Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Awal Penggunaan Anestesi pada Persalinan

Abstrak

Ketakutan terhadap nyeri sering menghantui proses persalinan, dan setiap wanita
harus memutuskan apakah ingin menggunakan anestesi untuk mengatasi rasa
nyeri persalinan. Pilihan tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak disengaja
dan menjadi awal mula diberikan intervensi medis selama proses persalinan dan
kelahiran. Tujuan artikel ini adalah untuk melacak penggunaan anestesi pada
persalinan selama pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 dan
untuk mengetahui dampaknya terhadap wanita yang melahirkan.

Rasa takut terhadap nyeri sering menghantui pengalaman proses


persalinan selama bertahun – tahun, dan pendekatan seorang wanita terhadap
prospek kelahiran pada umumnya berhubungan dengan perspektifnya sendiri,
perspektif orang – orang disekitarnya, dan lingkungan. Berlawanan dengan
keyakinan bahwa dalam upaya mereka untuk mendominasi ruang bersalin, dokter
mulai mendorong penggunaan anestesi saat melahirkan, dalam artikel ini penulis
berpendapat bahwa langkah ini diprakarsai oleh keinginan wanita melahirkan
tanpa rasa sakit. Dengan kata lain, ketika wanita memilih untuk meringankan
nyeri persalinan, dokter kehilangan kontrol selama di ruang bersalin.

Dokter mulai memasuki ruang bersalin di rumah – rumah wanita hamil


pada akhir abad ke-18. Seratus tahun kemudian, di tengah campur tangan
perubahan sosial yang sangat besardi paruh pertama abad ke-20, tempat bersalin
berubah dari rumah menjadi rumah sakit. Wanita – wanita yang hendak
melahirkan menerima perubahan tersebut dan menyambut penggunaan pereda
nyeri saat persalinan serta pengenalan akan sains medis dan teknologi selama
proses kelahiran. Pilihan mereka menghasilkan konsekuensi yang telah
memengaruhi wanita - wanita yang hendak melahirkan sampai dengan hari ini dan
secara tidak sengaja menciptakan suatu bentuk pelayanan medis. Berdasarkan
sejarah perspektif ini, penulis membahas perkembangan anestesi obstetri dan
menggambarkan persimpangandari aspek ilmiah dan sosial persalinan.

Proses Persalinan di Amerika

Sebelum abad ke-20, sebagian besar wanita bergantung pada tetangga –


tetangganya dan bidan lokal untuk membantu proses persalinan dan mengawasi
proses kelahiran. Laurel Thatcher Ulrich (1990) memberi catatan yang berasal
dari catatan harian seorang bidan, Martha Ballard, yang hidup di pedesaan Maine
pada akhir abad ke-18 sebagai berikut :

Bidan dan perawat menjadi perantara dari misteri kelahiran, prokreasi,


penyakit dan kematian. Mereka menyentuh hal yang tidak dapat disentuh,
menangani kotoran dan muntahan serta susu, membungkus mayat dan juga
bayi yang baru lahir. Mereka menyeduh obat dari tanaman dan akar serta
menjadi pemimpin suatu lingkungan yang terdiri dari sekumpulan wanita.
(hal 47)

Ketika wanita yang mempunyai hak istimewa mulai mengundang dokter pria ke
ruang bersalin mereka, asisten yang menemani tetap diperlukan selama proses
kelahiran, dan dokter harus mendapat persetujuan dan meminta kerjasama mereka
(Leavitt, 1983). Sebagian besar wanita melahirkan di rumah dengan bantuan bidan
dan teman – teman di sekitarnya. Hanya wanita yang mampu membayar
pelayanan dokter atau wanita miskin yang datang ke rumah sakit yang mungkin
mendapat bantuan dari dokter. Meskipun spesialisasi bidang obstetri belum
terbentuk, beberapa dokter tertarik untuk menangani kasus persalinan (Kass,
1993).

Walter Channing, seorang dokter di Boston, merupakan salah satu contoh.


Praktiknya dimulai pada tahun 1811 setelah lulus dari Harvard College dan
sekolah kedokteran University of Pennsylvania serta pendidikan kebidanan
tambahan di Inggris dan Skotlandia. Sama seperti yang telah dituliskan oleh
Martha Ballard mengenai pengalaman seorang bidan pada masa tersebut,
Channing membuat catatan mengenai 11 tahun pertama pengalamannya ketika
menjalankan praktik obstetri dan menjadi jendela bagi dokter – dokter lain.
Channing lebih memilih untuk membiarkan alam mengambil jalannya selama
kelahiran, tetapi dalam buku catatannya ia mendokumentasikan pembersihan,
perdarahan, dan penggunaan lintah, yang merupakan praktik umum pada masa itu
untuk kondisi tertentu (Kass, 1993; Siddall, 1980). Profesor kedokteran Benjamin
Rush, yang mengajar Channing di University of Pennsylvania, menyarankan
bahwa “Pembuangan darah mungkin efektif dalam mengurangi keparahan
penyakit dan rasa sakit selama persalinan ” (Rucker, 1950, hal. 101). Pembuangan
darah merupakan cara yang cepat dan pasti untuk mencapai relaksasi, yang
menurut perkiraan dokter dapat memfasilitasi proses kelahiran. Seorang profesor
lain dari Philadelphia juga berpendapat bahwa dokter harus “melakukan sesuatu”
dan tidak hanya menjadi penonton selama proses kelahiran (Leavitt, 1983, hal.
286). Perdarahan, forceps, dan opium merupakan hal - hal yang tersedia untuk
para dokter tersebut (Duffy, 1964; Leavitt, 1983).

Anestetik pada Masa Awal

Selama berabad – abad, beragam jenis zat telah digunakan untuk


meredakan nyeri selama persalinan, meliputi opiat, pil tidur, alkohol, dan tanaman
herbal (Morrison, Wildsmith, & Ostheimer, 1996). Ekstrak mandane dan henbane
dari tanaman keluarga nightshades (Solanaceae) pernah digunakan selama
persalinan. Tanaman – tanaman tersebut mengandung hyosina alkaloid yang kuat
(dari mana skopolamin berasal), yang berfungsi sebagai halusinogenik, sedatif,
dan amnesik. Pada masa awal kerajaan Yunani, zat – zat tersebut digunakan
sebagai anestetik dan mungkin telah digunakan selama proses melahirkan,
walaupun efek toksik zat – zat tersebut apabila digunakan dalam jumlah berlebih
baru diketahui setelah abad ke-19. Laudanum dan produk opium lainnya sangat
digemari karena tanaman nightshades memiliki toksisitas yang tinggi (Carter,
1996, 2003; Goldberg, 2014; Leake, 1925).
Pada tahun 1799, ibu dari Sally Drinker, seorang wanita terkemuka di Amerika,
mencatat proses persalinan anaknya dalam sebuah buku catatan. Proses persalinan
tersebut dipimpin oleh dr. William Shippen :

Sepanjang malam Sally berada dalam kesulitan besar... Dia telah mendapat
80 atau 90 tetes cairan laudanum saat siang dan malam hari namun belum
dapat tidur nyenyak selama 48 jam. (Warner & Tighe, 2001, hal. 59).

Di sisi lain, pada catatan hariannya di masa yang sama, bidan Martha Ballard
tidak menyukai penggunaan laudanum dalam persalinan normal dan menyarankan
bahwa penggunaannya tidak memengaruhi rasa sakit selama persalinan.

Eter dan Kloroform

Pada pertengahan abad ke-19, penghilang nyeri baru dan efektif telah
digunakan dalam ruang bersalin, namun belum terbukti keamanannya. Anestetik
inhalasi pertama yang digunakan untuk kepentingan obstetrik adalah dietil eter.
Eter ditemukan pada tahun 1540 namun belum sepenuhnya digunakan sebagai
anestetik sampai tahun 1842, ketika Crawford Long, lulusan sekolah kedokteran
University of Pennsylvania melakukan praktik dokter di Georgia, dan
menggunakan eter saat prosedur operasi untuk mengambil tumor pasien (Leake,
1925). Long, yang tidak mempublikasi deskripsi pemakaian eter untuk anestesi
sampai tahun 1853, tidak mendapat kredit. Seorang dokter gigi, William Morton,
mendemonstrasikan pemakaian eter untuk anestesi di Boston pada bulan Oktober
1846 saat prosedur operasi pengambilan tumor di leher oleh seorang dokter bedah
terkenal dari Harvard. Morton diakui sebagai orang pertama yang menggunakan
eter untuk operasi (Caton, 1999), dan kabar tentang kesuksesan penggunaan eter
sebagai anestesi tersebar dengan cepat.

Dr. Nathan Cooley Keep, seorang dokter gigi yang menjadi asisten William
Morton di laboratorium Boston, mendeskripsikan kesuksesan pemakaian eter dan
alat yang ia temukan untuk pemberian eter dalam sebuah artikel yang diterbitkan
di Boston Medical Surgical Journal (Guralnick & Kaban, 2011; Keep, 1847a).
Satu minggu kemudian, di jurnal yang sama, ia melaporkan kesuksesan pemberian
“uap eter pada kasus persalinan normal” (Keep, 1847b, hal. 226). Fanny Appleton
Longfellow, istri dari Henry Wadsworth Longfellow, mendapat eter selama proses
kelahiran anak ketiganya pada tahun 1847 dan menulis hal berikut pada catatan
hariannya :

Saya tidak pernah merasa lebih baik atau menjalani persalinan yang
nyaman seperti ini... Keyakinan Henry memberi saya keberanian dan saya
telah mendengar hal ini telah berhasil di luar negeri, di mana para ahli
bedah menyampaikan berkat besar ini jauh lebih berani dan secara
universal daripada para dokter kami yang pemalu. Dua wanita lain yang
saya kenal sejak itu mengikuti contoh saya dengan sukses, dan saya
merasa bangga menjadi pelopor supaya tidak menderita untuk wanita yang
miskin dan lemah. Ini tentu saja merupakan berkat terbesar pada masa ini
dan saya senang telah hidup pada saat kedatangannya. (Wagenknecht,
1956, hal. 129 – 130)

Henry Wadsworth Longfellow mengkonfirmasi bahwa proses persalinan berjalan


normal dalam jurnalnya :

Fanny menghirup uap eter sulfurik secara heroik... dan seluruh rasa nyeri
persalinan mereda, walaupun proses persalinan berlangsung dan tampak
lebih cepat... sementara berada dibawah pengaruh uap, tidak terjadi
penurunan kesadaran dan tidak ada nyeri. (Pittinger, 1987, hal. 369)

Dari kisah-kisah ini, jelas bahwa wanita yang memiliki koneksi dengan baik
mendapat akses terhadap eter di rumah mereka selama persalinan dan kelahiran.

Pada awal tahun 1847, James Young Simpson, ketua Kebidanan di University of
Edinburgh, Skotlandia, pertama kali menggunakan eter dalam persalinan selama
kelahiran neonatus yang lahir mati setelah intervensi penyelamatan nyawanya
yang tidak berhasil (Morrison dkk, 1996). Simpson tidak puas dengan kualitas
eter dan bereksperimen dengan zat anestesi potensial lainnya (Robinson &
Toledo, 2012). Belakangan tahun itu melalui coba-coba, Simpson dan koleganya
di Edinburgh mengidentifikasi kloroform untuk digunakan sebagai obat bius
(Simpson, 1847). Seperti eter, kloroform juga siap diadaptasi sebagai anestesi saat
melahirkan. Pada tahun 1847, Simpson merawat seorang wanita yang
persalinannya dimulai "dua minggu sebelum aterm" dan mendokumentasikan
yang berikut :

Tiga jam setengah setelah mereka [nyeri] dimulai, dan sebelum tahap
pertama proses persalinan selesai, saya menempatkannya di bawah
pengaruh kloroform, dengan melembabkan, dengan setengah sendok teh
cairan, saputangan saku, digulung menjadi bentuk corong, dan dengan
ujung corong yang lebar atau terbuka diletakkan di atas mulutnya dan
lubang hidung ... Sekali lagi diperbarui dalam waktu sekitar sepuluh atau
dua belas menit ... Bayi dapat dilahirkan dalam waktu dua puluh lima
menit setelah inhalasi dimulai (Dunn, 2002, hal. F208)

Ketika wanita tersebut terbangun, ia tidak percaya bahwa dirinya telah


melahirkan, serta bayinya hidup dan dalam keadaan sehat.

Anestesi secara keseluruhan tidak diterima secara luas. Namun begitu, pada tahun
1848 pada pertemuan American Medical Association yang baru terbentuk, 2000
kasus pemakaian anestesi selama persalinan di Amerika Serikat dilaporkan “tanpa
hasil signifikan yang tidak diinginkan” (American Medical Association,1848, hal.
228). Perdebatan merebak di literatur medis tentang penghilang rasa nyeri saat
melahirkan, termasuk keamanan untuk ibu dan bayi baru lahir dan pentingnya rasa
nyeri dalam proses persalinan. Pendukung seperti Simpson, Channing, dan yang
lain dengan kuat menyatakan bahwa rasa nyeri itu tidak diperlukan dalam proses
penyembuhan atau dalam proses persalinan dan rasa nyeri dapat bersifat
destruktif; oleh karena itu, rasa nyeri harus dihilangkan sedapat mungkin. (Caton,
1999; Kass, 1993). Pendapat lain percaya bahwa rasa nyeri saat melahirkan tidak
dapat dipisahkan dari fungsi uterus dan untuk menekan rasa nyeri akan
menghambat persalinan; keterikatan emosional dengan bayi, yang timbul karena
rasa nyeri, sangatlah penting. Misalnya, seorang dokter menyatakan bahwa "rasa
nyeri adalah keselamatan ibu, tidak adanya nyeri justru bersifat merugikan"
(Pernick, 1985, hal. 46). Pencela anestesi menegaskan bahwa untuk
menghilangkan rasa nyeri saat melahirkan adalah untuk melawan pengajaran
Alkitab bahwa wanita akan menderita saat melahirkan setelah dosa Hawa dan
bahwa anestesi akan membuka pintu ke prosedur yang tidak perlu tanpa
persetujuan pasien (Pernick, 1985). Perdebatan berlanjut sampai akhir abad ke-19.
Namun, wanita yang terhubung dengan baik, tetap bersikeras dalam keinginan
mereka untuk bantuan yang diberikan oleh anestesi. Di Inggris, istri – istri Charles
Dickens, Charles Darwin, dan Robert Hooker menggunakan anestesi selama
persalinan, sama seperti wanita – wanita elit di kota – kota besar di Amerika
Serikat (Snow, 2008).

Kisah paling terkenal tentang keberhasilan penggunaan kloroform dalam


persalinan adalah oleh Ratu Victoria pada tahun 1853. Dokter yang menangani
Ratu, atas permintaan Pangeran Albert dan Ratu, mengundang Dr. John Snow saat
mendekati akhir tahap pertama persalinan. Dia memberikan kloroform dengan
menggunakan sapu tangan yang dilipat berbentuk kerucut dan ditambahkan
beberapa tetes pada setiap kontraksi. Sang Ratu tetap sadar namun tidak
merasakan nyeri sampai Pangeran Leopold lahir (Guttmacher, 1937; Snow, 2008),
setelah kejadian tersebut, kloroform dikenal sebagai “anaesthesia a la Reine” di
Inggris (Bacon, 2008, hal. 69).

Dokter memiliki preferensi untuk anestesi dalam pembedahan dan proses


persalinan. Di Inggris dan Amerika Serikat bagian Selatan, jenis anestesi yang
sering digunakan adalah kloroform karena baunya yang menyenangkan, jumlah
kecil yang diperlukan untuk anestesi, dan efeknya yang cepat. Di Amerika Serikat
bagian Utara, dokter lebih sering menggunakan eter. Eter memiliki beberapa
kekurangan : mudah terbakar, memiliki bau tidak enak menetap yang dapat
mengiritasi sistem pernafasan dan meningkatkan sekresi, membutuhkan dosis
yang banyak untuk mencapai efektivitas, dan efek yang lebih lambat. Namun,
pada akhirnya, eter terbukti sebagai alternatif yang lebih aman. Pada sisa abad ke-
19 hingga awal abad ke-20, penggunaan kloroform dilaporkan menimbulkan
kematian mendadak karena efek toksik pada jantung atau hati, sehingga tidak lagi
digunakan sebagai anestesi pilihan.

Dinitrogen Monoksida (Nitrous Oxide)

Seperti eter, dinitrogen monoksida (gas tertawa) pertama kali ditemukan


pada akhir abad ke-18 dan digunakan sebagai obat penghibur atau minuman keras.
Publik memiliki akses gratis karena tidak ada undang-undang yang membatasi
pembelian obat – obat tersebut. Akibatnya, gas tertawa dan eter digunakan untuk
bermain-main jauh sebelum demonstrasi ilmiah pertama yang berhasil untuk
penggunaan medis atau bedah. Davy (1799) pertama kali mempelajari sifat kimia
dari dinitrogen monoksida, tetapi baru beberapa dekade kemudian Horace Wells,
sekitar tahun 1845, memperkenalkan gas tersebut di Boston sebagai obat bius
untuk pencabutan gigi. Demonstrasinya tidak berhasil, dan baru 20 tahun
kemudian ditemukan kombinasi dinitrogen monoksida dengan oksigen sebagai
anestesi untuk prosedur medis atau operasi (Leake, 1925).

Pada tahun 1880, Stanislav Klikovich, seorang peneliti dari Polandia, memelopori
penggunaan dinitrogen monoksida dalam kebidanan dengan menggunakan
campuran 20% oksigen dan 80% dinitrogen monoksida (Morrison dkk, 1996).
Kemajuan lebih lanjutdalam perangkat administrasi membantu membuat
dinitrogen monoksida diterima dengan baik di Inggris, dan ketika perangkat
inhalasi portabel (perangkat Minnitt) mulai digunakan pada 1930-an, bidan –
bidan di Inggris dapat mengangkut perangkat ke rumah klien mereka (O’Sullivan,
1989; Wood Library-Museum of Anesthesiologi, 2006). Dokter mempelajari
bahwa asfiksia dapat terjadi jika persentase dinitrogen monoksida terlalu besar.
Campuran 50/50 terbukti ideal dan masih digunakan sampai sekarang dengan
perangkat administrasi yang lebih baru. Metode penghilang nyeri saat persalinan
tersebut tidak pernah mencapai popularitas yang sama di Amerika Serikat seperti
yang terjadi di Inggris, di mana dinitrogen monoksida digunakan dalam kelahiran
di rumah dan di rumah sakit. Namun, satu lulusan perawat di Cleveland
menggambarkan kepuasannya dengan penggunaan gas di Rumah Sakit Lakeside
(Morrison dkk, 1996; Truckey, 1911).

Dalam buku teks medis Amerika yang pertama tentang anestesi (Gwathmey,
1914), penggunaan kloroform, oksigen, nitro oksida, dan eter direkomendasikan
dalam kasus kebidanan hanya untuk kepentingan analgesia. Pada saat ini, eter
diberikan dengan metode tetes terbuka, menyerupai administrasi kloroform
sebelumnya. Telah diperkenalkan alat – alat baru, termasuk masker dan
pengaturan untuk agen - agen khusus, sistem tertutup dan terbuka, katup yang
mengontrol campuran gas, mesin yang lebih ringkas, saluran udara oral, intubasi
endotrakeal, metode inhalasi kombinasi, dan anestesi bertahap atau berurutan
disesuaikan kebutuhan pasien (Cope, 1993; Robinson & Toledo, 2012).

Pada awal abad ke-20, 6 hingga 9 wanita meninggal untuk setiap 1.000 kelahiran
hidup dan 1 dari 10 bayi tidak bertahan hidup pada tahun pertama kehidupan.
(Centers for Disease Control and Prevention, 1999). Selama masa ini, rumah
sakit menjadi tempat kelahiran yang lebih dapat diterima. Penganut gagasan
kelahiran di rumah sakit, dr. Joseph De Lee dan John Whitridge Williams, yang
telah berkontribusi pada sains dan mereformasi pendidikan kebidanan,
mengemukakan gagasan bahwa kelahiran adalah proses yang berpotensi patologis.
Perawat memberikan perawatan ketat dan aseptik bagi ibu dan bayi baru lahir, dan
dokter mempraktikkan prosedur yang semakin invasif dengan tujuan untuk
menyelamatkan hidup. Sebagaimana dicatat oleh sejarawan persalinan Wertz dan
Wertz (1989), “Wanita mendapatkan pembebasan dari sakit saat melahirkan,
dengan mengorbankan diperlakukan sebagai objek yang mungkin sakit. Maka
dimulailah transformasi besar dalam kelahiran: dari rumah ke rumah sakit, dari
penderitaan menjadi tanpa rasa sakit, dari perawatan pasien ke perawatan penyakit
” (hal. 128). Dengan memanfaatkan rumah sakit dan anestesi, wanita
menyerahkan kontrol ruang kelahiran kepada dokter.
Profesi Baru Keperawatan

Perawat memberikan anestesi sepanjang paruh kedua abad ke-19 dan


merawat wanita yang melahirkan anak, bahkan sebelum munculnya keperawatan
formal (O’Brien, 1986; Thatcher, 1984). Perawat sering ditugaskan untuk
meneteskan eter atau kloroform pada sapu tangan, karena ahli bedah perlu
mengarahkan perhatian mereka pada lapangan operasi dan tidak bisa secara
bersamaan memberi anestesi. Para suster religius dan perawat terpilih
memberikan layanan ini dalam Perang Saudara Amerika dan di rumah sakit-
rumah sakit yang sudah mapan, seperti St. Mary's di Rochester, Minnesota, yang
akhirnya menjadi bagian dari Mayo Clinic (Harris & Hunzicker-Dean, 2001;
Keeling, 2007). Pada tahun 1830-an, seorang dokter apotik Philadelphia, dr.
Joseph Warrington, membentuk sebuah komunitas perawat, merekrut wanita, dan
memberikan kuliah dan sertifikasi setelah masa magang; para wanita ini dibayar
untuk memberikan perawatan obstetrik di rumah – rumah pasien di bawah
pengawasannya. Komunitas perawat tersebut menyediakan rumah untuk perawat
– perawatnya pada tahun 1850 di Philadelphia (D’Antonio, 2010; Shryock, 1960).
Hal tersebut bukan merupakan suatu pendidikan keperawatan formal, tetapi
perawatan kebidanan yang diberikan oleh para wanita ini diakui sebagai prioritas
penting; mereka mempelajari manajemen perawatan bersalin, dan mereka
bertanggung jawab kepada dokter. Ketika pendidikan keperawatan diformalkan
pada tahun 1870-an, perawat mempelajari teknik persalinan yang aman, dan
setelah lulus mereka berlatih terutama dalam tugas pribadi atau nanti dalam
perawatan kesehatan masyarakat.

Twilight Sleep

Ketika dokter terlatih dalam kebidanan berjuang untuk meningkatkan


keselamatan dan kenyamanan kelahiran di rumah sakit, sebuah gerakan berbasis
konsumen muncul di Amerika Serikat. Pada awal Perang Dunia I di Eropa, sebuah
prosedur yang dibuat oleh para dokter di Freiburg, Jerman, telah diikuti oleh para
wanita elit di Amerika. Gerakan twilight sleep dipelopori oleh wanita dan disebut-
sebut dalam pers awam pada tahun 1914. Wanita kaya menuntut kesempatan
untuk mengakses metode persalinan bebas rasa nyeri ini yang mencakup
penggunaan morfin dan skopolamin, yang hanya dapat diakses di lingkungan
yang terkontrol seperti rumah sakit. Para dokter Amerika masih skeptis tentang
keamanan metode ini dan enggan menerapkannya pada persalinan. Wanita hamil
kaya pergi ke Eropa selama awal Perang Dunia I dan mengambil risiko
transportasi darat ke Jerman untuk mendapatkan kelahiran tanpa rasa nyeri
(Teller, 1915). Faktanya, metode ini tidak menghasilkan kelahiran tanpa rasa
nyeri. Seorang dokter mencatat, “Harus dipahami dengan jelas bahwa persalinan
tidak menyakitkan, tetapi ketika efek narkosis berhasil, pasien seharusnya tidak
ingat akan persalinan ” (Minnitt, 1937, hal. 538). Wanita yang mendapat twilight
sleep meronta-ronta dan bisa melukai diri mereka sendiri, boks bayi spesifik
dengan sisi empuk dan jaket melahirkan spesifik dirancang khusus untuk
mencegah cedera. Kehadiran perawat dan dokter sangat penting (Leavitt, 1986;
Stampone, 1990). Pada bulan Agustus 1915, salah satu pendukung utama metode
ini dari Amerika, Ny. Carmody, meninggal saat melahirkan, dan kehebohan
gerakan konsumen mereda (Leavitt, 1997). Namun, twilight sleep diberikan pada
dua generasi wanita berikutnya dalam persalinan, dan teks-teks keperawatan
merujuk pada penggunaan skopolamin dalam persalinan hingga tahun 1970-an
(Ziegel & Van Blarcom, 1972). Arti penting dari gerakan twilight sleep terletak
pada kenyataan bahwa wanita mulai menegaskan otonomi mereka dalam
keputusan tentang melahirkan. Saat menuntut twilight sleep, wanita melepaskan
kontrol kelahiran sadar dan menerima kontrol medis. Pada kunjungan ke Amerika
Serikat pada tahun 1913, Dr. Bernhard Kronig dari Jerman mencatat hal berikut
pada konferensi bedah: “Menurunnya kapasitas untuk menahan rasa sakit yang
ditunjukkan oleh wanita berbudaya dan beradab tampaknya mendesak bagi kita
untuk untuk menyerukan langkah-langkah yang dapat mengurangi rasa sakit saat
melahirkan ” (Miller, 1979, hal. 21). Implikasi dalam pernyataannya adalah
bahwa wanita terlalu lemah untuk menanggung rasa sakit saat melahirkan, dan
bahwa dokter harus meringankannya. Meskipun dokter di Amerika Serikat tetap
bersikap skeptis, mereka semakin memanfaatkan permintaan twilight sleep untuk
mengendalikan kelahiran di rumah sakit. Sejarawan Lawrence Miller (1979)
mencatat bahwa gerakan tersebut menguatkan gagasan bahwa adalah "tugas
dokter kandungan untuk meringankan rasa sakit persalinan" (hal. 36). Gerakan ini
bertepatan dengan tingginya pergerakan hak pilih, ketika perempuan menuntut
kesetaraan dengan laki-laki, namun mereka menerima peran sebagai wanita yang
rapuh untuk menghindari rasa sakit ketika datang untuk melahirkan.

Alat dan Teknik Baru

Penemuan jarum suntik kaca bertingkat oleh produsen perangkat medis


Daniel Ferguson pada pertengahan abad ke-19 memungkinkan injeksi anestesi
lokal, sistemik, dan kemudian regional. Melalui penggunaan jarum suntik gelas
bertingkat, dosis menjadi lebih akurat. Alexander Wood dari Edinburgh
memperbaiki desain jarum pada tahun 1850-an dan menyuntikkan morfin ke area
nyeri untuk menghasilkan efek lokal tetapi mencapai hasil sistemik (Ostheimer,
Shea, Shorr, & Vanzundert, 1996). Perangkat yang lebih canggih muncul pada
1900-an yang dapat disterilkan dan digunakan oleh perawat menurut praktik
aseptik. Perawat menggunakan morfin hipodermik sampai kedatangan dokter, dan
perawat pada peristiwa gempa bumi San Francisco memberikan suntikan
hipodermik untuk menghilangkan rasa sakit (Fisher, 1906; Fry, 1990). Perawat
Josephine Hughes (1916) menerbitkan prosedur untuk penggunaan hipodermik
pada tahun 1916.

Pada awal abad ke-20, perawat obstetri memberikan eter dengan teknik tetes
terbuka selama persalinan. Pada akhir 1920-an mereka menggunakan Gwathmey,
atau metode rektal Dengan metode ini, perawat mengambil perawatan khusus
untuk secara akurat mengukur dosis obat dan suntikan untuk mencapai anestesi
yang sukses. Ketika serviks terdilatasi 2-3cm, atau terdapat nyeri teratur dengan 5
menit terpisah, perawat memberikan rejimen rumit yang mencakup enema serial
untuk membersihkan usus serta injeksi morfin dan magnesium sulfat
intramuskular secara berkala dalam dosis tertentu. Perawat memposisikan pasien,
mencukur dan membersihkan perineumnya dengan seksama, melapisi area
duburnya dengan jel petroleum untuk mencegah iritasi, memasukkan tabung
rektal hingga melewati bagian terendah janin, dan memasukkan campuran minyak
zaitun-eter secara perlahan dalam 30 hingga 60 menit di ruangan yang tenang dan
gelap. Pasien diinstruksikan sebelumnya untuk mengantisipasi penghilang rasa
sakit. Suntikan ulang magnesium (dengan atau tanpa morfin) memberikan aksi
anestesi berkepanjangan yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Wanita
seringter tidur menjelang kelahiran, sehingga kewaspadaan perawat diperlukan
sepanjang proses tersebut berlangsung (De Lee, 1934; Newitt, 1932; Stevens,
1932).

Metode rektal digunakan pada pasien dengan kontraindikasi pernapasan atau


kontraindikasi lain untuk menghirup eter. Penggunaan administrasi dubur
tampaknya tidak mempengaruhi kemajuan persalinan, memberikan pertolongan
lebih awal dalam persalinan, dan memungkinkan untuk dosis berulang sesering
setiap 2,5 jam. Kerugian metode rektal termasuk anestesi janin, iritasi dubur, dan
kemungkinan peningkatan penggunaan forsep untuk kelahiran (Emge & Cooley,
1929). Sehubungan dengan depresi pernapasan neonatal, pengguna metode ini
melaporkan bahwa terdapat eter pada nafas bayi baru lahir, dan sekitar seperenam
bayi yang baru lahir dalam perawatan membutuhkan resusitasi (Emge & Cooley,
1929).

Perawatan sebagai profesi semakin berpindah ke rumah sakit karena perawatan


menjadi lebih kompleks, dan semakin banyak pasien memilih perawatan di rumah
sakit, semakin banyak pula lulusan perawat bekerja di lingkungan tersebut.
Sementara itu, wanita hamil yang dirawat di rumah sakit semakin jarang
berkonsultasi tentang perawatan mereka sendiri; pers intervensi profesional dan
obat-obatan baru merampas otonomi mereka dan, dalam banyak hal, juga
merampas kapasitas perawatan perawat. Mekanisme untuk mengelola wanita
dalam persalinan dimmulai dari obat-obatan hingga pengekangan untuk
kepentingan asepsis dan mengurangi rasa nyeri. Dengan munculnya tugas dan
rutinitas teknologi baru berbasis rumah sakit yang memonopoli waktu mereka,
para perawat sering kehilangan belas kasih dan kemanusiaan, dan para wanita
memperhatikan hal tersebut. Sejarawan Judith Leavitt menjelaskan bahwa "para
perawat dipekerjakan dan di tempat kerja, demi definisi pekerjaan mereka,
sementara para wanita melahirkan bekerja untuk melahirkan bayi mereka di
tempat yang bukan milik mereka" (Leavitt, 1998). Pada tahun 1930, kurang dari
25% kelahiran terjadi di rumah sakit, namun pada tahun 1950 lebih dari 90%
kelahiran terjadi di rumah sakit (Centers for Disease Control and Prevention,
1999; Wertz & Wertz, 1989).

Teknik Pemberian Anestesi dan Analgesia Lokal dan Regional

Para ahli bedah menggunakan kokain untuk analgesia topikal pada akhir
tahun 1980-an (Meehan, 1987; Robinson & Toledo 2012). Anestesi blok saraf,
yang mengarahkan pada penemuan dan adopsi teknik epidural dan spinal, terjadi
ketika anestesi disuntikkan di dekat akar saraf, dan kombinasi dengan epinefrin /
adrenalin menyebabkan efek yang diperpanjang (Morrison dkk, 1996). Procaine
(Novocaine) pertama kali diproduksi pada tahun 1905, dan penggunaannya
dengan cepat menggantikan kokain, yang menyebabkan efek toksik (Meehan,
1987; Morrison dkk, 1996).

Penggunaan anestesi/analgesia regional berada pada tahap yang sangat awal


ketika dokter kandungan Jerman Walter Stoeckel memperpanjang pekerjaan
sebelumnya pada pemberian anestesi epidural untuk pasien obstetri. Stoeckel
berspekulasi pada tahun 1909 ,

Dimungkinkan untuk mempengaruhi persarafan visera panggul dengan


aksi langsung cairan pada pleksus saraf di dalam kanal sakral...Dengan
cara ini, terdapat mungkin untuk mencapai persalinan tanpa rasa nyeri
yang ideal dengan interupsi pada saraf pembawa sensasi nyeri secara
sementara, sehingga menghindari kebutuhan untuk anestesi umum... dan
saraf spinal dan dura tetap tidak terganggu. (Doughty, 1990, hal. 468-469)

Di sini, ia merujuk pada pemberian procaine-adrenalin secara epidural kaudal .


Sayangnya, teknik sakral (atau ekor) dapat sulit dilakukan dan pada akhirnya tidak
dapat diprediksi, tidak seperti anestesi spinal, tetapi anestesi spinal memiliki efek
yang lebih buruk. Sakit kepala adalah salah satu efek yang merugikan, dan
peneliti menyarankan penggunaan jarum berukuran lebih kecil untuk mencegah
hilangnya cairan tulang belakang (Morrison dkk, 1996). Teknik anestesi yang
sempurna untuk persalinan belum teridentifikasi.

Ahli kebidanan dari Rumania , Eugen Aburel, mengidentifikasi persarafan aferen


sensorik uterus ganda pada tahun 1931 dengan menelusuri rasa sakit yang
ditransmisikan melalui serat simpatis yang dominan (T11 ke L2) selama tahap
pertama persalinan dan rasa sakit yang ditransmisikan melalui saraf pudendal (S2
ke S4) selama persalinan tahap kedua. Ia percaya bahwa rasa sakit visceral pada
tahap pertama persalinan disebabkan oleh distensi korpus atau serviks uterus
bukan akibat kontraksi itu sendiri. Nyeri visceral tahap kedua persalinan
disebabkan oleh distensi perineum (Curelaru & Sandu, 1982). Penemuannya
mengarah pada teknik kaudal kontinyu, yang dilakukan dengan memasukkan
kateter sutra melalui jarum ke dalam ruang caudal, kemudian diamankan, dan
dapat digunakan untuk memberi dosis ulangan dengan procaine-adrenalin. Aburel
mempresentasikan temuannya di Paris, tetapi karyanya tidak diakui secara luas di
Amerika Serikat. Hingson dan Edwards secara independen menemukan metode
ini pada tahun 1942, dan mereka secara luas diakui sebagai penemu anestesi
kaudal kontinyu; saat menjelang akhir hidup Aburel Hingson dan Edwards
mengetahui pekerjaan Aburel dan mengakuinya (Curelaru & Sandu, 1982).
Teknik ini akan mengarah pada analgesia/anestesi epidural yang kita kenal saat
ini.

Pada tahun 1930-an, barbiturat, anestesi lokal, blok saraf, dan berbagai kombinasi
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri saat persalinan (Cope, 1993; Cull &
Hingson, 1957). Saat ini, tugas-tugas kompleks perawat termasuk pemberian eter
melalui rektum atau tetes terbuka dan pemberian obat lain. Meskipun dokter yang
akan melakukan blok saraf, perawat harus mengamati dan memantau semua
pasien yang menerima analgesia dan anestesi. Pada tahun 1940-an, beberapa
kombinasi dari semua metode ini dapat digunakan di klinik atau rumah sakit
tertentu. Penggunaan anestesi kadang mengakibatkan perlunya pemberian
oksitosin untuk memulai kembali atau mempercepat persalinan, dan
menyebabkan lebih banyak episiotomi dan penggunaan forseps yang lebih sering
(De Lee, 1934; Stander, 1941). Pada tahun 1957, dalam lebih dari 4 juta kelahiran
di Amerika Serikat, sekitar 75% wanita menerima beberapa bentuk anestesi (Cull
& Hingson, 1957). Peran yang dimainkan perawat dalam manajemen wanita
dalam persalinan termasuk tugas teknis dan pengasuhan, dan ketegangan antara
keduanya mengakibatkan ketidakpuasan pasien dan kekhawatiran terhadap
perawat (Rinker , 2000).

Tantangan di Abad ke-21

Selama 150 tahun terakhir, penemuan medis yang monumental telah


terjadi, termasuk yang terkait dengan anestesi. Peran perawat telah berkembang
dan berubah, dan perawat telah menguasai banyak kemajuan teknologi. Namun,
protokol yang ketat dan teknologi baru yang kompleks sering menyulitkan
perawat untuk fokus terutama pada pasien mereka. Saat ini, perawat mengelola
teknologi seperti pembuatan bagan elektronik, pemantauan janin secara
elektronik, dan menangani permintaan unit dan rumah sakit sementara
berinteraksi dengan wanita hamil dalam perawatan mereka. Di tengah-tengah
teknologi seperti itu, perawat obstetri berjuang untuk memberikan pelauanan yang
penuh kasih sayang selama persalinan dan perawatan kelahiran.

Ketika wanita menerima dokter ke ruang bersalin, mereka menyerahkan kendali


persalinan kepada mereka yang mempraktikkan model perawatan medis yang
maju; dalam model ini, perempuan tidak diberi kebebasan untuk memilih.
Akibatnya, selama bertahun-tahun wanita menjalani prosedur yang sebenarnya
tidak perlu dan intervensi selama persalinan. Saat ini, wanita hamil telah
mendapatkan kembali otonomi dalam perawatan bersalin, tetapi mereka mungkin
masih menemukan diri mereka dalam situasi di mana persetujuan mereka untuk
intervensi terkait dengan keselamatan janin mereka. Pilihan yang sering menyiksa
ini melibatkan teknologi dan praktik terbaru, termasuk penggunaan anestesi dalam
persalinan dan kelahiran sesar, yang dapat menimbulkan risiko potensial bagi
perempuan dan bayi mereka.

Perawat bertanggung jawab untuk mengedukasi dan mengadvokasi wanita


melahirkan karena mereka menghadapi pilihan yang kompleks. Ini membutuhkan
kerja keras dalam profesi secara umum dan dalam pengaturan praktik individu.
Perawat harus percaya diri untuk menghadapi intervensi yang tidak aman atau
yang tidak berada dalam kepentingan terbaik wanita dalam perawatan mereka, dan
ini hanya dapat terjadi dalam budaya yang mempromosikan perawatan pasien
yang aman dan berkualitas.

Kesimpulan

Ibu-ibu pada awal abad ke-20 tidak dapat meramalkan luaran dari keputusan
mereka tentang kelahiran. Saat ini, perawatan bersalin ditandai oleh insiden yang
lebih besar dari intervensi medis, termasuk induksi persalinan elektif dan
kelahiran sesar tanpa indikasi, meskipun ini tidak didukung oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (2013a, 2013b). Ketika wanita
menentukan model perawatan medis, mereka rentan dan seringkali tidak
mendapat informasi dengan baik. Perawat ditantang untuk memfasilitasi pilihan
bersalin bagi wanita sambil memberikan keamanan, kasih sayang, dan perawatan
bersalin yang berbasis teknologi canggih.

Anda mungkin juga menyukai