Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA


PROGRAM S2 LINGUISTIK
=============================================================
UAS SEMESTER GENAP 2021/2022
Nama : Etika Sari (217009011)
Mata Ujian: Linguistik Korpus
Dosen: Prihantoro, S.S., M.A.,Ph. D
Analisis Kesalahan Pemaknaan pada Kata-Kata Bahasa Indonesia: Pendekatan
Linguistik Korpus
Pendahuluan
Bahasa adalah gejala alam yang sangat berperan dalam kehidupan manusia, bahasa
ada karena manusia ada, dan manusia menjadi manusia karena ada bahasa (Artawa, Ketut.
Jufrizal:2018). Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki berbagai kebudayaan dan
berbagai bahasa daerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa:1995). Tidak ada satu
bahasapun di dunia yang lahir murni dan total dari masyarakat setempat itu saja, baik dalam
skala internasional, nasional, apalagi skala daerah (Wahid, Ramli Abdul;2008). Bahasa
Indonesia merupakan bahasa Nasional negara Republik Indonesia yang digunakan untuk
memudahkan masyarakat berkomunikasi karena sebagaimana diketahui bahwa sebagai
sebuah negara yang multikultur dan heterogen Indonesia memiliki banyak sekali bahasa
daerah sehingga kebutuhan akan suatu bahasa Nasional adalah mutlak.
Penggunaan bahasa Indonesia mempermudah interaksi antara orang yang satu dan
yang lainnya meskipunpun masing-masing merupakan penutur asli salah satu bahasa daerah
yang berbeda, seiring dengan hal ini peningkatan mobilitas penduduk berbanding lurus
dengan kebutuhan akan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salah satu alat
pemersatu bangsa, penggunaan bahasa Indonesia sangat erat dengan kehidupan masyarakat
Indonesia, bahasa Indonesia yang digunakan bukan hanya yang bersifat tuturan lisan, namun
juga tuturan tulis.
Masyarakat berbahasa untuk menyampaikan makna, makna terkandung di dalam unit
lingual, unit lingual bahasa terkecil yang mengandung makna adalah kata, kata adalah
kumpulan huruf yang mengandung makna. Secara sederhana mudah untuk dipahami bahwa
dalam berbahasa, kata-kata adalah media yang digunakan manusia untuk merujuk pada
sebuah konsep makna. Ketika seseorang mengatakan “bumi” kata tersebut merujuk pada
sebuah planet yang di dalamnya mengandung kehidupan, atau ketika seseorang mengatakan
“jangan” kata tersebut merujuk pada larangan terhadap orang lain untuk tidak melakukan
sesuatu, semua ini dapat dengan mudah dipahami dan tampaknya tidak ada yang perlu
dibahas lebih jauh. Namun, bagaimana jika seseorang mengatakan “jeruk” padahal konsep
yang ada di kepalanya adalah buah apel? Tentu tidak bisa, karena semua orang tahu bahwa
jeruk dan apel adalah buah yang berbeda, pada kenyataannya, jika seseorang pergi ke toko
buah lalu ia mengarahkan jari telunjuknya ke sekeranjang buah apel lalu bertanya “berapa
harga jeruk itu sekilo?” tentu si pedagang menyadari bahwa si pembeli keliru dalam bertutur,
diralat ataupun tidaknya tuturan pembeli tersebut, tetaplah orang-orang mengetahui bahwa
kata “jeruk” tidak tepat ditujukan pada buah apel. Berdasarkan ulasan singkat tadi maka
penulis menemukan fenomena linguistik yang cukup unik, berdasarkan dari pengalaman
pribadi, penulis berulang kali kebingungan dalam memilih sebuah diksi dalam bertutur,
kebingungan dalam hal ini adalah penulis ragu apakah kata yang dituturkan merujuk pada
konsep yang dimaksud atau tidak, karena beberapa orang menggunakannya dengan cara yang
berbeda dan bahkan berkebalikan.
Sebuah kata yang membuat penulis kebingungan adalah “acuh”, sepemahaman
penulis “acuh” mengandung makna negasi di dalamnya yang berarti “tidak perduli” sehingga
kata “tidak acuh” yang berarti tidak (tidak peduli) atau negasi bertemu negasi menjadi positif
yang artinya menjadi “perduli”, penulis mencoba mengonfirmasi hal tersebut dengan mencari
makna “acuh” di KBBI dan hasilnya cukup menggelisahkan bagi penulis sendiri, karena
ternyata menurut KBBI kata “acuh” bermakna peduli; mengindahkan dan masuk dalam
kategori verba. Karena merasa selama ini salah kaprah dalam menggunakan kata “acuh”,
penulis kemudian melakukan penelusuran di internet terkait penggunaan kata “acuh” dan
ternyata sudah banyak orang yang mengetahui fakta bahwa kata “acuh” banyak
disalahtafsirkan kemudian disalahterapkan dalam percakapan sehari-hari masyarakat
Indonesia.
Penelusuran kata “acuh” di internet tersebut membuat penulis melihat bahwa ternyata
ada banyak kata bahasa Indonesia yang digunakan secara keliru (seperti kata “acuh” yang
dimaknai sebagai “tidak perduli”) dan sulit bagi kita menjawab entah mengapa dan
bagaimana bisa sebuah kata justru dimaknai dengan konsep negasinya sendiri dan tentunya
ini membutuhkan telaah panjang dan kajian interdisiplin, namun dalam essay ini penulis
hanya akan mencoba menganalisa beberapa kata yang oleh pengguna internet (blogger)
lainnya dianggap selalu digunakan secara keliru, apakah kata-kata tertentu memang
digunakan secara keliru atau bagaimanakah? Dalam essay ini analisa penggunaan kata-kata
tersebut menggunakan pendekatan linguistik korpus.
Linguistik korpus menawarkan sebuah ‘lensa alternatif’ yang sifatnya digital untuk
meneliti data. Ada beberapa alasan kenapa istilah lensa alternatif kita gunakan disini. Ini
karena, satu data bisa diteliti dari berbagai sudut pandang. Orang yang meneliti dari sudut
pandang A misalnya, belum tentu memiliki kesimpulan atau deskripsi yang sama dengan
orang yang menggunakan sudut pandang B. Namun, meski ada berbagai sudut pandang
tentang data tersebut, fakfa empiris tentang data itu sendiri tidak akan berubah, yang berbeda
adalah bagaimana kita dan orang lain melakukan interpretasi data (Prihantoro:2021).
Landasan teori
Menurut Chaer (2013:2), kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya yang berarti
“menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini
sebagai padanan, kata sema itu adalah tanda linguistik seperti yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari (1) Komponen yang mengartikan yang
berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) Komponen yang merupakan tanda atau
lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar
bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang
linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti
dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang makna atau arti.
(Ramadhan. Syahru, dkk) Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori semantik yang lebih khusus kepada pergeseran dan perubahan makna. Pergeseran
makna sendiri adalah gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian, penyinestesiaan, dan
pengasosiasian sebuah makna kata yang masih hidup dalam satu medan makna. Dalam
pergeseran, makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi mengalami perluasan atau
penyempitan rujukan (menurut Parera dalam Ramadan, Syahru dkk). Berbeda dengan
pergeseran makna, perubahan makna berarti makna awal mengalami perubahan. Hal itu bisa
diakibatkan oleh pergeseran makna tadi. Dengan demikian, antara pergeseran makna dan
perubahan makna memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak terpisahkan. Pergeseran
makna dan perubahan makna memiliki beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1)
Bahasa turun temurun dari generasi ke generasi dengan cara langsung atau tidak langsung.
Misalnya, seorang anak selalu belajar bahasa dalam bentuk yang segar. Tanggapan seorang
anak terhadap makna didasarkan pada konteks pemakaiannya. Kesalahan persepsi seorang
anak yang tidak diperbaiki inilah penyebab awal pergeseran makna; (2) Kekaburan dan
ketidakpastian makna. Ketidakakraban pemakai bahasa akan makna sebuah kata merupakan
sumber dari kekaburan makna yang berakibat terjadinya pergeseran makna; (3) Kehilangan
motivasi. Sepanjang sebuah kata tetap dengan kuat berpegang pada akar makna awal dan
pada medan makna yang sama, maka pergeseran makna itu tidak terjadi. Namun sebaliknya,
jika kata kehilangan motivasi makna awal, makna jadi berkembang dan tak terkendali; dan
(4) Faktor salah kaprah juga mempermudah pergeseran dan perubahan makna. Salah kaprah
merupakan kesalahan yang terjadi karena kebiasaan dengan sesuatu yang salah dan dibiarkan
terus berjalan tanpa usaha perbaikan pemakainya. Salah kaprah ini sering ditemukan dalam
bidang sosial yang menjadikan makna kata mengalami perluasan atau penyempitan (Ullman
dalam Sumarsono dalam Ramadan, Syahru dkk).
Penelitian terkait salah kaprah dalam pemaknaan kata bahasa Indonesia ternyata
sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Syahru Ramadana, Sonny Affandib
dan Yeti Mulyatic, dengan judul penelitian “SALAH KAPRAH PEMAKNAAN KATA
DALAM BAHASA INDONESIA DAN UPAYA PERBAIKANNYA”. Sehingga essay ini
banyak merujuk pada landasan teori penelitian tersebut, namun jika pada penelitian tersebut
menggunakan Instrumen penelitian yang merupakan peneliti sendiri (human instrument) yang
berfungsi sebagai pengumpul serta penganalisis data dan menggunakan alat bantu berupa
perangkat lunak. Perangkat lunak yang dimaksud berupa angket mengenai kata-kata yang
sering disalahkaprahkan maknanya beserta konteks kalimat yang mendukung makna leksilkal
kata-kata tersebut. maka dalam essay ini penulis menggunakan bantuan aplikasi data korpus
digital dalam menganalisa makna kata-kata bahasa Indonesia tertentu.
Metode analisis data
Dalam essay ini metode analisis data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif,
jika ditemukan adanya angka dalam hasil analisa hanya untuk menunjang pendeskripsian
hasil. Dalam analisa data, data yang digunakan adalah data berupa kata-kata bahasa Indonesia
yang sering digunakan secara salah kaprah, dalam kesempatan kali ini penulis menggunakan
instrument yaitu salah satu program analisi korpus berbasis layanan web yaitu CQPweb.
Penulis akan memasukkan kueri yang merupakan data penelitian, apakah memang
temuan aplikasi mengkonfirmasi bahwa kata-kata tersebut digunakan secara salah kaprah?
mungkin secara instingtif kita dapat menelaah benar tidaknya sebuah kata dituturkan dengan
cara melihat makna kata tersebut di KBBI kemudian melihat penggunaan kata tersebut dalam
konteksnya, alih-alih dianalisis secara manual penulis memutuskan untuk menggunakan
aplikasi korpus digital.
Temuan dan analisis data
Data penelitian berupa kata-kata yang sebagian datanya menurut peneliti sebelumnya
digunakan secara salah kaprah, ditambah dengan kata-kata yang menurut penulis sendiri juga
kerap disalah maknai, namun tidak semua kata-kata yang dianggap disalahkaprahi oleh
peneliti sebelumnya dimasukkan menjadi data penelitian dalam essay ini sebab menurut
penulis ada beberapa kata tertentu sangat spesifik dan sangat subjektif individual dan tidak
begitu luas digunakan dalam ragam tutur masyarakat Indonesia. Kata-kata yang dikompilasi
menjadi data penelitian yaitu: Acuh, Bergeming, kasat mata, Absen, Gahar, Seronok.
Pada tahap awal, penulis akan mencari makna kata-kata yang merupakan data
penelitian menurut KBBI dan mengidentifikasi jenis kelas katanya. Kemudian dengan
aplikasi korpus CQPweb penulis akan menganalisa makna data tersebut berdasarkan konteks
kalimatnya, apakah penggunaannya pada wacana sesuai dengan KBBI atau sebaliknya.
Analisa yang digunakan adalah telaah konteks. Dalam essay ini korpus yang digunakan
adalah korpus LCC Indonesia di CQPweb, sebab memang bertujuan untuk menganalisa
kesalahan pemaknaan terhadap beberapa kata bahasa Indonesia.
Tabel makna data penelitian menurut KBBI
DATA MAKNA MENURUT KBBI KELAS KATA
Acuh peduli; mengindahkan Verba
bergeming tidak bergerak sedikit juga; diam saja Verba
Kasatmata dapat dilihat; nyata; konkret Adjektiva
Absen tidak masuk Verba
Gahar 1. gosok kuat-kuat Verba
2. rasa segar dari perpaduan rasa Adjektiva (sunda)
asam dan pedas
3. kasar; ganas Adjektiva (cakapan/
tidakbaku)
Seronok menyenangkan hati; sedap Adjektiva
dilihat (didengar dan
sebagainya)

Hasil temuan pada korpus LCC Indonesia di CQPweb dan analisa data
Data 1: acuh
Telaah pemaknaan kata acuh, dapat dilihat dalam 3 temuan query di bawah ini, yaitu:
(1) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “acuh”, terdapat 1,025
token dalam 14 teks yang berbeda
(2) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “tak acuh”, terdapat
356 token dalam 14 teks yang berbeda
(3) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “acuh tak acuh”,
terdapat 292 token dalam 14 teks yang berbeda
Tampak jelas perbedaan jumlah token yang cukup signifikan dalam sebaran data
korpus mentah (tanpa anotasi) tersebut, bahwa jika (3) berjumlah 292 yang terdapat dua
token “acuh” di dalamnya tentu queri “acuh tak acuh” menyumbang 584 token dalam (1).
Dan menariknya kata “acuh tak acuh” dalam KBBI bermakna tidak menaruh perhatian; tidak
mau tahu, dan memang dari (1) dapat dilihat query “acuh” selalu muncul dengan konkordansi
tak/ tidak sebelumnya, karena dari baris data 1 hingga 50 hanya tiga data “acuh” yang muncul
tanpa negasi, dari tiga baris data tersebut setelah ditelaah konteksnya, kata “acuh” merujuk
pada makna tidak perduli dalam baris data 15, 21 dan 23.
Sedangkan dalam (2) dari 50 baris data awal, terdapat 13 token query “tak acuh” yang
tidak diikuti kata negasi (tidak), yang mana hal ini merupakan pertanyaan inti kita, apakah
“tak acuh” dimaknai dan digunakan sesuai dengan KBBI? Jika menurut KBBI “acuh”
bermakna perduli atau mengindahkan maka “tak acuh” seharusnya bermakna “abai atau tidak
perduli”. Hasil dari analisa konteks dalam wacana menunjukkan bahwa pada (2), dari 13
baris data “tak acuh” semua dimaknai sesuai dengan pemaknaan dalam KBBI, sedangkan
dalam (1) dari 50 baris data pertama, hanya ada 3 data yang query “acuh” tidak diikuti kata
negasi (tidak) / tanpa kata “tidak” dan dari ketiga baris data tersebut jika dianalisa konteks
wacananya, query “acuh” dimaknai sebagai abai atau tidak perduli yang bertentangan dengan
maknanya dalam KBBI. Hal ini mengonfirmasi bahwa kata “acuh” dipergunakan secara luas
oleh masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan makna yang terdapat dalam KBBI, namun
jika kata “acuh” didahului oleh negasi sehingga menjadi “tak acuh” maka penggunaannya
secara luas oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan makna dalam KBBI.
Dari 1), (2) dan 3), kita dapat menarik kesimpulan bahwa “acuh” merupakan kata
yang digunakan untuk merujuk makna abai/ tidak perduli, berarti penggunaan kata “acuh”
tanpa negasi cenderung digunakan oleh masyarakat Indonesia secara keliru, sedangkan kata
“tak acuh” dan “acuh tak acuh” dipergunakan sesuai dengan makna yang terdapat dalam
KBBI. Temuan data ini memvalidasi asumsi utama penulis yang beranggapan bahwa “acuh”
sering disalahpahami sebagai “tidak perduli” dan bertentangan dengan makna yang
sebenarnya.
Data 2: bergeming
Telaah pemaknaan kata bergeming, dapat dilihat dalam 2 temuan query di bawah ini, yaitu:
(1) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “bergeming”, terdapat
605 token dalam 14 teks yang berbeda
(2) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “tidak bergeming”,
terdapat 115 token dalam 14 teks yang berbeda
(3) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “tak bergeming”,
terdapat 149 token dalam 14 teks yang berbeda
(4) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “gak bergeming”,
terdapat 2 token dalam 14 teks yang berbeda, hal ini membingungkan penulis karena setelah
dilakukan pengecekan ternyata terdapat baris data dalam (1) yang query “bergeming”
didahului dengan kata“gak” namun baris data tersebut tidak muncul lagi dalam (4)
(5) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “enggak bergeming”,
hasil tidak ditemukan, padahal dalam (1) terdapat baris data yang query “bergeming” diawali
kata “enggak”
Dalam (1) dari 50 baris data (laman pertama), 34 data menunjukkan bahwa query
“bergeming” selalu diikuti oleh negasi, berdasarkan hasil temuan bentuk negasi dalam
wacana tersebut cukup variatif yaitu: tidak, tak, enggak dan gak, sedangkan query
“bergeming” tanpa diikuti negasi terdapat dalam 16 baris data pertama yaitu baris data 5, 6, 8,
9, 10, 11, 19, 21, 24, 30, 33, 34 ,35, 48, 49, dan 50. Kata bergeming dalam KBBI bermakna
tidak bergerak sedikit juga; diam saja, sehingga jika kata tersebut diawali dengan negasi
maka maknanya yang sesuai dengan KBBI menjadi bergerak, hasil temuan penulis pada
korpus mentah tanpa anotasi menunjukkan bahwa dari 16 baris data ( laman pertama) yang
query “bergeming” tanpa didahului negasi hanya baris data 5 dan 50 yang jika dianalisis
konteks wacananya menunjukkan bahwa query “bergeming” digunakan tidak sesuai dengan
KBBI, sedangkan sisanya 14 baris data dimaknai sebagaimana makna dalam KBBI.
Sedangkan dalam (1) terdapat 34 baris data (laman pertama) yang query “bergeming”
didahului oleh negasi, dan hasil analisis konteks wacana menunjukkan bahwa seluruh baris
data yang berjumlah 34 itu memaknai query “bergeming” bertentangan dengan makna dalam
KBBI, semua baris data tersebut menunjukkan bahwa kata “tak bergeming” bermakna tidak
bergerak, tidak melakukan sesuatu, padahal justru makna “bergeming” lah yang demikian
sehingga seharusnya kata “tidak bergeming” bermakna bergerak atau melakukan sesuatu.
Hasil temuan ini mengkonfirmasi asumsi penulis, bahwa kata bergeming juga umumnya
disalahtafirkan oleh masyarakat Indonesia.
Data 3: kasatmata
Telaah pemaknaan kata kasatmata, dapat dilihat dalam temuan query di bawah ini, yaitu:
(1) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “kasatmata” (tanpa
spasi) terdapat 100 token dalam 14 teks yang berbeda
(2) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “kasat mata”
(dengan spasi), terdapat 986 token dalam 14 teks yang berbeda
Dari hasil temuan korpus di atas dilakukan analisa konteks wacana, dan hasilnya
menunjukkan pada 50 baris data pertama ditemukan penggunaan kata “kasatmata” yang tidak
sesuai dengan pemaknaan dalam KBBI, hal ini di temukan pada baris data 17 dan 19,
sedangkan dengan menggunakan query “kasat mata” (dengan spasi) ditemukan 5 baris data
yang ketika dilakukan analisa konteks diketahui kata tersebut dimaknai secara berbeda
dengan KBBI, temuan tersebut ditemukan pada baris data 11,12,26,31, dan 35. Sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya pada tabel di atas bahwa kasatmata dalam KBBI bermakna:
terlihat jelas, nyata dan konkrit. Namun ditemukan dalam (1) terdapat 2 baris data dan dalam
(2) 5 baris data yang dinilai kata kasatmata direferensikan dengan hal- hal abstrak, sehingga
maknanya bertentangan dengan makna menurut KBBI.
Temuan di atas juga menunjukkan bahwa penggunaan kata “kasat mata” dengan
menggunakan spasi jauh lebih banyak dari pada penggunaan kata “kasatmata” tanpa spasi,
dan selisih dari perbandingan antara keduanya sangat jomblang yaitu 100 token banding 986
token, secara numerial kita dapat katakan bahwa selisihnya hampir sepuluh kali lipat. Padahal
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kasatmata” lah yang mengandung makna,
sedangkan kata “kasat mata” (dengan spasi) tidak terdaftar sebagai bagian dari
perbendaharaan bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kata “kasatmata” lebih banyak digunakan
masyarakat Indonesia sesuai dengan makna yang dimaksudkan dalam KBBI, hanya sedikit
yang menggunakannya secara keliru. Namun dalam ragam tuturan tulis, penulisan kata kasat
mata (dengan spasi) secara kekeliru sangat banyak ditemukan.
Data 4: Absen
Telaah pemaknaan kata Absen, dapat dilihat dalam temuan query di bawah ini, yaitu:
(1) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “absen”, terdapat
token 5.186 token dalam 14 teks yang berbeda.
Dari hasil temuan korpus ditemukan dari 50 baris data pertama, terdapat 7 baris data
yang konteks penggunaan kata “absen” di dalamnya tidak sesuai dengan makna dalam KBBI,
setelah dianalisa, wacana pada baris-baris data tersebut menggunakan kata “absen” justru
digunakan untuk merujuk pada kehadiran, padahal makna sebenarnya adalah ingkaran dari
itu, yaitu tidak hadir. Walaupun penggunaan kata “absen” secara keliru tidak ditemukan
dalam jumlah besar, namun temuan ini juga mengonfirmasi bahwa “absen” merupakan kata
bahasa Indonesia yang disalahmaknai
Data 5: Seronok
Telaah pemaknaan kata Seronok, dapat dilihat dalam temuan query di bawah ini, yaitu:
(1) Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “seronok”,
terdapat 272 token dalam 14 teks yang berbeda.
Penulis mencoba memahami pemaknaan kata “seronok” di 50 baris data pertama,
namun setelah dianalisis penulis menyadari bahwa sebanyak 27 deret baris data secara
beurutan dari 1 sampai 27 bukan merupakan tuturan bahasa Indonesia, melainkan bahasa
Malaysia. Sekalipun kosa kata yang digunakan pada tuturan bahasa Indonesia dan Malaysia
memiliki banyak kesamaan, namun terdapat perbedaan yang mencolok pada makna, gaya dan
rasa bahasa. Sesuai dengan hasil tampilan KBBI, bahwa seronok bermakna menyenangkan
hati; sedap dipandang dan dilihat, hal ini justru sinkron dengan penggunaan kata “seronok”
pada baris data 1 hingga 27 di laman pertama yaitu ragam tuturan bahasa Malaysia,
sebaliknya baris data 28 hingga 50 yang merupakan ragam tuturan bahasa Indonesia, wacana-
wacana yang ada pada rentang baris data tersebut malah menunjukkan bahwa makna seronok
merujuk pada hal-hal yang bernada negatif, seronok ditujukan untuk hal-hal yang kurang
sopan, cukup vulgar dan berbau sensual.
Hasil telaah ini mengonfirmasi asumsi penulis bahwa kata seronok digunakan oleh
masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan makna nya dalam KBBI, sebaliknya justru
penggunaan kata “seronok” dalam bahasa Malaysia sesuai dengan makna “seronok” yang ada
dalam KBBI.
Data 6: Gahar
Telaah pemaknaan kata gahar, dapat dilihat dalam 3 temuan query di bawah ini, yaitu:
() Ketika dilakukan penelusuran dalam korpus mentah dengan query “gahar”,
terdapat 177 token dalam 14 teks yang berbeda.
Dalam KBBI, kata “gahar” memiliki makna ganda, yaitu: 1) gosok kuat-kuat 2) rasa segar
dari perpaduan rasa asam dan pedas, dan 3) kasar/ ganas, makna pertama dikategorikan
sebagai verba, sementara makna kedua dan ketiga merupakan adjektiva. Hasil temuan korpus
menunjukkan bahwa dari baris data pertama sampai ke limapuluh tidak ada satupun kata
“gahar” yang dikategorikan sebagai verba, jika dilakukan hoover ke hasil penelusuran LCC
Indonesia di CQPweb tersebut akan menampilkan secara eksplisit tag NN yang mengindikasi
bahwa kata “gahar” pada baris data pertama sampai limapuluh dalam korpus tersebut
dianotasi sebagai adjektiva. Hasil analisis konteks menunjukkan bahwa kata “gahar” dalam
ragam tutur bahasa Indonesia dimaknai secara luas sebagai adjektiva yang berarti kasar/
ganas.
Hal ini menunjukkan bahwa makna kata “gahar” yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
sudah sesuai dengan makna dalam KBBI, namun kata “gahar” tersebut mengalami
penyempitan makna, jadi hanya dipahami sebagai adjektiva. Asumsi awal penulis yang
beranggapan bahwa kata “gahar” digunakan secara tidak tepat pemaknaannya ternyata
terbantahkan dengan hasil data pada korpus.
Kesimpulan
Dari hasil korpus data yang dianalisa penulis menyimpulkan bahwa kata “acuh”
digunakan secara keliru oleh masyarakat Indonesia, namun kata “tak acuh” dan “acuh tak
acuh” dimaknai secara tepat sesuai dengan makna yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Kata “bergeming” digunakan juga secara keliru, makna yang direferensi oleh
penutur bahasa Indonesia tidak sama dengan apa yang terdapat dalam KBBI, bahkan kata ini
dimaknai sebagai negasinya sendiri. Kata “kasatmata” umumnya digunakan secara tepat,
hasil temuan menunjukkan kekeliruan dalam menggunakan kata ini cukup kecil, namun
bentuk tulis dari kata “kasat mata” merupakan bentuk yang tidak baku, jadi kata “kasat mata”
tidak digunakan keliru secara semantik, namun secara sintaksis perlu diperhatikan lagi unit
lingualnya. Kemudian kata “gahar” hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk
merujuk makna “kasar/ ganas” padahal menurut KBBI, kata ini memiliki makna lebih dari
satu, sekalipun kata “gahar” tidak keliru dimaknai namun kata tersebut mengalami
penyempitan makna sehingga makna lain dari kata “gahar” ini tidak begitu diketahui oleh
masyarakat indonesia.kemudian yang terakhir adalah senonoh, dalam tuturan masyarakat
Indonesia, kata senonoh digunakan tidak merujuk pada makna yang dimaksud dalam KBBI,
jika dalam KBBI, kata seronok bermakna menyenangkan hati, sedap dipandang dan dilihat,
dari analisa konteks wacana, kata tersebut justru digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang
bernada negatif, yaitu cukup vulgar, tidak sopan dan bersifat sensual. Kata “seronok” dalam
ragam bahasa Malaysia justru dimaknai seperti makna yang terkandung dalam KBBI.
Demikian essay ini diselesaikan, dari apa yang disimpulkan dapat diketahui bahwa
fenomena linguistik mempunyai banyak sekali celah yang memungkinkan kita untuk
melakukan penelitian. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam essay ini, bukan
hanya kekurangan dalam konsep teoritis namun juga kelemahan di bidang teknik penggunaan
program.
Daftar Pustaka
Artawa, Ketut. Jufrizal. 2018. Tipologi Linguistik. Konsep dasar dan aplikasinya.
Bali.Pustaka Larasan
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Prihantoro. 2021. Buku Referensi Pengantar Linguistik korpus. Lensa Digital Data Bahasa.
Badan Penerbit Universitas Diponogoro.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1995. 1995.TEORI DAN METODE
SOSIOUNGUISTIK III (Sociolinguistics an International Handbook of the Science of
Language and Society) .Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Ramadana, Syahru,dkk. SALAH KAPRAH PEMAKNAAN KATA DALAM BAHASA
INDONESIA DAN UPAYA PERBAIKANNYA. Universitas Pendidikan Indonesia. Kongres
Bahasa Indonesia
Wahid, Ramli Abdul.2008. Kamus Bahasa Melayu Asahan. Medan: LP2IK Wayan, Windia
dkk.2009. Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana

Anda mungkin juga menyukai