DI SUSUN OLEH :
Kelompok : II
Nama Kelompok :
NIKSON HEIYO ( 811417098 ) Pemateri
ISMAIL HIDAYATULLAH RAHIM ( 811417168) Moderator
KURNIA R.S.I. HEREMBA ( 811417118) Pemateri/Notulen
Afrizal Rahman Pindah AKK
JURUSAN KESEHATAN
MASYARAKAT
FAKULTAS OLAHRAGA & KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
T/A : 2019
KATA PENGANTAR
Kelompok II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi yang kurang saat ini masih tersebar luas dinegara-negara berkembang,
termasuk Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM. Pada sisi lain,
masalah gizi di Negara maju, yang juga mulai terlihat di Negara-negara
berkembang,termasuk Indonesia sebagai dampak keberhasilan di bidang ekonomi.
Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakan bagi masyarakat guna perubahan prilaku
untuk meningkatkan keadaan gizinya. Kualitas gizi di Indonesia Sangat memprihatinkan, hal
ini dapat dilihat dari rendahnya nilai gizi masyarakat, banyak gizi buruk, busung lapar di
daerah-daerah karena tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti faktor ekonomi, sosial budaya, kebiasaan dan kesukaan.
Kondisi kesehatan termasuk juga pendidikan atau pengetahuan. Selain tingkat
pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat, banyak faktor yang mempengaruhi status
gizi seseorang, baik faktor individu, keluarga maupun masyarakat. Indonesia adalah bangsa
yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari sabang sampai merauke
dengan latar belakang dari etnis,suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan
yang lainnya hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut
memenuhi menu makanan maupun pola makanan. Banyak sekali penemuan para ahli
sosiologi dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses
terjadinya kebiasaan makanan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang
menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan baik oleh
kita yang mengkonsumsi. Kecenderungan muncul dari suatu budaya terhadap makanan
sangat bergantung pada potensi alamnya atau faktor pertanian yang dominan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja determinan kebiasaan dan adat istiadat yang mempengaruhi pola konsumsi ?
2. Bagaimana dampak ketersediaan pangan terhadap gizi ?
3. Apa saja penyelesaian masalah sosial budaya gizi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui determinan kebiasaan dan adat istiadat yang mempengaruhi pola
konsumsi
2. Untuk mengetahui dampak ketersediaan pangan terhadap giizi
3. Untuk mengetahui penyelesaian masalah sosial budaya gizi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Determinan kebiasaan dan Adat istiadat yang mempengaruhi pola konsumsi
Determinan kebiasaan dan adat istiadat yang mempengaruhi pola konsumsi adalah
ketersediaan pangan dan Faktor budaya.
A. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan (Food Availability) yaitu ketersedian pangan dalam jumlah yang
cukup aman dan bergizi bagi semua orang dalam suatu negara baik dalam produksi
sendiri, import, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini
harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang
dibutuhkan untuk kebutuhan yang aktif dan sehat.
Sebagai masalah kesehatan masyarakat, menangani masalah gizi tidak dapat hanya
dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya
masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, kemiskinan, kurangnya persedian
pangan, sanitasi yang buruk, minimnya pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta
perilaku buruk dalam mengonsumsi makanan di kalangan masyarakat. Pola konsumsi
makanan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya setempat.
Berbeda lokasi berbeda pula cara masyarakat mendefinisikan makanan dan kecukupan
gizi serta menentukan pola makan. Orang Jawa belum merasa makan sebelum makan
nasi, orang Papua terbiasa makan berat dengan makan sagu. Tidak jarang masyarakat kita
menganggap kalau belum mengonsumsi nasi belum dianggap makan.
Pola pikir masyarakat masih beranggapan bahwa kebutuhan makan adalah dengan
memakan makanan yang tinggi atau kaya karbohidrat tanpa mempertimbangkan
kecukupan gizi yang seimbang ini menunjukkan bahwa aspek sosial budaya masih
mendominasi perilaku dan kebiasaan makan yang masyarakat Indonesia.
Sementara masalah gizi terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di Indonesia, hanya
sebagian pihak yang memandangnya sebagai fenomena sosial. Sebagian lain masih
menganggap hal ini sebagai fenomena kesehatan semata. Tidak banyak yang menyadari
luasnya dimensi masalah gizi dapat meliputi masalah lingkungan dan ketersediaan
pangan, pola asuh dan pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya.
Faktor budaya memengaruhi siapa yang mendapat asupan makanan, jenis makanan yang
didapat dan banyaknya. Sangat mungkin karena kondisi budaya dan kebiasaan ini
seseorang mendapatkan asupan makanan lebih sedikit dari yang sebenarnya ia butuhkan.
Di Indonesia, sebagian besar masyarakat menganut sistem patriarki. Dalam sistem
patriarki, garis keturunan diambil dari seorang Ayah (laki – laki), status sosial laki – laki
lebih tinggi daripada perempuan. Konsekuensinya, ayah lebih sering diutamakan
memakan makanan yang telah disajikan oleh Ibu. Sesederhana ayah lah yang paling
sering mendapatkan jatah makanan lebih dulu di meja makan. Bahkan, beberapa daerah
di Indonesia mengharuskan pemisahan antara makanan yang harus disajikan untuk Ayah
dan anggota keluarga yang lain. Kondisi budaya seperti ini turut berkontribusi pada
kondisi gizi anak dan ibu hamil di dalam keluarga karena semua sistem keluarga patriarki
berhubungan erat dengan ketidaksetaraan gender.
Dari gambaran di atas, terlihat betapa kebiasaan makan tidak dapat dilepaskan dari nilai –
nilai sosial budaya masyarakat. Sementara kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan
upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Kurangnya asupan gizi akan
meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis yang pada
gilirannya akan mengurangi produktivitas dalam bekerja dan berkontribusi kepada
masyarakat.
Memahami keterkaitan antara kebiasaan makan, pola makan, sistem keluarga dan
pengolahan makanan dapat membantu tenaga kesehatan, penyusun kebijakan dan
program kesehatan dalam memahami kondisi gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia
secara lebih menyeluruh. Dengan demikian penyusunan strategi kebijakan dan program-
program upaya peningkatan status gizi masyarakat dapat lebih tepat guna dan sasaran.
Apabila ini tercapai, secara bertahap transformasi kesehatan lebih dari 250 juta menuju
arah yang positif akan tercapai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketersediaan pangan (Food Availability) yaitu ketersedian pangan dalam jumlah
yang cukup aman dan bergizi bagi semua orang dalam suatu negara baik dalam produksi
sendiri, import, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini
harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang
dibutuhkan untuk kebutuhan yang aktif dan sehat.
Gizi berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, khususnya
dalam memastikan lahirnya individu yang berkualitas. Selaras dengan butir kedua
Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh 153 negara anggota PBB,
termasuk Indonesia, pentingnya peningkatan status gizi masyarakat dituangkan oleh
Presiden Joko Widodo dalam Nawacita poin ke-lima.
3.2 Saran
Saran untuk masyararakat indonesia agar menjaga ketersediaan pangan
Determinan kebiasaan dan adat istiadat yang mempengaruhi pola konsumsi adalah
ketersediaan pangan dan Faktor budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food. Kompas. Jakarta.
Adriyani, Meryana dan Wirjatmadi, Bambang. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Amelia, Friska. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktivitas Fisik,
danStatus Gizi pada Remaja Di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci
Jambi. Skripsi. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pertanyaan:
1. Mengapa obat tdk termasuk dipangan fungsional? Bagaimana tanggapan anda dgn hal
ini?
2. Dampak positif dan negative terhadap budaya gizi masyarakat?
3. Sebutkan gejala abiotic dan cara mengatasinya? Kelompok 2
4. Tanggapan kelompok ttg pola pikir masyarakat ttg adat dan istiadat?
5. Apa akibat yg terjadi apabila status gizi tdk di dukung oleh ketersediaan pangan
ditingkat rumah tangga bisa mengakibatkan gizi buruk?
Yang Bertanya dan Menjawab:
1.