Anda di halaman 1dari 16

UAS KESUSASTRAAN INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Kesusastraan Indonesia


yang Diampu Oleh Prof. Dr. H. Yus Rusyana

Disusun oleh
Adib Alfalah
1906946

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
KAJIAN STRUKTURAL DAN MIMESIS DALAM HIKAYAT SAKHR
DAN AL-KHANSA DAN TENTANG MIQDAM DAN HAIFA

Identitas Hikayat

Judul : Kisah Sakhr dan al-Khansa dan tentang Miqdam dan Haifa

Penulis : Malcolm C. Lyons

Penerbit : PT Pustaka Alvabet

Tahun Terbit : 2017

Tebal Buku : 346 halaman

Cetakan :I

Dasar pemilihan hikayat ini adalah karena kisahnya yang begitu luar biasa.
Tema “balas dendam” yang begitu kuat di dalam cerita ini membuat saya sangat
tertarik untuk membacanya. Selain bertemakan dendam, ada hal menarik lainnya
yang bisa diambil dan tentunya bermanfaat bagi kita selaku pembaca, yaitu nilai
tanggung jawab. Dalam hikayat ini, penulis begitu mahir dalam membangun sikap
dan nilai-nilai tanggung jawab ke dalam karakter tokoh-tokoh utamanya. Ini bisa
menjadi pembelajaran baik dan juga bisa menjadi suatu evaluasi diri bagi kita
semua, dimana ada dendam dan tanggung jawab yang harus diperjuangkan secara
adil dalam menjalani kehidupan. Terakhir alasan saya memilih hikayat ini karena
dalam setiap adegan peristiwa, selalu ada syair dan puisi yang dihadirkan penulis,
itu semua menjadikan hikayat ini begitu kaya akan nilai-nilail karya sastra.
A. KAJIAN STRUKTURAL
1. Tokoh dan Penokohan
Ada empat tokoh yang paling sering muncul pada setiap rangkaian
alur cerita, yaitu al-Khansa, Sakhr, Migdam dan Taghlib. Namun,
ada beberapa tokoh tambahan yang dihadirkan dalam hikayat ini
seperti Malik dan Haifa.

a. al-Khansa
Tokoh utama dalam hikayat ini adalah dia, seorang wanita
tangguh yang hidupnya penuh dengan pengalaman yang
luar biasa. Wanita yang bijaksana, dia bisa mendidik
anaknya yang dibesarkannya sendiri tanpa adanya sosok
ayah. Dalam kondisinya sebagai seorang ibu-ibu yang
berumur kurang lebih 40 tahun, dia masih pemberani dan
sangat ambisius dalam hal peperangan.
b. Sakhr
Adalah seorang kesatria tampan gagah perkasa yang sangat
bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa
keluarganya. Dia ahli dalam strategi perang, pemberani dan
jawara pedang. Dia adalah kakak kandung dari al-Khansa.
c. Migdam
Seorang kepala suku yang sangat garang. Disiplin dan tak
terkalahkan dalam medan perang. Dia adalah pria yang
memperkosa al-Khansa, dan juga adalah kakak kandung
dari Haifa.
d. Taghlib
Pemuda tampan yang tumbuh kuat. Dia adalah anak dari al-
Khansa, dan juga anak dari seorang kepala suku yaitu
Migdam. Setelah dewasa, Taghlib tumbuh jadi kesatria
yang tangguh seperti orang tuanya.
2. Latar
Latar tempat pada hikayat ini adalah di sebuah tanah jazirah Arab.
Tempat persisnya tidak dideskripsikan langsung oleh pengarang,
hanya ada di tengah gurun padang pasir yang di sana terdapat
wilayah-wilayah tempat suku-suku arab menetap. Latar suasana
dan waktu pada hikayat ini kurang lebih sama dengan semua
cerita-cerita peperangan, ada pagi siang malam dengan suasana
yang menegangkan tentunya.
3. Alur
Hikayat ini menggunakan alur maju yang sederhana, dimulai dari
orientasi, konflik, klimaks, anti klimaks dan terakhir koda. Semua
tersusun maju dengan jelas.
4. Tema
Tema adalah pesan umum yang ingin disampaikan penulis. Dalam
hikayat ini, tema yang ingin diangkat penulis yaitu dendam dan
tenggung jawab. Mengapa demikian, karna konflik berjalan dengan
mengangkat tema balas dendam dan tanggung jawab tokoh al-
Khansa dan Sakhr kepada pemerkosa al-Khansa. Setelah konlik itu
selesai, muncul lagi balas dendam serta tanggung jawab al-Khansa
dan keluarganya terhadap kematian Sakhr.
B. KAJIAN MIMESIS
Kajian ini menggunakan pendekatan mimesis. Pendekatan ini
memandang bahwa menganalisis karya sastra bertolak dari anggapan
perlunya penelusuran kenyataan realitas objektif setelah analisis structural
diselesaikan (Hasananuddin, WS, 1996:116). Betapapun karya sastra
dicipta oleh pengarang secara individual, tetapi sebagai anggota
masyarakat pastilah dia menyerap nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya.
Hal ini berarti bahwa kenyataan tatanan masyarakat, permasalahan
masyarakat mewarnai karya sastra yang dicipta pengarang. Dengan
demikian karya sastra dipercayai mempunyai misi untuk dapat
dimanfaatkan manusia dalam menjalani hidupnya du dunia nyata. Oleh
sebab itu, penghubung dunia rekaan dengan dunia kenyataan diperlukan
sesuai dengan tujuan penciptaan sastra sebagai hasil budaya manusia.
Pada hikayat Kisah Sakhr dan al-Khansa dan tentang Migdam dan
Haifa, pengarang berangkat dari sejarah sosial masyarakat yang hidup
pada masa itu. Hal yang paling relevan dengan kehidupan nyata adalah
penenempatan latar yang disuguhkan pengarang. Latar tanah jazirah arab
dengan wilayah yang didiami oleh suku-suku memang dahulunya ada di
kehidupan nyata. Pada masa Nabi dan Rasul, memang tanah arab dibagi
wilayah berdasarkan tempat yang dikuasai oleh suku-suku disana.
Sebagian nama suku yang ada di hikayat juga ada pada sejarah
kepemimpinan Rasulullah.
Hal yang sangat relevan antara cerita di hikayat dengan sejarah di
tanah arab adalah budaya perperangan antar suku, cara berperang, strategi
perang, dan semua hal tentang perperangan. Perang antar suku memang
menjadi jalan terakhir bagi suku-suku untuk memperoleh kesepakatan
masalah-maslah kehidupan mereka, merebut kekuasaan atau untuk
membuktikan suku mana yang terkuat. Dan itu juga dikisahkan di dalam
hikayat ini.
Budaya bersastra seperti syair dan pantun yang dikisahkan di
dalam hikayat, juga menjadi cerminan kehidupan nyata pada masa
Rasulullah. Pada masa itu, di tanah arab, sastra menjadi media unik untuk
menyampaikan ide atau pendapat seseorang terhadap apa saja yang tengah
mereka rasakan. Kreatifnya fenomena itu ditangkap oleh pengarah dan
diinovasikan menjadi sebuah hikayat.
Hikayat ini sudah mampu menjadi penghubung antara dunia nyata
pada masa itu dengan dunia fiksi yang dihidupkan pengarang. Namun ada
hal penting yang ada pada cerita hikayat ini belum tentu ada di kehidupan
nyata. Yaitu pada kisah tokoh utama al-Khansa yang perempuan sangat
garang di medan perperangan, yang dimana dalam cerita bahwa umur al-
Khansa kurang lebih 40 tahun namun masih mampu perkasa untuk
berperang. Ada lagi pada kisah balas dendam al-Khansa yang menuntut
1000 wanita harus merasakan kematian saudara laki-laki mereka, itu
semua agar setimpal dengan apa yang dirasakan oleh al-Khansa. Al-
Khansa merasakan satu kematian saudara laki-lakinya dan dia menuntut
untuk 1000 wanita juga harus merasakan hal yang sama, barulah dia akan
puas dan tidak balas dendam lagi. Hal-hal seperti itulah yang ada di dalam
hikayat namun akan sangat sulit ditemukan dikehidupan nyata. Ini adalah
bagian atau ranahnya dunia fiksi yang mampu melampaui batas-batas
dunia nyata, dan itu dilakukan oleh kekuatan seorang pengarang.
KAJIAN STRUKTURAL DAN MIMESIS DALAM NOVEL
LELAKI HARIMAU KARYA EKA KURNIAWAN

Judul : Lelaki Harimau

Penulis : Eka Kurniawan

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2004

Tebal Buku : 191 halaman

Dasar pemilihan novel ini adalah karena novel ini terpilih menjadi Book of The
Year IKAPI 2015, Long list Tha Man Booker Internasional Prize 2016 dan
Winner FT/Openheimerfounds Emerging Voices Awards 2016. Novel ini juga
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Jerman dan Korea.
Menurut saya tulisan Eka Kurniawan adalah tulisan yang sangat kaya dengan nilai
sastra. Novel ini sangat banyak dapat pujian dari kurator bahkan media-media
cetak seprti Tempo, Kompas dll. Dalam novel ini, dan hampir di setiap novelnya,
perputaran alur yang unik selalu terjadi, diksi-diksi yang apik selalu memanjakan
kalimat. Buku ini memang layak dapat banyak penghargaan, saya rasa orang-
orang wajib membaca karya-karya Eka, kualitas sastra dia adalah salah satu yang
terbaik di Indonesia.
C. KAJIAN STRUKTURAL
5. Tokoh dan Penokohan
Berdasarkan analisis novel Lelaki Harimau dengan
menggunakan teori struktur novel Robert Stanton yang meliputi
penokohan, latar, tema, dan hubungan antar unsur, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut. Dalam novel Lelaki Harimau, tokoh-
tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh
utama dalam novel ini adalah Margio. Margio disebut tokoh utama
karena keterlibatannya sangat tinggi dalam peristiwa-peristiwa
yang membangun cerita. Margio digambarkan berwatak
pendendam, penyayang, pemalu, penolong, nakal, dan santun.
Konflik-konflik yang dialami oleh Margio mendukung tema novel
diangkat dari berbagai konflik yang muncul dalam kehidupan
tokoh utama.
Dalam novel Lelaki Harimau, tokoh utama, konflik utama,
dan tema utama saling berhubungan. Tokoh bawahan dalam novel
ini adalah Komar bin Syueb, Nuraeni, Anwar Sadat, Mameh,
Maharani, Laila, Maesa Dewi, Agung Yuda, Kaisa, Mayor Sadrah,
Kyai Jahro, Ma Rabiah, Ma Soma, Ma Muah, dan Marian.
Kehadiran tokoh bawahan dapat mendukung dan membantu tokoh
utama dalam cerita. Kemunculan tokoh Komar bin Syueb sebagai
ayah Margio membuat karakter pendendam pada tokoh Margio
semakin jelas dan kuat karena Margio sangat membenci Komar bin
Syueb. Karakter Margio yang pendendam juga didukung oleh
kehadiran tokoh Nuraeni sebagai ibu Margio.Nuraeni sering
menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh Komar bin
Syueb. Margio yang sangat menyayangi ibunya itu pun semakin
membenci Komar bin Syueb. Kehadiran tokoh bawahan dapat
memperkuat karakter tokoh utama. Selain itu, tokoh bawahan juga
dapat membuat ketegangan dalam cerita.
6. Latar
Latar dalam novel Lelaki Harimau terdiri dari latar tempat,
latar waktu, latar sosial-budaya, dan latar atmosfer (suasana). Latar
tempat sebagian besar dalam novel ini adalah sebuah desa. Latar
tempat desa ini, antara lain, adalah rayon militer, warung Agus
Sofyan, surau, pos ronda, pemakaman umum Budi Dharma,
perkebunan, balai desa, rumah Margio, rumah Anwar Sadat, dan
lapangan bola. Pengarang dapat dengan jelas menunjukkan latar
tempat di dalam cerita. Latar waktu yang digunakan adalah latar
waktu yang langsung menunjuk pada waktu terjadinya setiap
peristiwa dan dengan cara menggunakan kalimat yang
diasosiasikan dengan waktu. Latar sosial-budaya yang terdapat
dalam novel Lelaki Harimau meliputi latar sosial masyarakat desa.
Masyarakat desa masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan
percaya pada mitos. Dalam novel ini, masyarakat desa percaya
pada mitos harimau. Mereka percaya bahwa harimau sebagai
binatang sakti yang dapat melindungi pemiliknya dari segala
bahaya.
Latar suasana yang tergambar dalam novel Lelaki
Harimaumeliputi suasana marah dan sedih. Suasana marah terlihat
saat Komar bin Syueb mengetahui istrinya berselingkuh. Komar
bin Syueb memukul istrinya di depan Margio dan Mameh. Margio
pun semakin membenci Komar bin Syueb dan keinginan untuk
membunuh Komar bin Syueb semakin bertambah. Suasana sedih
juga terlihat saat tokoh Marian yang merupakan adik bungsu
Margio meninggal dunia.

7. Alur
Alur maju mundur yang acak namun apik terjadi di novel
ini. Eka mampu memulai alur cerita dari mana saja. Dia bisa
memulai dari konflik, koda, atau apapun. Namun dengan alur yang
tidak sesuai dengan struktur alur prosa pada umumnya, cerita ini
sungguh luar biasa. Semua alur acak itu malah menjadikan sebuah
alur yang indah dan unik. Dia mengajak kita untuk berjalan-jalan
dalam sebuah simpang alur yang bebas, rasa penasaran yang
dihadirkan akhirnya akan terjawab jika kita memang mengikuti
alurnya yang acak. Ini sungguh jarang ditemukan pada karya-karya
prosa umumnya.
8. Tema
Tema pada novel Lelaki Harimau ini adalah tentang tragedi
keluarga, semua tentang keluarga. Bagaimana sebuah keluarga
yang selama kehidupannya sangat jarang merasakan keharmonisan.
Ayah selalu bertengkar dengan Ibu. Ayah main tangan ke anak. Ibu
gila dan selingkuh. Ayah mati tak terurus sama seperti anak bayi
terakhir mereka yang juga mati tak terurus. Anaknya dengan semua
permasalahan itu, akhirnya membunuh orang. Itulah tema novel
Lelaki Harimau, tragedi keluarga yang tragis.

D. KAJIAN MIMESIS
Kajian ini menggunakan pendekatan mimesis. Pendekatan ini
memandang bahwa menganalisis karya sastra bertolak dari anggapan
perlunya penelusuran kenyataan realitas objektif setelah analisis structural
diselesaikan (Hasananuddin, WS, 1996:116). Betapapun karya sastra
dicipta oleh pengarang secara individual, tetapi sebagai anggota
masyarakat pastilah dia menyerap nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya.
Hal ini berarti bahwa kenyataan tatanan masyarakat, permasalahan
masyarakat mewarnai karya sastra yang dicipta pengarang. Dengan
demikian karya sastra dipercayai mempunyai misi untuk dapat
dimanfaatkan manusia dalam menjalani hidupnya du dunia nyata. Oleh
sebab itu, penghubung dunia rekaan dengan dunia kenyataan diperlukan
sesuai dengan tujuan penciptaan sastra sebagai hasil budaya manusia.
Pada novel Lelaki Harimau ini, kajian dengan pendekatan mimesis
akan sangat jelas terlihat. Bagaimana tidak, karakter tokoh, latar dan
konflik yang dihadirkan Eka adalah cerminan dari fenomena sosial yang
terjadi dari dulu bahkan sampai dengan sekarang. Fakta-fakta yang terjadi
di kehidupan nyata diangkat untuk dijadikan dokumentasi sosial dengan
kemasan sastra. Berhasilnya novel ini menjadi penghubung dunia nyata
dengan karya sastra terlihat dari kuatnya diksi-diksi yang mampu
menggambarkan kondisi kehidupan keluarga yang penuh dengan masalah.
Pada novel, diceritakan bagaimana suatu keluarga yang di
dalamnya hanya ada caci maki, kekerasan dan pertengkaran. Itu sangat
banyak terjadi pada kehidupan nyata dahulu hingga sekarang.
Pembuktiannya, sangat banyak berita-berita yang menyiarkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga di media-media cetak maupun online.
Namun itulah fungsinya karya sastra, menyiarkan berita kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang fiksi, namun fakta kejadiannya. Kasus anak
membunuh selingkuhan ibunya juga banyak terjadi di kehidupan nyata.
Alur itu seperti Eka Kurniawan melalui novel Lelaki Harimau menyiarkan
kasus yang fiksi dengan media sastra, namun konten di dalamnya
berangkat dari fenomena sosial yang fakta. Maka dapat dikatakan bahwa
pada novel ini, karya Eka menjadi jembatan antara karya sastra dengan
fakta sosial yang relevan.
PERBANDINGAN STRUKTUR HIKAYAT
DENGAN STRUKTUR NOVEL

Berbicara mengenai struktur karya sastra berarti berbicara pada suatu


kemungkinan yang akan selalu terjadi. Dalam struktur karya sastra, tidak ada
aturan yang mengikat struktur dengan tetap, struktur karya sastra itu dinamis,
karya sastra sangat kuat akan subjektivitas penulis, maka keseragaman struktur
akan sangat beragam nantinya. Hikayat dan novel sama-sama karya sastra
bergenre prosa. Kesamaan yang ada pada kedua jenis prosa ini adalah sama-sama
bersifat naratif. Sama-sama memiliki struktur seperti orientasi, konflik, klimaks,
anti klimaks, dan koda. Namun perbedaannya adalah pada alur penyuguhan
struktur.
Struktur pada hikayat Sakhr dan al-Khansa sangat teratur, dengan alur
maju, struktur diatur sedemikian rupa sehingga menuntun pembaca dari awal
kisah sampai akhir kisah. Perbedaan yang terlihat yaitu pada alur novel Lelaki
Harimau, novel ini tetap menggunakan struktur prosa dengan benar, namun tidak
sesuai dengan alur yang runtun. Di sinilah letak kreativitas dan inovasi yang
dibebaskan sepenuhnya kepada pengarang. Maka dengan segala keunikan struktur
alur yang ada pada novel, tidak akan menjadikan novel itu menjadi novel yang
gagal karena melanggar struktur, namun akan dianggap sebagai novel dengan
keragaman struktur yang unik akan selalu dinamis.
Cerita anak
Kisah keluarga al-Khansa
Konon -dan Allah Mahatahu- pada zaman dahulu, dihamparan padang
pasir, di jazirah Arab, ada sebuah cerita tentang seorang laki-laki kaya bernama
Malik, yang memiliki tiga orang putra dan seorang putri. Putra sulung bernama
Khath’am, putra kedua bernama Saddad, putra bungsu bernama Sakhr dan
sementara putrinya bernama al-Khansa. Karena al-Khansa satu-satunya anak
perempuan di keluarganya, maka al-Khansa begitu diistimewakan. Dia diberi
permata yang sangat langka, didapatkan dari punduk unta albino yang memang
sangat jarang ditemukan. Permata itu sering dianggap mitos oleh masyarakat
setempat, namun ternyata mamang nyata, permata itu ditemukan sendiri secara
kebetulan oleh Malik, ayahnya al-Khansa.
Saat itu Malik melarikan diri karena Kabilahnya kalah perang dengan suku
Bani Mazin. Dia lari sambil dihujani panah dari tentara Bani Mazin, sampai pada
tepian sungai Nil, Malik hendak masuk ke dalam sungai agar bisa berenang dan
menjauh dari tentara Bani Malik. Setelah masuk ke dalam sungai dengan kondisi
setengah terluka, akhirnya Malik pingsan dan hanyut sampai hilir sungai. Disana
dia tiba-tiba diselamatkan oleh seekor unta albino, Malik diseret ketepian sungai.
Setelah menyelamatkan Malik, unta itu tampak kelelahan, napasnya tidak
beraturan, Malik terbangun karena mendengar hembusan napas unta itu. Ia sontak
terkejut melihat unta albino itu, selama ini ia meyakini itu hanya mitos, namun
sekarang ia melihat sendiri dengan mata kepalanya. Malik masih belum yakin, ia
menduga-duga apakah ini mimpi, namun akhirnya ia sadar kalau ini memang
nyata, setelah ingat kejadian dirinya yang kabur dikejar tentara Bani Mazin dan ia
pun masih merasakan sakitnya luka ditubuhnya yang terkena sayatan pedang
musuh.
Ia merasa sangat berterima kasih pada unta albino itu, namun ia juga sedih,
kondisi unta albino itu makin memburuk. Sepertinya dia tidak tahan terkena
genangan air, atau dia sengaja mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan
Malik. Tak lama setelah Malik sadar, unta itu akhirnya mati, malik meneteskan air
matanya, bersyukur dia masih hidup dan sedih karena unta yang
menyelamatkannya mati. Merasa bertanggung jawab atas kematian unta itu,
dengan segera Malik menggali tanah untuk menguburkan bangkai unta tersebut.
Ketika Malik menyeret unta ke dalam lubang kuburan, ia melihat ada kilauan di
punduk unta tersebut. Malik sangat terkejut ketika ia menemukan batu permata di
punduk unta tersebut. Ia tek henti-henti mengucap syukur kepada Tuhan, ternyata
kisah batu permata yang diceritakan nenek moyang mereka selama ini memang
nyata, dan sekarang ada di genggaman Malik.
Dengan penuh syukur dan haru, dia menguburkan unta albino sampai
selesai, tak lupa dia juga menyucapkan terima kasih pada unta itu. Malik
mendapatkan dua keberuntungan, pertama nyawanya diselamatkan unta, dan yang
kedua dia mendapatkan permata yang langka dan kalau dijual bisa untuk membeli
ladang kebun yang luas serta ribuan ekor unta. Karena permata itu sangat
berharga, dan jika diketahui oleh orang lain maka bisa jadi Malik akan dibunuh
untuk diambil permata itu darinya. Oleh karena itu, Malik sangat merahasiakan
kepemilikan permata itu dari siapapun, ia akhirnya pergi ke suatu suku kecil yang
terpecil terletak di tapian pantai laut merah, namanya Bani Khilab. Di sanalah
Malik menetap, dia bekerja sebagai pengembala kambing. Berbulan-bulan dia
bekerja dipeternakan kambing, Malik menemukan gadis pujaan hatinya, dia
adalah anak pemilik dari kambing-kambing yang digembalakan Malik. Malik
bekerja sangat giat agar bisa mendapatkan restu untuk menikahi anaknya juragan
kambing. Karena ketampanan dan kedisiplinan Malik, akhirnya ia direstui
menikah dengan putri juragan kambing itu, namanya Aisyah Kumala.
Setelah menikah mereka mempunyai empat orang anak. Tiga laki-laki dan
satu perempuan. Selama berahun-tahun sejak Malik menemukan batu permata itu,
tidak seorangpun tahu tentang keberadan batu itu, semua orang masih
menganggap bahwa batu itu hanya mitos. Namun itu semua merubah
pemikirannya untuk tetap menyembunyikan batu itu, karena kondisi keluarganya
yang mulai jatuh miskin. Ayah Aisyah Kumala jatuh sakit di hari tuanya, untuk
berobat dan memenuhi kebutuhannya, ayahnya menjual semua binatang
ternaknya, namun sayang, akhirnya itu semua tidak membantu. Ayah Aisyah
meninggal, dan tidak ada lagi harta peninggalannya. Keluarga Aisyah dan Malik
pun akhirnya mulai jatuh miskin. Melihat kondisi seperti itu dan setelah banyak
pertimbangan, ahirnya Malik membuka rahasia pribadinya, yaitu memberi tahu
keluarganya kalau dialah pemilik permata yang jadi mitos-mitos di jazirah Arab
selama ini.
Pada waktu malam hari, setelah makan malam bersama. Malik sebagai
kepala keluarga memanggil istri dan semua anak-anaknya. Malam itulah rahasia
yang bertahun-tahun dirahasiakannya akhirnya terbongkar. Malik menceritakan
semua kejadian dia di masa lalu dengan sangat rinci, kaluarganya pun hening
penuh simak. Setelah semua cerita itu, Malik meminta istri dan semua anak-
anaknya memberikan pendapat tentang apa yang harus dilakukan mereka terhadap
batu itu. Istrinya menyuruh untuk mengubur batu itu tepat di kuburan unta albino
yang sempat menyelamatkan nyawa Malik. Anak sulung yaitu Khath’am,
memberikan pendapat agar batu itu dijual, dan seluruh hasil penjualan itu dubuat
untuk rumah yang megah dengan segala kesempurnannya. Anak kedua yaitu
Saddad, memberikan pendapat agar batu itu diberikan saja pada suku terkuat di
Arab, agar batu itu aman dan tidak jatuh ketangan orang jahat. Anak yang ketiga
yaitu Sakhr memberikan pendapat agar batu itu dihancurkan saja, karena takut
akan menjadi bencana kepada keluarga mereka, dia beranggapan bahwa
kemiskinan yang menimpa keluarganya ini karena ayahnya menyimpan batu itu.
Lalu anak bungsu yaitu al-Khansa memberikan pendapat agar batu itu tetap dijual,
tapi hasil penjualan itu untuk membangun suku baru, dimana Malik menjadi ketua
suku, dan semua hasil itu untuk membeli tentara untuk siap perang, perlengkapan
perang, membangun suku, mensejahterakan penduduk suku, maka suku itu akan
jadi suku yang besar, kuat dan sejahtera. Menurutnya itu akan lebih berguna.
Setelah semuanya menyampaikan pendapat mereka masing-masing, maka
Malik meminta untuk semuanya memilih pendapat siapa yang akan disetujui.
Akhirnya setelah debat panjang yang memakan waktu sampai subuh, pendapat al-
Khansa lah yang dianggap paling bijaksana. Namun tidak ada yang sanggup untuk
membeli batu itu dengan harga yang sangat mahal. Akhirnya Malik memberikan
pendapat yang langsung disetujui keluarganya yaitu, memeceah batu permata itu
menjadi tujuh pecahan batu, enamnya dijual dan sisakan satu untuk disimpan oleh
mereka. Akhirnya subuh itu telah ditetapkan, dan siangnya Malik mulai memecah
batu itu mejadi tujuh bagian dan lalu dijuallah ke suku-suku yang terkaya di Arab.
Setelah selama tujuh bulan batu itu akhirnya terjual dengan harga tertinggi. Lalu
selama tujuh tahun Malik mendirikan suku baru yang kuat dan sejahtera. Mereka
pun sangat berbahagia, karena mereka sepakat memilih pendapat al-Khansa yang
bijaksana. Mereka juga akhirnya mengerti, pentingnya menyampaikan pendapat
dan penitingnya mufakat, dan sistem itu menjadi budaya di suku mereka, yaitu
suku Bani Al-Falah.

Anda mungkin juga menyukai