Diberlakukannya kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi Republik, maka sistem parlementer tidak berlaku lagi. Pemerintah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPR sehingga partai–partai politik tidak dapat setiap waktu menjatuhkan kabinet. Bung Karno sebagai presiden bertanggung jawab kepada MPR dan para Menteri adalah pembantu Presiden. Dalam pidato 17 Agustus 1959 setelah mengulang kembali pembacaan Dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno menegaskan : “Dasar dan tujuan Revolusi Indonesia adalah kongruen dengan Social Conscience of Man. Keadilan Sosial dan Kemerdekaan adalah Tuntutan Budi Nurani yang Universal. Karena itu, janganlah ada di antara kita yang mau mengamendir atau memodulir dasar dan tujuan Revolusi kita itu,”154
Dalam rangka melanjutkan program revolusi yang di selewengkan
itu, Presiden Soekarno melakukan Retooling (Perombakan) terhadap Alat– Alat Revolusi, diantaranya mengganti Dewan Nasional menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tanggal 15 Agustus 1959, selanjutnya Presiden meminta pertimbangan DPA tentang pembentukan MPRS. Kemudian dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 2/1959 dibentuklah MPRS yang anggotanya terdiri dari anggota DPR lama (hasil pemilu) ditambah Utusan– utusan daerah dan Wakil–wakil golongan. MPRS ini bertugas menetapkan Garis–Garis Besar Haluan Negara (GBHN). MPRS melakukan pengkajian atas Pidato Bung Karno tertanggal 17 Agustus 1959 dan kemudian menilai bahwa pidato itu berisi Arah, Dasar dan Tujuan Revolusi Indonesia. Atas dasar penilaian seperti itu maka MPRS menetapkan pidato tersebut sebagai GBHN yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol) sebagai Pedoman Dasar Pelaksanaan Revolusi. Dengan Manipol itu, berarti sistem Liberal harus dibuang jauh– jauh. Sebaliknya akan dilaksanakan Demokrasi Terpimpin (yang sudah diutarakan di tahun 1957) dan Ekonomi Terpimpin.155 Untuk menjalankan program itu, Bung Karno menganjurkan untuk meretool semua alat perjuangan. “Retooling daripada semua alat–alat perjuangan dan konsolidasi daripada semua alat–alat perjuangan sesudah retooled! Retooling badan eksekutif, yaitu pemerintahan, kepegawaian dan lain sebagainya, vertikal dan horizontal. retooling semua alat kekuasaan negara, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Polisi. Retooling alat–alat produksi dan alat–alat distribusi. Retooling organisasi–organisasi masyarakat, partai– partai politik, badan–badan sosial, badan-badan ekonomi.”156
Kembali ke UUD 1945 kembali ke jiwa revolusi, ternyata
mendapat sambutan yang bersemangat dari rakyat kecuali kaum elit yang sejak awal revolusi bersikap menganut Sistem Liberal dan Sistem Kapitalis. Suasana Revolusioner menyentuh cakrawala Indonesia di Kalangan muda yaitu ormas–ormas pemuda dari berbagai partai politik. Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang mengkonsolidir aksi–aksi pembebasan Irian Barat ditingkatkan menjadi Front Nasional yang sekaligus mengkoordinir aksi–aksi revolusioner dari semua partai politik. Bahkan Front Nasional tidak hanya ada di tingkat nasional sebab di tingkat propinsi Front Nasional dihidupkan dengan tugas mengkoordinir massa–aksi di wilayahnya masing– masing.
A. Pembebasan Irian Barat Masalah Irian Barat tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dalam Konperensi Meja Bundar pun tercantum masalah Irian Barat. Sejak Kabinet Hatta dalam masa pemerintahan RIS kasus Irian Barat sudah di cantumkan sebagai salah satu tugas kabinet seperti juga dalam Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali dan seterusnya. Maka dalam periode “Meneruskan Kembali Jiwa Revolusi”, dengan Kabinet Presidentil, perjuangan pembebasan Irian Barat semakin memuncak. Ketika berlangsung konferensi Asia Afrika Bung Karno mengemukakan : “Tidak ada rakyat yang merasa dirinya merdeka, selama masih ada bagian daripada tanah airnya yang belum bebas. Seperti perdamaian, kemerdekaan pun tidak dapat dibagi–bagi. Tidak ada hal yang dapat dinamakan setengah merdeka, seperti juga tidak ada hal yang dapat disebut setengah hidup.”157 Perjuangan pembebasan Irian Barat pada tahun 1957 lebih meningkat lagi dengan Aksi–aksi pengambilalihan perusahaan Belanda : “Dalam rangka itulah pada tahun 1957 dilancarkan aksi–aksi yang dimulai dengan pengambilalihan milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Kepala Staff Angkatan Darat Jenderal Nasution selaku penguasa perang mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan kemudian menyerahkan kepada pemerintah.”158 Masalah Irian Barat turut dibicarakan dalam PBB, yang oleh wakil Amerika diusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun. Usul yang diajukan oleh Wakil Amerika Serikat yang bernama Bunker itu pada tahun 1961 dapat diterima oleh Indonesia. Akan tetapi pihak Belanda membikin dalih lain, yaitu akan lebih dahulu membentuk Negara Papua (Bandingkan dengan upaya-upaya di tahun 2000 dengan adanya Negara Papua). Sikap Belanda yang seperti ini, dinilai Indonesia bahwa Belanda tidak akan mau mengembalikan Irian Barat, maka kemudian Bung Karno menggembleng pasukan sukarelawan untuk bersiap–siap mengambil kembali Irian Barat lewat perjuangan bersenjata. Maka itu pada tanggal 19 Desember 1961, Bung Karno mengomandokan Tri Komandan Rakyat (Trikora), yang isinya:159 1. Gagalkan Negara Papua. 2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat, 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum. Dan memang komando Trikora segera disambut oleh rakyat dari seluruh tanah air. Pasukan sukarelawan yang diorganisir oleh Front Nasional terhimpun mulai dari Aceh, Padang, Palembang, Riau, seluruh Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Sulawesi, terutama dari Kepulauan Maluku. Pasukan Sukarelawan bersatu padu dengan pasukan TNI, khususnya Angkatan Laut di mana terjadi peristiwa Teluk Aru yang mengakibatkan gugurnya Jos Sudarso. Sukarelawan wanita kita pun, sedia terjun payung di daratan Irian seperti Herlina Pending Emas dan Bung Karno pada Pidato 17 Agustus 1961, berkata; “Sekarang kita terhadap Belanda menjalankan politik konfrontasi di segala bidang apa pun. Perjuangan untuk membebaskan Irian Barat itu adalah sebagian pula daripada perjuangan menghapuskan Imprealisme–Kolonialisme di seluruh dunia”160 Dan sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, pada tanggal 1 Mei 1963 dilakukan penyerahan administrasi kepada Indonesia dan pemulihan kembali hubungan diplomatik antara kedua negara di tahun yang sama.161 Sebelum hari–H Penyerahan Irian Barat ke pangkuan Republik, maka kata Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1962 : “Harapan bahwa ini kali pihak Belanda sungguh–sungguh melaksanakan persetujuan itu secara jujur dan tidak secara Linggarjati. Kepada Bangsa Indonesia sendiri saya berseru supaya kita tidak usah merasa sombong terhadap Belanda karena menang Kemenangan ini adalah kemenangan sejarah.”162 Gelora semangat revolusioner rakyat Indonesia telah mengagalkan usaha Belanda menjadikan Irian Barat sebagai negara bonekanya. Dengan demikian Revolusi Indonesia tahap demi tahap dapat menyempurnakan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Revolusi di Bidang Sosial Ekonomi Program revolusi di bidang sosial ekonomi dijalankan untuk memenuhi Tiga Kerangka Tujuan Revolusi, yaitu : 1. Menyusun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. 2. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang Adil dan Makmur. 3. Ikut menciptakan Perdamaian Dunia yang bebas dari penghisapan oleh manusia dan oleh bangsa terhadap bangsa. Untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur itu, maka oleh Bung Karno sesuai dengan UUD 1945 dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun blue print (pola dasar) untuk menyelenggarakan pembangunan nasional di segala bidang. Untuk mencapai tugas itu, Depernas yang di ketuai oleh Prof. Moh. Yamin melaksanakan Rapat–rapat maraton selama tiga tahun sampai menghasilkan Rencana Pembangunan Nasional Semesta berupa 17 buku, 8 Jilid, dan terdiri dari 1945 proyek.163 Proyek A dari rencana pembangunan ini terdiri dari bidang: Mental, Agama, Kerohanian, untuk mempersiapkan mental dan rohani rakyat guna menyempurnakan pembangunan bangsa. Di antara proyek A dan A–A itu adalah penterjemahan kitab–kitab suci AL–Qur’an, Injil, Weda, penggalian kekayaan kebudayaan, museum nasional, galeri nasional, perpustakaan nasional, lembaga bahasa dan kesusastraan, taman kebudayaan, pembangunan teater nasional dan sebagainya. Sementara proyek B berisi usaha untuk pengolahan sumber– sumber kekayaan alam Indonesia, seperti minyak bumi, kehutanan, perikanan, logam dan sebagainya. Pengolahan proyek B ini agar dalam pembiayaan pembangunan semesta itu tidak harus bergantung kepada negara lain. Sehinggga proyek pembangunan termasuk industri menengah, ringan dan berat dapat dilakukan, misalnya pembangunan Pabrik Baja Krakatau Steel di Cilegon atau pembangunan Pesawat Terbang Nurtanio di Bandung dapat dibiayai dari proyek tadi. Dalam kerangka pembangunan semesta berencana itu, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur maka di sektor pertanian dipersiapkan landasan dasarnya yakni Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA). Sektor Pertanian merupakan sektor yang vital karena pada tahun 1960–an itu (Ternyata juga sampai pada tahun 2011 ini) rakyat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian lebih dari 50 %. UUPA No. 5/1960 serta Undang–Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) No: 2/1960 merupakan landasan hukum untuk menyelenggarakan perombakan tata pertanian atau landreform. Dalam mencapai masyarakat adil dan makmur, kata Bung Karno : “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”164 Pembagian tanah secara adil serta dengan batas maksimum dan minimum ditetapkan dalam UUPA. Setiap penggarap berhak memiliki tanah minimum 2 ha dan maksimum 5 ha adalah tatanan yang adil bagi Rakyat Indonesia sebab tanah (menurut UUPA) tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia.165 Selain di bidang agraria, Bung Karno juga menggariskan pegangan pokok di sektor perekonomian dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang disampaikan pada tanggal 28 Maret 1963. Dekon berisi tahap-tahap dari pembangunan ekonomi untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam Tahap Nasional Demokratis ini, kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis ini, kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis yang bersih dari sisa–sisa Imprealisme dan bersih dari sisa–sisa Feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu Tahap Ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa Eksploitation de L’homme Par L’homme. Dalam pidato 17 Agustus 1963, Bung Karno mempertegas: “Manakala Manipol menyatakan ‘Stop’ kepada penyelewengan– penyelewengan politik maka Dekon menyatakan ‘Stop’ kepada penyelewengan–penyelewengan ekonomi. Aku gembira sekali bahwa akhir– akhir ini makin santer kehendak untuk membangun ekonomi nasional kita di atas kaki sendiri, satu bangsa hanyalah bisa kuat kalau patriotisme juga meliputi patriotisme ekonomi.”166
Revolusi di bidang sosial ekonomi, telah memperlihatkan tanda–
tanda Bangsa Indonesia menapaki jalan kearah masyarakat Sosialis Indonesia, menapaki jalan kearah masyarakat sosialis Indonesia di mana tiap–tiap warganegara dijamin mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
C. Revolusi di Bidang Sosial Budaya “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” adalah amanat dari Pembukaan UUD 1945 yang harus dilaksanakan dalam Indonesia Merdeka. Usaha ini dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1950 yaitu sejak Belanda secara resmi mengakui RIS. Maka pemerintah Indonesia membangun Sekolah Rakyat (SR) hampir di setiap dusun, di setiap Rukun Kampung dan menjadikan orang yang pernah sekolah di zaman Belanda setingkat HBS (setingkat SMA) atau yang lebih tinggi menjadi guru. Maka seperti kata Bung Karno di tahun 1955: “Jikalau nanti tahun 1955 hampir silam, Indonesia akan telah mempunyai 33.000 sekolah rendahan, 1600 sekolah lanjutan, 6 organisasi Universitas, jumlah sedemikian masih jauh belum mencukupi.”167
Akan tetapi Bung Karno juga sangat mencela sikap mental orang Indonesia yang : “Masih saja ada orang–orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur Eropa daripada kultur sendiri.”168
Dalam menjalankan pembangunan nasional, agar tetap
berorientasi kepada kepentingan rakyat, maka Bung Karno menggariskan : “Nation Building membutuhkan bantuan revolusi mental. Buanglah segala kemalasan, buanglah segala kekoboian, buanglah segala keinlanderan, jadilah manusia Indonesia.”169
Memang terdapat satu kenyataan bahwa revolusi yang sedang
berjalan di Indonesia sampai tahun 1966 lebih banyak menyentuh bidang politik, sedikit bidang ekonomi, akan tetapi sangat kurang di bidang kebudayaan. Di bidang politik, khususnya lewat kepartaian telah dapat diterima konsep Demokrasi Terpimpin atau bidang ekonomi mulai diterapkan Dekon, akan tetapi di bidang Kebudayaan, kaum elit Indonesia yang menguasai klub hiburan, produser film, penerbit buku, surat kabar, lebih terangsang berorientasi kebudayaan barat. Hal itu yang menyebabkan Bung Karno di tahun 1959 menyentil pemuda–pemudi: “Dan engkau hai pemuda–pemudi, engkau yang tentunya anti Imprealisme Ekonomi, engkau yang menentang Imprealisme Politik, kenapa di kalangan engkau tidak menentang Imprealisme Kebudayaan, kenapa di kalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan–tulisan dari luaran, yang nyata–nyata itu adalah Imprealisme Kebudayaan.”170
Kaum elit Indonesia selalu dengan sinis mempertanyakan, “Apa
kepribadian nasional itu?”. Atas pertanyaan begini, Bung Karno berkali– kali menandaskan bahwa kepribadian bangsa Indonesia adalah Gotong Royong. Pancasila adalah penjelmaan Kepribadian Bangsa Indonesia itu171 Watak Gotong Royong yang masih nyata dilakukan di Pedesaan adalah karakter dasar orang Indonesia. Akan tetapi tatanan hidup Gotong– Royong itu tentu saja merugikan kaum elit, yang sudah biasa mendapat penghasilan cukup buat diri sendiri dan sanak keluarga. Kalangan elit Indonesia, seperti yang di tulis R.V.Niel : “Di lapisan atas rakyat Indonesia terdapatlah kaum priyayi atau elit Kurang dari dua persen dari jumlah seluruh penduduk, mereka telah turun temurun terbiasa memandang pemerintah kolonial Belanda sebagai sumber asal dari kekuasaan.”172 Maka itu Bung Karno menganjurkan agar Rakyat Indonesia dapat mencapai kecerdasan yang memungkinkan mereka menjalankan ‘Kepribadian Nasional’ dalam seluruh tatanan kehidupan : “Dapatkah Sosialisme diselenggarakan oleh bangsa yang buta huruf? Saya komandokan kepada semua sekolah–sekolah dan universitas–universitas, supaya semua murid mahasiswa di–USDEK–kan, di– Manipol–kan.”173
Untuk mempertegas perlunya Kepribadian Nasional itu, Bung
Karno menyatakan: “Tetapi apa yang berbahaya ialah anggapan, bahwa segala apa yang asli Indonesia itu sudah lapuk dan tidak baik lagi. Sikap yang demikian ini berbahaya, oleh karena menyebabkan bahwa kita nanti hidup di atas kekosongan, hidup tanpa landasan nasional. Mau tak mau, besok atau besok lusa, niscaya akan menjadi permainan dan ajang kelananya Kekuatan–kekuatan asing,”174
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sering sekali muncul
pemikiran dari kalangan elit, justru yang menempati jabatan penting dalam pemerintahan, mau mengoper saja sistem pembangunan negara lain. Terhadap sikap seperti ini, Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1945 mengingatkan antara lain: “Kompromis Politis dan kompromis Ekonomis dengan taktik yang jitu, dapat diatasi dan dilenyapkan dalam waktu yang pendek. Tapi celakanya ialah bahwa kita waktu itu mengadakan kompromis mental. Ini yang celaka!"175
Tentang kompromis mental yang membawa celaka itu, diingatkan
kembali oleh Bung Karno praktek yang berlaku di masa–masa yang lalu: “Sebelum tahun 1959 revolusi kita pernah keblinger, dan itu karena apa? Karena banyak pemimpin kita, malah terutama sekali pemimpin–pemimpin yang memakai title Mr atau Dr atau Ir, lho! Tidak mengerti arti daripada revolusi modern dalam bagian kedua dari abad ke XX. Malah kita dicekoki oleh Pemimpin–pemimpin semacam ini bahwa ‘Revolusi Sudah Selesai’, bahwa Kolonialisme–Imprealisme sudah mati.”176
Terhadap kaum elit yang begitu terpukau terhadap Kebudayaan
Barat, sehingga pada tahun 1963 mengeluarkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu), maka dalam pidato 17 Agustus 1964, Bung Karno mengatakan : “Ada polemik tentang kebudayaan Tentang kebudayaan pendirianku sudah jelas berantaslah segala kebudayaan asing yang gila–gilaan. Kembalilah kepada kebudayaan sendiri. Ganyanglah Manikebu, sebab Manikebu melemahkan revolusi.”177 Perbedaan pendapat tentang kebudayaan masih terus berkembang, karena dari pihak pendukung Manikebu, yang bersemboyan ‘Seni untuk Seni’ tetap menolak kebudayaan menjadi bagian dari politik. Dengan alasan “menolak kebudayaan dipolitisir”, maka kelompok seniman bebas ini siap bekerja sama dengan unsur luar, termasuk dengan Association Motion Picture ini Indonesia (AMPAI) dengan semboyan ‘Seni Untuk Seni, Seni Bebas dari Politik’. Sementara kelompok penganut seni revolusioner seirama dengan prinsip Bung Karno mengetahui : “Kebudayaan kita haruslah kebudayaan yang Revolusioner. Kebudayaan Nasional adalah duta masa dan duta massa.178