Anda di halaman 1dari 10

A.

Anatomi Fisiologi

Kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis, dan subkutis. Lapisan epidermis
dimulai dari yang bagian terluar terdiri dari: Stratum Korneum, Stratum
Granulosum, Stratum Spinosum, dan Stratum Basale. Lapisan dermis terdiri dari
Stratum Papilare dan Strartum Retikulare, pada lapisan ini terdapat anastomosis
pembuluh darah arterio-vena, serta apendiks kulit seperti kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat, sedangkan pada lapisan subkutis terdapat akar rambut, saluran
limfe, arteri, dan vena.
Fungsi kulit:
1. Sebagai pelindung tubuh terhadap cedera, berbagai jenis trauma, kekeringan,
zat kimia, kuman penyakit, dan radiasi.
2. Mempertahankan pH permukaan kulit (4-6) dengan disekresikannya asam
laktat dari keringat dan asam amino hasil keratinisasi.
3. Sebagai pengindra (faal perasa dan peraba), dijalankan oleh ujung saraf
sensoris Vater Pacini, Meissner, Krause, dan Rufini yang terdapat di dermis.
4. Sebagai pengatur suhu tubuh dan mengatur peredaran darah. Pengaturan suhu
tubuh dimungkinkan dengan adanya jaringan kapiler yang luas di dermis
(vasodilatasi, vasokonstriksi), adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat.

1
B. Definisi
Kista dermoid merupakan suatu choristoma yang bersifat kongenital dilapisi
oleh keratinizing epidermis dengan struktur dermis di dalamnya, seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea. Kista dermoid berisi cairan
sebasea, keratin, kalsium, dan kristal kolesterol. Sekitar 10-50% kista dermoid
merupakan kista dermoid orbital.
Kista dermoid ditemukan berupa massa berbentuk oval, membesar perlahan,
teraba lunak, dan tidak nyeri. Namun bisa juga ditemukan kista dermoid dengan
pergeseran bola mata dan proptosis non-aksial, biasanya ditemukan pada kista
dermoid tipe profunda.

C. Etiologi
Etiologi kista dermoid belum diketahui secara pasti. Kista dermoid dapat
bersifat kongenital atau didapat. Kista dermoid kongenital merupakan lesi
disembriogenik yang berasal dari elemen ektoderm yang terjebak pada saat
penggabungan antara arkus brankial pertama dan kedua yang terjadi pada saat
gestasi 3 sampai 4 minggu. Sedangkan kista dermoid yang didapat terjadi akibat
trauma yang menyebabkan implantasi sel epitel ke jaringan yang lebih dalam atau
karena oklusi duktus kelenjar sebassea.

D. Tanda dan Gejala


Pada umumnya, penderita datang dengan keluhan terdapat massa yang semakin
lama semakin membesar. Pertumbuhan lesi tersebut biasanya perlahan.
1. Kista dapat teraba dengan mudah dan memiliki batas yang tegas.
2. Inflamasi. Jika kista ruptur, secara spontan maupun karena trauma, respon
inflamasi dapat terlihat.
3. Temuan Neurologis. Walaupun jarang terjadi, kista dapat menekan nervus
disekitarnya.

E. Komplikasi
1. Kista dermoid orbital dapat menyebabkan komplikasi neurologis jika menekan
nervus optikus, nervus cranialis III, IV dan VI.
2. Jika kista ruptur, maka akan terdapat tanda-tanda peradangan.

2
3. Ekstirpasi parsial dari kista dermoid, dapat menyebabkan inflamasi yang
persisten, dan kista yang berulang.
4. Komplikasi operatif biasanya terdapat pada prosedur orbitotomi antara lain,
seperti: Kerusakan mata atau struktur adneksa, keterbatasan motilitas, infeksi,
inflamasi, dan perdarahan dapat terjadi.
F. Patofisiologi
Etiologi kista dermoid belum diketahui secara pasti. Kista dermoid dapat
bersifat kongenital atau didapat. Kista dermoid kongenital merupakan lesi
disembriogenik yang berasal dari elemen ektoderm yang terjebak pada saat
penggabungan antara arkus brankial pertama dan kedua yang terjadi pada saat
gestasi 3 sampai 4 minggu.
Sedangkan kista dermoid yang didapat terjadi akibat trauma yang
menyebabkan implantasi sel epitel ke jaringan yang lebih dalam atau karena oklusi
duktus kelenjar sebassea.
Kista dapat teraba dengan mudah dan memiliki batas yang tegas. Inflamasi,
ika kista ruptur, secara spontan maupun karena trauma, respon inflamasi dapat
terlihat. Temuan Neurologis. Walaupun jarang terjadi, kista dapat menekan nervus
disekitarnya. Jika terus dibiarkan maka akan sangat menganggu dan harus segera
dilakukan pembedahan.

3
Kista dermoid yang Kista dermoid yang
bersifat Kogenital bersifat didapat

Membentuk batas
tegas atau massa

Kista Dermoid

Pre Operasi Intra Operasi Post Operasi

Cemas dengan Anastesi Mengaktivasi


prosedur tindakan Respon nyeri
Kesadaran Menurun
Dx: Ansietas Dx: Nyeri Akut
Termogulasi terganggu

Suhu ruangan dingin

Dx: Resiko Hipotermi

4
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berupa pembedahan yaitu dengan ekstirpasi kista
dilakukan dengan mengangkat kista beserta kapsulnya. Selama proses pembedahan,
dinding kista dijaga sebaik mungkin agar tetap utuh karena dinding dan isi kista
bersifat iritatif sehingga apabila kista ruptur pada saat pengangkatan, akan
menyebabkan terjadinya proses peradangan jaringan orbita disekitarnya.
Pembedahan Excisi
1. Definisi
Bedah excisi adalah salah satu cara tindakan bedah yaitu membuang
jaringan (tumor) dengan cara memotong. Tindakan ini dilakukan untuk berbagai
tujuan antara lain pemeriksaan penunjang (biopsy), pengobatan lesi jinak
ataupun ganas dan memperbaiki penampilan secara kosmetis.
Sebelum melakukan eksisi, anatomi daerah yang akan dieksisi harus
dikuasai lebih dahulu. Pada badan dan anggota gerak, eksisi dapat dilakukan
dengan mudah, tetapi pada daerah tangan dan kaki harus hati-hati karena banyak
pembuluh darah dan saraf superficial dan tendon. Eksisi banyak dilakukan pada
muka dan leher, sehingga pengetahuan anatomi daerah ini sangat penting.
Irisan operasi yang sejajar dengan garis regangan kulit alami akan
membuat jaringan parut kurang terlihat. Arah garis ini biasanya tegak lurus
terhadap otot dibawahnya. Juga bila irisan searah dengan lipatan anatomis kulit
seperti lipat nasolabial akan kurang tampak. Tujuan operasi adalah mengangkat
lesi kulit. Pada pengangkatan yang tidak sesuai dengan garis atau lipatan kulit
atau mempengaruhi organ sekitarnya dapat dilakukan peutupan dengan macam-
macam flap atau plasti. Penutupan yang lebih mudah adalah dengan
menggunakan tandur kulit.
2. Keuntungan dan Kerugian
a. Keuntungan Eksisi
1) Seluruh spesimen dapat diperiksa untuk diagnosis histologis dan
sekaligus melaksanakan eksisi total.
2) Pasien-pasien tidak memerlukan follow up yang berkepanjangan setelah
eksisi karena angka kekambuhan setelah eksisi total sangat rendah.
3) Hanya memerlukan satu terapi saja.
4) Penyembuhan luka primer biasanya tercapai dengan memberikan hasil
kosmetik yang baik
5
b. Kerugian Eksisi
1) Diperlukan anestesi lokal.
2) Diperlukan tehnik aseptik dengan menggunakan instrumen-instrumen
bedah, kain penyeka dan lap-lap steril.
3) Diperlukan sedikit waktu dan tingkat keahlian tertentu operatornya
3. Tehnik eksisi
a. Eksisi elips (fusiform)
Merupakan bentuk eksisi dasar, dengan arah yang sejajar dengan garis dan
lipatan kulit. Perbandingan panjang dan lebar minimal 3:1 dengan sudut 30
derajat. Irisan tegak lurus atau lebih meluas ke dalam sampai ke subkutis.
Bila perlu dapat dilakukan undermining yang kalau dimuka tepat dibawah
dermis dan kalau di skalp di daerah subgaleal. Pendarahan yang terjadi di
kulit dapat ditekan beberapa saat dan bila perlu dilakukan hemostasis dengan
elektrokoagulasi, tetapi jangan berlebihan terutama pada pendarahan dermis.
Pendarahan dari pembuluh darah kecil dapat dielektrokoagulasikan tetapi
yang besar harus diikat. Lesi-lesi yang dieksisi berbentuk elips akan
menghasilkan parut yang lebih panjang dari lesi aslinya. Tujuan utama
mengeksisi lesi bebentuk elips adalah mengurangi terbentuknya sisa
kulit/telinga anjing (dog ear). Dog ears dapat diperbaiki dengan
memanjangkan elips atau membuang jaringan berlebih dan menutupnya
dengan bentuk L atau Y.
b. Eksisi wedge
Lesi-lesi yang terletak pada area bebas seperti bibir, sudut mata, cuping
hidung, dan telinga dapat dieksisi dengan eksisi wedge. Karsinoma sel
skuamosa pada bibir disarankan untuk dilakukan eksisi V sehingga dapat
mengangkat jaringan yang sama kelenjar limfenya.3 Jika dilakukan eksisi
wedge pada cuping hidung yang terlalu luas untuk ditutup secara primer,
maka dapat dilkukan graft dengan ukuran yang sama dari telinga. Sepertiga
dari bibir bawah dan seperempat dari bibir atas dan kelopak mata dapat
dilakukan eksisi wedge dan dilakukan penutupan primer.
c. Eksisi sirkular
Pada kulit wajah yang terletak diatas jaringan kartilago seperti batang hidung
atau permukaan anterior telinga, lesilesi dapat diksisi dengan bentu sirkular
dan defek ditutup dengan skin graft full thickness. Tehnik ini dapat juga
6
digunakan pada bagian tubuh lain dengan lesi yang sangat luas. Jika terdapat
keraguan dalam merencanakan eksisi elips makan dapat dilakukan eksisi
sirkular dengan kulit direnggangkan dan perhatikan lingkaran tersebut akan
cenderung membentuk elips kalau kulitnya dikendorkan.
d. Eksisi multipel
Eksisi serial atau ekspansi jaringan kadang diperlukan untuk lesi-lesi yang
luas seperti congenital nevi. Tehnik ini memungkinkan luka ditutup dengan
skar yang lebih pendek dibanding dengan eksisi elips satu langkah.
4. Komplikasi eksisi
a. Pendarahan
b. Infeksi
c. Edema
d. Hipertrofi skar
e. Terbukanya jahitan
5. Batas tepi eksisi
a. Lesi-lesi jinak 1-2 mm.
b. Karsinoma sel basal noduler 2-3 mm, sclerosing 6-8 mm, multifokal 8-10
mm.
c. Penyakit Bowen 3-4 mm.
d. Karsinoma sel skuamosa yang tumbuh lambat 6-10 mm, yang tumbuh cepat
10-15 mm.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen cranium sering menunjukkan defek radiolusen dimana kista masuk dan
mengikis ke dalam tulang. Defek tersebut dapat menjadi luas dengan batas yang
jelas dan dapat menunjukkan perubahan sklerotik.
2. CT-scan atau MRI dilakukan untuk mengevaluasi kista dermoid. Pada CT scan,
dinding kista dermoid akan tampak hiperdense dan kavitas hipodens.
3. Karakteristik ultrasound pada kista dermoid meliputi kontur yang halus dan
echogenisitas yang bervariasi.
4. Color Doppler imaging dari kista dermoid menunjukkan ketiadaan aliran darah
intralesi, dimana dapat membantu membedakan dengan hemangioma dan
rhabdomyosarcoma.

7
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Pre Operasi
Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang peristiwa operasi
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan pasien 1. Mengetahui tingkat kecemasan
2. Berikan penjelasan yang akurat pasien
tentang kondisi penyakit saat ini dan 2. Pasien mengetahui secara pasti apa
proses terjadinya penyakit. yang sedang dihadapi saat ini.
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi 3. Usaha memberikan koping adaptif.
cara memahami berbagai perubahan
akibat penyakitnya.
4. Beri dukungan untuk tindakan 4. Meningkatkan kekuatan diri untuk
operasi berani menghadapi oprasi
5. Setelah pasien mengekpresikan
5. Biarkan pasien mengekspresikan diharapkan pasien mampu
perasaan mereka. mengkontrol ansietasnya
dikemudian.
6. Ciptakan lingkungan yang tenang 6. Mengurangi factor terjadinya
dan tidak menakutkan bagi pasien. kecemasan yang semakin mendalam

7. Kolaborasi dengan tim medis untuk 7. Mengurangi kegelisahan pasien


tindakan pemberian obat sedatif pada saat operasi.

2. Intra Operasi
Resiko hipotermi bd berada diruangan yang dingin
Intervensi Rasional
Kontrol temperatur ruangan Membantu menstabilkan suhu

3. Post Operasi
Nyeri bd agent cidera biologis (trauma jaringan pembedahan)
Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk
secara komprehensif termasuk faktor mengetahui keadaan neri yang
pencetus, kualitas, lokasi, skala, dialami klien dan menentukan
durasi, dan frekuensi nyeri tindakan selanjutnya

8
2. Lakukan pengajaran tentang
teknik distraksi 2. Membant
u mengurangi nyeri yang dialami
3. Kolaborasi pemberian obat- klien dengan pengalihan nyeri
obatan analgetik untuk meredakan 3. Membant
nyeri u mengatsai nyeri secara
4. Tingkatkan istirahat farmakologi
5. Berikan informasi tentang nyeri 4. Mengura
seperti penyebab nyeri, berapa lama ngi stimulus nyeri
nyeri akan berkurang dan antisipasi 5. Membant
ketidaknyamanan dari prosedur u klien dalam mengontrol nyeri
yanag dialami

DAFTAR PUSTAKA

9
Guyton, A.C., dan Hall, J.E.2011. Guytaon dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 12. Elsevier : Singapore
Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit
EGC. Jakarta. 2017
Mansjoer A. etal, 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit
Media Aesculapius, FKUI, Jakarta
Nanda. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda definisi dan Klasifikasi
2015. Yogyakarta : MediAction
Nealon, Thomas F. 2015. Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah ED.4.EGC. Jakarta
Price, S.A. 2016. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakart:
EGC
Snell, Richard. 2016. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Keodkteran edisi 6. Jakarta :
EGC

10

Anda mungkin juga menyukai