Anda di halaman 1dari 12

Makalah

HISTORY of MICROFINANCE

Di
S
U
S
U
N

Oleh:

KELOMPOK 10
MUHAMMAD RIZA
NIM. 1115020029

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH
2013
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehigga penulis telah dapat menyelesaikan
Makalah ini dengan judul “History of Microfinance” dan tak lupa pula selawat
beriring salam penulis sanjungkan kepangkuan alam Nabi Besar Muhammad SAW.
yang telah membawa ummatnya dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan.
Dalam proses penyelesaian Makalah ini penulis banyak menerima bantuan
dan bimbingan dari banyak pihak yang di sini tidak dapat disebutkan satu persatu.
Untuk itu penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu hingga terselesainya Makalah ini.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh kerena itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan Makalah ini di masa yang akan datang.
Akhirnya dengan penuh pengharapan kiranya Makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun bagi pihak lain yang membutuhkan
Amin yarabbal‘alamin

Banda Aceh, Maret 2013

Muhammad Riza
Nim. 1115020029
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1.....................................................................................................................Latar
Belakang.....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
2.1 Pengertian Lembaga Keuangan Mikro.......................................................
2.2 Batasan dan Kelembagaan Kredit Mikro....................................................
2.3 Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro...................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Isu global warming, revolusi kepemimpinan di wilayah timur tengah dan
afrika, perdamaian Israel-Palestina, dan krisis yang terjadi di beberapa negara eropa
dan Amerika Serikat membawa efek yang cukup signifikan dalam aktifitas
perekonomian di dunia. Para pelaku pasar cenderung bersikap pasif dan menunggu,
menghindari great loss (kerugian besar) yang mungkin akan terjadi akibat dari force
major (Hal tak terduga) ataupun salah perhitungan dan antisipasi.
Hal tersebut di atas berimbas pula pada pola investasi dan pemberian kredit,
baik mikro ataupun makro, pengusaha akan mencari lokasi atau negara yang lebih
mampu memberikan pelayanan, jaminan investasi, dan potensi tinggi akan sumber
daya alam dan manusia. Hal ini tidak hanya terjadi pada pelaku bisnis, pula dengan
bank pemberi kredit yang memperketat persyaratan dalam memberikan pinjaman
guna mengamankan repayment(pengembalian modal), apalagi adanya asumsi bahwa
orang miskin tidak memerlukan pinjaman melainkan bantuan langsung dalam
pengadaan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokoknya.
Seiring dengan salah satu tujuan yang dicanangkan oleh PBB (Persatuan
Bangsa-Bangsa) melalui MDGs (Millenium Development Goals) yaitu upaya
pengentasan kemiskinan yang akan dicapai pada tahun 2015 [1], diharapkan populasi
orang miskin yang hidup hanya dengan 1 USD perhari dapat berkurang hingga
setengahnya
Beberapa program Millenium Development Goals UNDP adalah :
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
4. Mengurangi angka kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya
7. Memastikan kelestarian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Salah satu yang melatar belakangi lahirnya MDG’s tersebut adalah Laporan
Human Development 1995, yang dikeluarkan oleh UNDP, yaitu :
- Sebesar 1,3 miliar penduduk di negara berkembang hidup dalam kemiskinan,
dan hampir 800 juta di antaranya tidak menderita kurang pangan.
- Perbedaan tingkat laju pertumbuhan di suatu negara, antar-negara, dan antara
laki-laki dan perempuan.
Asia Timur dan Pasifik merupakan kawasan yang mengalami penurunan baik
dalam jumlah penduduk miskin absolut maupun persebaran penduduknya relative.
Sementara itu, di tempat lain, yakni kawasan Selatan justru mengalami peningkatan
baik kemiskinan absolut maupun kemiskinan relatif.
Di sisi lain, banyaknya kritikan yang dilayangkan pada Bank Dunia dan IMF
atas kebijakan-kebijakan mereka dalam memberikan pinjaman atau kredit,
restrukturisasi ekonomi dunia telah mengingkari kesempatan negara-negara
berkembang untuk membangun ekonomi nasional yang sehat dan mengurangi
kemiskinan global dan ketimpangan. Kritik pada Bank Dunia sekarang ini
difokuskan pada level kebijakan ekonomi makro ketika bergandengan dengan
program-program pemberian ganti rugi untuk masyarakat miskin kadang-kadang
memperburuk kemiskinan dan ketimpanganpaling tidak untuk jangka pendek-suatu
negara dan antarnegara.
Masih menurut analisis Bank Dunia sendiri memperlihatkan, bahwa
kebijakan mereka ternyata membuat pemindahan penduduk secara paksa,
menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan jutaan manusia di negara-negara
peminjam dan kegagalannya memasukkan perspektif gender ke dalam cara-cara
kerjanya, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa porsi terbesar dari orang-orang
miskin adalah kaum perempuan.
Oleh karena itu kemudian Bank dunia mulai melakukan beberapa perubahan
kebijakan dengan lebih memiliki investasi dalam "pengembangan modal manusia"
yang dapat dilihat dari porsi pinjaman Bank Dunia, dan pada tahun 1995 hanya 24
persen dari komitmen pinjaman baru dapat digolongkan sebagai ditujukan untuk
kaum miskin. Dari berbagai informasi dan kondisi diatas, maka penulis
memfokuskan untuk memahami perkembangan kredit mikro di dunia dan Indonesia
berdasarkan dari berbagai perspektif dan lembaga dunia yang terkait.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Keuangan Mikro


Keuangan mikro di Indonesia telah ada sejak akhir abad ke-19 dengan
didirikannya Bank Kredit Rakyat dan Lumbung Desa. Kedua lembaga ini dibentuk
untuk membantu melepaskan para petani, pegawai, dan buruh dari lintah darat. Pada
1905 Bank Kredit Rakyat ditingkatkan menjadi Bank Desa yang cakupan
pelayanannya diperluas ke arah usaha di luar bidang pertanian (Bank Indonesia, 2).
Pada 1929, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Staatblad 1929 No. 137
tentang pendirian Badan Kredit Desa (BKD) yang ditujukan untuk menangani kredit
pedesaan di Jawa dan Bali. Pada 1930 dikeluarkan peraturan mengenai Algemene
Volkskrediet Bank (AVB) yang merupakan cikal bakal Bank Rakyat Indonesia
(BRI), dan Afdeelingsbank (AB) yang kemudian menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) (Robinson, 93- 94, Chotim dan Handayani, 15-20). Setelah kemerdekaan,
Pemerintah Indonesia mendorong pendirian bank pasar guna memberikan pelayanan
jasa keuangan kepada pedagang pasar. Lembaga ini terdaftar sebagai perseroan
terbatas (PT), commanditaire vennootschap (CV), koperasi, Maskapai Andil
Indonesia (MAI), yayasan, atau perkumpulan. Pada 1970 pemerintah mencanangkan
program kredit bimbingan massal/intensifikasi massal (Bimas/Inmas) yang
melibatkan BRI melalui BRI Unit Desa sebagai penyalur kredit mini dan midi.
Namun, karena terjadi kemacetan kredit bimas yang sangat besar, sejak 1984
penyaluran kredit ini (termasuk kredit mini dan midi) dihentikan. Kemudian, di BRI
unit desa diciptakan skim kredit dan tabungan baru yang dinamakan kredit umum
pedesaan (Kupedes) dan simpanan pedesaan (Simpedes) yang bersifat komersial.
Kredit Bimas kemudian diganti dengan kredit usaha tani (KUT) yang
kemudian berubah menjadi kredit ketahanan pangan (KKP). Dengan dikeluarkannya
Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan,
pendirian bank baru di luar yang diatur dalam UU tersebut dilarang, meskipun yang
telah ada tetap diperbolehkan berjalan. Pada masa itu telah ada beberapa lembaga
keuangan mikro yang dibentuk oleh pemerintah daerah, seperti Lembaga Dana dan
Kredit Pedesaan (LDKP) di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa
Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lumbung Pitih Nagari
(LPN) di Sumatera Barat, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali (Bank
Indonesia, 2). Pada Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan peraturan yang
memberikan kemudahan pendirian BPR. Langkah ini diikuti dengan dikeluarkannya
UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang menetapkan hanya ada dua jenis
bank di Indonesia, yaitu Bank Umum dan BPR. Dengan berlakunya UU tersebut,
dengan sendirinya bank atau lembaga keuangan mikro yang tidak memenuhi syarat
sebagai BPR dianggap sebagai bank gelap (illegal banking) atau biasa disebut
sebagai lembaga nonformal. Akibatnya, sekitar 5.000 unit BKD yang ada saat ini
statusnya menjadi tidak jelas, ada yang menganggapnya sebagai lembaga formal, dan
ada pula yang menyebutnya sebagai lembaga semiformal.
Di samping itu, dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah
melaksanakan berbagai program kredit mikro. Pelaksanaan program ini juga diikuti
dengan pembentukan berbagai lembaga keuangan mikro seperti UPK (PPK), BKM
(P2KP), LEP-M3 (subsidi BBM) dan sebagainya. Pemerintah provinsi dan
kabupaten juga mulai mengadopsi upaya serupa dalam program pembangunannya.
Sementara itu, beberapa LSM dan lembaga donor membentuk LKM dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang telah berhasil dikembangkan di berbagai
negara, 10 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2004 seperti model “Grameen
Bank” atau “ASA” dari Bangladesh. Replikasi pendekatan-pendekatan tersebut di
Indonesia cukup berhasil, seperti yang dilakukan oleh Bina Swadaya, Yayasan
Dharma Bhakti Parasahabat, Yayasan Mitra Usaha, Bina Masyarakat Mandiri dan
sebagainya.
Meskipun demikian, dari segi legalnya, lembaga-lembaga ini pada umumnya
belum memiliki izin sebagai lembaga keuangan formal. Dalam upaya memperkuat
posisi LKM, pada 2000 dibentuk Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro
(GEMA PKM) Indonesia, yang merupakan forum komunikasi stakeholders yang
terdiri dari lembaga keuangan, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga penelitian, dunia bisnis, media massa, lembaga donor dan kelompok
swadaya masyarakat (Ismawan, 1). Forum ini berusaha mendorong dibuatnya
peraturan perundangan yang mengatur tentang lembaga keuangan mikro (LKM),
tetapi sampai sekarang belum berhasil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
LKM yang secara legal diakui di Indonesia saat ini hanya BPR dan koperasi, di
samping unit-unit keuangan mikro dari bank-bank umum seperti BRI unit desa dan
unit layanan mikro (ULM) BNI. Lembaga keuangan formal lain yang juga
memberikan layanan keuangan mikro adalah kantor pegadaian, yang keberadaannya
diatur dengan UU tersendiri. Dengan demikian, lembaga keuangan mikro yang ada
di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan besar, yaitu: 1) LKM
formal, baik bank maupun nonbank, 2) LKM nonformal, baik yang berbadan hukum
atau tidak, 3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah, dan 4) LKM
informal, seperti arisan, rentenir, dan sebagainya

2.2 Era Kolonial


Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan
Bank van Leening yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem
gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-
1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi
keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari
Pemerintah Daerah setempat ("liecentie stelsel"). Namun metode tersebut berdampak
buruk pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang
dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu
metode "liecentie stelsel" diganti menjadi "pacth stelsel" yaitu pendirian pegadaian
diberikan kepada umum yang mampu membayar pajak yang tinggi kepada
pemerintah daerah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, pacth stelsel tetap dipertahankan dan
menimbulkan dampak yang sama. Pemegang hak ternyata banyak melakukan
penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia
Belanda menerapkan apa yang disebut dengan "cultuur stelsel" di mana dalam kajian
tentang pegadaian saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian
ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat
yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang
mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1
April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat.
Selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang gedung kantor pusat Jawatan Pegadaian yang
terletak di jalan Kramat Raya 162, Jakarta dijadikan tempat tawanan perang dan
kantor pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke jalan Kramat Raya 132. Tidak
banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang baik dari sisi
kebijakan maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam
bahasa Jepang disebut ‘Sitji Eigeikyuku’, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang
oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang
bernama M. Saubari.

2.3 Era Kemerdekaan


Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian
sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian memanas.
Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke
Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke
Jakarta dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa
ini, Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara
(PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7/1969
menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), dan selanjutnya berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.10/1990 (yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah
No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (Perum). Kemudian pada
tahun 2011, perubahan status kembali terjadi yakni dari Perum menjadi Perseroan
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2011 yang
ditandatangani pada 13 Desember 2011. Namun demikian, perubahan tersebut
efektif setelah anggaran dasar diserahkan ke pejabat berwenang yaitu pada 1 April
2012

2.4 Kredit Mikro Dalam Perekonomian Dunia


Di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju, pelayanan
keuangan mikro untuk mengembangkan UMKMnya dianggap sebagai salah satu
strategi kunci dalam penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
UMKM di region Asia Pacific berjumlah lebih dari 90 % dari total bisnis yang ada
dan mempekerjakan antara 60 – 80 % dari total pekerja [2]. Negara-negara lain juga
melakukan program-program khusus untuk mengembangkan UKMnya; Korea
memberikan bantuan keuangan dan non-keuanganMalaysia memberikan akses pasar
dan nasihat bisnis dan Kanada memberikan bantuan untuk pengetahuan ahli dan
tehnik, serta nasihat bisnis . Di negara berkembang, pekerja mandiri terdiri lebih dari
50 persen dari angkatan kerja. Akses ke sejumlah kecil kredit pada tingkat bunga
yang wajar memungkinkan orang miskin untuk bergerak dari kegiatan awal, yang
menghasilkan pendapatan untuk usaha mikro kecil. Dalam kebanyakan kasus,
program kredit mikro menawarkan kombinasi layanan dan sumber daya untuk klien
mereka termasuk fasilitas tabungan, pelatihan, jaringan, dan dukungan setara.
Dengan cara ini, kredit mikro memungkinkan keluarga untuk bekerja untuk
mengakhiri kemiskinan mereka sendiri - dengan martabat. Program kredit mikro di
seluruh dunia, menggunakan berbagai model, menunjukkan bahwa orang-orang
miskin mencapai rekor pembayaran yang kuat - seringkali lebih tinggi dibandingkan
peminjam konvensional. Tingkat pengembalian yang tinggi karena, melalui sistem
dukungan setara dan tekanan yang digunakan dalam model kredit mikro banyak,
peminjam bertanggung jawab untuk keberhasilan masing-masing dan memastikan
bahwa setiap anggota kelompok mereka mampu membayar kembali pinjaman itu.
Lebih dari 128 juta keluarga termiskin di dunia menerima pinjaman mikro di 2009-
tinggi sepanjang waktu, menurut sebuah laporan yang dirilis hari ini oleh
Microcredit Summit Campaign. Dengan asumsi rata-rata lima orang per keluarga, ini
berarti bahwa pinjaman hingga 128 juta nasabah miskin yang terkena dampak
beberapa anggota keluarga 641.000.000, yang lebih besar daripada populasi
gabungan dari Uni Eropa dan Rusia.
BAB III

PENUTUP

Keuangan mikro akan terus tumbuh dan dapat bertahan serta melanjutkan
peran aktif dalam memberikan bantuan pada masyarakat miskin, membuat mereka
melanjutkan cita-cita keluar dari kemiskinannya melalui usahausaha sendiri. PBB
melalui piranti-pirantinya pasti berusaha keras melanjutkan upaya demi tercapainya
tujuan pengentasan kemiskinan, di tengah kritik akan kinerja dan kebijakan mereka.
Lembaga Keuangan Mikro nasional dan internasional akan senantiasa masih dapat
berbuat banyak di negaranya masing-masing maupun menjalin kerjasama antara
mereka guna mewujudkan masyarkat dunia yang bebas dari kemiskinan. Walaupun
di balik itu semua masih terdapat rasa pesimis, karena keyakinan kebertumbuhan itu
juga terdapat kesan ataupun anggapan bahwa dunia akan masih diliputi dengan
orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan guna dapat keluar dari jerat
kemiskinan atau setidaknya mencukupi kebutuhan diri dan keluarga mereka.
Keuangan mikro Indonesia akan terus tumbuh dan memberikan kontribusi
pada pengurangan dan pengentasan kemiskinan, sejalan dengan program pemerintah
Indonesia tahun 2010 – 2014 tentang Percepatan dan Peningkatan Ekonomi
Nasional. Walaupun telah memiliki sejarah yang panjang dalam keuangan mikro –
sejak akhir abad 19, dan insitusi Indonesia, BRI Unit, diakui oleh dunia sebagai the
best biggest and the best micro banking system in the world, pengembangan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tetap dihadapi pada masalah internal (aspek
operasional dan pemberdayaan usaha) dan eksternal (aspek kelembagaan). LKM
mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UMKM walaupun tidak
sebesar lembaga keuangan formal, sehingga LKM menjadi alternatif pembiayaan
yang sangat potensial mengingat sebagian besar pelaku UMKM belum
memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Indonesia : Microfinance Background and Options Study. May 2001.

Asian Development Bank. “Finance for The Poor: Microfinance Development Strategy”.
ADB 2000. www.adb.org/Documents/Policies/ Microfinance/financepolicy. pdf

Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta: Direktorat Pengawasan BPR Bank
Indonesia, tanpa tahun.

Anda mungkin juga menyukai