Anda di halaman 1dari 13

HINGS…

Just what I think..feel and writing about

GLOBALISASI DAN KEBUDAYAAN September 12, 2007

Filed under: karya ilmiah — itha @ 6:05 am 

Sekarang ini masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sedang masuk dalam era
globaliasi. Meruntut waktu, dalam lima tahun belakangan ini kita, terutama saya
sering sekali mendengar kata “Globalisasi” baik itu dalam media massa ataupun
melalui percakapan sehari-hari, entah percakapan itu dilakukan oleh para ahli atau
oleh para ibu-ibu tetangga di sekitar tempat tinggal saya. Singkatnya kata
“Globalisasi” sepertinya sudah menjadi milik umum meski entah berapa persen dari
masyarakat yang betul-betul memahami pengertian dari globalisasi itu sendiri. 
GLOBALISASI          
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak
terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global
itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat
akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting
kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru
yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk
kepentingan kehidupan.
Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun
yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima atau sepuluh
tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal
masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia
mampu mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari para pakar
ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata globalisasi tersebut mengandung
suatu  pengetian akan hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang
dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam
perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang
masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi,
pendidikan, nilai budaya dan lain-lain.         
Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan
dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin
meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini
penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan
intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara
budaya.
Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian
orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan
dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya
menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi
gaya hidup, orientasi, dan budaya.  
Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah
bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik
yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke
dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk
global. 
GLOBALISASI DAN BUDAYA         
Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat
masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima
kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa.  Salah
satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan.  Bagi bangsa Indonesia aspek
kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai
yang beragam, termasuk keseniannya.  Kesenian rakyat, salah satu bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi. 
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya
dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses
komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi
suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan
bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu
menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya,
negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal
dalam  arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, termasuk kesenian kita.
 Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara
mendasar Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar.
Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya
setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi
peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni,
sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan
meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap
bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru
sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran.
Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus
memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar
tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga
haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah
pengalaman mereka.
Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa
Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah
sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk
menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut
kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini
meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu
dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan
nama globalisasi.
GLOBALISASI DALAM KEBUDAYAAN TRADISIONAL DI INDONESIA 
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar
masyarakat.  Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia
ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum
Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan
mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam
kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini
berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negara-
negara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal
di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung selama beberapa
generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa lain, berkembang
karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi
dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi
namun juga terkait dengan  masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan
makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Terkait dengan kebudayaan,
kebudayaan  dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat  terhadap
berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang
mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat),
dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu
nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis,
yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi
penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi
oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan.  Sebagai salah satu
hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan
subsistem dari kebudayaan.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal,
seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. 
Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai
ekspresi keseniannya.  Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya
yang sangat khas.  Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model
pengetahuan dalam masyarakat.  
GLOBALISASI : PERSEBARAN BUDAYA DUNIA
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu
keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat
semenjak lama.  Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari
perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian
W.  Pye, 1966 ).
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi.  Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena
kontak melalui media telah memungkinkan.  Karena kontak ini tidak bersifat fisik
dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang
(Josep Klapper, 1990). Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat
dalam proses komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini
berarti banyak  pula masyarakat (yang terlibat dalan proses komunikasi global)
menjadi exposed terhadap informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut. 
Karena itu, tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal,
sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, mulai
bermunculan portable radio, televisi, televisi satelit, dan kemudian
internet. Keunggulan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah bahwa
media tersebut mampu menyuguhkan gambar-gambar secara jelas dan terinci
kepada para pemakainya. 
Akibatnya, para pemakai media massa tersebut mengetahui apa yang terjadi di
tempat lain dengan budaya yang berbeda dalam waktu yang singkat.  Mereka dapat
melihat dan mengetahui keunggulan-keunggulan budaya yang dimiliki masyarakat
lain melalui media massa tersebut.  Sikap yang dapat muncul dari sini adalah sikap
yang memandang secara kritis apa yang mereka miliki dan bagaimana
mengimbanginya dengan nilai-nilai budaya yang sudah mereka miliki itu, termasuk
sikap kritis dari bangsa Indonesia sendiri terhadap apa yang sudah mereka miliki.
Terkait dengan globalisasi, mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah
bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam.  Proses globalisasi akan 
menghapus identitas dan jati diri.  Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh
kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.Anggapan atau jalan pikiran di
atas tersebut tidak sepenuhnya benar.  Kemajuan teknologi komunikasi memang
telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. 
John Naisbitt (1988)[2], dalam bukunya yang berjudul Global
Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. 
Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran  , yaitu semakin kita menjadi
universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi
‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global.  Yang dimaksudkan
Naisbitt disini adalah bahwa kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat
etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal
pengembangan ke dunia Internasional.  Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak
global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan
pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting
dalam  era globalisasi ini.   
PERUBAHAN BUDAYA DALAM GLOBALISASI ; KESENIAN YANG BERTAHAN DAN
YANG TERSISIHKAN
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan
dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai
yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh
satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi
internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi
peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya
saja  khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna
globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak
tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv
internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki
masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji
melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak
kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti
tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil
memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.
Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap
keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari
khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain
dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh
banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin
lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola
masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia
yang berasal dari berbagai belahan bumi.
Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian
tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan
pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi
kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat
dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial
yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan
globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang
berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan
kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian
tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan
eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses
modernisasi.
Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana
difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih
beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati
berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan
mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di
Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada
pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah
satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan
moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik,
menurut saya.  Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun
1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”.
Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian
tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh
kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian
tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti
semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.
Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami
perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan
mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang
dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat.  Kenyataan di atas
menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri,
terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak
panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk
kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan
zaman.
Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu
beradaptasi dengan teknologi mutakhir  yaitu wayang kulit. Beberapa dalang
wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap
diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan
secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun
lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan
besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional
kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian
tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap
beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu
bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional[3].  
KESENIAN RAKYAT DALAM ORIENTASI GLOBALISASI
Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada
pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan
baik dari pengaruh luar maupun dari dalam.  Tekanan dari pengaruh luar terhadap
kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian
populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan
budaya pop[4].  Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan
dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah
maupun teknologi., sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat. 
Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau
memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya,
sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi.  
Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan
atas pemikiran yang pragmatis  dan cenderung mengikuti perkembangan-
perkembangan dan perubahan-perubahan yang ada.  Dengan demikian, pengaruh
ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan
kreativitas kesenian rakyat itu sendiri.Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih
setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan pembangunan. 
Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat bangun lagi karena
kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern.  Sementara itu
pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di
daerah.  Hal ini, bisa saja  disebabkan  oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan
dengan  konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya
dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan
kecenderungan universal.  Sehingga, kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat
dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan  tujuan dari pembangunan yang
sedang dijalankannya ini.  Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian
dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu
pembangunan di daerahnya.
Sesungguhnya, bagi kesenian rakyat Indonesia, kesempatan untuk mengadaptasi
pemikiran Naisbitt[5] sangat cukup terbuka, karena kekayaan  kesenian yang
dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia
Internasional.  Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari Sumatra Barat. 
Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lebih
modern lagi melalui kolaborasi.  Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada
upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian
tradisional bangsa Indonesia dapat diterima dan berkembang secara global,
walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli/lokal.  
PERAN PEMERINTAH DALAM KESENIAN RAKYAT
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-
pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya, menurut pendapat saya
dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan.  Jennifer Lindsay
(1995)[6], dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts
In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini
secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik
melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa
arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural
atau konteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat
pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya
campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan
tuntutan pembangunan.  Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu
sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi.  Melihat kecenderungan
tersebut, maka saya pribadi melihat aparat pemerintah telah menjadikan para
seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan
diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan.  Hal ini tentu saja mengabaikan
masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti
benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya
dijadikan model saja dalam pembangunan. 
Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang
yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu,
secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh
model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. 
Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli
daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan
disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan
kebijakan-kebijakan politik pemerintah.  Aparat pemerintah di sini turut mengatur
secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya
dan cenderung dapat membosankan.  Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat
tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai
pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur
dalam proses estetikanya. 
Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan
pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi
para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan
sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan para seniman
rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus ‘melakoni’[7] dengan benar-
benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan perkembangan
secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan menyesuaikan
dengan kebijakan-kebijakan politik.
Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti
saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus beradaptasi dengannya
karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui bahwa teknologi
komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat besar bagi
terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya.  Kontak budaya
melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan
nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. 
Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan
dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat
yang terlibat dalam proses ini.  Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan
etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak
budaya ini.  Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat
global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis. 
Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat
identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya
menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat
atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka
keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian
tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur
formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan.
Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun
justru semakin dijauhi masyarakat. 
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat.
Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini
masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam
menentukan kualitas maupun selera.  Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan
eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat,
jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya
pop.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk
mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman
rakyat.  Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan
pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan
pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk
pembangunan dalam bidang ekonomi saja.     

[1] Dalam buku Hubungan Antar Suku Bangsa oleh Parsudi Suparlan. KIK Press.
2004 [2] http://www.irib.ir[3] Informasi didapat dari brosur kegiatan Museum Nasional 2005
[4] Teks public yang bersifat umum dan tersebar luas. Makna dan praktik yang diproduksi oleh audien
pop. Budaya pop menyebrangi batas kekuasaan budaya dan mengedepankan karakter arbiter dan
klasifikasi budaya. Atau dapat dikatakan bahwa budaya pop merupakan suatu budaya yang
diproduksi secara komersial. (Barker, 2004: 50, 402).
[5] Lihat halaman 7, tentang pemikiran John Naisbitt.
[6] http://www.irib.ir
[7] Asal kata dari bahasa Jawa Tengah, yang berarti menjalankan.

https://itha.wordpress.com/2007/09/12/globalisasi-dan-kebudayaan/
PENDAHULUAN
Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal,
kearifan tradisional, dan budaya yang di dalamnya terkandung nilai-nilai etik dan moral,
serta norma-norma yang sangat mengedepankan pelestarian fungsi lingkungan. Nilai-
nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat, menjadi pedoman
dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam, memberi landasan yang kuat bagi
pengelolaan lingkungan hidup, menjadikan hubungan antara manusia dengan alam
menjadi lebih selaras dan harmoni sebagaimana di tunjukkan dalam pandangan
manusia pada fase pertama evolusi hubungan manusia dengan alam.
Pada saat itu kondisi alam dengan berbagai unsur sumberdayanya dapat terpelihara
dan terjaga keseimbangannya, sehingga alam benar-benar berfungsi mendukung
kehidupan manusia atau masyarakat di sekitarnya. Kearifan lokal yang sebenarnya
merupakan modal sosial tersebut, dalam perspektif pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan kiranya penting untuk digali, dikaji dan ditempatkan pada posisi
strategis untuk dikembangkan, menuju pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
kearah yang lebih baik.
Melihat argumen tersebut di atas, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi
negara yang maju, adil, makmur, bermartabat dan beradab. Akan tetapi realita yang
terjadi hari ini, kearifan lokal tidak mampu mengaktualkan potensi yang dimiliki 
Indonesia untuk menjadi  negara yang maju, adil, makmur, bermartabat dan beradap.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor globalisasi.
Perkembangan yang paling menonjol dalam era globalisasi adalah globalisasi
informasi, demikian juga dalam bidang sosial seperti gaya busana, gaya bicara hingga
gaya hidup. Hal ini dapat dipicu dari adanya penunjang arus informasi global melalui
siaran televisi, akses internet yang begitu mudah baik, dapat menimbulkan rasa simpati
masyarakat namun bisa juga menimbulkan kesenjangan sosial.

Banyaknya nilai dan budaya masyarakat yang mengalami perubahan dengan cara
meniru atau menerapkannya modernisasi di segala bidang kehidupan, menyebabkan
karifan lokal yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat menjadi terkikis.
Misalanya terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa yang tadinya syarat
dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual.
Selain itu juga timbulnya sifat ingin serba mudah dan gampang (instant) pada diri
seseorang. Pada sebagian masyarakat, juga sudah banyak yang mengikuti nilai-nilai
budaya luar yang dapat terjadi dehumanisasi yaitu derajat manusia nantinya tidak
dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.
Berpijak dari sinilah penulis tertarik untuk mempelajari, globalisasi dan kearifan lokal
dan kemudian dituangkan ke dalam suatu karya dalam bentuk makalah, dengan judul
“Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal”.

 Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal

Suatu kenyataan yang sudah dinikmati manusia di era globalisasi adalah kemakmuran,
kemudahan dan kenyamanan. Namun demikian era yang serba mudah dan nyaman
menimbulkan pengaruh positif dan juga hal negatif yang akan mengancam dan sulit
untuk dihindari. Globalisasi menyebabkan segala aspek kehidupan terpenaruhi,
misalnya system ekonomi, budaya dan lingkungan hidup manusia.
Era globalisasi dalam hal ini perkambangan terkhnologi dan informasi memberi andil
yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dunia, bahkan tekhnologi juga menjadi
indicator kamajuan suatu negara. Perkembangan ekonomi akan menjadi lebih cepat
apabila didukung oleh faktor kamajuan tekhnologi. Tekhnologi merupakan langkah
lanjut dari peranan, modal dan jasa untuk perkembangan ekonomi. Makin cangggih
tekhnologi berarti makin tinggi efesiensi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Namun demikian kemajuan tekhnologi tidak hanya memberikan dampak-dampak positif


pada sistem ekonomi, dampak negatif juga muncul secara bersamaan. Hal ini juga
dapat menjurus kepada pemborosan sumber daya alam, meningkatkan kriminalitas dan
timbulnya berbagai masalah akibat semakin makmurnya dan sejahteranya ekonomi
suatu negara, sementara di daerah atau negara lain.

Selain dampak terhadap perekonomian globalisasi juga berdampak terhadap sosial


budaya masyarakat (kearifan lokal). Globalisasi telah mendorong terjadinya pergeseran
atau perubahan terhadap sistem atau aturan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.

Perkembangan tekhnologi memiliki andil yang sangat besar dalam menggiring remaja-
remaja kita kearah dekandensi moral. Rusaknya mental dan akhlak remaja kita
diakibatkan oleh gaya hidup yang kapitalis,materialistik dan individualistik. Selain itu
menjamurnya situs-situs internet yang menyajikan gambar-gambar vulgar yang bisa
diakses secara bebas semakin menambah deretan kerusakan remaja.

Hal tersebut di atas menyebabkan kearifan-kearifan yang berlaku dalam masyarakat


mulai terkikis.  Masyarakat memiliki adat yang dikenal sebagai ada kedaerahan (kerifan
lokal) yang merupakan symbol kebangsaan, namun saat ini, hampir tidak lagi makna
yang berarti di era globalisasi. Kita sulit memberikan batasan-batasan yang jelas antara
budaya lokal dan budaya barat.

 DAFTAR PUSTAKA

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat., Jurnal


Filsafat

Departemen Sosial RI. (2006). MemberdayakanKearifan Lokal bagi Komunitas Adat


Terpencil

Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. (2008).Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan


Pesisir., Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1

Erhard, Eppler. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal., Forumprees,


United kingdom
Tim Dosen UPT-MKU Unhas. (2009/2010)., Wawasan ipteks

Yanto, Subari & Arifin Zainal. (2007/2008). Filsafat Ilmu (Pengantar Kuliah Umum Di
Perguruan tinggi)., 
Anugerah Mandiri, Makassar

Harley David. (2009). Neoliberalism dan Restorasi Kelas Kapital., Resist Book,


Yogyakarta

Pandur, Servas. (2011). Testimoni Antasari Azhar (Untuk Hukum dan Keadilan)., PT.
Laras Indra Semesta, Jakarta

Shadr, Ayatullah Muhammad Baqir. (2013). Falsafatuna., Rausyan Fikr Institute,


Yogyakarta

Muthahhari, Murtada. (2012). Masyarakat dan Sejarah., Rausyan Fikr Institute,


Yogyakarta

Rakhmat, Jalaluddin.(1999). Rekayasa Sosial., Remaja Yosdakarya, Devisi Buku


Umum, Bandung.

http://blog.unnes.ac.id/yahya1/2015/12/16/pengaruh-globalisasi-terhadap-kearifan-lokal/

Tantangan Budaya Lokal


Sebuah buku yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, karya William
Greider tahun 1997 yang lalu telah mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa di mana
tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang
ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi.
Disamping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross
cultural context. Segala bentuk prilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling mempengaruhi
dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama
lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan. 
Menurut Qodri Azizy, istilah ”globalisasi” dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi. Sebagai alat
karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama sekali di bidang komunikasi.
Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena
itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab tidak sedikit akan terjadi benturan nilai,
antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi globalisasi dan nilai-nilai agama, termasuk agama Islam.
Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan. 
Pertama, sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD, DVD
dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau internet, kita dapat
menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang
sangat konsumtif. Kedua, tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh hal-hal, nilai dan
praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mampu menyerapnya,
terutama sekali hal-hal yang tidak yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional,
terutama sekali nilai agama. 
Di era global seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan
rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa
disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama
melalui media ini. Hal ini secara otomatis mengpengaruhi pola pikir dan pada gilirannya mengikis eksistensi
norma-norma budaya lokal. 
Muhammad Bahrul Ulum (1994) mengemukakan bahwa kecanggihan alat komunikasi sebagai produk modern
kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah dan denyut nadi
kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di
dalamnya. Budaya global yang didominasi oleh budaya Barat akan diserap dengan mudah oleh masyarakat
dunia. Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter keluarga.
Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain. Budaya Barat sangat menjunjung tinggi
kebebasan pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang masih
menjunjung nilai-nilai moral.
Globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi)
pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Distribusi luas produk budaya barat seperti film,
literatur, gaya hidup, nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet, koran-koran dan majalah
telah mencemari budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup
kemungkinan akan meningkatkan jumlah kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, diskriminasi
sosial dan broken home. Diskriminasi sosial inilah yang biasanya akan menibulkan kriminalitas dalam
masyarakat. (JJ. Conger, 1973: 593).
Tiindak kekerasan, tindakan-tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan
sesama anggota keluarga, pergaulan bebas, pencabulan, seks bebas, aborsi, penggunaan obat-obatan
terlarang telah menjadi bagian dari kehidupanmanusia modern. Hal ini tentunya bertentangan dengan norma
budaya kita, budaya Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara bermoral, masyarakat religius, beradab
dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menjukkan hati.

Lalu bagaimana?
Menghadapi ancaman diperlukan sebuah landasan yang kokoh. Landasan ini antara lain dengan penanaman
dan norma ajaran agama sejak dini. Selain itu tentunya melaui pengenalan dan penanaman pentingnya norma-
norma kebudayan lokal. Bersamaan dengan itu, perlu juga landasan motivasi, inspirasi dan akidah. Di sini
perlu memperkuat dan mempertegas landasan hidup agar mampu menghadapi ancaman dan terhindar
darinya. 
Menumbuhkan kesadaran kembali tentang tujuan hidup menurut Agama. Peran norma agama menjadi sangat
penting untuk dijadikan landasan hidup. Kita sadar bahwa kepuasan lahiriah yang pernah dinikmati oleh
manusia, hanyalah sementara. Dengan kesadaran itu, maka kita akan sanggup mengatur diri kita. Dengan
demikian, ketika kita akan terbawa arus globalisasi, kita akan ingat kesadaran keberagamaan kita yang
mempunyai aturan main untuk di dunia dan akhirat.
Penanaman rasa tanggung jawab atas apa yang diperbuat di dunia, baik formalitas administratif sesuai
ketentuan yang ada di dunia sendiri maupun hakiki yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Ketika kita
akan menceburkan diri dalam kehidupan globalisasi, maka kita juga selalu sadar akan tanggung jawab kita
sendiri terhadap apa yang kita perbuat. (Qodri Azizy, 2004: 32-33)
Penanamn ini harus dimulai sejak dini, yaitu dari lingkungan keluarga. Keluarga pada mempunyai posisi dan
kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam pembinaan pribadi dan masyarakat. Baik buruknya
kepribadian seseorang sangat tergantung pada pembinaan dalam keluarga. Pembinaan keluarga ditujukan
untuk melahirkan jalinan cinta kasih. Keluarga bukanlah sekedar tempat berkumpulnya orang-orang yang
terikat karena perkawinan maupun keturunan, akan tetapi mempunyai fungsi yang sedemikian luas. Oleh
karena itu untuk mempertahankan ekisistensi nilai-nilai kebudayaan lokal adalah memperdalam dan meng-
intensif-kan penanaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam setiap anggota keluarga dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. 
Penutup
Bagaimana pun juga produk suatu budaya dengan ciri “materialistiknya dapat menyebabkan pergolakan dan
konflik sosial di masyarakat” non-Barat, yang mempunyai warisan budaya dan kehidupan religius yang
berbeda-beda. Kemajuan di bidang komunikasi telah memungkinkan banyak ide-ide baru, ideologi, seni,
bahasa dan beragam ilmu pengetahuan untuk melintasi seluruh penjuru dunia. Proses globalisasi juga terdiri
dari faktor-faktor yang menjadi ancaman bagi satu kebudayaan asli di berbagai tempat di dunia ini. Dengan
kata lain proses globalisasi juga menciptakan bentuk baru aliansi kebudayaan unik yang terdapat pada suatu
bangsa atau etnik tertentu. (Nobutaka)

Bahan Bacaan
Adian Husaini,”Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal”, (Jakarta: Gema
Innsani Press, 2005) 

Ahmad Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i, “Globalisasi dalam Timbangan Islam” (Solo: Penerbit Era Intermedia, 2002). 

JJ. Conger, Adolescence and Youth, (London: Harper and Row, 1973) .

Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994 (London: International Collegs of Islamic Science,
1994). 

Jurnal Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005 (Jakarta: Institute for Study of Islamic Thought and
Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan).

Lihat R. H. Tawney, dalam Lynn H. Miller, Global Order: Values and Power in International Politics, (Agenda
Politik internasional) alih bahasa, Daryanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Louis P. Pojman, Global Political Philosophy, (New York: McGraw Hill, 2003).
Yandianto, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”(Bandung: Penerbit M2S, 1997). 

ZA. Maulani, “Dakwah dalam Era Globalisasi” Makalah disampaikan dalam ASEAN Yuoth Camp, Jakarta, 1
Oktober 2002.

http://mushthava.blogspot.com/2009/05/tantangan-budaya-lokal-di-tengah-arus.html

Anda mungkin juga menyukai