jika <10 menit anak perlu dibawa ke dokter untuk meneliti sumber demam
terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat dan anak terus tampak
lemas (Lissauer,2013)
Patel (2015), menjelaskan bahwa orang tua harus di ajari bagaimana cara
menolong pada saat anak kejang dan tidak boleh panik serta yang penting adalah
mencegah jangan sampai timbul kejang serta memberitahukan orang tua tentang apa
yang harus dilakukan jika kejang demam berlanjut dan terjadi di rumah dengan
tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter yang telah
mengandung antikonvulsan, anak segera diberikan obat antipiretik bila orang tua
mengetahui anak mulai demam dan jangan menunggu suhu meningkat serta
pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama 24 jam berikutnya
(Ghassabian, et al. 2012). Jika terjadi kejang, anak harus dibaringkan ditempat yang
rata dan kepalanya dimiringkan serta buka baju anak dan setelah kejang berhenti,
pasien bangun kembali suruh minum obat dan apabila suhu pada waktu kejang
tersebut tinggi sekali supaya dikompres serta beritahukan kepada orang tua pada saat
anak mendapatkan imunisasi agar segera beritahukan dokter atau petugas imunisasi
bahwa anak tersebut menderita kejang demam agar tidak diberikan pertusis (Patil, et
al. 2012).