PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN (Bab 1)
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN (Bab 1)
OLEH :
160204012
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting merupakan suatu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
pemenuhan zat gizi yang kurang pada masa lalu sehingga termasuk dalam
masalah gizi yang bersifat kronis. Stunting diukur sebagai status gizi
dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis kelamin
balita. Kebiasaan tidak mengukur tinggi atau panjang badan balita di
masyarakat menyebabkan kejadian stunting sulit disadari sehingga
menjadi salah satu fokus pada target perbaikan gizi di dunia sampai tahun
2025.
UNICEF pada 2014 mengeluarkan hasil bahwa lebih dari 162 juta anak
dibawah 5 di dunia mengalami stunting (pendek). Anak dengan keadaan
wasting (kurus) sebanyak 51 juta anak, dan 17 juta anak dalam kondisi
sangat kurus yang memerlukan penanganan khusus. Keadaan tersebut,
akan mengalami efek jangka panjang yang berdampak bagi dirinya,
keluarga, dan pemerintah, bahkan berisiko tinggi meninggal (Rudert,
2014). 2 juta kematian anak umur 6–12 tahun berhubungan langsung
dengan gizi terutama akibat stunting dan sekitar 1 juta kematian akibat
KEP (Kekurangan Energi dan Protein), vitamin A dan zinc (Martins,
Florê, Santos, Vieira, & Sawaya, 2011). Sebanyak 1 dari 3 anak berusia 6–
12 tahun atau sekitar 178 juta anak yang hidup di negara miskin dan
berkembang mengalami kekerdilan (stunting) , 111,6 juta hidup di Asia
dan 56,9 juta hidup di Afrika. Jurnal Endurance(2018:131)
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015, sebesar 29 persen balita di
Indonesia termasuk kategori pendek. Berdasaran kelompok umur pada
balita, semakin bertambah umur maka prevalensi stunting semakin
meningkat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010
didapatkan prevalensi stunting di Indonesia yaitu 35,6 persen, dimana
terjadi peningkatan pada tahun 2013 menjadi 37,2 persen. Prevalensi
stunting paling tinggi pada usia 24-35 bulan yaitu sebesar 42 persen dan
menurun pada anak usia 36-47 bulan (39,7%). (Merri Syafrina (2019(2)
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi
stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 Hari Pertama
kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab stunting adalah:
1) Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.
2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANCAnte Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal
Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.
4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. (Kemiskinan, 2017)
Selain itu, faktor penyebab stunting lainnya; kondisi kesehatan dan gizi ibu
sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan, postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang terlalu muda,
terlalu tua, terlalu sering melahirkan, serta asupan nutrisi yang kurang pada
saat kehamilan, tidak terlaksananya inisiasi menyusui dini (IMD),
gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) ekslusif, dan proses penyapihan
dini, kuantitas, kualitas, dan kemanan pangan MPASI yang diberikan
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting (Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia, 2018).
Adapun dampak yang ditimbukan stunting dapat dibagi menjadi dampak
jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek; peningkatan
kejadian kesakitan dan kematian, perkembangan kognitif, motorik, dan
verbal pada anak tidak optimal, peningkatan biaya kesehatan. Sedangkan
dampak jangka panjang; postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa
(lebih pendek dibandingkan pada umumnya), meningkatnya resiko
obesitas dan penyakit lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi,
kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah,
dan produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal (Situasi Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia, 2018). (Rini Archda Saputri,2019(1)
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada
tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%). Data Prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam
negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-
East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di
Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Situasi Balita Pendek (Stunting)
di Indonesia, 2018) .
Masalah stunting pada balita di Indonesia pada tahun 2018 mengalami
penurunan yaitu mencapai (30,8%) dibandingkan dengan tahun 2013 yaitu
(37,2%), dimana Provinsi yang menduduki angka stunting tertinggi yaitu
Aceh (37,9), dan yang terendah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta
(28,1%) kemudian diikuti oleh DKI Jakarta (27,2%) (Kemenkes RI, 2018).
Stunting dianggap menjadi masalah kesehatan masyarakat kategori kronis
bila prevalensinya sebesar ≥ 20%. Menurut data Riskesdas ada 14 propinsi
di Indonesia yang stunting tergolong masalah kesehatan masyarakat berat
dan 15 propinsi tergolong serius dan salah satunya adalah Propinsi
Sumatera Utara. Prevalensi stunting di Sumatera Utara tahun 2017 (Data
PSG) adalah 28,4%. Artinya Sumatera Utara masih dalam kondisi
bermasalah kesehatan masyarakat.
Kader posyandu yang menjadi subjek penelitian ini adalah kader yang ada
di wilayah Kota Medan yang merupakan kota besar ketiga di Indonesia,
sehingga sudah pasti para kader terbiasa menggunakan telepon genggam
dalam kesehariannya. Hasil survei awal pada 2 kecamatan dengan kejadian
stunting tertinggi di Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Tembung dan
Medan Deli, semua kader sudah menggunakan telepon genggam
(smartphone). Namun, dikaitkan dengan peran kader posyandu dalam
pencegahan dini kejadian stunting pada umumnya kader belum
mengetahui bahwa telepon genggam dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk mencari informasi dan menyimpan data khususnya data perilaku ibu
. Disamping itu, kader tidak rutin memberikan penyuluhan tentang
pencegahan dini kejadian stunting baik kepada ibu-ibu muda yang belum
pernah hamil, ibu-ibu hamil dan ibu balita yang berkunjung ke posyandu
serta belum dilaksanakannya pendataan perilaku ibu hamil dan ibu balita .
Dalam kegiatan mengukur panjang balita kader belum terampil dan belum
dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang seharusnya sehingga hasil
pengukuran kurang akurat. Pengukuran tinggi atau panjang badan balita
sering dilakukan dengan posisi berdiri cenderung tidak tegak. Hal ini
menunjukkan kurangnya kerjasama antara orangtua dan kader dalam
memujuk balita agar hasil pengukuran yang lebih akurat. (Yanti S.V.,
Hasballah K., Mulyadi. (2016). Studi Komparatif Kinerja Kader
Posyandu. Jurnal Keperawatan. 4:2.)
Program ini dapat dioperasionalkan oleh para kader dan tenaga kesehatan
serta diharapkan mampu membantu mencegah dini kejadian stunting pada
balita khususnya melalui penerapan program Aplikasi Mobile. Adistie F.,
Maryam N.N.A., dan Lumbantobing V.B.M. (2017). Pengetahuan Kader
Kesehatan tentang Deteksi. Dini Gizi Buruk pada Balita. Jurnal Aplikasi
Ipteks untuk Masyarakat. 6 (3): 173-177.