Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini perkembangan teknologi dalam semua bidang semakin
berkembang, sehingga menstimulasi setiap individu untuk terus meneliti suatu
permasalahan yang terjadi, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Orang yang
mengkaji suatu permasalahan dalam bidang keilmuan adalah seorang ilmuwan
sehingga terlahirlah suatu teori atau suatu ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk
umat manusia. Sedangkan menurut Susanto (2014: 44) Ilmuwan adalah “orang yang
banyak memiliki ilmu pengetahuan mengenai suatu ilmu disebut ‘ilmuan’ atau orang
yang ahli dalam bidang tertentu”. Sedangkan menurut McGraw-Hill Dictionary Of
Scientific and Technical Term dalam Nita (2013) ilmuwan adalah seorang yang
mempunyai kemampuan dan hasrat untuk mencari pengetahuan baru, asas-asas baru,
dan bahan-bahan baru dalam suatu bidang ilmu.
Menjadi seorang ilmuwan yang meneliti suatu bidang dalam rangka
menghasilkan ilmu tidaklah mudah, beberapa tokoh Ilmuwan tentunya melalui
beberapa tahapan dan metode untuk menemukan suatu ilmu. Ilmu pengetahuan akan
diterima oleh masyarakat luas apabila sudah terbukti kebenaran dan keabsahannya,
tentu saja yang demikian itu tidak didapatkan dengan mudah, harus melalui proses
yang panjang dan pembuktian kebenarannya.
Seorang ilmuwan haruslah memiliki kepribadian yang kritis, pragmatis, jujur,
berkepribadian terbuka dan memiliki keinginan yang kuat untuk menemukan
kebenaran. Menjadi seorang ilmuwan pun harus memiliki kinerja yang bagus yaitu
bagaimana cara dia bekerja untuk mengungkap segala permasalahannya dengan
metode ilmiah. Selain itu ilmuwan juga harus mempunyai kemampuan bagaimana
cara dia mengungkapkan hasil yang sudah ditemukan dari setiap permasalahan yang
ditelitinya.

1
Dari beberapa pernyataan diatas maka timbulah suatu pertanyaan “bagaimana
cara kerja ilmuwan?” dan dari semua uraian diatas sebaiknya kita sebagai orang yang
mencintai ilmu, patutlah mengetahui, memahami dan mempelajari bagaimana cara
kerja para ilmuwan terdahulu sebagai acuan agar kita mampu meneliti suatu
permasalahan atau mengkaji suatu kebenaran ilmu pengetahuan yang digeluti.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat dari seorang ilmuwan?
2. Apa yang dimaksud dengan Argumentasi ilmiah?
3. Apa yang dimaksud dengan sarana penalaran ilmiah?
4. Bagaimana kriteria kebenaran ilmiah?
5. Apa yang dimaksud dengan subjektivisme dan sikap ilmiah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat seorang ilmuwan
2. Untuk mengetahui pengertian argumentasi ilmiah
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sarana penalaran ilmiah
4. Untuk mengetahui kriteria kebenaran ilmiah
5. Untuk mengetahui subjektivisme dan sikap ilmiah.
D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Penulisan makalah atau karya ilmiah ini sangat bermanfaat bagi penulis,
yaitu sebagai suatu usaha dalam meningkatkan kualitas keilmuan pribadi, dan
sebagai suatu bahan referensi untuk berdiskusi dimasa yang akan datang.
2. Bagi Pembaca
Penulisan makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca
mengenai cara kerja ilmuwan yang normatif.

2
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi pustaka yaitu
dengan menganalisis beberapa sumber buku yang mendukung terhadap penulisan
makalah ini dan mengambil beberapa sumber dari internet.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bab I yang terdiri dari Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan,
manfaat, metode penulisan dan sistematika penulisan.
2. Bab II menjelaskan tentang landasan teori mengenai: ilmuwan, cara kerja
ilmuwan, argumentasi ilmiah, sarana penalaran ilmiah, kriteria kebenaran
ilmiah, dan subjektivisme dan sikap ilmiah.
3. Bab III membahas mengenai: ilmuwan, dan cara kerja ilmuwan, cara kerja
ilmuwan, argumentasi ilmiah, sarana penalaran ilmiah, kriteria kebenaran
ilmiah, dan subjektivisme dan sikap ilmiah.
4. Bab IV yang membahas mengenai simpulan dan saran.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Ilmu
Dalam Ensiklopedia Indoenesia dalam Salam (2009:8) ilmu diartikan sebagai
“Ilmu pengetahuan, suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing
mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa
menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan, suatu sistem dari pelbagai
pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan
yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi,
deduksi).”
Sedangkan The Liang Gie (1987) dalam Surajiyo (2008:56) memberikan
pengertian “Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan
suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia
ini dalam berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejalan yang ingin dimengerti manusia.”
Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan
(inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Metode ilmiah
merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan, pikiran, pola kerja, tata
langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan pengetahuan yang ada.
Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan
dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan
pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada
umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan
yang sistematis.
Adapun menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) definisi ilmu
pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah

4
(problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan
(conclusion), dan pengaruh (effects).
B. Hakikat Ilmuwan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ilmuwan adalah
orang yang ahli; banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan; orang yang bekerja dan mendalami ilmu
pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh. Istilah ilmuwan dipakai untuk
menyebut aktifitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmu secara menyeluruh
dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka
kepada dunia dan untuk berbagi hasil tersebut kepada masyarakat.
Seseorang dikatakan ilmuwan adalah apabila dirinya sangat menyukai ilmu
pengetahuan dan kebenaran dari suatu permasalahan, memiliki pribadi yang layak
untuk dikatakan ilmuwan, memahami tanggung jawabnya sebagai seorang ilmuwan
juga memenuhi standar yang disyaratkan. Salah satu syarat yang harus dilaluinya
adalah mengadakan suatu penelitian yang menggunakan suatu metode ilmiah dalam
rangka menghasilkan suatu karya ilmiah.
Adapun tanggung jawab seorang ilmuwan menurut Nita (2013) adalah
mengembangkan ilmu pengetahuan melalui beberapa penelitian dan pengembangan,
menumbuhkan sikap produktif, dan menguasai bidang kajian ilmu secara mendalam.
Seorang ilmuwan juga harus mampu meninggikan kesejahteraan masyarakat dengan
menemukan suatu permasalahan dan mengkomunikasikannya sehingga mampu
mengungkapkan kebenaran terhadap masyarakat. Selain itu terdapat tanggungjawab
secara sosial, moral dan etika.
Adapun menurut Pielke (2007) ada empat tipe peran ilmuwan:
1. Ilmuwan murni (pure scientist): tidak memiliki ketertarikan khusus, hanya
membagi beberapa informasi-informasi yang bersifat fundamental.
2. Penyedia ilmu (science arbiter): sebagai sumber daya, siap untuk menjawab segala
sesuatu yang relevant dari pembuat keputusan.

5
3. Advokat isu (issue advocate): untuk meyakinkan keputusan tertentu, memberitahu
apa yang lebih baik dilakukan.
4. Perantara jujur dari kebijakan alternatif (honest broker of policy alternative):
menyediakan informasi yang mendasar, berusaha untuk mengembangkan (atau
setidaknya mengklarifikasi) kemungkinan pilihan-pilihan yang ada, kendala dan
konsekuensinya, dan membiarkan pengambil keputusan untuk memilih
berdasarkan preferensi dan nilai-nilai. Membutuhkan sekumpulan ahli dari
berbagai sudut pandang, pengalaman, dan pengetahuan.

C. Cara Kerja Ilmuwan


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ilmu pengetahuan melibatkan paling
tidak enam komponen. Di dalam komponen-komponen itu juga disebutkan mengenai
bagaimana cara kerja dan sikap seorang ilmuwan. Berikut keenam komponen yang
dimaksud (Surajiyo. 2007):
1. Masalah (Problem)
Ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi untuk menunjukkan bahwa suatu
masalah bersifat scientific, yaitu communicability, the scientific attitude, dan
the scientific method. Communicability berarti masalah adalah sesuatu untuk
curiosity, speculativeness, willingness to be objective, willingness to suspend
judgement, dan tentavity. The scientific method berarti masalah harus dapat
diuji.
2. Sikap (Attitude)
Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain:
Curiosity berarti adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu itu ada,
bagaimana sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan
sesuatu yang lain.
Speculativeness. Scientist harus mempunyai usaha dan hasrat untuk mencoba
memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang diusulkan.

6
Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk berikap dan bertindak
objektif merupakan hal yang penting bagi seorang ilmuwan.
Willingness to susspend judgement, ini berarti bahwa seseorang ilmuwan
dituntut untuk bertindak sabar dalam mengadakan observasi, dan bersikap
bijaksana dalam menentukan kebijakan berdasarkan bukti-bukti yang
dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentatif.
3. Metode (Method)
Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian diuji.
Esensi science terletak pada metodenya. Science sebagai teori, merupakan
sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode scientific, para
ilmuwan tidak selalu memiliki ide yang pasti yang dapat ditunjukkan sebagai
sesuatu yang absolut atau mutlak.
4. Aktivitas (Activity)
Science adalah sesuatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist, melalui apa
yang disebut scientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu individual dan
sosial. Dari aspek individual, science adalah aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang. Adapun dari aspek social, science has become a cast institutional
undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-orang ‘elite’, dan science
merupakan a never ending journey, atau a never ending effort.
5. Kesimpulan (Conclusions)
Science lebih sering dipahami sebagai a body of knowledge. Body dari ide-ide
ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan yang merupakan pemahaman
yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan dari science,
yang diakhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan aktivitas.
6. Beberapa Pengaruh (Effects)
Sebagian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gillirannya memberi
berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua penekanan, yaitu
pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa yang disebut dengan

7
applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap atau dalam masyarakat
serta membudayakannya menjadi berbagai macam nilai.

8
BAB III

PEMBAHASAN

Dari beberapa penjelasan yang sudah dipaparkan dalam landasan teori


mengenai ilmu, hakikat ilmuwan dan cara kerja ilmuwan. Selain itu juga disebutkan
mengenai fungsi dan peran ilmuwan dan juga komponen-komponen yang dilibatkan
dalam ilmu.
Adapun seorang ilmuwan pun harus mampu menguasai metodologi dalam
berargumen, bernalar, dan mampu menganalisis kebenaran suatu ilmu pengetahuan,
juga harus memiliki sikap ilmiah. Pada bab ini penulis akan mencoba untuk
menjelaskan kembali mengenai cara kerja seorang ilmuwan secara jelas berikut
beberapa contoh yang akan diapaparkan dengan tujuan agar kita mampu memahami
lebih jelas lagi seperti apa cara kerja ilmiah yang harus dilakukan oleh seorang
ilmuwan agar menghasilkan suatu karya ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat.
A. Argumentasi Ilmiah
Seorang ilmuwan haruslah memiliki argumen yang sesuai dengan karakter
seorang ilmuwan, yaitu argumen yang ilmiah yang mengikuti suatu kaidah metode
dalam berargumen, adapun argumen yang dikeluarkan haruslah disesuaikan dengan
kebenaran ilmiah yang sudah dinalar.
Menurut Gorys Keraf (2007:3) argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang
berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka percaya
dan akhirnya mau bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau
pembicara.
Argumentasi ilmiah harus berdasarkan berpikir logis dan kritis, dalam artian
berdasarkan fakta dan bukti yang meyakinkan. Sedangkan untuk mencapai berpikir
logis dan kritis tersebut terdapat dua proses yang dapat dilakukan, yaitu penalaran dan
proposisi.

9
a. Penalaran adalah bagaimana merumuskan pendapat yang benar sebagai
hasil dari suatu proses berpikir untuk merangkaikan fakta-fakta menuju
suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh akal sehat.
b. Proposisi adalah pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau
dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Proposisi
selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi,
hanya kalimat deklaratif saja.

Argumen dapat disampaikan dalam beberapa kalimat, alinea, atau sebuah


buku. Berikut cara membedah struktur argumen:

a. Logika Formal
Argumen merupakan sejumlah pernyataan yang berhubungan, paling sedikit 3
pernyataan.

Unsur logika formal Contoh

Premis mayor: Semua manusia (A) akan mati(B)

Pernyataan umum tentang hubungan antara


dua hal, A dan B

Premis minor: Socrates C) adalah manusia (A)

Pernyataan yang lebih spesifik tentang


sebuah hal baru (C), yang dihubungkan
pada hal A

Kesimpulan: Socrates (C ) akan mati (B)

Pernyataan yang mengkaitkan B & C

b. Silogisme

10
Suatu bentuk proses penalaran yang berusaha menghubungkan dua
proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan
atau inferensi yang merupakan proposisi ketiga.
Entimem: silogisme yang hanya muncul dengan dua proposisi salah
satunya dihilangkan (premis mayor dari silogismenya hanya tersirat).Contoh:
(dari silogisme di atas) Socrates akan mati karena dia manusia.
Namun logika formal juga memiliki keterbatasan, yaitu struktur
argumennya bisa jadi benar, tetapi tidak pada isi atau kebenaran pernyataan-
penyataanya.
Argumen juga memiliki struktur. Berdasarkan Stephen Toulmin
berikut adalah struktur dari argumen:
1. Claim
Kesimpulan atau pernyataan yang ingin kita ajukan, stated reason.
Contoh:
Banyak individu mengalami frustasi pada masa Orde Baru. Banyak individu
dilarang berkespresi politik pada orde baru.
2. Grounds
Segala data atau informasi yang kita miliki yang dapat dijadikan dasar
untuk membuat sebuah pernyataan. Contoh: data-data penelitian, kasus-kasus,
pembubaran aksi unjuk rasa, dll.
3. Warrant
Pernyataan yang menghubungkan claim dengan grounds yang ada.
Contoh: individu yang dilarang berekspresi akan memperlihatkan gejala
frustasi.
4. Backing
Bukti-bukti yang mendukung warrant. Contoh: hasil-hasil penelitian
tentang hubungan antara ekspresi dan kondisi individu.

5. Qualifier

11
Pernyataan yang menunjukkan besarnya kemungkinan claim kita.
6. Condition for rebuttal
Kondisi penyangkalan, pernyataan tentang pengecualian-pengecualian
terahdap claim. Contoh: kecuali bagi individu yang mempunyai sarana dan
kemampuan untuk mengalihkan ekspresi politik mereka ke dalam bentuk
ekspresi lain.

Dalam argumentasi ilmiah juga dikenal istilah segitiga retorika.


Segitiga retorika adalah metode untuk menyusun kalimat-kalimat yang tepat
dalam penerapan prinsip persuasi. Segitiga retorika terdiri dari ethos, logos,
dan phatos.

1. Ethos
Mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan kredibilitas penulis.
 Berargumen tentang masalah yang benar-benar dipahami penulis.
 Berargumen dengan memberi pembahasan yang berimbang antara
sudut-sudut pandang yang berbeda.
 Mengajukan argumen yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang
dimiliki bersama dengan pembaca.
2. Logos
Menyangkut masalah konsistensi internal dari argumen atau pesan yang ingin
disampaikan penulis.
 Argumen definisi: argumen untuk menunjukkan bahwa X adalah (atau
bukan) Y. Dalam argumen ini, penulis menetapkan dulu kriteria atau
batasan untuk Y, kemudian memperlihatkan bahwa X memenuhi
kriteria tadi.
 Argumen kausalitas: yaitu argumen yang memperlihatkan bahwa X
memenuhi kriteria tadi.
 Argumen evaluasi: yaitu argumen untuk memperlihatkan bahwa X
adalah (bukan) perwujudan yang baik dari Y. Bentuk argumen ini sama

12
dengan bentuk argumen definisi (menetapkan kriteria Y terlebih
dahulu), tetapi X di sini sudah dapat dipastikan memenuhi batasan Y,
hanya saja masih dipertanyakan apakah X merupakan Y yang baik.
 Argumen proposal, yaitu argumen untuk meyakinkan pembaca bahwa
X harus dilakukan (atau dihindari). Penulis harus meyakinkan
pembaca bahwa konsekuensi menjalankan X memang perlu, padahal
X belum terjadi.
 Argumen keserupaan, yaitu argumen untuk memperlihatkan bahwa X
serupa (atau tidak serupa dengan Y). Hampir sama dengan argumen
definisi, hanya saja X dan Y berasal dari ranah yang berbeda,
keserupaan didasarkan pada analogi.
3. Phatos
Mengacu pada dampak tulisan pada pembaca dan pada aspek emosional dari
sebuah argumen yang dapat menarik perhatian atau simpati dari pembaca.
 Menggunakan bahasa yang konkret.
 Menggunakan contoh-contoh.
 Menggunakan metafora-metaforan dan pilihan kata yang tepat.
 Menghargai nilai-nilai atau asumsi pembaca.

Kesalahan-kesalahan dalam berargumen

1. Kesalahan pada logos


 Tautologi: Supporting idea merupakan pengulangan dari controlling
idea dengan pilihan kata yang berbeda.
 False dilemma: menyederhanakan sebuah argumen sehingga seolah-
olah hanya ada dua kemungkinan.
 Post hoc, ergo propter hoc: menganggap urutan kejadian sebagai
hubungan sebab akibat.
 Kesimpulan yang terlalu luas berdasarkan data yang sedikit.
 Kesalahan dalam penggunaan analogi.

13
2. Kesalahan pada pathos
 Menyajikan bukti yang tidak dapat dikaji langsung oleh pembaca.
 Mengacu pada premis-premis irasional.
 Menganggap hal-hal yang sudah dikenal sebagai hal yang baik
daripada yang belum dikenal.
3. Kesalahan pada ethos
 Mengacu pada otoritas yang salah.
 Ad hominem: mengacu pada pribadi lawan, bukan argumennya.
 Terlalu menyederhanakan pendapat-pendapat yang berlawanan dengan
pendapat sendiri.
B. Sarana Penalaran Ilmiah
Sarana penalaran ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah dan prosesnya. Kata sarana sendiri berarti alat yang
membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dari kata ‘alat’ di sini bisa
disebutkan bahwa sarana penalaran ilmiah memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam
kaitannya dengan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Sarana penalaran ilmiah ini
dalam proses pendidikan kita merupakan bidang studi tersendiri.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana penalaran
ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana penalaran ilmiah
merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah.
Seperti diketahui, salah satu di antara ciri-ciri ilmu adalah penggunaan induksi dan
deduksi dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana penalaran ilmiah tidak
menggunakan cara ini untuk mendapatkan pengetahuannya. Kedua, tujuan
mempelajari sarana ilmiah adalah mempelajarinya dengan baik, sedangkan tujuan
mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan dan melakukan
penelitian secara ilmiah. Maka dari itu maka sarana penalaran ilmiah merupakan alat
bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuan
berdasarkan metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Berikut beberapa
sarana penalaran ilmiah:

14
1. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dicirikan sebagai:
 Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi.
 Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu.

Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan pengalaman dan


pemikirian mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat
bahasa pun ikut berkembang. Secara umum bahasa dibedakan atas dua
kelompok, bahasa verbal dan bahasa matematika. Bahasa verbal adalah bahasa
yang berlaku untuk kalangan tertentu yang mengerti bahasa tersebut. Bahasa
matematik adalah bahasa yang berlaku untuk semua kalangan.

Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia. Bahasa


diperlukan manusia atau berfungsi sebagai:

1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif,


2. Alat budaya yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa
tersebut atau fungsi kohesif.
Kegunaan Bahasa:
1. Membuat manusia berpikir dengan baik
2. Berkomunikasi dengan baik
3. Berpikir secara abstrak
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa, yang
digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsur emotif), sikap (unsur afektif)
dan buah pikiran (unsur penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh
ketiga unsur bahasa ini. Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran
dan komunikasi bebas dari pengaruh unsur emotif. Sedangkan perkembangan seni
dipengaruhi oleh unsur emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah :

15
1. Bahasa harus bebas emotif
2. Reproduktif, artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima.
Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa
pengetahuan.
Kekurangan bahasa terletak pada:
a) Peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya
menginginkan penyampaian buah pikiran/penalaran saja, sedangkan bahasa
verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik.
b) Arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang
membangun bahasa.
c) Konotasi yang bersifat emosional.

2. Logika

Logika adalah jalan pikiran yang masuk akal (Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2003:680). Logika disebut juga sebagai penalaran. Menurut Salam
(1997:140) penalaran adalah suatu proses penemuan kebenaran, dan setiap jenis
penalaran memiliki kriteria kebenarannya masing-masing.
Logika merupakan kondisi dan tuntutan fundamental mutlak untuk
memperkokoh eksistensi ilmu pada umumnya, yang secara sistematis meneliti,
merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar orang dapat
berpikir dengan tepat, lurus, dan teratur. Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan
akal yang khas dan terarah untuk mengolah pengetahuan yang kita terima melalui
indera kita, ditujukan untuk mencapai kebenaran. Berpikir adalah berdialog
dengan diri sendiri di dalam batin, sedangkan kegiatan penalaran merupakan
suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Suatu argumen dikatakan valid atau sahih apabila kesimpulan yang terdapat pada
argumen tersebut mempunyai kaitan dengan premis-premis sedemikian rupa
sehingga kesimpulan itu benar apabila premis-premis yang mendahuluinya benar.

16
Peranan logika menjadi penting karena pada dasarnya logika mengevaluasi
validitas suatu argumen, sedangkan argumen merupakan salah satu syarat bagi
pengembangan ilmu. Tanpa menggunakan logika dalam mengemukakan
penalarannya para ilmuwan tidak mungkin dapat mengembangkan ilmunya.
Argumen Deduktif dan Induktif
Silogisme adalah argumen yang terdiri atas dua buah premis atau lebih yang
memberikan bukti-bukti dari sebuah kesimpulan yang diperoleh dari premis-premis
tersebut. Peranan silogisme kategorik yang dilandasi oleh logika, menjadi pedoman
untuk menyatakan pikiran secara tertib dan teratur. Misalnya, dalam percakapan
sehari-hari atau dalam rapat serta diskusi seringkali kita harus mengemukakan suatu
pernyataan yang diinginkan dapat diterima oleh semua pihak.
Keputusan bersyarat dinyatakan benar jika hubungan bersyarat di dalamnya
itu benar. Silogisme merupakan argumen deduktif apabila melibatkan, bukti-bukti
yang mendukung kesimpulan atau pembuktian. Pernyataan-pernyataan dalam
argumen bermula dari yang bersifat umum menuju kesimpulan yang merupakan
pernyataan yang bersifat lebih khusus atau kurang umum. Premis mayor menyatakan
suatu syarat yang menjadi gantungan benar tidaknya konsekuens, sedangkan premis
minor menyatakan dipenuhinya syarat itu.
Dengan demikian, kesimpulan menyatakan benarnya konsekuens. Pada
argumen deduktif kita menarik kesimpulan berdasarkan apa yang tersedia dalam
kedua premis, sedangkan pada argumen induktif kita berangkat dari beberapa contoh
atau kasus yang dalam banyak hal belum teruji kebenarannya serta membuat
generalisasi yang berupa kesimpulan yang belum pasti. Bagi ilmuwan, hasil
penelitian secara ilmiah sebagai suatu proses menalar secara induktif merupakan
keyakinan individual yang akan senantiasa dipertahankan. Apabila pada kurun waktu
tertentu timbul teori atau hukum baru sebagai hasil generalisasi induktif yang teruji
serta didukung kuat, oleh bukti-bukti baru maka teori atau hukum yang lama dapat
ditinggalkan atau tidak diakui lagi kebenarannya. Pengambilan kesimpulan secara

17
induktif yang kurang didukung oleh data yang akurat atau sampel yang diambil
kurang representatif akan mengakibatkan kesalahan. Pada argumen induktif
probabilitas generalisasi induktifnya tergantung pada kualitas hal-hal khusus yang
mendukungnya.
3. Matematika

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari


pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang yang ada pada matematika bersifat
artifisial artinya lambang itu mempunyai arti jika sudah diberi makna.
Kekurangan yang ada dalam bahasa verbal dapat diatasi dengan menggunakan
matematika dalam berkomunikasi ilmiah. Hal ini dimungkinkan karena
Matematika itu bersifat:
a. Jelas,
b. Spesifik,
c. Informative, dan
d. Tidak emosional
Matematika mengembangkan bahasa kuantitatif, karena dapat melakukan
pengukuran secara eksak. Sifar kuantitatif dari metamtika ini meningkatkan daya
prediktif dan control dari ilmu. Oleh sebab itu matematika dibutuhkan oleh setiap
ilmu.
Matematika mengembangkan cara berpikir deduktif artinya dalam
melakukan penemuan ilmu dilakukan berdasarkan premis-premis tertentu.
Pengetahuan yang ditemukan hanyalah didasari atas konsekuensi dari pernyataan-
pernyataan ilmiah sebelumnya yang telah ditemukan. Matematika pada dasarnya
merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika
deduktif. Kebenaran dalam Matematika tidak dibuktikan secara empiris,
melainkan secara penalaran deduktif.
Aliran Filsafat Matematika:

18
a) Filsafat Logistik, yang menyatakan bahwa eksistensi Matematika merupakan
cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa
mempelajari dunia empiris.
b) Filsafat Intusionis, yaitu kebenarannya diambil secara intuisi (perasaan secara
tiba-tiba)
c) Filsafat formalis, berdasarkan lambang-lambang.

C. Kriteria Kebenaran Ilmiah


1. Hakikat Kebenaran Ilmiah
Setelah kita mengenal dari mana kita bisa mendapatkan suatu penemuan
kebenaran, maka kita akan melihat seperti apa definisi kebenaran.
“Kebenaran adalah suatu pertimbangan yang sesuai dengan realitas, bahwa
pengetahuan kita mengenai realitas dan kenyataan sejajar secara harmonis,
sehingga sistem-sistem pendapat yang diintegrasika yang didapati dalam
benak kita secara terperinci tepat sejajar dengan dunia realitas”. (soedjono
dirdjosiswono, 1985: 88)
sedangkan kebenaran dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dalam
Surajiyo (2008: 102) memiliki lima arti yaitu: 1. Keadaan (hal dan sebagainya)
yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); 2. sesuatu
yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan
demikiannya) contohnya adalah kebenaran agama; 3. kejujuran, kelurusan hati.
Misal, tidak ada seorang pun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu; 4.
selalu izin, perkenanan. Misal, dengan kebenaran yang dipertuan; 5. Jalan
kebetulan. Misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.
Dilihat dari kedua arti tersebut kebenaran pada dasarnya memiliki arti
yang sama, yaitu sesuatu pengetahuan yang sesuai dengan keadaan. Adapun
Kebenaran Ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya
menurut norma-norma keilmuan. (Suparlan, 2008: 81)

19
Suatu kebenaran itu sangat berkaitan erat dengan pengetahuan subjek
(manusia) terhadap objek yang dinyatakan benar, sedangkan pengetahuan
subjek itu berasal dari beberapa sumber yang kemudian menjadi suatu tolak
ukur kebenaran, sumber yang menjadi tolak ukur itu adalah rasionalisme dan
empirisme .
Rasionalisme adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan akal dan
pikiran, filosof dari Perancis Rene Descartes (1596-1650) adalah orang yang
mempelopori rasionalisme ini, beliau menyebutkan bahwa semua kebenaran
dapat dikenal karena adanya kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh
kemampuan berpikir itu sendiri. Jadi apapun yang digambarkan secara tegas,
jelas dan pasti oleh pikiran itu benar. Beliau juga beranggapan bahwa segala
sesuatu yang dihasilkan oleh indra itu sesat.
Sebaliknya John Locke (1632-1704) yang mempelopori empirisme
mengatakan bahwa rasio itu bagaikan ‘tabula rasa’ (as a white paper) yang
bersih sedangkan pengalaman dari alat indra itu yang mampu menimbulkan
berbagai ide dalam akal pikiran, semakin banyak pengalaman yang berkaitan
dengan alat indra maka semakin banyak pula gambaran dan ide yang timbul
pada akal dan pikiran.
Untuk melahirkan suatu kebenaran yang ilmiah sebaiknya seorang
ilmuwan menggunakan kedua sumber tersebut karena rasio pada dasarnya
menjadi suatu tolak ukur yang memunculkan berbagai ide dari objek yang
diteliti dan alat indra hanya bisa mengenal bagian-bagian dari objek saja.
Alangkah baiknya apabila kedua sumber ini digunakan sehingga mampu
melengkapi satu sama lainnya dengan cara saling uji-menguji dan
menghasilkan suatu kebenaran yang dapat diandalkan.
Terdapat tiga jenis kebenaran menurut A. M. W. Pranarka (1987) dalam
surajiyo (2008: 102) yaitu: a. kebenaran epistemologikal yang berarti
pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia; b.
Kebenaran ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat

20
kepada segala sesuatu yang ada ataupun yang diadakan; c. Kebenaran
Semantikal yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur bahasa.
Surajiyo menyebutkan (2008: 103) Dosen filsafat ilmu fak. Filsafat UGM
Yogyakarta (1996) membedakan sifat kebenaran kedalam tiga hal, yaitu:
a. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan
b. Kebenaran yang dikaitkan dengan karakteristik alat apa yang digunakan
seseoarang dalam membangun pengetahuannya.
c. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.
2. Cara Penemuan Kebenaran
Untuk menentukan suatu pernyataan, teori dan ilmu itu benar atau tidak
memerlukan suatu pengetahuan mengenai metodologi yang harus dilewati
selama penelitian salah satunya adalah kriteria yang perlu dipahami mengenai
suatu kebenaran ilmiah. Seorang ilmuwan harus memahami terlebih dahulu apa
itu kebenaran. Sebelum menganalisis kata “kebenaran”, maka kita harus
memahami terlebih dahulu bagaimana cara kita menemukan suatu kebenaran.
Hartono dan Kasmadi, dkk (1990) dalam Surajiyo (2008:100) menyebutkan ada
beberapa cara dalam menemukan kebenaran, yaitu:
a. Penemuan secara kebetulan: penemuan yang berlangsung tanpa disengaja,
berguna namun tidak diterima dalam metode keilmuan untuk menggali
pengetahuan atau ilmu.
b. Penemuan ‘Coba atau Ralat’ (Trial and Error): ada aktivitas untuk mencari
kebenaran namun bersifat spekulatif, memerlukan waktu yang lama, tanpa
rencana, tidak tahu tujuannya dan tidak terarah. penemuan ini juga tidak
dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam mengungkapkan suatu kebenaran.
c. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan: Pendapat orang yang memiliki
otoritas dan kewibawaan sering diterima kebenarannya, meskipun pendapat
itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini sangat jelas bahwa pendapat
kebenaran ini bukan berdasarkan dari penelitian melainkan hasil pemikiran
pribadi yang diwarnai dengan subjektivitas.

21
d. Penemuan secara spekulatif: hampir sama dengan penemuan coba dan ralat
namun terdapat perbedaan yaitu terdapat beberapa alternatif untuk
memecahkan suatu masalah, salah satu alternatif akan dipilih namun dia
tidak memiliki keyakinan mengenai keberhasilannya.
e. Penemuan lewat cara berpikir kritis dan rasional: suatu masalah dianalisis
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang meneliti dengan tahap
pemikiran yang kritis dan rasional.
f. Penemuan melalui penelitian ilmiah: mencari kebenaran dengan melakukan
penelitian ilmiah adalah penelitian yang melalui tahap atau proses secara
ilmiah, objektif, logis, metodis, dan universal.

3. Teori Kebenaran
Ilmu dapat dikatakan benar apabila sudah melalui tahap-tahap teori
kebenaran. Adapun teori kebenaran ini terbagi kedalam tiga katagori, yaitu teori
koheren (coherence theory), teori koresponden (correspondence theory) dan
teori kegunaan (pragmatic theory). Dalam buku Filsafat Ilmu karangan
Surajiyo terdapat tujuh teori mengenai kebenaran yaitu:
a. Teori kebenaran saling berhubungan (coherence theory of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum idealis. Menurut Titus, dkk dalam
Suparlan (2008: 84) “kebenaran itu adalah sistem pernyataan yang bersifat
konsisten secara timbal balik, dan tiap-tiap pernyataan memperoleh
kebenaran dari sistem tersebut secara keseluruhan”. (Titus: dkk 1984)
Kattsoff menyatakan bahwa “suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-
proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam
keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita” (Surajiyo, 2008: 105)
Bochenski (Philosophy an Introduction: 1972) berpendapat bahwa
kebenaran itu terletak pada adanya kesesuaian antara suatu benda atau hal
dengan pikiran atau idea. (Suparlan, 2008: 84)

22
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi tolak ukur
kebenaran dalam teori ini adalah berdasarkan proposisi yang satu dengan
yang lainnya, contoh jika ada proposisi yang menyatakan bahwa “di luar
hujan” proposisi ini akan dikatakan benar jika terdapat proposisi lain yang
menyatakan bahwa ketika hujan langit mendung, cuaca dingin, gelap, dan
fakta-fakta lainnya yang mendukung terhadap proposisi bahwa “di luar
hujan”. Sedangkan menurut Wicaksono (2013) menyebutkan bahwa teori ini
juga bisa disebut dengan teori justifikasi atau teori yang diakui kebenarannya
setelah mendapat penyaksian-penyaksian dari teori sebelumnya.
b. Teori kebenaran saling berkesesuaian (correspondence theory of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum realis, teori ini merupakan teori
yang menyatakan bahwa suatu proposisi akan dinyatakan benar apabila
sesuai dengan keadaan atau fakta. Misalnya apabila kita menyatakan bahwa
air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat, maka pernyataan
tersebut harus dibuktikan apabila terbukti maka pernyataan itu akan
dinyatakan benar, apabila tidak terbukti maka pernyataan ini akan ditolak.
Dalam teori ini kita mengenal pernyataan dan kenyataan, suatu pernyataan
benar apabila sesuai dengan kenyataan.
c. Teori kebenaran inherensi (Inherent theory of truth)
Teori ini sering disebut dengan teori pragmatis yaitu suatu proposisi
atau pernyataan akan dikatakan benar apabila memberikan suatu
konsekuensi yang dipergunakan dan bermanfaat. Contoh apabila kita akan
turun dari bis maka kita akan mengatakan ‘kiri’ kepada sopir bis dan
kemudian bis akan berhenti disebelah kiri dan kita bisa turun dengan
selamat. Proposisi ini dianggap benar dilihat dari segi manfaat bahwa bis
berhenti disebelah kiri itu mampu memberikan manfaat terhadap penumpang
yaitu ‘selamat turun dari bis’
d. Teori kebenaran berdasarkan arti (Semantic theory of truth)

23
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan paska filsafat Betrand Russel yaitu sebagai tokoh pemula
pada filsafat bahasa. Abbas Hamami menyebutkan bahwa Proposisi itu
ditinjau dari segi artinya atau maknanya apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas atau tidak. teori
kebenaran ini menguak keabsahan referensi dari suatu proposisi atau
pernyataan. Contoh secara etimologi pengertian filsafat itu adalah cinta
kebijaksanaan yang berasal dari bahasa Yunani philosophia, jika proposisi
ini tidak memiliki referensi yang jelas maka kebenaran dari pengertian ini
ditolak.
e. Teori kebenaran berdasarkan sintaksis
Suatu proposisi akan dinyatakan benar apabila mengikuti aturan-aturan
sintaksis yang baku, teori ini berkembang diantara filusuf ahli bahasa atau
dengan kata lain proposisi ini tidak dinyatakan benar apabila tidak mengikuti
syarat atau hal yang disyaratkan.
f. Teori kebenaran nondeskripsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena
pada dasarnya suatu proposisi tidak akan dinyatakan benar apabila tidak
memberikan fungsi yang praktis terhadap kehidupan sehari-hari.
g. Teori kebenaran logik yang berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang dicetuskan oleh
Ayer, menurut teori ini problema kebenaran hanya merupakan kekacauan
bahsa saja, dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada
dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis
yang sama yang masin-masing saling melingkupinya. contohnya lingkaran
itu adalah bulat, ini sudah jelas tidak perlu lagi dijelaskan bahwa lingkaran
itu adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga
berupa garis yang sama.
D. Subjektivisme dan Sikap Ilmiah

24
Sikap ilmiah adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan
dalam melakukan tugasnya (mempelajari, meneruskan, menolak/menerima serta
mengubah/menambah suatu ilmu). Untuk mencapai suatu pengetahuan yang
ilmiah dan obyektif, diperlukan sikap yang bersikap ilmiah. Dalam sebuah
presentasi yang dibuat oleh Pudlao (2012), disebutkan bahwa terdapat 10 sikap
ilmiah yang menjadi aspek penting bagi setiap orang yang ingin menjadi
ilmuwan.
1. Percaya (belief)
2. Rasa ingin tahu (curiousity)
3. Objektivitas (objectivity)
4. Pemikiran yang kritis (critical mindedness)
5. Pemikiran yang terbuka (open mindedness)
6. Inventif (inventiveness)
7. Mau mengambil resiko (risk taking)
8. Kejujuran intelektual (intelectual honesty)
9. Kerendahan hati (humility)
10. Bertanggung jawab (responsibility)

Selain itu dari sumber lain juga disebutkan mengenai enam sikap ilmiah
yang harus dimiliki oleh ilmuwan, berikut penjelasannya:

Objective. Artinya ilmuwan harus berpikir sesuai dengan objek yang


dikajinya, jauh dari suatu nilai-nilai, harapan-harapan, serta dorongan-dorongan
dari pribadinya. Begitu juga hasil kesimpulan dari penelitiannya harus bersifat
objective.

Menjadi seseorang yang objective dalam meneliti suatu ilmu sosial akan
lebih sulit dibanding dengan ilmu-ilmu kealaman. Yang dikaji dalam ilmu sosial
adalah, masalah kemanusiaan, masalah status, kelangsungan hidup, kebahasaan,

25
dll, karena itu penguasaan emosi merupakan faktor utama dalam penelitian ilmu-
ilmu sosial.

Sikap yang relatif, dalam artian setiap ilmu tidak ada yang mutlak seiring
berkembangnya zaman, maka ilmu pun akan nberkembang sehingga seorang
ilmuwan patutlah memiliki sikap relatif dalam menyimpulkan suatu hasil
penelitian.

Sikap skeptif atau memiliki keragu-raguan terhadap suatu ide, seorang


ilmuwan harus hati-hati dalam mengambil keputusan akhir. Dengan keraguan ini
seorang ilmuwan biasanya memiliki sikap kritis terhadap suatu peristiwa, tidak
akanmudah untuk mengikatkan sesuatu paham atau politik.

Kesabaran Intelektual adalah salah satu sikap yang tidak kalah penting,
sikap ini harus ditanamkan dalam diri ilmuwan sebagai suatu ketelitian dalam
mengambil keputusan atau dalam menghasilkan suatu karya.

Kesederhanaan merupakan sikap ilmiah, artinya sederhana dalam


berpikir, dalam cara menyatakan, dalam cara pembuktian. Bahasa yang
digunakan haruslah sopan, jelas, jernih tidak menggambarkan emosi seorang
peneliti yang menyebabkan hasil penelitian jadi kabur.

Tidak memihak kepada etik yaitu ilmu tidak mengadakan penilaian baik
dan buruknya suatu hasil penelitian, ilmu hanya menunjukan deskripsi secara
relatif, namun jika pada akhirnya sampai pada penggunaan ilmu tersebut, maka
tetap akan berhubungan dengan etik

Dalam dua sumber di atas disebutkan mengenai sikap objective. Lalu,


bagaimana mengenai hubungan antara sikap objective dan subjective sendiri.
Terlebih dahulu kita bahas mengenai subjektivisme. Pengertian subjektivisme
dapat dilihat dari beberapa sudut. Secara positif, subjektivisme adalah filsafat
pengetahuan yang berangkat dengan ‘perasaan pribadi’  (private sensations), idea

26
atau data-data yang ada dalam pikiran individu ketika hendak menilai sesuatu.
Artinya, individu memiliki kategori-kategori apriori ketika ia menjelaskan,
membenarkan atau mengklasifikasikan dunianya. Secara negatif, subjektivisme
menolak eksistensi objek material. Yang benar-benar ada adalah idea-idea dalam
pikiran manusia.[2]

Subjektivisme juga dapat dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap


objektivisme. Para penganut aliran objektivisme menolak pandangan bahwa
manusia merupakan ‘pencipta dunia’ (world producer). Menurut mereka,
manusia adalah ‘ciptaan dunia’ (world produced). Sebaliknya, subjektivisme
melihat manusia sebagai pencipta ‘realitas’. Kebenaran realitas itu sendiri
tergantung pada ‘pembenaran’(justification) dari kelompok tertentu (community).
Dalam pengertian inilah kaum egalitarian menilai pengetahuan sebagai hasil
penemuan manusia. Pengertian serupa mereka pakai untuk menilai mata
pelajaran di sekolah. Matematika, misalnya,  merupakan hasil penemuan
manusia’ (invention) bukan sebagai hasil ‘pencarian’(discovery). Karena
matematika merupakan hasil penemuan manusia, maka kebenaran yang
terkandung di dalamnya (matematika) membutuhkan persetujuan dari  kelompok
tertentu (kelompok matematikawan).[3]

Subjektivisme sebagaimana dijelaskan di atas dapat juga digolongkan


sebagai ‘pragmatisme yang ekstrim’ (strong pragmatism) dengan klaim utama:
‘semua kebenaran bersifat teoritis’. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang
sesuai dengan teori yang sudah teruji kebenarannya. Jadi, sebelum manusia
menyatakan sesuatu sebagai benar atau salah sudah diandaikan bahwa ada ‘teori’
dalam pikirannya. Misalnya, pernyataan yang mengatakan bahwa tissu ini
mengandung DNA. Pernyataan ini dianggap benar bila teori biokimia dapat
membuktikan bahwa ada DNA pada tissu tersebut. Namun, bila ada teori
biokimia yang lebih canggih yang mampu membuktikan bahwa tidak ada DNA
pada tissu tersebut, maka pernyataan itu dianggap salah. Perlu kita ingat bahwa

27
sebelum para ahli membuktikan ada-tidaknya DNA pada tissu itu, mereka
terlebih dahulu harus mempunyai kesepakatan mengenai apa yang dimaksud
dengan DNA. Tampaklah bahwa selalu ada ‘teori yang tersembunyi’  (a lurking
theory).  Artinya, manusia telah membuat sejumlah kriteria kebenaran sebelum ia
mengklasifikasikan sesuatu.

Dalam pengertian inilah kaum egalitarian menuduh pembagian mata


pelajaran dalam kurikulum semata-mata sebagai hasil kesepakatan-kesepakatan
kelompok tertentu (masyarakat kelas menengah). Sebab, sebelum mata pelajaran
diterapkan, masyarakat kelas menengah membuat kesepakatan terlebih dahulu
mata pelajaran apa yang cocok untuk diajarkan di sekolah.

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
1. Kesimpulan Umum
Dari pembahasan yang telah dipaparkan oleh penulis maka dapat
disimpulkan bahwa menjadi seorang ilmuwan tidaklah mudah. Adapun cara
kerja ilmuwan yaitu menjadikan atau menghasilkan suatu ilmu pengetahuan
yang sudah teruji kebenarannya, yaitu melalui tahap-tahap suatu penelitian
terhadap objek dengan meneliti, menganalisis dengan sikap ilmiah, dan di
argumentasikan dengan ilmiah dari hasil penalaran yang ilmiah setelah diuji
kebenarannya.
2. Kesimpulan Khusus
Dari beberapa pemaparan diatas penulis menyimpulkan beberapa
kesimpulan khusus yaitu sebagai berikut:
a. Ilmuwan adalah orang yang ahli dan banyak pengetahuannya mengenai
suatu ilmu, Istilah ilmuwan dipakai untuk menyebut aktifitas seseorang
untuk menggali permasalahan ilmu secara menyeluruh dan mengeluarkan
gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada
dunia dan untuk berbagi hasil tersebut kepada masyarakat. Tanggungjawab
seorang ilmuwan adalah mengembangkan suatu ilmu pengetahuan, dan
menyampaikannya kepada masyarakat dengan seikap ilmiah. Terdapat
empat tipe peran ilmuwan yaitu Ilmuwan murni, Penyedia Ilmu, Advokat
Isu, Perantara jujur dari kebijakan alternatif.
b. Terdapat enam komponen cara kerja dan sikap ilmuwan, yaitu: Masalah,
Sikap, Metode, aktivitas, kesimpulan, dan pengaruh.

29
c. Berargumen yang ilmiah adalah proses berpikir kritis dan logis melalui
tahap penalaran dan proposisi. Struktur dari argumen adalah claim,
grounds, warrant, backing, qualifier, condition for rebuttal. Istilah segitiga
retorika dalam berargumen ilmiah terdiri dari ethos, logos, phatos.
d. Sarana dalam penalaran Ilmiah adalah Bahasa, logika dan matematika.
e. Kriteria Kebenaran Ilmiah adalah semua ilmu pengetahuan yang
dibenarkan melalui proses kebenaran ilmiah yaitu melalui tahap yang ada
pada teori kebenaran, adapun teori kebenaran ilmiah adalah: teori koheren,
teori koresponden, teori pragmatis, teori inherensi, teori semantik, teori
kebenaran berdasarkan sintaksis, teori kebenaran nondeskripsi, dan teori
kebenaran logik.
f. Sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan adalah: objektif, sikap
yang relatif, sikap skeptif, kesabarab intelektual, kesederhanaan, dan tidak
memihak kepada etik.
B. Rekomendasi
Dengan pembelajaran dan pembahasan mengenai cara kerja ilmuwan maka
penulis berharap seorang ilmuwan mampu menyesuaikan dirinya dan hasil
penelitiannya dengan melalui proses yang ilmiah, yaitu melalui tahap-tahap yang
sudah dibahas dalam pembahasan ini. Semoga hasil karya seorang ilmuwan lebih
berkembang tetapi tetap pada norma-norma yang berlaku bagi seorang ilmuwan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Dirdjosiswono. S. 1985. Pengantar Epistemologi dan Logika. Bandung: Remaja


Karya CV

Gorys. G. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


http://fisip.uajy.ac.id/wgcontent/uploads/public/files/kuliah/gasal1112/Bu
%20Anita/PI/PENULISAN%20ILMIAH-4-MENYUSUN%20ARGUMEN.do
http://massofa.wordpress.com/2008/01/13/argumentasi-ilmiah/

Jacob. C. tt. Logika Informal: Pengembangan Penalaran Logis.

Salam. B. 2009. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara

Suhartono. S. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. jakarta: PT Bumi


Aksara

Susanto, 2014. Filsafat Ilmu. Bandung: Bumi Aksara


Tim Dosen Filsafat UGM._____.Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Wicaksono, D. 2013. Kriteria Kebenaran dalam Filsafat. [online]. Tersedia:
http://dirgantarawicaksono.blogspot.com/2013/04/kriteria-kebenaran-
dalam-filsafat.html. [26 September 2014]
Zakiyah. N. 2013. Tanggungjawab Ilmuwan. [online] Tersedia:
http://niethazakia.blogspot.com/2013/03/tanggung-jawab-ilmuwan.html [9
september 2014]

31

Anda mungkin juga menyukai