Anda di halaman 1dari 15

CRITICAL JOURNAL REVIEW

“Puang: a Medium of Blessing in Kinship System of Pakpak Tribe”

DISUSUN OLEH :

NAMA: Luni Karlina Manik

NIM: 4182121021

KELAS: BILINGUAL PHYSICS EDUCATION 2018

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya sehingga saya masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan Critical
Journal Review ini dengan judul “Puang: a Medium of Blessing in Kinship System of Pakpak
Tribe”
Adapun tujuan dari penulisan Critical Journal Review ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Agama Katolik, semoga Critical Journal Review ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca. Dalam penulisan Critical Journal Review ini,
saya tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan
2.      Kepada dosen pengampu, Bapak Yakobus Ndona, SS., M.Hum.

Saya menyadari bahwa Critical Journal Review ini masih jauh dari kata sempurna
karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya dengan segala kerendahan hati
meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan
penyempurnaan ke depannya.
Akhir kata saya mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam
Critical Journal Review yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya
bagi para pembaca.

Medan, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

IDENTITAS JURNAL...............................................................................................................4

BAB I: RINGKASAN JURNAL...........................................................................................5

BAB II: KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN..................................................................8

BAB III: IMPLEMENTASI...................................................................................................10

BAB IV : KESIMPULAN......................................................................................................11
IDENTITAS JURNAL

Judul Puang: a Medium of Blessing in Kinship System of Pakpak Tribe

Jenis Jurnal Pancasila Education and Citizenship Study Program

Volume dan Halaman Vol. 1, No. 1 Hal. 15-22

Tahun 2019

Penulis Yakobus Ndona, Johannes Jefria Gultom

Download https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.24-10-2019.2290567
BAB I

RINGKASAN JURNAL

Pancasila adalah prinsip identitas nasional, seperti disampaikan oleh Sukarno, berakar
pada budaya suku-suku Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu pola
'keberadaan' orang Indonesia harus mengacu pada kearifan budaya nasional yang membantu
untuk membangun identitas Indonesia. Puang, salah satu unsur dalam sistem kekerabatan dari
Sulang Silima di masyarakat Pakpak di Sumatera Utara, Indonesia, sebagai salah satu mutiara
lokal kebijaksanaan yang selama berabad-abad telah mendukung keberadaan, kesatuan, dan
peradaban masyarakat Pakpak .Puang menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat
Pakpak.Orang Pakpak dimasukkan puang sebagai dihormati, mendengarkan, dan pihak
dipatuhi. Selain itu, makalah ini adalah studi tentang sistem kekerabatan dari Silima Sulang
dari Juli hingga September 2019. Penelitian ini didasarkan pada perspektif filosofis Karl
Jaspers untuk memeriksa pola eksistensi manusia Pakpak dan dimensi aksiologis dari Sulang
Silima. Diskusi tentang puang dalam makalah ini berfokus pada tiga masalah dasar, yaitu (1)
sifat puang di apresiasi masyarakat Pakpak; (2) Keberadaan dan peran puang dalam
perspektif filosofis keberadaan menurut Karl Jaspers; dan (3) nilai-nilai dalam keberadaan
dan peran puang di masyarakat.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Yang didasarkan pada
kebutuhan untuk menafsirkan makna [2]. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,
studi dokumen, dan observasi partisipan. Data yang terkumpul dianalisis dengan pola
hermeneutika filosofis, yaitu verstehen, terjemahan, dan tafsir. Verstehen dimaksudkan untuk
memahami dinamika kehidupan, percakapan, dokumen; terjemahan yang digunakan untuk
mengekspresikan bahasa-bahasa kuno, mantra ritual, dan puisi. interpretasi difokuskan pada
ekspresi makna, baik makna obyektif yang ditempatkan pada objek dan makna kontekstual
dari masyarakat saat ini. Selanjutnya, interpretasi yang terlibat lingkaran hermeneutika, yaitu
bagian yang menjelaskan seluruh (seperti konteks sejarah, kosmologi, silsilah, sistem sosial,
dan metafisika), dan seluruh menjelaskan bagian-bagian [3]. Interpretasi tersebut juga
dianggap refleksi untuk menemukan makna kontekstual, dan heuristik ke tempat yang berarti
pada lingkup yang lebih luas.
Hasil dan Diskusi

Puang panjang, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pakpak, sering disebut


sebagai kula-kula dan kalembubu. Istilah kula-kula diadaptasi dari bahasa Batak Toba, hula-
hula, sedangkan kalembubu istilah ini diadaptasi dari bahasa Karo. Puang jangka, seperti
yang dijelaskan oleh Mansehat Manik (diwawancarai di 22 September nd2019) berasal dari
tradisi yang lebih tua, dan mengacu pada penggunaan asli dari masyarakat Pakpak. Istilah
kula-kula mungkin memasuki tanah Pakpak bersama-sama dengan kedatangan para
misionaris Batak Toba yang menyebarkan Injil ke wilayah Pakpak Bharat, sekitar 1905.
Penggunaan kalembubu jangka tentu dapat bersumber dari asimilasi dengan penduduk
Karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Pakpak. Banyak kosa kata Pakpak adalah
paralel dengan bahasa Batak Toba dan Karo. Banyak nama klan sejajar dengan Toba, seperti
Manik, Boang Manalu, Cibro, Purba, dan sebagainya. Masyarakat Pakpak, di latar belakang
patrilineal, tahu puang sebagai keluarga ibu. Puang adalah saudara (s) dari ibu dan orang tua-
di-hukum. Puang, dalam konteks yang lebih luas, juga dipahami sebagai pemberi nenek
moyang perempuan dari keluarga besar dan klan. Masyarakat Pakpak, seperti yang
diceritakan oleh Mansehat Manik, tahu lima jenis puang, seperti dijelaskan pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi dari puang dalam sistem kekerabatan dari Sulang Silima

tidak jenis puang berarti peran


Dalam upacara besar di tingkat
1 Puangtanoh marga ayah diperpanjang
nenek keluarga, klan, desa / lebuh
Puangbennan paman dari bapak / Dalam upacara yang berkaitan
2 iari yang dengan ayah dan nya
kerabat saudara dan anak-anak
nenek
Dalam semua momen-momen
3 Puangbenna saudara ibu penting dalam hidup.
Puangpenga Clan dari orang tua Dalam semua momen penting
4 maki dalam hukum yang berkaitan dengan anak-anak
dan anak / anak perempuan dalam
hukum
Puangpenum Dalam upacara besar di tingkat
5 pak Clan dari istri diperpanjang
anak di keluarga keluarga, klan, desa / lebuh

lima sama dengan tiga, yang merupakan angka ganjil untuk memastikan kesepakatan
dalam pembahasan. Peneliti melihat jumlah 'lima' tidak hanya terbatas untuk
memfasilitasi tercapainya kesepakatan namun jumlah 'lima' juga mengacu pada
pendapat Jacobs Sumardjo terkait dengan pola lima sawah [4]. Para petani di
masyarakat memiliki orientasi spasial yang mengacu pada hulu sebagai dasar, dan
hilir sebagai ujung. Desa utama, yang di tengah bertindak sebagai pusat,kemudian
mengembangkan ke Timur dan Barat.
Nenek moyang awal dari masyarakat Pakpak,sebelum menghuni wilayah
Pakpak Bharat, mungkin hidup dengan mengelola sawah. Kemungkinan lain, pola
'lima' berasal dari tradisi Jawa Hindu yang masuk wilayah Pakpak bersama-sama
dengan ekspansi kerajaan besar Majapahit. Penggunaan mpu jangka dikenakan pada
nenek moyang awal, seperti Mpu Bada, seperti yang diceritakan oleh Sautma Manik
(dalam sebuah wawancara pada tanggal 21 Septemberst2019) menunjukkan bahwa
budaya Pakpak juga mengalami Jawa Hindu. Pola 'lima' di kalangan petani kemudian
berkembang menjadi sistem kekerabatan, dengan puang di posisi hulu, berru di hilir,
denggan sibeltek (perisang-Isang, Tengah partulang, dan parekur-ekur) di posisi
tengah yang melebar ke sisi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Tradisi Pakpak mengharuskan semua pihak untuk Sembah (ibadah) Puang.


Prinsip yang selalu dipegang adalah kegaben sembah merpuang, yang berarti
menyembah puang. The sembah Istilah ini juga digunakan oleh Karo serta Toba
Batak, sombah, dengan arti yang sama.Sembah istilah dalam tiga sub-suku ini tidak
mirip dengan kata "sembah" di Indonesia yang identik dengan menyembah Allah [5].
Kata-Kata sembah kepada masyarakat Pakpak, serta Karo dan Toba Batak, lebih
diarahkan sikap hormat, berlutut dan ketaatan.
Penggunaan ibadah kata mungkin berasal dari praktek-praktek ritual atau
bertindak ibadah dari "Ilahi" dalam keyakinan tradisional Pakpak ini. Anas Banurea
(dalam wawancara 21 September 2019) mengatakan bahwa orang-orang Pakpak
memiliki kebiasaan menyembah Mpung Debata Kase-kase, yang selanjutnya
disingkat Mpung, penguasa alam semesta dan sumber dari segala kehidupan ketika
mereka ingin tumbuh tanaman dan panen produk pertanian. The puang istilah
dikenakan pada ibu dan istri pemberi karena adanya yang mewakili Mpung. Puang
berada pada posisi dasar yang merupakan asal ibu melahirkan.

Masyarakat Pakpak menyadari bahwa berasal kehidupan dari ibu, tapi ibu berasal dari puang
tersebut. Puang, dalam posisi ini, mewakili Mpung, penguasa alam yang merupakan asal
dasar dari semua kehidupan. Puang, seperti dikatakan oleh Sakkap Boang Manalu (dalam
wawancara di 22 September 2019) adalah identik dengan Debata na ni idah, Allah terlihat.
Puang sehingga memiliki dimensi ilahi, yang mendasari kewajiban ibadah. Boang Manalu
juga menegaskan bahwa menyembah puang bukan karena kualitas pribadi, tetapi karena sifat
ketuhanan. Ibadah dari puang identik dengan penyembahan Mpung. Puang sebagai
pengulangan Mpung memegang mandat ilahi. Sakkap Boang Manalu (dalam sebuah
wawancara, 27 September 2019) mengatakan bahwa Puang memegang tongkat kehidupan.
Mandat uang muncul dalam kewenangan untuk memerintah berru, terutama menyangkut
adat. Mandat ilahi mengharuskan para pihak untuk mematuhi perintah uang. Puang dapat
memaksa pihak untuk berdamai. saran Puang harus diperhatikan, bahkan ketika puang tidak
memiliki kualitas pribadi yang memadai atau mengecewakan. saran Puang, karena orang-
orang Pakpak, adalah gema suara Mpung, yang melarang segala bentuk perlawanan. Setiap
bentuk perlawanan diyakini menjadi bencana. Mandat ilahi diasumsikan paling jelas dalam
perannya sebagai media berkah (pasu-pasu) untuk berru. orang Pakpak percaya bahwa berkat
puang merupakan sumber kesejahteraan, seperti yang digambarkan dalam ayat berikut.

Puisi ini menekankan bahwa puang berkah merupakan sumber kegaben


(kesejahteraan). Berru, jika sulit untuk mendapatkan keturunan, anak, pekerjaan,
keberuntungan bisa meminta berkah tunai. Berkat uang Anda juga dapat melihat itu dalam
kata-kata, gab emo ni ulamu, Anda mendapatkan mousen tulusen, yang berarti cinta apa yang
dilakukan dan menemukan apa yang Anda cari; meddas mo ukuran Ndene mi juma mi
rumah, yang berarti mudah-mudahan ini akan ditemukan di ladang dan di rumah; pihir pe
berras en, pihir deng ngo tendang kelang atau berrungku, yang berarti bahwa meskipun beras
sulit, bahkan lebih sulit semangat anak-in-hukum dan putri saya.

Peran puang sebagai media berkah adalah yang paling jelas dalam ritual yang terkait
dengan siklus hidup dan berbagai acara keluarga yang penting. Mansehat Manik, pemimpin
tradisional dan aktivis budaya Pakpak (dalam Wawancara 22 September 2019) mengatakan
bahwa Pakpak orang tempat uang sebagai media berkah dari awal kehidupan. Hal ini terbukti
dalam permintaan ritual untuk hadiah anak-anak. Tuangkan Benna atau rekan-rekan,
sementara menyerahkan kain panjang dalam bentuk yang melekat boneka kata-kata berkat, en
Monang, berru, kel, ngggo roh kita bangkit untuk, Abing ke mo en, harapan ndor untuk
merbenna pamor udan di tengah-tengah keluarga , harapan meranak merberru, yang berarti
ini adalah berru, kita memiliki datang, putaran sini, sehingga Anda dapat dengan cepat
mendapatkan bayi. Pola yang sama terjadi pada tujuh bulan kehamilan. Puang saat
memeriksa untuk pagit, mengatakan kata-kata berkat bagi ibu hamil, makan pagit ini, makan
darohmu pagit, yang berarti makan makanan pahit ini, sehingga darah menjadi pahit untuk
menghindari semua gangguan kejahatan, dan menghindari semua penyakit dan kesusahan.
Berkat juga disampaikan pada ritual pertama memotong rambut bayi.

Puang bahwa rambut pemotongan bayi, nyanyian mantra doa menggunakan media
klembis (bagian dari tulang punggung ayam), klembis! klembis! tinggal jauh dari pulian,
kelembutan Punggur dulpang, kelembutan mo karina mara bahaya, yang berarti menjauhkan
diri dari Surabaya, pohon-pohon tumbang, hit oleh kendaraan bermotor, disambar petir,
wabah penyakit dan sebagainya. Berkat juga disampaikan ketika berru mengalami penyakit
serius. puang, sementara memberikan makanan penghambatan atau menghambat yang
melekat makanan kata-kata berkat, makan makanan en, ndor nah Nuah marsakit, yang berarti
makan ini untuk pulih dari penyakit dan kematian menghindari. Media berkah juga
ditampilkan dalam ritual memasuki rumah baru.

Puang datang dengan api dan mengepung rumah baru dengan api. Kebakaran di
apresiasi suku tradisional adalah simbol kehidupan [6]. Tindakan dari puang membawa dan
mengelilingi rumah baru dengan api melambangkan karunia berkat kehidupan untuk keluarga
awak yang menempati rumah baru. Berkat juga disampaikan kepada berru yang kesulitan
mendapatkan kehidupan pasangan, dan berkat perkawinan.

Materi atau upah yang diterima dalam bentuk hampir semua ritual tradisional juga
terkait dengan peran media berkah. Berru memberikan ules (kain tradisional) untuk puang itu,
identik dengan pengenaan liturgi atau ibadah pakaian untuk puang untuk menyampaikan
keinginan dan permintaan mereka ke Mpung (Lister Berutu, Agustus 2019). Upah, selain
ules, sering juga mengambil bentuk emas. Emas, mengacu pada pendapat Sakkap Boang
Manalu (dalam wawancara 22 September 2019) berfungsi sebagai pendukung kehormatan
puang.

Puang, Sebagai representasi dari Mpung, harus mengasihi berru. Berru, dalam sistem
kekerabatan, Silima Sulang memang pada tingkat yang lebih rendah. Posisi ini tidak menjadi
dasar bagi uang untuk mengobatinya seperti yang anda inginkan. Posisi terendah
membutuhkan puang, yang berada di posisi yang lebih tinggi untuk cinta. prinsip ini, oleh
masyarakat Pakpak, dirumuskan dalam ekspresi kinibeak elek merberru, yang berarti
mencintai berru. Orang-orang Toba, dalam sistem kekerabatan, dengan dalih tolu juga tahu
prinsip marboru elek. Masyarakat Karo, di Sulaungun dan Simalungun pilar, perlu menuntut
juga prinsip yang sama. kesamaan ini, terlepas dari perdebatan tentang asal-usul silsilah,
dapat menjadi acuan untuk keterkaitan berbagai Batak sub-suku di sumber yang sama.
Kinibeak elek merberru, singkatnya, dapat diartikan sebagai mencintai berru.

Pertama, ada di asal dasar. Penggambaran puang sebagai wajah dari Mpung Debata
Kase-kase, praktek menyembah puang, dan penempatannya sebagai media berkah, menarik
keberadaan manusia Pakpak ini mengenai asal. Puang adalah dasar, asal ibu yang melahirkan
hidup. Asal usul dasar kehidupan tentu tidak dalam uang. Puang merupakan Mpung Debata
Kase-kase, Tuhan semesta alam, sumber dasar kehidupan. Keyakinan ini jelas dalam ritual
pembukaan lahan dan panen produk pertanian. Mantra doa di dua ritual ini pergi langsung ke
Mpung Debata Kase-kase, yang memerintah alam semesta dan mengontrol siklus alami.
mantra doa berisi permintaan untuk curah hujan, kesuburan tanah, hama menghindari. Mpung
tunduk permintaan, karena hidup, termasuk tanaman,

Permintaan untuk kedua ritual, seperti disampaikan oleh Sautma Manik (dalam
sebuah wawancara di September 21, 2019), kadang-kadang diarahkan pada roh-roh yang
menghuni ladang. pohon-pohon besar dan batu di bidang sering tempat untuk menempatkan
sesaji karena mereka dianggap ruang suci. Roh-roh penghuni bidang, dalam masyarakat
tradisional, diyakini mewakili kehadiran keilahian tertinggi dalam kosmos, yang bertindak
sebagai media komunikasi [8]. Tujuan akhir dari permintaan tersebut selalu diarahkan ke
keilahian tertinggi, Mpung Debata Kase-kase, Tuhan alam semesta dan sumber dasar
kehidupan.

Fenomena ini menggambarkan apresiasi masyarakat Pakpak yang keilahian tertinggi,


Mpung, adalah dasar dari eksistensi. Keberadaan, bagi manusia Pakpak dapat dicapai hanya
dalam kaitannya dengan Mpung. perlakuan khusus dari ruang suci (pohon-pohon besar, batu-
batu besar, gunung, dll) dan berbagai praktik ritual di lokasi tersebut menggambarkan
ketergantungan manusia pada Mpung. Berbagai lokasi, dari perspektif masyarakat tradisional,
adalah koordinat keberadaan Mpung di ruang kosmos [8]. kata Mircea Eliade bahwa ruang
suci dalam kosmologi tradisional berarti exit Mundi yang menghubungkan manusia dengan
kekuatan dunia atas dan kekuatan dunia bawah [7]. Praktek ritual di pintu keluar Mundi
menjamin pengajuan permintaan untuk keilahian tertinggi [7].

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa komunitas Pakpak menempatkan puang


sebagai representasi dari Mpung. Karl Theodore Jaspers mengatakan bahwa kebutuhan
manusia untuk komunikasi dengan keilahian tertinggi, Transendensi harus berurusan dengan
jarak yang tak terbatas [9]. Manusia tidak dapat langsung berhubungan dengan Transendensi.
Transendensi hanya dapat ditemukan di sopir atau simbol ilahi [8]. Manusia, karena
karakteristik khusus menjadi sopir utama [9]. Banyak masyarakat tradisional, dengan
pemahaman anthropophilic ketuhanan, cenderung angka keilahian berbentuk manusia
memerankan [9]. orang Pakpak memiliki pola yang sama. Puang, karena di dasar dan
kebapakan berbasis, ditempatkan sebagai sopir utama untuk Mpung. Puang, tentu tidak
Mpung Debata Kase-kase. Puang masih puang, Mpung tetap jarak tak terbatas, tapi puang,
ketika ditempatkan sebagai sopir sebuah, melambangkan kehadiran Mpung.

Puang, Sebagai sopir kehadiran Mpung, mengambil bagian dalam Mpung, meskipun
tidak mencakup totalitas Mpung [10]. Mpung, di Jaspers, adalah Satu, seluruh unsur
ketuhanan

Puang hanya mengambil bagian dalam unsur-unsur tertentu, tetapi masih merupakan
dan mewakili kehadiran Mpung untuk berru [11], sehingga suara dan tindakan puang yang
sedang hidup sebagai suara Mpung ini, dan loyalitas yang diberikan adalah kesetiaan kepada
Mpung. Penempatan puang sebagai representasi dari Mpung dan media berkah, serta segala
bentuk rasa hormat dan kesetiaan kepada Puang itu, menunjukkan bahwa Pakpak tempat pria
keilahian tertinggi sebagai dasar dari keberadaan. Keberadaan, bagi manusia Pakpak hanya
dapat dicapai mengenai keilahian tertinggi, Empang, sumber dasar kehidupan [12].

Kedua, kehidupan sebagai media berkah. Keberadaan dan peran uang di masyarakat
Pakpak mengilhami kehidupan masyarakat sekarang. Tempat masyarakat Pakpak Puang
sebagai representasi dari Mpung dan media berkah bagi berru. Keberadaan menegaskan
puang bahwa hidup harus menyajikan wajah Allah kepada orang lain. menegaskan bahwa
kebermaknaan kebohongan hidup dalam kemampuan untuk wajah hadir Tuhan kepada orang
lain [13]. Thomas Aquinas mengatakan bahwa manusia karena mereka mendapatkan
percikan kehidupan Allah, memiliki martabat mulia dan dimensi ketuhanan [14] karena wajib
untuk menyajikan wajah Allah bagi orang lain. Manusia dapat menyajikan wajah Allah jika
menyajikan kebaikan kepada orang lain.

Thomas Aquinas, dalam Summa Theology, mengatakan bahwa Allah adalah


sempurna baik [15]. Manusia sebagai kafilah dari Allah di dunia harus menyadari kebaikan
sempurna Allah bagi orang lain dan semua makhluk.

Manusia dapat menyajikan kebaikan Tuhan jika mereka nyata cinta, perdamaian, dan
keadilan [16]. Peran uang sebagai media berkah untuk menunjukkan menunjukkan bahwa
kebaikan Tuhan pertama harus disampaikan kepada orang-orang di bawah ini, yang lemah,
penderitaan dan terpinggirkan, yang panggilan bijaksana orang-orang kecil [17]. Perjuangan
untuk kebaikan ilahi akan membuat berkat kehidupan untuk orang lain.
BAB II

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN

A.KEUNGGULAN JURNAL

a. Keterkaitan antar topik


Kajian topik yang dibahas dalam jurnal ini sangatlah berhubungan satu
dengan yang lain mulai dari penjelasan mengenai makna kemanusiaan itu dalam
Pancasila oleh penulis pada jurnal ini. Lalu diikuti dengan penjelasan tentang Puang
yang menjadi unsur utama dalam masyarakat Pakpak. Selain itu dijelaskan juga
tentang masyarakat Puang di posisi tertinggi dalam sistem kekerabatan dari
Sulangsilima. Setiap topik yang ditawarkan dalam jurnal ini sangatlah terikat dan
memiliki relasi yang erat satu sama lain, karna topik sebelumnya dapat menjelaskan
topik sebelumnya begitupun sebaliknya.

b. Kemutakhiran isi jurnal


Jurnal ini sangat menambah wawasan kita tentang pemahaman terhadap adat
dan pandangan masyarakat Suku Pakpak dalam kemanusiaan. Setiap informasi dan
data yang diperoleh disampaikan dengan sangat ringan dan benar-benar
mengutamakan kebenaran informasi dan gagasan yang menjadi pemikiran para tokoh
yang benar-benar paham akan masyarakat Puang dalam suku Pakpak.

c. Sistematika bahan kajian


Sistematika dari setiap bahan kajian yang disampaikan, sangatlah baik dan
teratur. Tersusun dengan sangat rapi dan tidak bertele-tele sehingga pesan yang ingin
disampaikan dapat tersampaikan dengan baik kepada pembacanya.
d. Penggunaan bahasa dan diksi
Bahasa yang digunakan sangatlah mudah untuk dipahami dan baku tetapi tetap
fleksibel untuk bisa dibaca.
B.KELEMAHAN JURNAL

Bagi saya, jurnal ini sangatlah bermanfaat dan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan baru kepada pembaca mengenai Puang: Sebuah Menengah dari Berkah di
Kekerabatan Sistem Suku Pakpak. Mungkin jika kita belum membaca jurnal ini lebih
mendalam, atau hanya melihat judulnya sekilas saja, maka kita kemungkinan akan bingung
dan bertanya-tanya jurnal ini berisikan tentang apa? Tapi jika kita sudah membacanya dan
mencoba untuk memahami setiap kata dan pemikiran yang dituliskan di dalam jurnal ini,
maka kita akan menemukan banyak hal baru dalam pemilihan kosakata baru misalnya,
mengenai sistem kekerabatan dari Silima dan tentang Puang sebagia supir kehadiran Mpung.
BAB III

IMPLEMENTASI

Peran puang sebagai media berkah yaitu paling jelas dalam ritual yang terkait dengan
siklus hidup dan berbagai acara keluarga yang penting. Sesuai yang telah dikatakan oleh
Mansehat Manik, pemimpin tradisional dan aktivis budaya Pakpak (dalam Wawancara 22
September 2019) mengatakan bahwa Pakpak orang tempat uang sebagai media berkah dari
awal kehidupan. Hal ini terbukti dalam permintaan ritual untuk hadiah anak-anak. Tuangkan
Benna atau rekan-rekan, sementara menyerahkan kain panjang dalam bentuk yang melekat
boneka kata-kata berkat, en Monang, berru, kel, ngggo roh kita bangkit untuk, Abing ke mo
en, harapan ndor untuk merbenna pamor udan di tengah-tengah keluarga , harapan meranak
merberru, yang berarti ini adalah berru, kita memiliki datang, putaran sini, sehingga Anda
dapat dengan cepat mendapatkan bayi. Pola yang sama terjadi pada tujuh bulan kehamilan.
Puang saat memeriksa untuk pagit, mengatakan kata-kata berkat bagi ibu hamil, makan pagit
ini, makan darohmu pagit, yang berarti makan makanan pahit ini, sehingga darah menjadi
pahit untuk menghindari semua gangguan kejahatan, dan menghindari semua penyakit dan
kesusahan. Berkat juga disampaikan pada ritual pertama memotong rambut bayi.
BAB IV

KESIMPULAN

Pertama, identitas sistem Sulang Silima masyarakat Pakpak ini disembah, karena mewakili
keilahian tertinggi dan media berkah.

Kedua,Keberadaan puang didasarkan pada ayah dan mendasari penempatan puang sebagai
bab dari ayah Mpung, penguasa alam semesta dan sumber dasar kehidupan, yang penuh kasih
dan berkat.

Ketiga,Penempatan puang sebagai representasi dan menengah berkat Mpung, bersama


dengan semua bentuk rasa hormat dan kesetiaan menggambarkan masyarakat Pakpak
berkeyakinan keberadaan yang hanya dapat dicapai mengenai keilahian tertinggi, dasar dan
sumber dasar kehidupan. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat saat ini tentang
relevansi iman dalam perjuangan untuk eksistensi,

Anda mungkin juga menyukai