Anda di halaman 1dari 8

BAB 19

MENEMUKAN KEMBALI JIWA REVOLUSI


 
 
               Diberlakukannya kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi
Republik, maka sistem parlementer tidak berlaku lagi. Pemerintah tidak lagi
bertanggung jawab kepada DPR sehingga partai–partai politik tidak dapat
setiap waktu menjatuhkan kabinet. Bung Karno sebagai presiden
bertanggung jawab kepada MPR dan para Menteri adalah pembantu
Presiden.  Dalam pidato 17 Agustus 1959 setelah mengulang kembali
pembacaan Dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno menegaskan :
  “Dasar dan tujuan Revolusi Indonesia adalah kongruen dengan Social
Conscience of Man. Keadilan Sosial dan Kemerdekaan adalah Tuntutan Budi
Nurani yang Universal.  Karena itu, janganlah ada di antara kita yang mau
mengamendir atau memodulir dasar dan tujuan Revolusi kita itu,”154

      Dalam rangka melanjutkan program revolusi yang di selewengkan


itu, Presiden Soekarno melakukan Retooling (Perombakan) terhadap Alat–
Alat Revolusi, diantaranya mengganti Dewan Nasional menjadi Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) tanggal 15 Agustus 1959, selanjutnya Presiden
meminta pertimbangan DPA tentang pembentukan MPRS.  Kemudian
dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 2/1959 dibentuklah MPRS yang
anggotanya terdiri dari anggota DPR lama (hasil pemilu) ditambah Utusan–
utusan daerah dan Wakil–wakil golongan. MPRS ini bertugas menetapkan
Garis–Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
      MPRS melakukan pengkajian atas Pidato Bung Karno tertanggal
17 Agustus 1959 dan kemudian menilai bahwa pidato itu berisi Arah, Dasar
dan Tujuan Revolusi Indonesia.  Atas dasar penilaian seperti itu maka
MPRS menetapkan pidato tersebut sebagai GBHN yang kemudian dikenal
sebagai Manifesto Politik (Manipol) sebagai Pedoman Dasar Pelaksanaan
Revolusi.  Dengan Manipol itu, berarti sistem Liberal harus dibuang jauh–
jauh. Sebaliknya akan dilaksanakan Demokrasi Terpimpin (yang sudah
diutarakan di tahun 1957) dan Ekonomi Terpimpin.155 Untuk
menjalankan program itu, Bung Karno menganjurkan untuk meretool
semua alat perjuangan.
   “Retooling daripada semua alat–alat perjuangan dan konsolidasi daripada
semua alat–alat perjuangan sesudah retooled! Retooling badan eksekutif,
yaitu pemerintahan, kepegawaian dan lain sebagainya, vertikal dan
horizontal. retooling semua alat kekuasaan negara, Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, Polisi. Retooling alat–alat produksi dan
alat–alat distribusi.  Retooling organisasi–organisasi masyarakat, partai–
partai politik, badan–badan sosial, badan-badan ekonomi.”156

      Kembali ke UUD 1945 kembali ke jiwa revolusi, ternyata


mendapat sambutan yang bersemangat dari rakyat kecuali kaum elit yang
sejak awal revolusi bersikap menganut Sistem Liberal dan Sistem Kapitalis.
Suasana Revolusioner menyentuh cakrawala Indonesia di Kalangan muda
yaitu ormas–ormas pemuda dari berbagai partai politik.  Front Nasional
Pembebasan Irian Barat yang mengkonsolidir aksi–aksi pembebasan Irian
Barat ditingkatkan menjadi Front Nasional yang sekaligus mengkoordinir
aksi–aksi revolusioner dari semua partai politik.  Bahkan Front Nasional
tidak hanya ada di tingkat nasional sebab di tingkat propinsi Front Nasional
dihidupkan dengan tugas mengkoordinir massa–aksi di wilayahnya masing–
masing.
 
A.  Pembebasan Irian Barat
      Masalah Irian Barat tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan
sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dalam Konperensi Meja
Bundar pun tercantum masalah Irian Barat.  Sejak Kabinet Hatta dalam
masa pemerintahan RIS kasus Irian Barat sudah di cantumkan sebagai
salah satu tugas kabinet seperti juga dalam Kabinet Natsir, Sukiman,
Wilopo, Ali dan seterusnya.  Maka dalam periode “Meneruskan Kembali
Jiwa Revolusi”, dengan Kabinet Presidentil, perjuangan pembebasan Irian
Barat semakin memuncak. Ketika berlangsung konferensi Asia Afrika Bung
Karno mengemukakan :
   “Tidak ada rakyat yang merasa dirinya merdeka, selama masih ada bagian
daripada tanah airnya yang belum bebas.  Seperti perdamaian, kemerdekaan
pun tidak dapat dibagi–bagi.  Tidak ada hal yang dapat dinamakan setengah
merdeka, seperti juga tidak ada hal yang dapat disebut setengah hidup.”157
      Perjuangan pembebasan Irian Barat pada tahun 1957 lebih
meningkat lagi dengan Aksi–aksi pengambilalihan perusahaan Belanda :
   “Dalam rangka itulah pada tahun 1957 dilancarkan aksi–aksi yang dimulai
dengan pengambilalihan milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum
buruh dan karyawan.  Kepala Staff Angkatan Darat Jenderal Nasution selaku
penguasa perang mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan
kemudian menyerahkan kepada pemerintah.”158
      Masalah Irian Barat turut dibicarakan dalam PBB, yang oleh
wakil Amerika diusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun.  Usul yang diajukan
oleh Wakil Amerika Serikat yang bernama Bunker itu pada tahun 1961
dapat diterima oleh Indonesia.  Akan tetapi pihak Belanda membikin dalih
lain, yaitu akan lebih dahulu membentuk Negara Papua (Bandingkan
dengan upaya-upaya di tahun 2000 dengan adanya Negara Papua).  Sikap
Belanda yang seperti ini, dinilai Indonesia bahwa Belanda tidak akan mau
mengembalikan Irian Barat, maka kemudian Bung Karno menggembleng
pasukan sukarelawan untuk bersiap–siap mengambil kembali Irian Barat
lewat perjuangan bersenjata.  Maka itu pada tanggal 19 Desember 1961,
Bung Karno mengomandokan Tri Komandan Rakyat (Trikora), yang
isinya:159
1. Gagalkan Negara Papua.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat,
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum.
        Dan memang komando Trikora segera disambut oleh rakyat dari
seluruh tanah air.  Pasukan sukarelawan yang diorganisir oleh Front
Nasional terhimpun mulai dari Aceh, Padang, Palembang, Riau, seluruh
Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Sulawesi, terutama dari Kepulauan
Maluku.  Pasukan Sukarelawan bersatu padu dengan pasukan TNI,
khususnya Angkatan Laut di mana terjadi peristiwa Teluk Aru yang
mengakibatkan gugurnya Jos Sudarso. Sukarelawan wanita kita pun, sedia
terjun payung di daratan Irian seperti Herlina Pending Emas dan Bung
Karno pada Pidato 17 Agustus 1961, berkata;
   “Sekarang kita terhadap Belanda menjalankan politik konfrontasi di segala
bidang apa pun.  Perjuangan untuk membebaskan Irian Barat itu adalah
sebagian pula daripada perjuangan menghapuskan Imprealisme–Kolonialisme
di seluruh dunia”160
      Dan sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, pada tanggal 1 Mei
1963 dilakukan penyerahan administrasi kepada Indonesia dan pemulihan
kembali hubungan diplomatik antara kedua negara di tahun yang
sama.161
               Sebelum hari–H Penyerahan Irian Barat ke pangkuan Republik,
maka kata Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1962 :
  “Harapan bahwa ini kali pihak Belanda sungguh–sungguh melaksanakan
persetujuan itu secara jujur dan tidak secara Linggarjati.  Kepada Bangsa
Indonesia sendiri saya berseru supaya kita tidak usah merasa sombong
terhadap Belanda karena menang Kemenangan ini adalah kemenangan
sejarah.”162
               Gelora semangat revolusioner rakyat Indonesia telah
mengagalkan usaha Belanda menjadikan Irian Barat sebagai negara
bonekanya.  Dengan demikian Revolusi Indonesia tahap demi tahap dapat
menyempurnakan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
B.  Revolusi di Bidang Sosial  Ekonomi
      Program revolusi di bidang sosial ekonomi dijalankan untuk
memenuhi Tiga Kerangka Tujuan Revolusi, yaitu :
1.     Menyusun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
2.     Mewujudkan masyarakat Indonesia yang Adil dan Makmur.
3.     Ikut menciptakan Perdamaian Dunia yang bebas dari
penghisapan oleh manusia dan oleh bangsa terhadap bangsa.
      Untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur itu, maka
oleh Bung Karno sesuai dengan UUD 1945 dibentuklah Dewan Perancang
Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun blue print (pola dasar) untuk
menyelenggarakan pembangunan nasional di segala bidang.  Untuk
mencapai tugas itu, Depernas yang di ketuai oleh Prof. Moh. Yamin
melaksanakan Rapat–rapat maraton selama tiga tahun sampai
menghasilkan Rencana Pembangunan Nasional Semesta berupa 17 buku,
8 Jilid, dan terdiri dari 1945 proyek.163
      Proyek A dari rencana pembangunan ini terdiri dari bidang:
Mental, Agama, Kerohanian, untuk mempersiapkan mental dan rohani
rakyat guna menyempurnakan pembangunan bangsa. Di antara proyek A
dan A–A itu adalah penterjemahan kitab–kitab suci AL–Qur’an, Injil, Weda,
penggalian kekayaan kebudayaan, museum nasional, galeri nasional,
perpustakaan nasional, lembaga bahasa dan kesusastraan, taman
kebudayaan, pembangunan teater nasional dan sebagainya.
      Sementara proyek B berisi usaha untuk pengolahan sumber–
sumber kekayaan alam Indonesia, seperti minyak bumi, kehutanan,
perikanan, logam dan sebagainya. Pengolahan proyek B ini agar dalam
pembiayaan pembangunan semesta itu tidak harus bergantung kepada
negara lain.  Sehinggga proyek pembangunan termasuk industri menengah,
ringan dan berat dapat dilakukan, misalnya pembangunan Pabrik Baja
Krakatau Steel di Cilegon atau pembangunan Pesawat Terbang Nurtanio di
Bandung dapat dibiayai dari proyek tadi.
      Dalam kerangka pembangunan semesta berencana itu, yaitu
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur maka di sektor pertanian
dipersiapkan landasan dasarnya yakni Undang–Undang Pokok Agraria
(UUPA).  Sektor Pertanian merupakan sektor yang vital karena pada tahun
1960–an itu (Ternyata juga sampai pada tahun 2011 ini) rakyat Indonesia
yang bekerja di sektor pertanian lebih dari 50 %. UUPA No. 5/1960 serta
Undang–Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) No: 2/1960 merupakan
landasan hukum untuk menyelenggarakan perombakan tata pertanian
atau landreform.  Dalam mencapai masyarakat adil dan makmur, kata
Bung Karno :
   “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung
tanpa alas, sama dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong
besar tanpa isi.  Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu
bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”164
      Pembagian tanah secara adil serta dengan batas maksimum dan
minimum ditetapkan dalam UUPA.  Setiap penggarap berhak memiliki
tanah minimum 2 ha dan maksimum 5 ha adalah tatanan yang adil bagi
Rakyat Indonesia sebab tanah (menurut UUPA) tidak boleh menjadi alat
penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat
Indonesia.165
      Selain di bidang agraria, Bung Karno juga menggariskan
pegangan pokok di sektor perekonomian dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon)
yang disampaikan pada tanggal 28 Maret 1963.  Dekon berisi tahap-tahap
dari pembangunan ekonomi untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.  Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam Tahap
Nasional Demokratis ini, kita harus menciptakan susunan ekonomi yang
bersifat nasional dan demokratis ini, kita harus menciptakan susunan
ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis yang bersih dari sisa–sisa
Imprealisme dan bersih dari sisa–sisa Feodalisme.  Tahap pertama adalah
persiapan untuk tahap kedua, yaitu Tahap Ekonomi Sosialis Indonesia,
ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa Eksploitation de
L’homme Par L’homme. Dalam pidato 17 Agustus 1963, Bung Karno
mempertegas:
  “Manakala Manipol menyatakan ‘Stop’ kepada penyelewengan–
penyelewengan politik maka Dekon menyatakan ‘Stop’ kepada
penyelewengan–penyelewengan ekonomi.  Aku gembira sekali bahwa akhir–
akhir ini makin santer kehendak untuk membangun ekonomi nasional kita
di atas kaki sendiri, satu bangsa hanyalah bisa kuat kalau patriotisme juga
meliputi patriotisme ekonomi.”166

               Revolusi di bidang sosial ekonomi, telah memperlihatkan tanda–


tanda Bangsa Indonesia menapaki jalan kearah masyarakat Sosialis
Indonesia, menapaki jalan kearah masyarakat sosialis Indonesia di mana
tiap–tiap warganegara dijamin mendapat pekerjaan dengan penghasilan
yang layak bagi kemanusiaan.
 
C.  Revolusi di Bidang Sosial  Budaya
               “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” adalah amanat dari
Pembukaan UUD 1945 yang harus dilaksanakan dalam Indonesia Merdeka.
Usaha ini dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1950 yaitu sejak Belanda
secara resmi mengakui RIS.  Maka pemerintah Indonesia membangun
Sekolah Rakyat (SR) hampir di setiap dusun, di setiap Rukun Kampung dan
menjadikan orang yang pernah sekolah di zaman Belanda setingkat HBS
(setingkat SMA) atau yang lebih tinggi menjadi guru.  Maka seperti kata
Bung Karno di tahun 1955:
   “Jikalau nanti tahun 1955 hampir silam, Indonesia akan telah mempunyai
33.000 sekolah rendahan, 1600 sekolah lanjutan, 6 organisasi
Universitas, jumlah sedemikian masih jauh belum mencukupi.”167

      Akan tetapi Bung Karno juga sangat mencela sikap mental orang
Indonesia yang :
   “Masih saja ada orang–orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur
Eropa daripada kultur sendiri.”168

      Dalam menjalankan pembangunan nasional, agar tetap


berorientasi kepada kepentingan rakyat, maka Bung Karno menggariskan :
   “Nation Building membutuhkan bantuan revolusi mental.  Buanglah segala
kemalasan, buanglah segala kekoboian, buanglah segala keinlanderan,
jadilah manusia Indonesia.”169

      Memang terdapat satu kenyataan bahwa revolusi yang sedang


berjalan di Indonesia sampai tahun 1966 lebih banyak menyentuh bidang
politik, sedikit bidang ekonomi, akan tetapi sangat kurang di bidang
kebudayaan.  Di bidang politik, khususnya lewat kepartaian telah dapat
diterima konsep Demokrasi Terpimpin atau bidang ekonomi mulai
diterapkan Dekon, akan tetapi di bidang Kebudayaan, kaum elit Indonesia
yang menguasai klub hiburan, produser film, penerbit buku, surat kabar,
lebih terangsang berorientasi kebudayaan barat.  Hal itu yang
menyebabkan Bung Karno di tahun 1959 menyentil pemuda–pemudi:
  “Dan engkau hai pemuda–pemudi, engkau yang tentunya anti Imprealisme
Ekonomi, engkau yang menentang Imprealisme Politik, kenapa di kalangan
engkau tidak menentang Imprealisme Kebudayaan, kenapa di kalangan
engkau banyak yang gemar membaca tulisan–tulisan dari luaran, yang
nyata–nyata itu adalah Imprealisme Kebudayaan.”170

      Kaum elit Indonesia selalu dengan sinis mempertanyakan, “Apa


kepribadian nasional itu?”.  Atas pertanyaan begini, Bung Karno berkali–
kali menandaskan bahwa kepribadian bangsa Indonesia adalah Gotong
Royong.  Pancasila adalah penjelmaan Kepribadian Bangsa Indonesia
itu171 Watak Gotong Royong yang masih nyata dilakukan di Pedesaan
adalah karakter dasar orang Indonesia.  Akan tetapi tatanan hidup Gotong–
Royong itu tentu saja merugikan kaum elit, yang sudah biasa mendapat
penghasilan cukup buat diri sendiri dan sanak keluarga.  Kalangan elit
Indonesia, seperti yang di tulis R.V.Niel :
   “Di lapisan atas rakyat Indonesia terdapatlah kaum priyayi atau elit
Kurang dari dua persen dari jumlah seluruh penduduk, mereka telah turun
temurun terbiasa memandang pemerintah kolonial Belanda sebagai sumber
asal dari kekuasaan.”172
      Maka itu Bung Karno menganjurkan agar Rakyat Indonesia dapat
mencapai kecerdasan yang memungkinkan mereka menjalankan
‘Kepribadian Nasional’ dalam seluruh tatanan kehidupan :
  “Dapatkah Sosialisme diselenggarakan oleh bangsa yang buta huruf? Saya
komandokan kepada semua sekolah–sekolah dan universitas–universitas,
supaya semua murid mahasiswa di–USDEK–kan, di– Manipol–kan.”173

      Untuk mempertegas perlunya Kepribadian Nasional itu, Bung


Karno menyatakan:
  “Tetapi apa yang berbahaya ialah anggapan, bahwa segala apa yang asli
Indonesia itu sudah lapuk dan tidak baik lagi. Sikap yang demikian ini
berbahaya, oleh karena menyebabkan bahwa kita nanti hidup di atas
kekosongan, hidup tanpa landasan nasional. Mau tak mau, besok atau
besok lusa, niscaya akan menjadi permainan dan ajang kelananya
Kekuatan–kekuatan asing,”174

      Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sering sekali muncul


pemikiran dari kalangan elit, justru yang menempati jabatan penting dalam
pemerintahan, mau mengoper saja sistem pembangunan negara lain.
Terhadap sikap seperti ini, Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1945
mengingatkan antara lain:
   “Kompromis Politis dan kompromis Ekonomis dengan taktik yang  jitu,
dapat diatasi dan dilenyapkan dalam waktu yang pendek.  Tapi celakanya
ialah bahwa kita waktu itu mengadakan kompromis mental. Ini yang
celaka!"175

      Tentang kompromis mental yang membawa celaka itu, diingatkan


kembali oleh Bung Karno praktek yang berlaku di masa–masa yang lalu:
“Sebelum tahun 1959 revolusi kita pernah keblinger, dan itu karena apa?
Karena banyak pemimpin kita, malah terutama sekali pemimpin–pemimpin
yang memakai title Mr atau Dr atau Ir, lho! Tidak mengerti arti daripada
revolusi modern dalam bagian kedua dari abad ke XX. Malah kita dicekoki
oleh Pemimpin–pemimpin semacam ini bahwa ‘Revolusi Sudah Selesai’,
bahwa Kolonialisme–Imprealisme sudah mati.”176

      Terhadap kaum elit yang begitu terpukau terhadap Kebudayaan


Barat, sehingga pada tahun 1963 mengeluarkan Manifesto Kebudayaan
(Manikebu), maka dalam pidato 17 Agustus 1964, Bung Karno mengatakan 
:
  “Ada polemik tentang kebudayaan Tentang kebudayaan pendirianku sudah
jelas berantaslah segala kebudayaan asing yang gila–gilaan. Kembalilah
kepada kebudayaan sendiri. Ganyanglah Manikebu, sebab Manikebu
melemahkan revolusi.”177
      Perbedaan pendapat tentang kebudayaan masih terus
berkembang, karena dari pihak pendukung Manikebu, yang
bersemboyan ‘Seni untuk Seni’ tetap menolak kebudayaan menjadi bagian
dari politik.  Dengan alasan “menolak kebudayaan dipolitisir”, maka
kelompok seniman bebas ini siap bekerja sama dengan unsur luar,
termasuk dengan Association Motion Picture ini Indonesia (AMPAI) dengan
semboyan ‘Seni Untuk Seni, Seni Bebas dari Politik’.  Sementara
kelompok penganut seni revolusioner seirama dengan prinsip Bung Karno
mengetahui :
“Kebudayaan kita haruslah kebudayaan yang Revolusioner. Kebudayaan
Nasional adalah duta masa dan duta massa.178

Anda mungkin juga menyukai