Anda di halaman 1dari 6

KASUS PEMERKOSAAN DI NABIRE PAPUA YANG DISELESAIKAN DENGAN

HUKUM ADAT

Analisis ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu: Luthfiana Zahriani, M.H.

Disusun oleh :

Apriliani (33010180097)

Lailatul Munifah (33010180102)

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYA’RIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2019
KASUS PEMERKOSAAN DI NABIRE PAPUA YANG DISELESAIKAN DENGAN

HUKUM ADAT

Kasus tersebut menjelaskan bahwasannnya satu dari sepuluh pelaku pemerkosaan gadis

berusia 13 tahun di Distrik Uwapa, Nabire, Papua ditangkap warga dijalan pada selasa (5/2).

Saat ditangkap, pelaku sedang menumpang kendaraan umum, dalam perjalanannya melewati

kampong gerbang Sadu Wadio menuju Nabire. Yosep Mote pun digiring warga kerumah

kepala kampung. Dia dimintai pertanggungjwaban atas perbuatannya bersama dengan

Sembilan rekannya yang lain. Dihadapan kepala kampung dan warga, Yosep mengakui

perbuatannya. Namun Yosep mengaku tidak mengetahui keberadaan Sembilan rekannya.

Keluarga korban memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan hukum adat.

Keluarga korban meminta pelaku membayar denda sebesar Rp.150 juta. Sebagai jaminan,

warga menahan delapan wanita dari pihak keluarga pelaku. Menanggapi keputusan tersebut,

polsek Nabire Barat memutuskan untuk menghormati cara penyelesaiannya melalui adat yang

disepakati dari pihak yang terliba.

Sejak berita ini diturunkan (8/02) gadis berusia 18 tahun yang menjadi korban

pemerkosaan sepuluh lelaki itu menghembuskan nafas terakhir di RSUD Nabire Papua.

Walaupun persoalan ini telah disepakati untuk menyelesaikan secara hukum adat.

Peraturan Daerah Dan Hukum Adat Provinsi Papua

Papua adalah provinsi terluas di Indonesia terletak dibagian tengah pulau Papua atau

bagian paling timur West New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah

bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi dengan bagian timur,

namun tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat.

Papua memiliki luas 808.105 kilometerpersegi dan merupakan pulau terbesar kedua di dunia

dan terbesarpertama di Indonesia.


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU Otsu Papua). Bab 1 pasal 1 dinyatakan

bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup

dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa

solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.

Jadi hukum tertulis provinsi Papua meliputi:

1. Hak Ulayat

Yaitu hak pertama dari sembilan hak dari hukum adat tanah. Hak ini merupakan

suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat religius atau keagamaan. Yang

meliputi wilayah budaya masyarakat hukum adat Papua, distribusi bahasa, sistem

kepemimpinan, sistem kepenguasaan tanah, transformasi kebudayaan di Papua Barat.

Namun pengakuan terhadap Hak Ulayat disertai dengan catatan-catatan yaitu:

a. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan penguasa adat.

b. Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana dalam mengelola hak ulayat.

c. Pengakuan terhdap peradilan adat (pasal 51) undang-undang otonomi khusus Papua

meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian yang tidak boleh

menjatuhkan hukuman pidana baik penjara maupun kurungan. Pengakuan peradilan

adat diharapkan dapat mengurangi korban peradilan Negara dalam menyelesaikan

sengketa perdata atau perkara pidana yang melibatkan masyarakat hukum adat.

d. Dalam pasal 64 ayat 1 menegaskan bahwa undag-undang juga mewajibkan

pemerintah provinsi Papua untuk menghormati hak masyarakat hukum adat dalam

melakukan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Kebudayaan

Undang-undang Otonomi Khusus Papua memastikan keberadaan masyarakat hukum

adat, dan hak-hak atas sumber daya alam tidak jauh dari dasar hukum yang mendasari.
Undang-undang ini mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas

sumber daya alam.

Selanjutnya mengenai hukum tidak tertulis provinsi Papua meliputi:

1. Kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat atau adat istiadat.

2. Kebudayaan tradisional rakyat.

3. Ugeran atau kaidah dari kebudayaan Indonesia asli.

4. Perasaann keadilan yang hidup dalam masyarakat.

5. Pepatah adat

6. Yurisprudensi adat

7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu yang memuat ketentuan hukum hidup.

8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh raja-raja.

9. Doktrin tentang hukum adat

10. Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.

Menurut kami Paradigma yang paling mendekati untuk memahamkan putusan yang

diambil dalam penyelesaian kasus ini adalah Paradigma Konstruktivisme dengan

Ontologinya yaitu Relativisme.

Alasannya adalah melihat dari ciri Ontologinya. endekatan Ontologis dapat membantu

kita untuk memahami hukum. Rahasia hukum perlu dibongkar sehingga substansinya dapat

diketahui secara mendalam dan radikal. Ciri ontologinya yaitu majemuk dan beragam atau

plural. Disini jika dilihat secara keseluruhan, masyarakat Indonesia sangat banyak terdiri dari

macam-macam suku dan setiap suku itu juga terdiri dari banyak masyarakat. Itulah yang

disebut plural. Mengapa paradigma Konstruktivisme cocok diterapkan dalam kasus ini?

Berikut penjelasan mengenai hal itu.


Agar mudah diterima oleh masyarakat, maka kita bisa melihat melalui cirinya yaitu

plural. Dijelaskan bahwa dalam Pluralisme kelompok, perbedaan tampak samar-samar.

Namun jika sudah dihadapkan pada suatu kasus, akan timbul konflik bagaimana cara

penyelesaiannya. Dari kasus diatas, pihak korban meminta untuk diselesaikan secara adat,

namun pihak pelaku meminta agar diselesaikan secara hukum positif. Disini terjadi suatu

perbedaan mengenai konsep keadilan. Perlu diakui bahwa hukum adat adalah hukum yang

hidup, namun belum tentu adil menurut individu yang berkepentingan. Masalah keadilan

tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat adat masing-masing, karena mungkin

patokannya adalah keadilan yang dikehendaki merupakan keserasian antara kepentingan

masyarakat dengan kepentingan individu. Disinilah bagaimana paradigma bertindak

menentukan penyelesaian yang ‘mendekati’ adil. Menurut Aristoteles keadilan adalah dimana

setiap orang memperoleh sebagian besar apa yang menjadi haknya. Ini terkait dengan

penjelasan dari ciri selanjutnya yaitu berlandaskan pada pengalaman sosial-individual, lokal

dan spesifik.

Pengalaman sosial-individual disini terlihat pada bagaimana masyarakat adat telah

menganut adat yang mereka percayai sebagai hukum yang mengatur bagaimana mereka harus

bertindak. Untuk itu, hukum yang berlaku bisa diartikan sebagai pengalaman sosial-

individual karena hukum tersebut sudah mereka percayai turun temurun dan hidup atau

berada dalam lingkungan adat tersebut. Sedangkan lokal dan spesifik berarti bahwa hanya

masyarakat adat tertentu (disini masyarakat distrik Uwapa, Nabire Papua) yang menganut

system adat yang demikian dan spesifik hanya berlaku untuk pihak-pihak yang terlibat

perkara saja karena dalam penyelesaian perkaranya diserahkan sepenuhnya kepada masing-

masing pihak.
Ini berkesinambungan dengan ciri selanjutnya yaitu Merupakan ‘konstruksi’

mental/intelektualitas manusia, bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang. Yaitu

segala persoalan mengenai penyelesaian perkara sangat bergantung pada masing-masing

pihak. Dalam kasus pemerkosaan diatas, terjadi suatu kesepakatan antara pihak keluarga

korban dan pelaku pemerkosaan untuk diselesaikan secara hukum adat yang berlaku disana,

sehingga polisi hanya bisa menjadi penengah dan akhirnya harus menyetujui cara

penyelesaian kasus ini dengan pelaku yang membayar denda sebesar 150 juta rupiah dan

delapan wanita dari keluarganya ditahan sebagai jaminan.

Kemudian terdapat ciri yaitu bersifat sophiscated dan humanis. Sophiscated disini

terlihat dengan hukum adat yang tampaknya sudah menjadi hukum yang hidup sehingga

masyarakatnya berpengalaman jika terjadi kasus seperti ini,maka akan diselesaikan dengan

hukum adat. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa ciri yang humanis dalam hukum yang

dipakai untuk penyelesaiannya sangatlah menunjukkan sisi kemanusiaan. Perlakuan yang

tidak manusiawi karena korban diperkosa oleh 10 orang pelaku, hingga meninggal dunia.

Selain melakukan tindakan asusila, para pelaku juga menghilangkan nyawa orang lain.

Dengan demikian, hukuman secara adat dengan membayar denda sebanyak 150 juta rupiah

tampaknya lebih pantas diterapkan sebagai hukuman yang ‘mendekati’ setimpal atas

perlakuan yang telah diterima si korban, jika dibandingkan dengan penyelesaian

menggunakan hukum positif tertulis yang ada di Indonesia. Dari kesimpulan yang kami dapat

bahwa hukum yang digunakan sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan atau sangat berperi

kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai