OLEH :
1. Dasar Teori
Mata merupakan organ sensorik yang kompleks, yang mampu menangkap informasi berupa
gelombang elektromagnetik dalam bentuk cahaya. Dalam penataan pengembangannya, mata
mempunyai lapisan reseptor (retina), dan sistim lensa untuk memfokuskan cahaya, dan sistim
persarafan untuk menghantarkan impuls dari reseptor ke sistim saraf pusat.
Untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk, mata dilengkapi dengan pupil yang dapat
melebar dan mengecil melalui kontraksi dan relaksasi otot siliaris. Dan keberadaan reseptor
penglihatan pada retina yang berlainan tugas, dan masing – masing jenis hanya berespon
terhadap cahaya dengan panjang gelombang tertentu, menyebabkan bila terjadi gangguan pada
reseptor tertentu, akan mengakibatkan terjadinya buta warna.
Tata kerja
2. Suruhlah o.p. membaca huruf – huruf atau gambar yang tertera pada Optotipi Snellen
menggunakan satu mata. Pembacaan dilakukan bertahap mulai dari baris dengan huruf
terbesar. Pembacaan dilanjutkan sampai baris dengan huruf terkecil yang masih dapat dibaca
tanpa melakukan kesalahan.
3. Catatlah jarak dalam meter atau feet yang tertera pada sisi luar tiap barisan huruf.
4. Ulangi pemeriksaan untuk mata lainnya, dilajutkan pemeriksaan dengan kedua mata terbuka.
5. Hitunglah visus dari orang percobaan dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
V = visus
d = jarak pemeriksaan (antara o.p. - optotipi)
D = jarak baca yang tertera pada optotipi dimana op dapat
membaca dengan benar tanpa kesalahan.
2. Setelah o.p. yakin bahwa ada wilayah kebutaan, ukurlah berapa besarnya wilayah
kebutaannya dengan cara sebagai berikut. Ambil sepotong kertas putih. Gambarkan sebuah
palang hitam dibagian tengahnya. Tempatkanlah ujung pinsil pada sisi luar – lateral, lalu
geserlah ujung pinsil menuju wilayah kebutaan. Beri tanda, bila ujung pinsil menghilang dari
pandangan. Lanjutkan geseran tadi sampai ujung pinsil terlihat kembali. Catatlah titik dimana
pinsil terlihat muncul kembali didaerah penglihatan o.p. Ulangi cara diatas dari beberapa
jurusan. Hubungkanlah semua titik hilang dan titik timbul, gambar yang nampak merupakan
bercak buta mata kanan. Ukur jarak mata ke kertas pemeriksaan. Hitunglah besarnya diameter
daerah kebutaan yang saudara peroleh.
C. Memeriksa pupil
1. O.p. duduk menghadap jendela dan suruhlah untuk melihat ke suatu obyek yang jauh
letaknya dengan pandangan terfiksir ke tempat tersebut.
• Refleks pupil tidak langsung (indirek), yaitu mengecilnya pupil pada mata sisi lain
(sebelahnya) waktu dilakukan penyinaran ke salah satu mata.
B. PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Dasar teori
Pendengaran merupakan salah satu perlengkapan sensorik khusus, yang tergolong dalam
reseptor mekanik (mechanoreceptive sense), dimana reseptornya mampu merespon getaran
mekanik dari gelombang suara di udara.
Mekanisme kerja reseptor pada organ auditif hanya berkemampuan untuk melakukan
diskriminasi frekuensi gelombang suara yang tiba, tetapi pengolahan informasi yang diperoleh,
mampu menetapkan keras lemahnya suara, arah dari sumber suara, yang kesemuanya disebut
sebagai kemampuan ketajaman pendengaran.
Kegagalan dalam menangkap informasi getaran suara oleh organ auditif, disebut sebagai
ketulian pendengaran.
Tata kerja
A. Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
1. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruang sunyi / kedap suara.
2. Telinga kiri o.p. ditutup dengan sepotong kapas.
3. Tempatkan arloji ditelinga kanan untuk mendengarkan detiknya. Setelah o.p. mengenal
bunyi detiknya, jauhkan arloji dari telinga secara perlahan – lahan sampai tidak terdengar
lagi suara detiknya (beri kode memakai jari saat masih mendengar dan saat sudah tidak
terdengar lagi. Jangan ada yang bersuara). Ukurlah jaraknya.
4. Percobaan diulangi, tetapi arloji ditempatkan pada tempat yang jauh dan kemudian
didekatkan ke telinga sampai dapat didengarkan suara detiknya. Ukurlah jaraknya
3. O.p. disuruh memberikan tanda dengan jarinya (tanpa bersuara), bila ia dapat mendengar
dengungan suara penala, dan segera member tanda bila ia tidak dapat mendengar lagi
dengungan.
4. Segera angkat penala dari prosesus mastoideus, kemudian tempatkan ujung penala sedekat –
dekatnya ke liang telinga kanan o.p. (jangan tersentuh pada telinga). Tanyakan apakah
dengungan penala dapat didengar kembali ?
5. Pila o.p. :
o dapat mendengar kembali, maka hasil tes Rinne positif o
tidak mendengar kembali, maka hasil tes Rinne negatif
6. Hitung juga waktu saat o.p., mendengar kembali suara penala saat ditempatkan di depan liang
telinga sampai suara tersebut tidak terdengar sama sekali (biasanya dengan dengungan masih
terdengar kembali selama 45 detik)
b. Cara Weber
1. Getarkanlah penala dengan frekuensi 512 Hz, seperti cara Rinne.
2. Tekankan pangkal gagang penala di vertek / garis median tulang tengkorak.
3. Tanyakan pada o.p. apakah ia mendengar dengungan “sama keras” atau “tidak sama keras”
pada kedua telinga.
4. Bila terdengar sama keras : hasilnya “tidak ada lateralisasi”. Bila terdengar tak sama keras
hasilnya “ada lateralisasi”. o Bila terdengar lebih keras ditelinga kanan, hasilnya “lateralisasi
ke kanan”.
c. Cara Schwabach
1. Getarkan penala frekuensi 100 Hz.
2. Tekankan pangkal gagang penala pada prosesus mastoideus o.p. . Suruhlah ia memberi tanda
bila dengungan tidak terdengar lagi.
3. Segera pindahkan gagang penala ke prosesus mastoideus pemeriksa (telinga pemeriksa harus
normal)
4. Bila pemeriksa masih dapat mendengar dengungan, maka hasil tes Schwabach “memendek”.
5. Ulangi percobaan akan tetapi sekarang penala ditempatkan lebih dahulu ke prosesus
mastoideus pemeriksa. Bila dengungan sudah tidak terdengar lagi, segera pindahkan ke
prosesus mastoideus o.p. . Suruhlah o.p. memberi tanda bila ia ternyata masih dapat
mendengar degungan.
6. Bila o.p. masih dapat mendengar degungan, maka hasilnya Schwabch “memanjang”.
7. Bila hasil kedua percobaan hampir sama antara o.p. dengan pemeriksa (atau sama), maka
hasilnya tes Schwabach “sama dengan pemeriksa”.
8. Ulangi pemeriksaan pada telinga lainnya
C. KOORDINASI SIKAP DAN KESEIMBANGAN TUBUH
a. Percobaan Romberg
1. O.p. berdiri dengan tumit dan jari kaki merapat dan tangan direntangkan. Perhatikan ayunan
tubuh dan gerakan koreksi untuk mempertahankan keseimbangan.
2. Test dilakukan dengan mata orang percobaan terbuka kemudian dengan mata tertutup. Bila
bergoyang terlalu keras, kemungkinan ada kelainan. Mengapa normal dapat terjadi goyangan
ringan ?
3. O.p. berdiri diatas satu tungkai kemudian diatas tungkai lainnya. Sekali lagi tes dilakukan
dengan mata terbuka dan tertutup.
4. O.p. melihat ke langit – langit ruangan dan berdiri diatas satu kaki atau tungkai.
5. Sekali lagi O.p. berdiri diatas satu tungkai dengan kepala menengadah ke langit-langit
ruangan akan tetapi dengan mata tertutup.
b. Hopping Reaction
1. O.p. berdiri diatas kaki kanannya.
2. Doronglah o.p. perlahan – lahan terus ke samping kanan sampai o.p. merasa akan terjatuh.
Apa yang terjadi ? Bagaimana bila di dorong ke samping kiri, depan dan belakang ?
c. Thrust Reaction
1. O.p. berdiri tegak dengan kedua kaki dirapatkan, berat tubuhnya dibagi sama rata atas telapak
– telapak kaki depan dan belakang.
2. Dorong o.p. dengan perlahan – lahan ke depan, ke belakang, ke samping kiri dan ke samping
kanan. Apa yang terjadi ?
d. Shifting Reaction
1. O.p. mengambil suatu sikap dengan keempat anggota tubuhnya menunjang berat tubuhnya.
2. O.p. disuruh mengangkat tangan kiri dan meletakkannya di dalam genggaman tangan seorang
teman.
3. O.p. didorong oleh pemeriksa dengan perlahan - lahan ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke
belakang.
e. Past Pointing
1. Dengan kedua mata terbuka, o.p. disuruh menyentuh hidungnya kemudian mengekstensikan
lengannya untuk menyentuh jari pemeriksa. Ulangi lagi hal tersebut dengan mata tertutup.
Normal o.p. dapat melakukannya tanpa kesulitan.
2. Putar o.p. kearah kanan. Hentikan dengan mendadak kemudian o.p. disuruh menyentuh jari
pemeriksa.