LANDASAN TEORI
II - 1
2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya
Dalam suatu perencanaan geometrik jalan raya, bentuk geometrik
haruslah ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan
dapat memberikan pelayanaan yang optimal bagi lalu lintas sesuai
dengan fungsinya. Di Indonesia standar perencanaan geometrik telah
dilakukan dalam suatu peraturan yang dinamakan Peraturan Geometrik
Jalan Raya No. 13/1970 dan Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan
Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/2000 yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jendral Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. Peraturan
ini disusun sedemikian rupa sehingga standar yang dibutuhkan tidak
hanya memperlihatkan faktor utama lalu lintas tetapi juga keselamatan
dengan keseimbangan dari segi ekonomi.
II - 2
ada dua jenis yaitu Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan
(LHRT) dan Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR).
b. Volume Jam Perencanaan (VJP) adalah menunjukkan
jumlah arus lalu lintas yang direncanakan akan melintasi
suatu penampang jalan selama satu jam.
c. Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat
melewati suatu penampang jalan pada jalur jalan selama 1
jam dengan kondisi serta arus lalu lintas tertentu.
b. Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil
dari kelompoknya, dipergunakan untuk merencanakan bagian-
bagian dari jalan. Untuk perencanaan geometrik jalan, ukuran
lebar kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar lajur yang
dibutuhkan. Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi
perencanaan tikungan dan lebar median dimana mobil
diperkenankan untuk memutar. Daya kendaraan akan
mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih dan tinggi tempat
duduk pengemudi akan mempengaruhi jarak pandangan
pengemudi. Kendaraan rencana mana yang akan dipilih sebagai
dasar perencanaan geometrik jalan ditentukan oleh fungsi jalan
dan jenis kendaraan dominan yang memakai jalan tersebut.
Tipe kendaraan yang dimaksud disini adalah pembagian
kendaraan menurut jenis yang biasanya dibagi dalam 3 (tiga)
golongan yaitu: (“Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
(TPGJAK) No. 038/T/BM/2000”)
II - 3
a) Kendaraan ringan / kecil.
Yaitu kendaraan bermotor ber as dua dan mempunyai berat
total kecil dari 5 T dengan 4 roda dan dengan jarak 2 – 3 m,
misalnya mobil penumpang, pick up, mobil hantaran.
b) Kendaraan sedang
Yaitu kendaraan bermotor dengan dua gandar dengan jarak
3,5 – 5,0 m misalnya bus kecil, truk 2 as dengan 6 roda dan
lain-lain.
c) Kendaraan berat / besar
Yaitu kendaraan yang mempunyai berat total besar dari 5
ton.
c. Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang
ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh.Biasanya dinyatakan
dalam km/jam.
Kecepatan rencana adalah kecepatan aman maksimum yang
dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya
seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lain-lain.
Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi
menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan
kemanan itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan.
II - 4
Tabel 2.1 Ketentuan Kecepatan Rencana
Kec.Rencana
Kelas Jalan Keadaan Medan
(km/jam)
Datar 120
I Berbukit 100
Gunung 80
Datar 100
II A Berbukit 80
Gunung 60
Datar 80
II B Berbukit 60
Gunung 40
Datar 60
II C Berbukit 40
Gunung 30
Datar 60
III Berbukit 40
Gunung 30
Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000
2. Keadaan Topografi
Topografi merupakan faktor dalam menentukan lokasi jalan dan
pada umumnya mempengaruhi penentuan trase jalan. Bukit, lembah,
sungai dan danau sering memberikan pembatasan terhadap lokasi
dan perencanaan trase jalan. Hal demikian perlu dikaitkan dengan
kondisi medan yang direncanakan.
Kondisi medan mempengaruhi hal-hal sebagai berikut :
Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan sedemikian rupa
sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan–kendaraan dan
pandangan bebas yang cukup luas.
Tanjakan
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi kecepatan
kendaraan dan kalau tenaga tariknya tidak cukup, maka berat
muatan kendaraan harus dikurangi, yang berarti mengurangi
kapasitas angkut dan sangat merugikan, karena itu diusahakan
supaya tanjakan dibuat landai sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
II - 5
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan diambil sedemikian
rupa sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan dan
pandangan luas kedepan.
Adanya tanjakan yang cukup tajam dan curam dapat
mempengaruhi kecepatan kendaraan dan tenaga tariknya tidak
cukup maka berat muatan kendaraan harus dikurangi yang berarti
mengurangi kapasistas angkut dan sangat merugikan, karena itu
diusahakan tanjakan dibuat landai.
Bentuk penampang melintang jalan.
Trase jalan.
3. Kondisi Geologi
Adanya daerah-daerah yang merupakan faktor kegagalan geologi
seperti daerah patahan atau daerah bergerak baik vertikal maupun
horizontal. Daerah ini merupakan daerah yang kurang cocok dalam
pembuatan suatu jalan karena keadaan tanah dasar sendiri dapat
mempengaruhi lokasi dan bentuk geometrik jalan tersebut, misalnya
daya dukung tanah dasar yang sangat jelek dan muka air tanah yang
sangat tinggi.
II - 6
1. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan arus lalu lintas dimana arus dari berbagai kendaraan telah
diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang)
dengan menggunakan EMP.
3. Faktor (F)
Faktor F adalah variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam 1
jam.
II - 7
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas
lalu lintas lainnya yang diperlukan.
6. Kapasitas (C)
Volume lalu lintas maksimum (mantap) yang jarak dipertahankan
(tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (misalnya :
rencana geometrik, lingkungan, komposisi lalu lintas dan
sebagainya)
1. Jarak Pandangan
Adalah panjang jalan di depan pengemudi yang masih dapat
dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi itu sendiri.
II - 8
Dilihat dari kegunaannya jarak pandangan dapat dibedakan atas:
II - 9
VR ( VR/3,6 )2
Jh = T +
3,6 2 g. fp ………………. (2.1b)
dimana :
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
T = Waktu tanggap (2,5 detik)
G = Percepatan gravitasi (9,8m/dt2)
Fp = Koefisien gesek memanjang antara
ban dengan aspal
Jht = Jarak tanggap
Jhr = Jarak pengereman
Tabel 2.4 : Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum yang dihitung berdasarkan
pembulatan untuk berbagai VR
VR km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh min (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000
Jht Jhr
A A0 A’ A’’ B
H
H = Jarak pandang henti
A = Kendaraan yang sedang melaju
Ao = Kendaraan setelah melihat adanya kendaraan
A’ = Kendaraan menginjak rem setelah melihat
halangan
A” = Kendaraan yang berhenti setelah menginjak rem
B = Halangan
Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000
Gambar 2.1 Jarak Pandang Henti
II - 10
Jarak pandang menyiap adalah panjang bagian suatu jalan yang
diperlukan oleh pengemudi suatu kendaraan untuk melakukan suatu
gerakan menyiap kendaraan lain yang lebih lambat dan aman pada
jalur yang dilewati.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pandang menyiap:
a) Kecepatan kendaraan yang bersangkutan
b) Kebebasan
c) Reaksi
d) Kecepatan pengemudi
e) Besar kecepatan maksimum
Besar jarak pandang menyiap dan panjangnya dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut :
D = d1 + d2 + d3 + d4...................................... (2.2)
Dimana :
D = jarak pandang menyiap (m)
d3 = jarak bebas
= (30 – 100)m
II - 11
TAHAP PERTAMA
A A C C
A B
`
d1 1/3 d2
2/3 d2
TAHAP KEDUA C C A
A B B
d1 d2 d3 d4
Ket :
A = Kendaraan yang mendahului.
B = Kendaraan yang berlawanan arah.
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A.
2. Klasifikasi Jalan
Jalan Umum
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas
umum. Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi,
status, dan kelas.
a. Menurut Sistem
a) Sistem jaringan jalan primer
II - 12
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah
di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
b) Sistem jaringan jalan sekunder
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
b. Menurut Fungsi
a) Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata
tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
b) Jalan Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c) Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-
rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d) Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah.
c. Menurut status
a) Jalan Nasional
b) Jalan Provinsi
II - 13
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau anta ribukota kabupaten/kota, dan jalan
strategis provinsi.
c) Jalan Kabupaten
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang tidak termasuk pada jalan nasional dan provinsi, yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam
wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
d) Jalan Kota
Adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder
yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil,
menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat
permukiman yang berada di dalam kota.
e) Jalan Desa
d. Menurut Spesifikasi
Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan
raya, jalan sedang, dan jalan kecil.
a) Jalan bebas hambatan (Freeway)
Adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan
pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya
persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang
milik jalan.
II - 14
b) Jalan raya (Highway)
Adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan
pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi
dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah.
c) Jalan sedang (Road)
Adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan
pengendalian jalan masuk tidak dibatasi.
d) Jalan kecil (Street)
Adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat.
e. Berdasarkan Kelas
a) Jalan Kelas I
Kelas ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan
untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Jalan raya
dalam kelas ini merupakan jalan raya yang berjalur banyak
dengan konstruksi perkerasan dari jalan yang terbaik dalam arti
tingginya tingkat pelayanan terhadap lalu lintas.
b) Jalan Kelas II
Kelas ini mencakup jalan-jalan sekunder, dalam komposisi
lalu lintas lambat, kelas jalan ini berdasarkan komposisi dan
sifatnya dibagi dalam tiga kelas yaitu II A, II B dan IIC.
c) Jalan Kelas II A
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konsep permukaan
jalan dan jenis aspal beton (hot mix) atau yang setara, dimana
dalam komposisi lalu lintasnya tersebut kendaraan lambat tapi
tanpa kendaraan tak bermotor untuk lalu lintas lambat harus
disediakan jalan sendiri.
d) Jalan Kelas II B
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa
kendaraan tak bermotor.
e) Jalan Kelas II C
II - 15
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
jalan dari jenispenetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu
lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak
bermotor.
f) Jalan Kelas III
Kelas jalan ini mencakup semua jalan penghubung dan
merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal. Konstruksi
permukaan jalan yang paling tinggi adalah peleburan dengan
aspal.
Jalan Khusus
Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan
usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk
kepentingan sendiri.
Jalan tol
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem
jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya
diwajibkan membayar tol.
Jalan tol diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi
barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan
ekonomi
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi
pengguna jalan
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
II - 16
Tabel 2.6 Faktor Ekivalen Berdasarkan Penelitian AASHTO
Jenis Kendaraan SMP
Sepeda 0,5
Mobil penumpang / sepeda motor 1
Truk ringan 2
Truk Sedang 2,5
Bus 3
Truk berat 3
Kendaraan tak bermotor 7
Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000
3. Kondisi Medan
Untuk memperkecil biaya pembangunan jalan maka standar
perencanaan geomerik,perlu disesuaikan dengan kondisi topografi.
Dalam standar ini kondisi topografi dibagi menjadi 3 golongan medan
yang didasarkan pada besarnya lereng melintang dalam arah kurang
lebih tegak lurus sumbu jalan.
II - 17
pula lebar badan jalan, drainase dan kebebasan pada jalan
raya harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
II - 18
f. Harus memperhitungkan drainase yang cukup.
g. Hindari daerah rawa, sungai dan perbukitan sedapat mungkin
menghindari pekerjaan tanah yang besar.
h. Memanfaatkan material atau bahan yang ada di sekitar tempat
pekerjaan.
b. Tikungan
Jari-jari minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan
(V) akan menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan
kendaraan tidak stabil, maka untuk mengimbangi gaya itu, perlu
dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang
disebut Superelevasi (e).
Rumus umum untuk lengkung horizontal :
V2
R=
127 ( e max + f max ) ....................................2.3a
25
D= x3600
2 πR ...........................................2.3b
II - 19
Tabel 2.9 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan, untuk emax = 10%)
Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari
bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk
R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan,karena
dengan R kecil, maka diperlukan superelevasi yang besar.
II - 20
PI
Δc
Tc
Ec
Cc
PC Lc M PT
Rc Rc Rc
Δ/2 Δ/2
II - 21
Rumus yang digunakan :
PI
Tc Ec
PC
Rc
Rc ∆
2
Tan ½ ∆ = Tc
Rc
Tc = Rc tan ½ ................................(2.4)
Sin ½ ∆ = Tc
PI-O
Sin ½ ∆ = Tc
R + Ec
Ec = Tc - Rc
Sin ½ ∆
Ec = Rc ( Tc - Rc ) ...........................(2.5)
Rc . Sin ½ ∆
Δ
0
2 π Rc
Lc = 360 ..........................................(2.6)
II - 22
Perhatikan Segitiga PC-M-O
PI
Tc Cc
PC M
Rc
Rc ∆
2
O
b. Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
Pada bentuk ini spiral merupakan peralihan/transisi dari bagian
lurus kebahagian lingkaran dan sebaliknya,sehingga disebut
dengan transition curve.
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya
perubahan alinemen yang tiba-tiba dari bentun lurus ke bentuk
lingkaran,jadi lengkung peralihan ini diletakkan antara bagian lurus
dan bagian lingkaran (circle), yaitu pada sebelum dan sesudah
tikungan berbentuk busur lingkaran.
Fungsi utama dari transition curve ini adalah :
a. Menjaga gaya sentrifugal yang timbul pada waktu kendaraan
memasuki tikungan yang dapat terjadi berangsur-angsur,
agar kendaraan dapat melintasi jalur jalan yang tersedia
dengan amat nyaman.
b. Untuk mengadakan perubahan lereng melintang dari normal
ke maksimal secara berangsur-angsur sesuai dengan gaya
sentrifugal yang terjadi.
II - 23
Lengkung peralihan dengan bentuk spiral ini banyak digunakan
oleh Bina Marga, dengan adanya lengkung peralihan ini maka
tikungan menggunakan S-C-S.
Ls2
Xs = Ls
[ 1−
40Rc2 ] ......................................................(2.8)
Ls2
Ys = 6Rc .......................................................................(2.9)
90 Ls
θs = π Rc ....................................................................(2.10)
Ls2
p = 6Rc - Rc (1-Cos θs)..............................................(2.11)
Ls3
2
−Rc sin θs
k = Ls - 40Rc ...........................................(2.12)
Δc= Δ − 2 θs .................................................................
(2.13)
( Δ −2θs )
LC = x π Rc > 20 m
180 ....................................(2.14)
II - 24
Ltotal = Lc + 2 Ls < 2 T .................................................
s
(2.15)
1
T s = ( R c + p ) tg Δ+k
2 .............................................(2.16)
( R c+ p )
Es = 1
− Rc
cos 2 Δ
...................................................(2.17)
φs
Ls = . R
28 , 648 ...................................................(2.18)
PI
Ts Ys Es
Xs SC CS
Rc Rc
TS p ST
Ɵc
Ɵs Ɵs
Keterangan :
Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik
TS ke SC (jarak lurus lengkung peralihan).
II - 25
Ys = Ordinat titik SC pada tegak lurus garis tangen,
jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung.
Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS
ke SC atau CS ke TS).
Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke
CS).
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke
titik ST.
TS = Titik dari tangen ke spiral
SC = Titik dari spiral kelingkaran
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran
θs = Sudut lengkung spiral
Rc = Jari-jari lingkaran
p = Pergeseran tangen terhadap spiral..........( Tabel
2.13 )
k = Absis dari p pada garis tangen spiral......( Tabel
2.13 )
II - 26
Rc = Jari-jari busur lingkaran (m)
C = Perubahan kecepatan, 0,3 -1,0 disarankan 0,4 m/det3
ГC = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang
jalan, sebagai berikut:
Untuk VR < 70 km/jam, maka Гc maks = 0,035
m/m/det.
Untuk VR > 80 km/jam, maka Гc maks = 0,025
m/m/det.
e = Superelevasi (%)
em = Superelevasi maksimum
en = Superelevasi normal
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
c. Spiral-Spiral (S - S)
Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS.
Panjang busur lingkaran Lc = 0, dan θs = ½ Δ. Rc yang dipilih
harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar
dari Ls yangmenghasilkan landai relatif minimum yang
disyaratkan. Tikungan ini digunakan pada tikungan tajam.
Rumus-rumus yang digunakan sama dengan rumus-rumus
yang ada pada tikungan Sp-Sr-Sp.
C = 0.............................................................................(2.22)
1
θs = Δ
Δ =2 θs , 2 ...................................................(2.23)
θsπ Rc
Ls = 90 .................................................................(2.24)
Ls > Ls minimum
P = P*.Ls.........................................................................(2.26)
II - 27
x = X*.Ls.........................................................................(2.27)
y = y*.Ls..........................................................................(2.28)
k = k*.Ls..........................................................................(2.29)
Lc = 0, Ltotal = 2 Ls........................................................(2.30)
Ts = (Rc + P) tg ½ + K.................................................(2.31)
R+P
−Rc
Es = Cos 1/2 Δ .....................................................(2.32)
PI
Ts
Es
SC=CS
k
ST
TS
Rc Rc
θs θs
5. Stationing (STA)
II - 28
Stationing adalah suatu cara menentukan panjangnya suatu jalan
dan juga menentukan letaknya titik-titik pada trase jalan yang
direncanakan.
STA dimulai dari titik awal proyek dengan nomor stationing 0+000.
Angka di sebelah kiri tanda (+) menunjukkan kilometer, dan angka di
sebelah kanan tanda (+) menunjukkan meter. Angka stationing
bergerak ke atas dan tiap-tiap 50 m ditulis pada gambar rencana
serta dicantumkan juga nomor-nomor station titik-titik penting
tikungan yaitu titik TS, SC dan ST serta PI, dan berakhir pada titik
akhir proyek.
Dengan diketahui stationing titik awal proyek pada sta 0 + 0,00
maka, stationing titik-titik lain dapat ditentukan.
6. Diagram Superelevasi
Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi
dari lereng normal ke superelevasi penuh,sehingga dengan diagram
superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada
titik tikungan.
CL
en
CL
En
II - 29
S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( F - C )
B a g ia n B a g ia n
lu r u s B a g ia n le n g k u n g p e n u h lu r u s
L C C T
T C
1 /4
3 /4 L S
L S s is i lu a r t ik u n g a n
1
/3 ¼
LS’ LS’ (+) e m a x
e = 0 %
e n e n e n
e n
(-) s is i lu a r t ik u n g a n
e = 0 %
e n en e = 0 %
e n
e n e n
e m a x
Sisi dalam tikungan e m a x
S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( s p - s c - s p )
cs
sC B a g ia n le n g k u n g p e n u h S T
T s
1 /3
2 /3 L s
Ls s is i lu a r t ik u n g a n
e m ax
(+)
e = 0 %
en en (-) e max
en en
Sisi dalam
s i s i l u tikungan
a r t ik u n g a n
e= 0% e =0 %
en en
en en
e m ax e m ax
II - 30
S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( S P - S P )
e = 0 %
en en en en
e= 0% en e =0 % en
e m ax e m ax
a. Landai Relatif
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan
diantara tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang
lengkung peralihan disebut dengan landai relatif.
II - 31
B = lebar jalur (m)
b. Pelebaran di Tikungan
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan,
seringkali tak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang
disediakan. Hal ini disebabkan karena:
a) Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali
hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak
keluar lajur (off tracking).
b) Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper
ban depan dan belakang kendaraan akan mempunyai
lintasan yang berbeda dengan lintasan roda depan dan roda
belakang kendaraan.
c) Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam
mempertahankan lintasannya tetap pada lajur jalannya
terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada
kecepatan yang tinggi.
Untuk menghindari tikungan tersebut, maka pada tikungan
yang tajam perlu diperlebar perkerasan jalannya. Pelebaran
perkerasan ini merupakan faktor dari jari-jari lengkung,kecepatan
kendaraan,jenis dan ukuran kendaraan rencana yang
dipergunakan sebagai dasra perencanaan. Pada umumnya truk
tunggal merupakan jenis kendaraan yang dipergunakan sebagai
dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang
dibutuhkan.Tetapi pada jalan-jalan yang banyak dilewati
kendaraan berat, jenis kendaran semi trailer merupakan kendaran
yang cocok dipilih untuk kendaraan rencana.
Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari:
a) Off Tacking
Bina Marga memperhitungkan lebar B dengan mengambil
posisi kritis kendaraan yaitu pada saat roda depan
kendaraan pertama kali dibelokkan dan tinjauan dilakukan
untuk lajur sebelah dalam.
II - 32
b) Kesukaran dalam mengemudi di tikungan
Diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan
radius lajur sebelah dalam. Semakin tinggi kecepatan
kendaraan dan semakin tajam tikungan tersebut, semakin
besar tambahan pelebaran akibat kesukaran dalam
mengemudi. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan
terlemparnya kendaraan ke arah luar dalam gerakan
menikung tersebut.
Dari gambar 2.9 dibawah dapat dilihat :
b = lebar kendaraan rencana.
B = lebar perkerasan yang ditempati satu
kendaran di tikungan pada jalur sebelah
dalam.
C = kebebasan samping
B = n ( b’ + C ) + ( n – 1 ) Td + Z
p = jarak antar gandar = 6,5 m
A = tonjolan depan kendaraan = 1,5 m
n = jumlah jalur.
Z = lebar tambahan akibat kesukaran
mengemudi ditikungan.
VR
0,105 x √R
Td = √ R 2 − A ( 2 p + A )− R
b’ = b + ( √ R 2 − p2 )
II - 33
Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan. Silvia Sukirman
Gambar 2.9 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
1. Kelandaian
Kelandaian jalan atau disebut juga dengan landai adalah suatu
besaran untuk menunjukkan besarannya kenaikan ataupun
penurunan vertikal dalam satuan jarak horizontal (datar) dan
biasanya dinyatakan dalam persen (%). Untuk menghitung dan
II - 34
merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai
kecepatan rencana, dimaksudkan agar kendaran dapat bergerak
terus tanpa kecepatan yang berarti. Kecepatan maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh mampu
bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan
semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi
perkerasan,perlu dibuat kelandaian minimum 0,5 % untuk
keperluan kemiringan saluran samping,karena kemiringan
melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air
kesamping.
II - 35
Adapun bentuk-bentuk lengkung vertikal adalah:
a. Lengkung Vertikal Cembung
PVI
g1
g2
EV
hi
i PTV
PLV
½L ½L
Xi
II - 36
Jarak sinar lampu besar dari kendaraan
Kenyamanan pengemudi
Ketentuan drainase
II - 37
A . LV
EV = 800 .................................................................(2.34)
Jika Xi = ½ LV ; Yi = EV Yi Maksimum
LV didapatkan dari grafik :
2
Xi AXi 2
Yi =
[ 1/2 LV ] . EV ⇒
200 LV ..................................(2.35)
Tinggi Titik PTV−Tinggi Titik PLV
x 100%
q1 = 1/2 LV ........(2.36)
Tinggi Titik PTV −Tinggi Titik PVI
x 100%
q2 = 1/2 LV .........(2.37)
A = g2 – g1..................................................................(2.38)
Panjang L, berdasarkan Jh
A.J
h2
Panjang L, berdasarkan Jd
A.J
d2
II - 38
Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku :
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
a. Bahan pengikat (aspal)
b. Repetisi beban,timbul rutting (lendutan pada jalur roda)
c. Penurunan tanah dasar,jalan bergelombang mengikuti tanah
dasar
d. Perubahan temperatur,modulus kekakuan berubah dan timbul
tegangan kecil
e. Jika dibebani permukaan akan melendut
f. Kekuatan tergantung pada tanah dasar
g. Investasi biaya,biaya awal relatif murah
h. Distribusi beban disalurkan pada tiap lapis perkerasan
i. Umur jalan relatif lebih pendek dari perkerasan kaku
II - 39
Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung
dan menyebarkan beban roda.
Untuk mencapai efisiensi penggunaan bahan yang relatif murah
agar lapis selebihnya dapat dikurangi.
Meredam perubahan volume subgrade
Sebagai filler mencegah masuknya tanah dasar ke lapis
pondasi
Sebagai lapisan pertama atau lantai kerja agar pelaksanaan
dapat berjalan lancar.
II - 40
Usia rencana maksimum 20 tahun (menurut MKJI = 23 tahun)
Selama usia rencana diperlukan pemeliharaan secara berkala
(routine maintenance).
Karakteristik perkerasan kaku :
Bersifat kaku karena yang digunakan sebagai perkerasan dari
beton.
Digunakan pada jalan yang mempunyai lalu lintas dan beban
muatan tinggi.
Kekuatan beton sebagai dasar perhitungan tebal perkerasan.
Usia rencana bisa lebih 20 tahun.
Lapis Permukaan
Tanah Dasar
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
II - 41
Daya Dukung Tanah (DDT)
Indeks Permukaan
(IP0 – IPt)
Kondisi Perkerasan
ITP Eksisting
ITP Tahap
I
ITP
II - 42
Metoda yang akan digunakan tergantung dari data lalu lintas yang
ada dan prosedur perencanaan yang digunakan. Secara ideal data lalu
lintas baru mencakup jumlah dan berat setiap jenis sumbu dalam arus lalu
lintas.
II - 43
Tabel 2.14 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban satu sumbu Angka Ekivalen
Kg Lbs Sumbu tunggal Sumbu ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0035 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4797 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1740
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4417 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4148 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983
II - 44
Tabel 2.16 Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan
berat yang lewat pada lajur rencana
Jumlah Kendaraan Ringan* Kendaran berat**
lajur 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
LEP + LEA
LET =
2
LER = LET x FP
II - 45
Faktor penyesuaian (FP) tersebut ditentukan dengan rumus :
UR
FP =
10
Dimana:
I = Perkembangan lalu lintas
Ej = Angka ekivalen beban sumbu untuk satu jenis
kendaraan
LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata
UR = Usia Rencana (tahun)
FP = Faktor Penyesuaian
Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal yang sangat penting
dalam merencanakan tebal lapisan perkerasan, jadi tujuan evaluasi
lapisan tanah dasar ini untuk mengetimasi nilai daya dukung subgrade
yang akan digunakan dalam perencanaan.
II - 46
a. California Bearing Ratio (CBR)
CBR adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu
lapisan tanah atau perkerasan terhadap lahan standar dengan
kedalaman dan kecepatan penetrasi. CBR merupakan singkatan
dari “California Bearing Ratio” yang berarti perbandingan beban
penetrasi yang sama yaitu 0,1 dan 0,2.
a) Pengujian CBR Insitu (di tempat) dilakukan untuk
mendapatkan nilai CBR yang diperlukan untuk mengetahui
daya dukung lapisan tanah dasar, akan tetapi pengujian ini
memerlukan banyak waktu dan biaya yang mahal.
Disamping itu, untuk trase jalan baru, metoda/pengujian ini
sangat tidak praktis.
b) Metoda Penetralisasi (Cone Penetration) dapat digunakan
sebagai pengganti metoda CBR. Metoda ini terdiri dari dua
metoda yang sesuai dengan alat yang digunakan yaitu:
DCP (Dynamic Cone Penetration) nilai dari metoda ini
dapat dikorelsikan untuk mendapatkan nilai CBR
II - 47
Sumber : Pavement Design, NAASRA 1987
Gambar 2.16 Korelasi Nilai qc dan CBR
Modulus Reaksi Tanah Dasar (K)
Modulus “K” ini dapat ditentulan dari pengujian
pembebanan plat (plate loading test) yang dapat digunakan
untuk evaluasi daya dukung lapisan tanah dasar (subgrade),
menggunakan plat berdiameter relatif besar, dengan metoda
pengujian dari ASTM D1 196-64(1997) atau AASHTOT 221-
66 (1982) untuk perkerasan lentur maupun kaku.
Modulus “K” ini dapat ditentukan dan langsung
dimasukkan ke proses perencanaan perkerasan kaku. Nilai
CBR dapat diperoleh dari hubungan dengan nilai k tersebut.
II - 48
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik
korelasi. Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau
Plate Bearing Test, DCP, dan lain-lain. CBR disini adalah harga
CBR lapangan atau CBR laboratorium. CBR lapangan biasanya
digunakan untuk perencanaan lapis tambahan, sedangkan CBR
laboratorium digunakan untuk pembangunan jalan baru. Harga
CBR yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan,
ditentukan sebagai berikut :
Tentukan harga CBR terendah
Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari
masing-masing nilai CBR
Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 % dan yang
lainnya merupakan persentase jumlah trsebut
Buat grafik hubungan CBR dan persentase jumlah tersebut.
Nilai CBR rata-rata adalah nilai yang didapat dari angka
90%.
DDT = 4,3 log (CBR) + 1,7
II - 49
< 900
1,5 2,0
mm/th
Iklim II
2,0 – 2,5 –
> 900 1,5 2,0 2,5 3,0 –3,5
2,5 3,0
mm/th
Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983
Catatan : pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau
tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-
rawa FR ditambah dengan 1,0.
2. Menentukan Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan adalah nilai kerataan/kehalusan serta
kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi
lalu lintas yang lewat.
Tabel 2.18 Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana (IPT)
Klasifikasi jalan
LER *)
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: Petunjuk perencanaan tebal perkerasan jalan raya dengan Metoda Analisa
Komponen No. 378/KPTN/1987
Catatan : pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan Murah atau jalan darurat
maka Ipt dapat diambil 1,0
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang
tersebut di bawah ini :
Keterangan:
Ipt = 1,0 Menyatakan ukaran jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan
Ipt = 2,0 Adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih
mantap
Ipt = 2,5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
II - 50
Tabel 2.19 Indeks Permukaan Pada Awal Usia Rencana (Ipo)
II - 51
7,50 – 9,99 7,5 LASBUTAG, LASTON
10,00 10 LASTON
2. Lapisan Pondasi Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
, 3,00 15 dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah
3,00 – 7,49 20*) dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
LASTON Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
10
7,50 – 9,99 dengan semen, stabilisasi
20
tanah dengan kapur, pondasi
macadam
LASTON Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
15 dengan semen, stabilisasi
10 – 12,14
20 tanah dengan kapur, pondasi
macadam, LAPEN, LASTON
Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi
12,25 25 tanah dengan kapur, pondasi
macadam, LAPEN, LASTON
Atas
2. Lapisan Pondasi Bawah
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal
minimum adalah 10 cm.
II - 52
Tabel 2.21 Koefesien Kekuatan Relatif (a)
Koefesien
Kekuatan
kekuatan
bahan Jenis bahan
relatif
MS Kt CBR
a1 A2 a3
(kg) (Kg/cm) (%)
0,40 - - 744 - -
0,35 - - 590 - -
LASTON
0,32 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - -
LASBUTAG
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 - 454 - - LASTON Atas
- 0,24 - 340 - -
II - 53
Setelah seluruh data yang dibutuhkan telah didapat, maka
langkah selanjutnya yaitu perencanaan susunan lapis perkerasan
seperti gambar berikut :
D1 Lapis Permukaan
D2
Lapis Pondasi Atas
D3
Lapis Pondasi Bawah
Tanah Dasar
2.4.2 Timbunan
II - 54
Timbunan adalah volume tanah yang ditimbun untuk membentuk
badan jalan yang baik, rata dan padat.
Beberapa faktor yang menyebabkan dasar timbunan menjadi lemah
antara lain :
∑ ( x . y ) − ∑ ( y .x )
Luas galian/timbunan = 2
Luas sta A + Luas sta B
x jarak
Volume galian/timbunan = 2
Keterangan :
x = Koordinat sumbu x
y = Koordinat sumbu y
Σxy = Jumlah perkalian sumbu x dan sumbu y
Σyx = Jumlah perkalian sumbu y dan sumbu x
II - 55
4. Hitung volume galian dan timbunan
Didapat dari mengalikan luas penampang rata-rata antar patok
dengan jarak patok tersebut.
Jarak profil melintang adalah 100 meter (daerah datar) dan
dengan adanya langkah perhitungan seperti di atas,dapat kita
nyatakan sebagai berikut :
G = Luas penampang melintang galian satu stationing (m 2)
T = Luas penampang melintang galian rata-rata antara dua
stationing (m2)
G’ = Luas penampang melintang timbunan rata-rata antara dua
stationing (m2)
T’ = Luas penampang melintang timbunan rata-rata antara dua
stationing (m2).
D = Jarak antara dua stationing
VG = Volume galian antara dua stationing (m3)
VT = Volume timbunan antara dua stationing (m 3)
Semakin kecil jarak antara station dengan yang lainnya, maka akan
didapat volume galian dan timbunan yang mendekati harga
sesungguhnya.
II - 56