Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KONTRASTIF PERIBAHASA MINANGKABAU DAN

INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA “AIR”

Adib Alfalah

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Sekolah Pascasarjana, Universitas


Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia

alfalahadib33@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia adalah negara dengan keberagaman bahasa dan budayanya. Dalam berbahasa,
masyarakat tentunya memiliki kebiasaan yang menjadi budaya, yakni peribahasa. Di
setiap daerah, terdapat banyak ragam peribahasa dengan kekayaan makna yang berbeda-
beda, salah satunya peribahasa Minangkabau di Sumatera Barat. Tulisan ini bertujuan
untuk mendeskripsikan persamaan atau perbedaan peribahasa Minangkabau dengan
peribahasa Indonesia yang menggunakan kata air. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kulaitatif, yang dilakukan dengan cara menganalisis
perbandingan kedua peribahasa, kemudian mendeskripsikan pembahasan sesuai dengan
data yang diperoleh. Penelitian inipun menghasilkan temuan dari 217 peribahasa
Minangkabau dan 102 peribahasa Indonesia yang mengandung unsur kata air, hanya 9
peribahasa yang mempunyai struktur kalimat yang sama, dan layak dibandingkan. Dari
sembilan data yang dibandingkan menggunakan analisis kontrastif, dapat penulis
simpulkan bahwa terdapat persamaan makna antara peribahasa Minangkabau dengan
peribahasa Indonesia yang menggunakan kata air . Namun perbedaannya terletak pada
pilihan dan jumlah diksi yang digunakan antara kedua peribahasa. Dalam peribahasa yang
menggunakan unsur kata air, Peribahasa Minangkabau lebih kaya akan diksi kata
dibandingkan peribahasa Indonesia.

Kata Kunci: Kontrastif, Peribahasa Minangkabau, Peribahasa Indonesia.

PENDAHULUAN

Dalam setiap wilayah selalu terdapat beragam jenis bahasa yang berbeda,
baik di setiap negara ataupun daerah-daerah yang terbagi dalam satu negara
tersebut. Perbedaan bahasa tentu dipengaruhi oleh perbedaan tempat dimana
bahasa itu digunakan. Perbedaan wilayah dan budaya menjadikan bahasa semakin
kaya akan keberagaman. Sapir dan Whorf (Kurniawan: 2018:64) mengajukan
sebuah hipotesis mengenai hubungan antara bahasa, budaya dan pikiran. Ketiga
itu memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Outout bahasa yang akan
diucapkan, akan diolah dahulu di pemikiran yang sudah terpapar budaya,
begitulah ketiganya saling berhubungan.

Peribahasa sebagai salah satu bentuk ungkapan bahasa dalam


berkomunikasi, khususnya dalam bentuk ungkapan tradisional dinilai masih
memiliki vitalitas yang ditinggi di kalangan masyarakat yang mewarisi budaya.
Eksistensi peribahasa tentunya tidak lepas dari fungsi peribahasa itu sendiri yang
masih dirasakan masyarakat hingga saat ini. Oleh karena itu peribahasa setidaknya
berfungsi sebagai alat pendidikan anak dan pengawas norma-norma masyarakat
agar selalu dipatuhi. Jadi fungsi peribahasa sebagai pengendalian masyarakat
tentu dipengaruhi oleh muatan makna yang terkandung di dalamnya.

Indonesia dengan segala keberagaman budayanya juga akan menghasilkan


beragam makna peribahasa yang tentunya sesuai dengan konteks dimana
peribahasa itu dituturkan. Oleh karena itu, peribahasa tidak hanya hadir dalam
bentuk bahasa persatuan, namun juga hadir dan menetap pada setiap daerah dan
dengan beragam bahasa daerah konvensional tentunya. Selain bersifat
konvensional, bahasa juga bersifat universal, dan tentunya akan berlaku pada
peribahasa. Jika masyarakatnya berasal dari Minang, maka peribahasa yang
diwarisinya adalah peribahasa Minang, jika berasal dari batak, maka juga akan
mewarisi peribahasa dari batak. Begitu juga dengan seluruh daerah di Indonesia,
setiap masyarakat juga akan mewarisi peribahasa dari daerah mereka masing-
masing.

Mesikipun pada segi bahasa, peribahasa beragam dan berberbeda-beda,


namun tentu ada persamaannya, yaitu pada makna. Yang berbeda hanyalah pada
bahasanya, namun pada segi makna peribahasa, tentu ada kesamaan. Hal ini
didasari pada pemikiran strukturalisme Levi-Strauss (Kurniawan, 2018:65) yang
menyimpulkan bahwa sebenarnya pemikiran manusia dimanapun itu sama,
budaya-budaya itulah yang menyebabkan perbedaan dalam pemikiran tersebut
yang diadaptasikan dengan kondisi lingkungan hidup tertentu. Jadi pemikiran
yang sama itu dikeluarkan dalam bentuk output bahasa berbeda namun makna
yang sama, begitulah yang terjadi pada peribahasa. Dalam mini riset kali ini,
penulis yang berasal dari daerah Sumatra Barat, akan melakukan riset
perbandingan peribahasa Minang dengan peribahasa Indonesia. Kenapa
peribahasa Minang? Karena bahasa Minang memiliki rumpun yang sama hulunya
dengan bahasa persatuan Indonesia, yaitu bahasa Melayu. Maka penulis
berhipotesis bahwa terdapat persamaan makna antara peribahasa Indonesia dan
peribahasa Minang. Dasar pemikiran Levi-Strauss inilah yang menjadi dasar
penulisan perbandingan peribahasa Minang dengan peribahasa Indonesia, dengan
asumsi bahwa meskipun bahasa dan referennya berbeda namun inti atau makna
yang dimaksud tetap sama.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan


antara peribahasa Minangkabau dengan peribahasa Indonesia yang menggunakan
unsur kata air? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
persamaan atau perbedaan dari peribahasa Minangkabau dan Peribahasa Indonesia
yang menggunakan unsur kata air. Kenapa “air”? saya pun tidak memiliki alasan
ilmiah yang pasti kenapa saya mengambil unsur kata air, yang pasti adalah pada
sumber data yang saya pakai yaitu buku Kamus Peribahasa Indonesia, kata yang
paling banyak muncul dalam peribahasa Indonesai adalah kata air, yaitu sebanyak
102 peribahasa. Mungkin masyarakat banyak menggunakan peribahasa dengan
unsur kata air adalah karena air itu salah satu elemen bumi yang sangat berguna
bagi kehidupan sehari-hari. Tubuh manusiapun sangat membutuhkan air melebihi
kebutuhan makanan. Air bisa menjadi rahmat namun seketika bisa menjadi
bencana. Namun dalam penelitian ini, saya tidak membahas kenapa unsur kata air
sangat banyak digunakan dalam peribahasa. Tetapi untuk mengetahui perbedaan
atau persamaan makna peribahasa Minang dan Peribahasa Indonesia yang
menggunakan unsur kata air. Berbicara makna, maka satu hal yang harus diingat,
yaitu bahasa bersifat arbitrer, maka hubungan antara kata dan maknanya juga
bersifat arbitrer. Pada penelitian ini, penulis menggunakan semantik untuk
membahas makna pada kata dan pragmatik untuk membahas makna pada kata
dalam kalimat yang tentunya unsur konteks juga tak luput dari perhatian.
Untuk membandingkan peribahasa dari dua bahasa yang berbeda, maka
digunakanlah analisis Linguistik Kontrastif. Analisis ini bertujuan
mengidentifikasi segi-segi perbedaan yang kontras (mencolok) antara dua bahasa
atau lebih yang diperbandingkan. Melalui pendekatan kontrastifini akan
diperolaeh kekhasan bahasa masing-masing dan melalui studi kontrastif juga akan
dapat mengungkapkan bahwa perbedaan budaya (antara budaya bahasa pertama
dengan bahasa kedua) berimplikasi pada perbedaan-perbedaan perwujudan
bahasa. Menurut Di Pietro dalam Tajudin (2016:5) ada empat tahap yang harus
ditempuh untuk mengontraskan komponen dari dua bahasa yang diperbandingkan,
yaitu (1) mengumpulakan objek data yang dimaksud, (2) menghadirkan
bandingannya dalam satuan lingual yang sama dalam bahasa lain melalui transfer,
(3) mengidentifikasi varian-varian kontras yang ada, dan (4) merumuskan kontras-
kontras dalam kaidah.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini


dilakukan untuk mendapat gambaran secara jelas dan mendeskripsikan persamaan
atau perbedaan antara peribahasa Minangkabau dengan peribahasa Indonesia yang
menggunakan kata air. Sumber data penelitian ini adalah sejumlah peribahasa
Minangkabau yang terdapat pada web resmi www.pariamantoday.com dan
peribahasa Indonesia yang terdapat dalam buku Kamus Peribahasa Indonesia
oleh Yose Rizal. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
menganalisis dokumen-dokumen penting yang berhubungan serta dapat
memberikat data yang mampu memecahkan permasalahan dalam penelitian. Studi
ini dilakukan dengan cara menganalisis persamaan dan perbedaan yang ditemukan
dalam peribahasa bahasa Minang dan bahasa Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian hasil dari penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni hasil
peribahasa Minang dengan unsur kata air dan hasil peribahasa Indonesia dengan
unsur kata air. Pada hasil ini nantinya akan dibahas dan dikaji persamaan atau
perbedaan makna kedua peribahasa tersebut.

Perbandingan Peribahasa

No. Peribahasa Minangkabau Peribahasa Indonesia


1. Aia diminum raso duri, nasi Air diminum rasa duri, nasi dimakan
dimakan raso sakam rasa sekam
2. Aia bariak tando tak dalam, Air beriak tanda tak dalam
bakucak tando tak panuah
3. Bak mahambek aia hilia, bak Bagai mengalirkan air ke bukit
manahan gunuang runtuah
4. Aia susu dibaleh jo aia tubo Air susu dibalas dengan air tuba
5. Bak aia di daun kaladi, bak talua Ibarat air di daun keladi
diujuang tanduak
6. Bak aia jatuah ka kasiak, bak Bagai mencincang air
batu jatuah ka lubuak
7. Bak api di dalam sakam, aia Air tenang menghanyutkan
tanang manghanyuikkan
8. Mancabiak baju di dado, Menepuk air di dulang
manapuak aia di dulang
9. Pandai batanam tabu di bibia, Pandai berminyak air
pandai baminyak aia

Pembahasan hasil perbandingan peribahasa Minangkabau dan peribahasa


Indonesia

Dari data yang dibandingkan, untuk peribahasa Indonesia penulis


mengumpulkan 102 peribahasa yang menggunakan unsur kata air. Untuk
peribahasa Minangkabau, penulis mengumpulkan 217 peribahasa yang
menggunakan unsur kata air. Setelah dibandingkan, hanya terdapat 9 peribahasa
yang memiliki makna yang relatif sama.

Data 1, “Aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam” memiliki
makna seseorang yang menanggung penderitaan batin. Pada peribahasa Indonesia
yang kata-katanya sangat sama, hanya berbeda bahasa, namun maknanya sedikit
berbeda, walaupun merujuk pada tujuan yang sama. Peribahasanya yaitu, “Air
diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam”. Dalam kamus peribahasa yang
disusun oleh Yose Rizal, makna dari peribahasa itu adalah kondisi dimana orang
tidak mau makan dan minum karena sedang bersedih hati yang terlalu dalam. Dari
data 1 yang dibandingkan, persamaannya adalah jika peribahasa Minangkabau itu
diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka akan terdapat kesamaan pada tataran
lingual bahasa secara leksikal. Perbedaannya hanya pada diksi kata yang manjadi
penjabaran makna peribahasa itu, namun secara pragmatik itu mengandung makna
yang sama.

Data 2, “Aia bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah” memiliki
makna seseorang yang mengaku dirinya pandai, tetapi yang kejadian adalah
sebaliknya. “Air beriak tanda tak dalam” memiliki makna yaitu orang yang
banyak bicara dan gembar-gembor itu biasanya ilmunya dangkal. Dalam makna
pragmatik tujuan dari peribahasa itu sangat sama, namun penyampaian maknanya
berbeda dalam hal susunan diksi saja. Ada perbedaan lagi yang penulis temukan
pada data 2, yaitu dalam peribahasa Minangkabau, mengandung kalimat jamak
yang terdiri dari dua klausa, klausa pertama sama dengan peribahasa Indonesia,
hanya saja berbeda bahasa. Klausa ke dua berfungsi sebagai penambah dan
sebagai penguat makna dari klausa pertama dan maknanya juga merujuk pada
tujuan yang sama.

Data 3, “Bak mahambek aia hilia, bak manahan gunuang runtuah”


mengandung makna mengerjakan suatu pekerjaan berat yang harus dikerjakan
bersama, dikerjakan sendirian, dan tidak mempunyai keahlian pula tentang itu.
Sementara pada peribahasa Indonesia “Bagai mengalirkan air ke bukit”
mengandung makna mengerjakan suatu pekerjaan yang amat sulit, dan tidak
mungkin berhasil. Terdapat perbedaan pada data 3 kali ini, pertama pada diksi
yang digunakan peribahasa Minang lebih banyak dan beragam, kedua jumlah
klausa peribahasa Minang lebih banyak dari pada peribahasa Indonesia.
Persamaannya hanya pada kandungan makna, walaupun tujuan dari maknanya
sama, tetapi penyampaiannya berbeda.
Data 4, pada data ke empat kali ini, semuanya sama, yaitu pada jumlah
diksi, jenis diksi yang digunakan, arti leksikalnya juga sama dan tentunya
maknanya juga sama. Sepertinya peribahasa ini sangat populer dan bahkan ada
pada setiap daerah dengan ragam bahasanya masing-masing. Yaitu “Aia susu
dibaleh jo aia tubo” dan “air susu dibalas dengan air tuba”.

Data 5, “Bak aia di daun kaladi, bak talua diujuang tanduak”


mengandung makna sesuatu yang sulit menjaganya dalam pergaulan, kalau hilang
atau jatuh hilang semua harapan, seperti kehilang budi dari seseorang. Sementara
pada peribahasa Indonesia “Ibarat air di daun keladi” mengandung makna tidak
berpendirian tetap. Persamaannya yaitu, diksi peribahasa Indonesia dengan diksi
peribahasa Minang pada klausa pertama, berada pada satuan lingual dengan
makna leksikal yang sama. Namun pada peribahasa Minang, terdapat tambahan
klausa yang menjadikan makna antara kedua peribahasa yang dibandingkan
menjadi berbeda walaupun diksinya sama. Makna keseluruhan pada peribahasa
Minang yaitu seseorang yang memiliki sifat baik yang lemah, jika sewaktu-waktu
dia kecewa atau sakit hati, maka seluruh kebaikannya akan hilang dan berubah
menjadi kejahatan. Berbeda dengan peribahasa Indonesia yang makna
keseluruhannya yaitu seseorang yang tidak bependirian tetap, berarti dia hanya
sekedar labil, bisa saja kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Namun jika
ditarik benang merahnya, ada sedikit persamaan makna pada kedua peribahasa
tersebut, yaitu tentang kelemahan jati diri seseorang.

Data 6, peribahasa pada data enam kali ini benar-benar berbeda dalam
satuan lingual jika diartikan secara leksikal. Namun memiliki makna yang sama.
Yaitu “Bak aia jatuah ka kasiak, bak batu jatuah ka lubuak” jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia adalah ibarat air jatuh ke pasir (tanah), ibaratbatu jatu
ke lubuk (danau). Maknanya adalah sesautu hal yang terjadi secara sia-sia dan
tidak akan berpengaruh besar, atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Pada
peribahasa Indonesia “Bagai mencincang air” yang maknanya yaitu sesuatu hal
yang tidak berguna dan sia-sia, tidak berpengaruh apa-apa. Terlihat pada
perbandingan kedua peribahasa data ke 6, memiliki makna yang sama namun
dengan pilihan kata yang berbeda.

Pada data ke 7, 8 dan 9, semuanya memiliki makna yang sama, hanya saja
perbedaanya adalah peribahasa Minangkabau lebih beragam diksinya, dan lebih
kaya dengan jumlah klausanya, itu bertujuan agar maknanya lebih dalam dan
tepat. Walaupun dengan bahasa yang berbeda, penggunaan diksinya sama, yang
jika diterjemahkan akan menjadi kata yang sama.

SIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat persamaan makna antara


peribahasa Minangkabau dengan peribahasa Indonesia yang menggunkan unsur
kata air. Kata air pada peribahasa Minang dan peribahasa Indonesai sama-sama
merupakan benda cair. Perbedaannya terdapat pada pilihan dan jumlah diksinya
saja, namun maknanya relatif sama, bahkan sangat sama. Perbedaan juga terletak
pada pola penyampaian makna peribahasa, dalam peribahasa yang sudah
dibandingkan, peribahasa Minangkabau lebih beragam diksinya dan juga lebih
banyak dalam hal jumlah klausa. Ini berguna untuk lebih memperkuat makna
peribahasa itu sendiri. Terlihat pada data 7, 8 dan 9, peribahasa Minang lebih
panjang kalimatnya dibandingkan peribahasa Indonesia, lebih kaya akan diksi dan
lebih terlihat nilai-nilai sastranya. Namun jika ditarik benang merahnya, maka
terkandung makna yang relatif sama.

REFERENSI

Kurniawan, M.H. 2018. Perbandingan Peribahasa Bahasa Indonesia dengan


Bahasa Inggris: Kajian Semantik Kognitif. Jurnal Basis. Vol 5 (2): 63-74.

Nur, Tajudin. 2016. Analisis Kontrastif dalam Studi Bahasa. Journal of Arabic
Studies. Vol 1 (2): 64-74.

Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Rahardi, Kunjana. (2009). Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.


Soebroto, Edi. (2011). Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media.

Sudaryat,Yayat. (2009). Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Wijana, I Dewa Putu. (2009). Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai