Anda di halaman 1dari 24

PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PENCURIAN

MENURUT PASAL 362 KUHP PASCA BERLAKUNYA


PERATURAN MAHKAMAH AGUNGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN
BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH
DENDA DALAM KUHP

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang Nomor :


340/PID.B/2015/PN.TNG)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Starata Satu


( S-1 ) Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
UNIVERSITAS PAMULANG

OLeh :

HARDIANTO
NIM : 2015020713

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
BANTEN
2018

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara kesatuan yang berbentuk Republik Tujuan

Negara Indonesia secara jelas tertuang dalam Undang-UndangDasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa Negara bertujuan melindungi segenap

bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam usaha perdamaian dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan UUD NKRI Indonesia tahun 1945(selanjutnya disebut UUD

1945)amandemen ke empat Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “NegaraIndonesia

adalah Negara Hukum”. Hukum adalah sebuah entitas yangsangat kompleks,

meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk,mempunyai banyak aspek,

dimensi, dan fase.1Dalam ilmu pengetahuanhukum, secara teoritis hukum yang

baik harus memenuhi unsur sosiologis,yuridis, dan filosofis. Demikan juga

dengan undang-undang materiil, bila pembuatannya mengesampingkan salah

satunya,maka dalam penerapannya akan menemui kendala di tengah-tengah

masyarakat.2

1
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar politik hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta,2006, hal. 1
2
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, 1999, hal.1
1
2

Berdasarkan Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “ Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia” kini Negara kita sedang dalam tahapperkembangan

untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat Indonesia.Masyarakat dikatakan sejahtera

apabila daya beli masyarakat meningkat dan berkurangnya angka pengangguran

serta kondisi keamanan yang harmonis.

Kebutuhan Ekonomi menjadi penyebab dan alasan seseorang melakukan

tindak pidana, kesempatan kerja yang semakin sempit karena harus bersaing

bukan hanya dengan tenaga kerja local tetapi dengan tenaga kerja asing atas

kebijkan pemerintah pemerintah yang bekerja sama dengan Negara-negara asing

dengan dalih investasi. Kewajiban pemerintah dalam menciptakan lapangan

pekerjaan banyak keterbatasan sehingga lapangan pekerjaan yang diciptakan tidak

mampu banyak menyerap tenaga kerja.

Sulitnya ekonomi berpengaruh besar terhadap masyarakat yang

mengakibatkan masyarakat Indonesia mengalami krisis moral.Hal tersebut dapat

dilihat dari semakin meningkatnya kejahatan dan meningkatnya pengangguran

sangat berpengaruh besar terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.Masyarakat

dengan tingkat kesejahteraan rendah cenderung untuk tidak memperdulikan

norma atau kaidah hukum yang berlaku. Melihat kondisi ini untuk memenuhi

kebutuhan, ada kecenderungan menghalalkan segala cara agar kebutuhannya

dapat terpenuhi, salah satunya dengan cara yang melanggar norma hukum.

Pencurian merupakan salah satu tindak kejahatan yang paling sering terjadi di
3

masyarakat dimana keadaan masyarakat sekarang ini sangat memungkinkan orang

untuk mencari jalan pintas dengan cara mencuri.

Dari media massa dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya

terjadikejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena

kebutuhan hidup yang tidak tercukupi. Setiap orang akan memenuhi kebutuhan

hidupnya dengan berbagai cara agar mereka dapat bertahan hidup. Cara yang

paling mudah dan paling cepat adalah dengan cara mengambil barang atau

mencuri sejumlah dari orang lain yang bukan haknya. Inilah mengapa mencuri

dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan secara singkat.

Pencurian diatur pada Pasal 362-367 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang telah diklasifikasikan menjadi beberapa

jenis pencurian, mulai dari kejahatan pencurian biasa (Pasal 362 KUHP),

kejahatan pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), kejahatan pencurian dengan

kekerasan (Pasal365 KUHP), kejahatan pencurian dengan pemberatan (Pasal 363

KUHP), kejahatan pencurian di dalam kalangan keluarga (Pasal 367KUHP).

Terdapat unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebutagar

seseorang dapat dituntut sebagai pencuri.Unsur-unsur tersebut ada yang berbentuk

objektif dan subjektif.

Dalam KUHP ditentukan perbuatan-perbuatan apa saja, kapan, dan

dengan cara bagaimana. Juga menentukan ancaman yang akan dijatuhkan kepada

orang yang telah melakukan tindak pidana yang dinamakan sanksi atau hukuman

ataupidana. Seiring dengan berjalannya waktu tindak pidana pencurian kini

menjadi tindak pidana yang paling sering terjadi, baik pencurian ringanmaupun
4

pencurian dengan pemberatan.Pencurian ringan atau pencurian dengan nilai kecil

yang kini diadili di pengadilan cukup menyita perhatian masyarakat.

Masyarakat umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-

perkara tersebut diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara sebagaimana

diatur pada Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang

yang dicurinya. Pemerintah dan Dewan Perwakilah Rakyat (DPR) perlu

melakukan perubahan atas KUHP khususnya terhadap seluruh nilai rupiah dalam

KUHP.Namun mengingat sepertinya hal tersebut memakan waktu proses yang

cukup lama maka Mahkamah Agung Republik Indonesia memandang perlu

menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung untuk menyesuaikan nilai uang yang

menjadi batasan tindak pidanaringan. Maka diterbitkanlah Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, yaitu merubah

batasan dalam perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum

dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP yang semula dibatasi

minimal Rp 250,(dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000,(dua juta

lima ratus ribu rupiah) dan jumlah pidana denda yang dilipat gandakan menjadi

1000 (seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis

ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Penyesuaian nilai rupiah yang
5

dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai sarana dan upaya untuk memberikan

keadilan bagi perkara yang diadilinya.Tentunya dalam hal ini hakim tetap

mempertimbangkan berat ringannya perbuatan pelaku tindak pidana serta rasa

keadilan di masyarakat.

Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

menyebutkan:

1. Dalam menerima pelimpahan perkarapencurian, penipuan, penggelapan,

penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan

nilaibarangatau uangyang menjadi objek perkaradan memperhatikan pasal 1

diatas.

2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp.

2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera

menetapkan Hakim Tunggaluntukmemeriksamengadilidan memutus perkara

tersebut dengan AcaraPemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal205-201

KUHAP.

3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnyadikenakan penahanan, Ketua

Pengadilantidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

Dalam kasus pencurian tidak serta merta harus dijerat dengan pasal 362

KUHP, aparat penegak hukum harus jeli dalam mengimplementasikan pasal

dalam suatu kasus yang konkrit. Pencurian yang nilai objeknya kurang dari

Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) seharusnya di dakwakan dengan

pasal 364 KUHP juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Dalam KUHP
6

dengan ancaman 3 ( tiga ) bulan penjara dan denda Rp.250 ( dua ratus lima puuh

rupiah ).

Kasus pencurian yang dilakukan Samsul bahri bin Rudin yang mencuri hp

mito milik Karlina sehingga korban mengalami kerugian sebesar Rp.250.000,00

(dua ratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian korban melaporkan perbuatan

tersebut ke polsek kresek lalu di lakukan penagkapan terhadap tersangka Samsul

bahri bin Rudin.

Terdakwa berada dalam tahanan :

1. Penyidik sejak tanggal 10 Desember 2014 sampai dengan tanggal 29

Desember2014;

2. Perpanjangan oleh Penuntut Umum ke-I sejak tanggal 30 Desember 2014

sampaidengan tanggal 18 Januari 2015 ;

3. Perpanjangan oleh Penuntut Umum ke-II sejak tanggal 19 Januari 2015

sampai dengan tanggal 7 Februari 2015 ;

4. Penuntut Umum sejak tanggal 4 Februari 2015 sampai dengan tanggal 23

Februari 2015 ;

5. Hakim sejak tanggal 12 Februari 2015 sampai dengan tanggal 13 Maret 2015

6. Perpanjangan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 14 Maret

2014sampai dengan tanggal 12 Mei 2015.

Penuntut umum dalam surat tuntutannya tertanggal 12 maret 2015 yang

pada pokok perkaranya memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Tanggerang memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pencurian


7

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 362 KUHP, serta

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan.

Jika melihat nilai barang yang dicuri tidak sebanding dengan hukuman

yang diterima terdakwa yaitu 10 (sepuluh) bulan penjara.Hakim dalam memutus

harus mempertimbangankan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

dalam memutus kasus tersebut dengan melihat nilai barang yang dicuri atau

jumlah kerugian yang dialami korban. Nilai barang yang dicuri tidak melebihi dari

Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sebagaimana diatur dalam

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 termasuk tindak pidana ringan

pasal 364 KUHP dimana perbuatan tersebut diancam dengan pidana penjara 3

(tiga) bulan dan denda Rp.250,- (dua ratus lima puluh rupiah).

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih

dalam tentang penerapan pasal pencurian 362 KUHP dan pertimbangan hukum

hakim terhadap tindak pidana pencurian setelah diterbitkannya Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHPidana. Untuk itu penulis

mengangkat skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Pencurian menurut Pasal 362 KUHP Pasca Berlakunya Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam

KUHP (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang Nomor :

340/PID.B/2015/PN.TNG ) ”
8

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan yang akan ditulis dalam penulisan skripsi ini antara lain :

1. Apakahyang menjadi pertimbangan hakim dalam mengkualifikasikan unsur-

unsur tindak pidana pencurian menurut pasal 362 KUHP dihubungkan dengan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012 tentang

batasan penyelesaian tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam

KUHPpadaputusan nomor : 340/PID.B/2015/PN/TNG ?

2. Apakah hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencurian menurut pasal

362 KUHP dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2

tahun 2012 tentang batasan penyelesaian tindak pidana ringan dan jumlah

denda dalam KUHP sudah memenuhi rasa keadilan padaputusan nomor :

340/PID.B/2015/PN/TNG ?

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, permasalahan dalam penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakahpertimbangan hakim dalam mengkualifikasikan unsur-unsur

tindak pidana pencurian menurut pasal 362 KUHP di hubungkan dengan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012

tentang batasan penyelesaian tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam

KUHP pada putusan nomor : 340/PID.B/2015/PN/TNG ?

2. Bagaimanakah seharusnya hakim dalam memutus perkara tindak pidana

pencurian menurut pasal 362 KUHP danPeraturan Mahkamah Agung


9

Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012 tentang batasan penyelesaian tindak

pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dapat memenuhi rasa keadilan

pada putusan nomor : 340/PID.B/2015/PN/TNG ?

D. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimanapertimbangan hakim dalam

mengkualifikasikan unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut pasal

362 KUHP di hubungkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 tahun 2012 tentang batasan penyelesaian tindak

pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP pada putusan nomor :

340/PID.B/2015/PN/TNG ?

b. Untuk mengetahui Bagaimana seharusnya hakim dalam memutus perkara

tindak pidana pencurian menurut pasal 362 KUHP dan Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012 tentang

batasan penyelesaian tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam

KUHP dapat memenuhi rasa keadilan pada putusan nomor :

340/PID.B/2015/PN/TNG ?

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis,penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan khusunya dibidang Ilmu Hukum

Pidana, sebagai bahan kepustakaan dan bahan referensihukum bagi

mereka yang berminat pada kajian-kajian ilmu hukumpada umumnya.


10

b. Secara praktis, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan

kepada pemerintah, praktisi hukum serta masyarakat pada umumnya

tentang ketentuan-ketentuan hukumpidana yang mengatur tentang tindak

pidana pencurian setelah diterbitkannya peraruran Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor. 02 Tahun 2012 tentangPenyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian Pidana Menurut para Ahli Pidana berasal dari kata straf

(Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu penderitaan

(nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah

terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Istilah tindak pidana (delik) hakikatnya merupakan istilah yang berasal


dari terjemahan kata strafbaar feit dalam bahasa Belanda yang berasal dari
Wet Van Strafrecht (W.V.S). Kata Strafbaarfeit ini kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik,
perbuatan yang dapat dipidana dan peristiwa pidana. Kata feit itu sendiri
didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedangkan
strafbaar berarti dapat dihukum.Sehingga secara harafiah perkataan
strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum.3
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tata tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum”.4
Van Hamel merumuskan sebagai berikut, “strafbaar feit adalah kelakuan

orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat


P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,PT. Citra Aditya Bakti,
3

Cetakan kelima,Bandung, 2013, hal. 181


4
Ibid, hal. 182.
11

melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan

dengankesalahan”.5Menurut Wirjono Prodjodikoro. “tindak pidana berarti

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.”6

Menurut Moeljatno, Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan

hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dan barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.7

Selanjutnya Moeljatno mengatakan bahwa Tindak Pidana adalah bagian


dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbutan-
perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang dilarang dengan disertai
ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu , bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut ,kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau di jatuhi pidana
sebagaimana yang telah di ancamkan, dan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat di laksanakan apabila ada orang yang melanggar larangan
tersebut.8
Perbuatan (feit)menurut VOS pasal 1 ayat (1) mempunyai arti
‘keseluruhan kompleks kejadian, yaitu perbuatan, akibat, unsur kesalahan
yang subyektif dan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi , seperti yang
selalu di gambarkan dalam penentuan unsur-unsur delik dalam masing-
masing pasal-pasal KUHP.9
2. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak.10Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di

5
Ibid, hal.185.
6
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,Jakarta,2008, hal. 61
7
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Jakarta,1980, hal. 1
8
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Ahaem-
Petehaem, Jakarta, 1986, hal 72.
9
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Jember, 1962, hal. 201
10
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
12

dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai

berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang

yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya

itu.Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam

undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya

itu.Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau

dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa

kesengajaan atau kealpaan.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan

(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai

tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak

pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatannya.11 Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari

perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk

dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana.Unsur tindak pidana

dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana.

Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh

unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana

merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab

dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

3. Tujuan Pemidanaan

11
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
13

Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar


hukum dari pidana.Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di
dalam hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch
rechtsguterverletzung"yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan
menyerang kepentingan.Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot
"malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis"yaitu penderitaan
jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat.12
Berdasarkan pendapat para ahlitampak adanya pertentangan mengenai

tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai

sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan

mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau

teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan

dua tujuan pemidanaan tersebut(teori gabungan/verenigings theorieen).

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theoriesdan teori


gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan
(theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai
ujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang
menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi
bermanfaatyang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan
penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan
pandangan retributivistyang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila
tujuan yang theologicaltersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana
tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku
tindak pidana.13
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam
dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian),
teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial
(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek
sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.14

12
Bambang Poemono, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, BinaAksara,
Jakarta1982, hal..27
13
Muladi,Lembaga Pidana Bersyarat,Alumni, Bandung, 1985, hal. 49
14

1. Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan


pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan
karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori
ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu
telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya
(vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.15

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar.Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak
peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai
alasan untuk memidana suatu kejahatan.16

Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan

karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.17Menurut Hegel

bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya

kejahatan.18

Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :19


a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.

2. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai


pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan
umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang
14
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia,PT. Rafika
Aditama, Bandung,2009, hal.22.
15
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta, 2009,
hal.105.
16
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika Aditama,
Bandung,2009.
17
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,Pustaka Pelajar,Jakarta, 2005
18
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
19
Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, Op. Cit, hal. 26.
15

dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan
hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah
untuk mencegah (prevensi) kejahatan.20

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan


mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah
laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan
kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata
tertib masyarakat itu diperlukan pidana.21

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan

masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan.Pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan

kejahatan.Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian

theory).22

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :23
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana ;
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
20
Leden Marpaung, Op. Cit, hal. 106.
21
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hal. 96-97.
22
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hal. 26.
23
Karl O.Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, Ibid.
16

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung


unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila
tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.

3. Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan

asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu

menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah

gabungan teori absolut dan teori relatif.

Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk

mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si

penjahat.24

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:25
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana

4. Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan


kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki
keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan
mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat
berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku
kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang
pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi
baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini
seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.26

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran


positif.Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa
orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan

24
Leden Marpaung, Op.Cit. hal 107.
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo,Jakarta, 2010,
hal 162-163.
http://rahmanamin1984.blogspot.com/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum.html?m=1
26
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hal.96-97.
17

karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun


kemasyarakatannya.27

Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa

seorang yang abnormal.Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat

dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan

harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

5. Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih


lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan
utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial
dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial
mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan)
digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu
adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan
kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi
masyarakat pada umumnya.28

F. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.29

Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah

satunya ditandai dengan penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula metode

diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau

penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.30

27
Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, hal. 12.
28
Ibid.
29
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2011, hal 35.
30
Johny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Bayu Publlishing,
Malang,2006,hal.26.
18

Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam

melakukan sebuah penelitian.31

Secara lebih lanjut Soerjono Soekanto menerangkan bahwa “Penelitian

hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,

sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya”.32

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian


hukumnormatif atau doctrinal. Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa
penelitian hukum doktrinal adalahpenelitian yang memberikan penjelasan
sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis
hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin
memprediksi pembangunan masa depan.33

Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum

doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi

dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-

peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.34 Pada intinya

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier.

2. Pendekatan Penelitian

31
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung,2004,hal.57.
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ctk Ketiga, UI Press, Jakarta, 2012,
hal.42.
33
Peter Mahmud Marzuki.Op.cit.,hal. 32.
34
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 14.
19

Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan


dalam penulisan hukum menurut Peter mahmudMarzuki adalah sebagai
berikut:35
a. Pendekatan kasus ( case approach )
b. Pendekatan perundang-undangan ( statute approach )
c. Pendekatan historis ( historical approach )
d. Pendekatan perbandingan ( Comparative approach )
e. Pendekatan konseptual ( conceptual approach )

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan


diatas adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan kasus (The Case Approach).Pendekatan perundangan-undangan
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.
Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang
telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.36

3. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan sumber bahan hukum yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-

undangan,catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan

dan putusan hakim.Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang

digunakan adalah sebagai berikut :

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP).

35
Ibid,hal. 93
36
Ibid,hal 24
20

4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

Dalam KUHP.

5) Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang Nomor :

340/PID.B/2015/PN.TNG.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks yang

berhubungan dengan teori dan materi yang penulis angkat dalam

penelitian skripsi ini.

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi :

1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.

2) Makalah-makalah Hukum.

3) Jurnal ilmiah Hukum.

4) Artikel ilmiahHukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam

penelitian ini bahan hukum tertier yang digunakan meliputi :

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia.

2) Kamus hukum.

3) Situs internet yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum


dalam penelitian.Teknik pengumpulan data yang mendukung dan berkaitan
21

dengan pemaparan penelitian ini adalah studi kepustakaan.Studi kepustakaan


adalah suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui bahan hukum
tertulis dengan mempergunakan content analisys.37

Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji

dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen,

laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik yang

berhubungan dengan tindak pidana pencurian.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif,

logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu

menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi

kesimpulan yang lebih khusus.

Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu : Putusan Pengadilan

Negeri Tanggerang Nomor : 340/PID.B/2015/PN.TNG.

Kemudian menginventarisasi dan mengidentifikasi peraturan perundang-

undangan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kasus terkait dan peraturan

perundang-undangan tersebut dengan melakukan penafsiran terhadap undang-

undang, untuk kemudian ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.

G.Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab yang akan dibahas secara

terperinci pada masing-masing babnya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
37
Ibid,hal.21
22

Merupakan pedahuluan yang menguraikan latar belakang

permasalahan, identifikasi masalah, perumusan masalah, kerangka

teori, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA,

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA, DAN TUJUAN

PEMIDANAAN

Bab ini berisi tentang pengertian pidana,tindak pidana, jenis-jenis

tindak pidana, delik, saksi, pembuktian dan sanksi.

BAB III TINJAUAN UMUM PASAL 362 KUHP JUNCTO

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012

Didalam bab ini berisi tentang pengertian tindak pidana pencurian,

jenis-jenis,sanksi, factor yang melatarbelakangi.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA MENURUT

PASAL 362 KUHP PASCA BERLAKUNYA PERATURAN

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2

TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN

TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA

DALAM KUHP(Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor : 340/PID.B/2015/PN.TNG )

Didalam bab ini berisi tentang pembahasan data-data yang telah

didapat, posisi kasus,dakwaan jaksa penuntut umum,amar putusan

dan analisa putusan.


23

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti.

Anda mungkin juga menyukai