Anda di halaman 1dari 49

Caritas in veritate

PEMBAHASAN
 PENDAHULUAN
 BAB SATU

 PESAN DARI POPULORUM PROGRESSIO

 BAB  DUA

 PERKEMBANGAN MANUSIA PADA JAMAN KITA

 BAB TIGA

 PERSAUDARAAN, PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MASYARAKAT SIPIL

 BAB EMPAT

 HAK- HAK DAN KEWAJIBAN- KEWAJIBAN LINGKUNGAN

 BAB LIMA

 KERJA SAMA KELUARGA MANUSIA

 KESIMPULAN

Berikut ini adalah terjemahan


yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Benediktus XVI yang berjudul Caritas in
Veritate (Kasih di dalam kebenaran).

Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org
sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.

AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL CARITAS IN VERITATE


@COPYRIGHT 2009 – KATOLISITAS

SURAT ENSIKLIK CARITAS IN VERITATE


DARI IMAM AGUNG TERTINGGI
BENEDIKTUS  XVI

KEPADA PARA USKUP


PARA IMAM DAN DIAKON
KAUM PRIA DAN WANITA RELIGIUS
KAUM AWAM
DAN SEMUA BANGSA YANG BERKEHENDAK BAIK DALAM PERKEMBANGAN UMAT MANUSIA
SEUTUHNYA DI DALAM KASIH DAN KEBENARAN

PENDAHULUAN
1. Kasih dalam kebenaran, yang dinyatakan oleh Yesus Kristus dengan kehidupan-Nya di dunia,
terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya, adalah kekuatan yang prinsip di balik
perkembangan otentik setiap orang dan semua umat manusia. Kasih — caritas — adalah kekuatan
yang luar biasa yang memimpin manusia untuk memilih suatu kewajiban yang berani dan murah
hati di dalam bidang keadilan dan perdamaian. Ini adalah sebuah kekuatan yang berasal mula dari
Tuhan, Kasih abadi dan Kebenaran yang mutlak. Setiap orang menemukan kebahagiaannya
dengan mengikuti rencana Tuhan baginya, agar dapat mewujudkannya dengan sepenuhnya: di
dalam rencana ini, ia akan menemukan kebenarannya, dan dengan mengikuti kebenaran ini ia
menjadi bebas merdeka (lih. Yoh 8:32). Karena itu, untuk mempertahankan kebenaran ini, untuk
merumuskannya dengan kerendahan hati dan keyakinan, dan untuk memberikan kesaksian
tentangnya di dalam hidup adalah bentuk- bentuk perwujudan kasih yang tepat dan sangat
diperlukan. Kenyataannya, kasih “bersuka cita di dalam kebenaran” (1 Kor 13:6). Semua orang
merasakan dorongan dari dalam untuk mengasihi secara murni: kasih dan kebenaran tidak pernah
mengabaikan mereka sepenuhnya, sebab ini adalah suatu panggilan yang ditanamkan oleh Tuhan
di dalam hati dan pikiran setiap orang.  Pencarian akan kasih dan kebenaran dimurnikan dan
dimerdeka-kan oleh Yesus Kristus dari pemiskinan yang dibawa oleh kemanusiaan kita, dan Ia
menyatakan kepada kita dalam segala kepenuhannya, maksud dari kasih dan suatu rencana untuk
kehidupan sejati yang dipersiapkan oleh Tuhan bagi kita. Di dalam Kristus, kasih di dalam
kebenaran menjadi Wajah Pribadi-Nya, sebuah panggilan bagi kita untuk mengasihi saudara dan
saudari kita di dalam kebenaran rencana-Nya. Sungguh, Ia sendiri adalah Kebenaran (lih. Yoh
14:6).

2. Kasih berada di inti ajaran sosial Gereja Katolik. Setiap tanggung jawab dan setiap komitmen
yang mengalir dari ajaran itu diperoleh dari kasih, yang menurut ajaran Yesus, adalah rangkuman
dari keseluruhan Hukum Tuhan (lih. Mat 22:36-40). Kasih memberikan hakekat yang nyata dari
hubungan yang pribadi dengan Tuhan dan dengan sesama; kasih tidak saja merupakan prinsip
bagi hubungan mikro (dengan teman-teman, anggota keluarga atau di dalam kelompok kecil)
tetapi bagi hubungan makro (hubungan sosial, ekonomi dan politik). Bagi Gereja, yang
diperintahkan oleh Injil, kasih adalah segala sesuatu sebab, seperti yang diajarkan oleh St.
Yohanes (lih. 1 Yoh 4:8, 16) dan seperti yang tertulis dalam surat ensiklik saya yang pertama,
“Allah adalah kasih” (Deus Caritas Est); setiap ciptaan berasal dari kasih Allah, dan setiap ciptaan
dibentuk oleh kasih Allah, dan setiap ciptaan diarahkan menuju kasih Allah. Kasih adalah
pemberian Tuhan yang terbesar kepada umat manusia, kasih adalah janji –Nya dan pengharapan
kita.

Saya menyadari akan cara-cara di mana kasih telah dan terus disalah-mengertikan dan
dikosongkan maknanya, dengan akibat resiko disalah-tafsirkan, dipisahkan dari kehidupan yang
beretika dan, dalam aneka kejadian, kurang dihargai. Di dalam bidang-bidang sosial, yuridis,
budaya, politik dan ekonomi –konteks- konteks tersebut, dengan perkataan lain, yang sangat
terbuka terhadap bahaya ini– kasih dengan mudah disingkirkan sebagai yang tidak relevan untuk
menafsirkan dan memberikan arahan bagi tanggung jawab moral. Oleh karena itu, kebutuhan
untuk menghubungkan kasih dengan kebenaran tidak hanya dalam urutan, seperti yang diajarkan
oleh St. Paulus, yaitu veritas in caritate/ kebenaran di dalam kasih (Ef 4:15), tetapi juga
kebalikannya dan dalam urutan yang saling melengkapi, caritas in veritate/ kasih di dalam
kebenaran. Kebenaran perlu dicari, ditemukan, dan diekspresikan di dalam “ekonomi” kasih, tetapi
sebaliknya kasih juga perlu dimengerti, ditegaskan dan diterapkan di dalam terang kebenaran.
Dengan cara ini, kita tidak hanya melakukan sebuah pelayanan kasih yang diterangi oleh
kebenaran, tetapi kita juga membantu memberikan kredibilitas kepada kebenaran, membuktikan
kekuatannya yang berpengaruh dan otentik di dalam kerangka praktis kehidupan sosial.  Ini bukan
sesuatu hal yang kecil dewasa ini, di dalam konteks sosial dan budaya yang membuat kebenaran
menjadi hal yang relatif, yang sering tidak memperhatikan kebenaran, dan yang menunjukkan
peningkatan rasa enggan untuk mengakui adanya kebenaran.

3. Melalui hubungan yang dekat ini dengan kebenaran, kasih dapat dikenali sebagai ekspresi
kemanusiaan dan sebagai elemen dari kepentingan yang mendasar di dalam hubungan antar
manusia, termasuk mereka yang ada di daerah publik. Hanya di dalam kebenaran kasih bersinar,
hanya di dalam kebenaran kasih dapat benar-benar dilaksanakan secara murni. Kebenaran adalah
terang yang memberikan arti dan nilai kepada kasih. Terang itu adalah terang akal dan terang
iman, yang melaluinya akal budi mencapai kebenaran kodrat dan adikodrati dari kasih: ia
mencakup artinya sebagai karunia pemberian, penerimaan, dan persekutuan. Tanpa kebenaran,
kasih menurun tingkatnya menjadi hal-hal sentimental. Kasih menjadi bungkus kulit yang kosong,
untuk diisi dengan cara yang sewenang-wenang tanpa batas. Di dalam budaya yang tanpa
kebenaran, ini adalah resiko fatal yang dihadapi oleh kasih.  Hal ini menjatuhkan korban dalam
kesatuan emosi dan pendapat yang subyektif, kata “kasih” disalahgunakan dan diubah, menuju
titik yang malah berarti sebaliknya. Kebenaran membebaskan kasih dari batas-batas
emosionalisme yang mencabutnya dari maknanya yang bersifat relasional dan sosial, dan dari
fideisme yang mencabutnya dari kemanusiaan dan ruang nafas universal. Di dalam kebenaran,
kasih mencerminkan dimensi personal namun juga dimensi publik dari iman di dalam Tuhan yang
dikisahkan dalam Kitab Suci, Ia yang adalah Agape dan Logos: Kasih dan Kebenaran, Kasih dan
Firman.

4. Karena dipenuhi dengan kebenaran, nilai-nilai kasih dapat dimengerti secara melimpah, kasih
dapat dibagikan dan disampaikan. Sesungguhnya, Kebenaran adalah logos yang menciptakan dia-
logos, dan karena itu menciptakan komunikasi dan komuni/ persekutuan. Kebenaran, dengan
memampukan kaum pria dan wanita untuk melepaskan pandangan-pandangan dan kesan-kesan
subyektif, membiarkan mereka bergerak melampaui keterbatasan budaya dan sejarah, dan untuk
datang bersama –sama dalam mengevaluasi nilai-nilai dan hakekat dari hal-hal tertentu.
Kebenaran membuka dan menyatukan pikiran kita di dalam logos tentang kasih: ini adalah
pewartaan Kristiani dan kesaksian tentang kasih. Di dalam konteks sosial dan budaya saat ini, di
mana terdapat kecenderungan yang meluas untuk menjadikan kebenaran sebagai sesuatu yang
relatif, pelaksanaan kasih di dalam kebenaran membantu orang-orang untuk mengerti bahwa
mengikuti nilai-nilai Kristiani tidak hanya bermanfaat, tetapi sangat penting untuk membangun
masyarakat yang baik dan untuk perkembangan sejati umat manusia seutuhnya. Sebuah kasih
Kristiani tanpa kebenaran akan menjadi kurang lebih seperti sebuah kolam sentimen-sentimen
yang baik, yang membantu bagi keterpaduan sosial, tetapi sedikit relevansinya. Dengan perkataan
lain, tidak akan ada tempat nyata bagi Tuhan di dunia. Tanpa kebenaran, kasih dibatasi menjadi
sebuah ladang yang sempit tanpa hubungan-hubungan. Kasih menjadi terlepas dari rencana-
rencana dan proses-proses untuk meningkatkan perkembangan manusia di lingkup universal, di
dalam dialog antara pengetahuan dan penerapan.

5. Kasih adalah cinta yang diterima dan diberikan. Kasih adalah “rahmat” (charis). Sumbernya
adalah mata air Allah Bapa kepada Allah Putera di dalam Roh Kudus. Kasih turun kepada kita dari
Allah Putera. Kasih adalah cinta yang mencipta, yang olehnya kita ada; kasih adalah cinta yang
menyelamatkan, yang olehnya kita diciptakan kembali. Kasih dinyatakan dan dihadirkan oleh
Kristus (lih. Yoh 13:1) dan “dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rom 5:5). Sebagai
sasaran dari kasih Tuhan, kaum pria dan wanita menjadi sasaran kasih, mereka dipanggil untuk
menjadikan diri mereka alat-alat rahmat, untuk membagikan kasih Tuhan dan untuk menjalin
rangkaian kasih.

Dinamika kasih yang diterima dan dibagikan ini adalah yang mengakibatkan timbulnya ajaran
Gereja di bidang sosial, yang adalah caritas in veritate in re sociali: pewartaan kebenaran kasih
Kristus di dalam masyarakat. Ajaran ini adalah sebuah pelayanan bagi kasih, tetapi tempatnya
adalah kebenaran. Kebenaran menjaga dan mengekspresikan kekuatan kasih untuk
memerdekakan di dalam kejadian-kejadian yang selalu berubah di dalam sejarah. Kasih adalah,
pada saat yang sama, kebenaran iman dan kebenaran akal, baik di dalam pembedaan dan juga
dalam persatuan dari kedua bidang pengertian tersebut. Perkembangan, kesejahteraan sosial,
pencarian sebuah solusi yang memuaskan terhadap problem serius tentang sosial ekonomi yang
menyangkut kemanusiaan, semua itu membutuhkan kebenaran ini.

Apa yang dibutuhkan mereka secara lebih lagi adalah bahwa kebenaran ini harus dicintai dan
dilakukan. Tanpa kebenaran, tanpa kepercayaan dan cinta kepada apa yang benar, maka tidak
ada nurani sosial dan tanggung jawab, dan kegiatan sosial berakhir dengan melayani kebutuhan-
kebutuhan pribadi dan logika kekuasaan, yang menghasilkan perpecahan sosial, terutama di
dalam masyarakat global pada saat-saat yang sulit seperti sekarang ini.

6. “Caritas in veritate” adalah prinsip yang mengarahkan ajaran sosial Gereja, sebuah prinsip yang
mengambil bentuk praktis di dalam kriteria yang mengatur tindakan moral. Secara khusus, saya
mempertimbangkan kedua hal ini, tentang hubungan khusus terhadap komitmen untuk
perkembangan di dalam sebuah masyarakat global yang berkembang: keadilan dan kebaikan
bersama/ common good.

Pertama- tama, keadilan. Ubi societas, ibi ius: setiap masyarakat menggambarkan sistem
keadilannya tersendiri. Kasih melampaui keadilan, sebab mengasihi adalah memberi, menawarkan
apa yang menjadi “milik saya” kepada orang lain; tetapi tanpa menghilangkan keadilan, yang
mendorong kita untuk memberi kepada yang lain, apa yang menjadi “miliknya”, apa yang menjadi
haknya karena alasan keberadaannya atau perbuatannya. Saya tidak dapat “memberi” apa yang
menjadi milik saya kepada orang lain, tanpa pertama-tama memberikan kepadanya apa yang
menjadi haknya dalam keadilan. Jika kita mengasihi orang lain dengan kasih, maka pertama-tama
kita akan berbuat adil terhadap mereka. Keadilan bukan hanya tidaklah tiada berhubungan dengan
kasih, keadilan bukan hanya tidak merupakan sebuah alternatif atau jalan yang paralel dengan
kasih: keadilan adalah tidak terpisahkan dari kasih, [1] dan menyatu dengannya. Keadilan adalah
jalan utama dari kasih, atau dalam perkataan Paus Paulus VI, “ukuran minimum” dari kasih,[2]
sebuah bagian integral dari kasih “dalam perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh 3:18), yang
diajarkan oleh St. Yohanes. Di satu sisi, kasih menuntut kebenaran: pengenalan dan
penghormatan untuk hak yang sesuai hukum bagi orang-orang dan bangsa- bangsa. Kasih
berjuang keras untuk membangun kota duniawi sesuai dengan hukum dan keadilan. Di lain pihak,
kasih mengatasi keadilan dan melengkapinya di dalam logika memberi dan memaafkan.[3] Kota
duniawi dimajukan tidak saja hanya dengan hubungan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban,
tetapi secara lebih besar dan lebih mendasar adalah dengan hubungan pemberian yang melebihi
apa yang disyaratkan, belas kasihan dan persekutuan. Kasih selalu mewujudkan kasih Tuhan di
dalam hubungan antar manusia juga, kasih memberikan nilai teologis dan penyelamatan kepada
semua komitmen bagi keadilan di dunia.

7. Sebuah pertimbangan lain adalah kebaikan bersama. Mengasihi seseorang adalah


menginginkan kebaikan bagi orang itu dan mengambil langkah-langkah efektif untuk
mewujudkannya. Di samping kebaikan dari perorangan, terdapat kebaikan yang dikaitkan dengan
kehidupan di masyarakat: yaitu kebaikan bersama. Kebaikan ini adalah kebaikan untuk “kita
semua” yang terdiri dari perorangan, keluarga dan kelompok-kelompok menengah yang bersama-
sama membentuk masyarakat.[4] Kebaikan ini adalah kebaikan yang dicari tidak demi dirinya
sendiri, tetapi untuk orang-orang yang menjadi bagian dari komunitas sosial dan yang hanya
dapat secara sungguh-sungguh dan secara efektif mengejar kebaikan mereka di dalamnya.
Menginginkan kebaikan bersama dan berjuang untuk mencapainya adalah sebuah persyaratan
bagi keadilan dan kasih. Mengambil sikap demi kebaikan bersama, di satu sisi adalah untuk
menjadi prihatin terhadap, dan di sisi lain, adalah untuk menyediakan diri bagi, segala institusi
yang kompleks yang memberikan tatanan bagi kehidupan masyarakat, secara yuridis,
pemerintahan sipil, politis, dan budaya, yang membuatnya menjadi polis atau “kota”. Semakin kita
berjuang keras untuk mencapai kebaikan bersama yang sesuai dengan kebutuhan riil sesama kita,
semakin efektiflah kita mengasihi mereka. Setiap orang Kristen dipanggil untuk menerapkan kasih
ini, dengan cara yang sesuai dengan derajat pengaruh yang dimilikinya di dalam polis/ kota
tersebut. Ini adalah jalur institusional – kita dapat juga menyebutnya jalur politis- dari kasih, yang
tidak kurang istimewa dan efektif daripada jenis kasih yang bertemu secara langsung dengan
sesama, di luar perantaraan kelembagaan dari kota tersebut. Jika dijiwai oleh kasih, komitmen
terhadap kebaikan bersama mempunyai nilai yang lebih luhur daripada yang dimiliki oleh
kedudukan sekular dan politik semata-mata. Seperti semua komitmen keadilan, komitmen ini
memiliki tempat di dalam kesaksian tentang kasih ilahi yang membuka jalan bagi kekekalan
melalui kegiatan sementara [di dunia]. Kegiatan duniawi manusia, ketika diinspirasikan dan
didukung oleh kasih, menyumbang kepada pembangunan kota Tuhan yang universal, yang
menjadi tujuan dari sejarah keluarga besar umat manusia. Di dalam sebuah masyarakat global
yang meningkat, kebaikan bersama dan usaha untuk mencapainya tidak dapat gagal untuk
mengangkat segi-segi keluarga besar umat manusia secara keseluruhan, yaitu, komunitas bangsa-
bangsa dan negara,[5] dengan cara sedemikian untuk membentuk kota duniawi di dalam kesatuan
dan kedamaian, yang menunjukkan pada tingkat tertentu, sebuah antisipasi dan penggambaran
dari kota Tuhan yang tidak terbagi-bagi.

8. Di tahun 1967, ketika ia mengeluarkan ensiklik Populorum Progressio, pendahulu saya yang
terhormat, Paus Paulus VI menerangkan tema yang besar tentang perkembangan bangsa-bangsa
dengan terang yang megah tentang kebenaran dan terang yang lembut tentang kasih Kristus.
Beliau mengajarkan bahwa hidup di dalam Kristus adalah faktor utama dan faktor penting bagi
perkembangan[6] dan beliau mempercayakan kepada kita tugas untuk menjalani jalur
perkembangan [umat manusia] dengan seluruh hati dan akal budi kita,[7] maksudnya adalah
dengan semangat kasih dan kebijaksanaan kebenaran. Adalah kebenaran pertama dari kasih
Tuhan, rahmat yang dicurahkan kepada kita, yang membuka hidup kita kepada karunia dan
membuatnya mungkin untuk mengharapkan sebuah “perkembangan keseluruhan manusia secara
pribadi dan semua umat manusia”,  [8] untuk mengharapkan kemajuan “dari kondisi manusia
yang kurang baik menuju keadaan yang lebih manusiawi”,[9] yang dicapai dengan mengatasi
kesulitan-kesulitan yang tak terhindari di sepanjang jalan.

Pada jarak sekitar empat puluh tahun dari penerbitan ensiklik tersebut, saya bermaksud untuk
menyatakan penghargaan dan untuk menghormati kenangan akan Paus Paulus VI, dengan
membahas kembali pengajaran-pengajaran beliau tentang perkembangan manusia seutuhnya dan
mengambil tempat saya di dalam jalur yang ditandai oleh ajaran- ajaran tersebut, agar dapat
menerapkannya pada masa sekarang. Penerapan yang berkesinambungan di dalam keadaan-
keadaan saat ini dimulai dengan ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, yang telah dipilih oleh pelayan
Tuhan Paus Yohanes Paulus II untuk menandai 20-tahun peringatan penerbitan Populorum
Progressio. Sampai pada saat itu, hanya Rerum Novarum yang pernah diperingati secara
demikian. Sekarang, bahwa dua puluh tahun telah berlalu, saya menyatakan keyakinan saya
bahwa Populorum Progressio layak untuk dianggap sebagai “Rerum Novarum pada masa
sekarang”, yang memberikan terang atas perjalanan umat manusia menuju persatuan.

9. Kasih di dalam kebenaran — caritas in veritate — adalah tantangan besar bagi Gereja di dalam
dunia yang sekarang menjadi berubah dan teresapi globalisasi. Resiko pada masa kita sekarang
adalah bahwa kemerdekaan de facto dari bangsa dan negara-negara tidak dibarengi dengan
interaksi etis dari hati nurani dan pikiran yang dapat menimbulkan perkembangan sejati umat
manusia. Hanya di dalam kasih, diterangi oleh terang akal budi dan iman, maka [akan] menjadi
mungkin untuk mengejar tujuan-tujuan perkembangan yang memiliki nilai yang lebih manusiawi
dan bernilai menjadikan manusia sebagai manusia. Pembagian barang- barang dan sumber daya,
yang olehnya dihasilkan perkembangan otentik, tidak dijamin oleh kemajuan teknis semata dan
hubungan- hubungan kebutuhan, tetapi oleh potensi kasih yang mengalahkan kejahatan dengan
kebaikan (lih. Rom 12:21), yang membuka jalan menuju kerjasama timbal balik dari hati nurani
dan kebebasan/ kemerdekaan.

Gereja tidak mempunyai solusi- solusi teknis untuk ditawarkan[10] dan tidak mengklaim “untuk
mempengaruhi dengan cara apapun di dalam politik Negara.”[11] Namun demikian, Gereja
mempunyai misi kebenaran untuk dipenuhi, di dalam setiap waktu dan keadaan, untuk sebuah
masyarakat yang bersahabat dengan manusia, dengan martabatnya dan dengan panggilan
hidupnya. Tanpa kebenaran, adalah mudah untuk jatuh dalam pandangan yang empiris dan
skeptis tentang kehidupan, tidak dapat naik melebihi tingkatan praktis karena kurangnya minat
dalam memahami nilai-nilai –kadangkala bahkan arti-arti – yang diperlukan untuk menimbang dan
mengarahkan kehidupan. Kesetiaan kepada manusia mensyaratkan kesetiaan kepada kebenaran,
yang adalah satu-satunya jaminan bagi kebebasan/ kemerdekaan (lih. Yoh 8:32) dan bagi
kemungkinan perkembangan manusia seutuhnya. Untuk alasan ini Gereja mencari kebenaran,
mengumumkannya tanpa lelah, dan mengenalinya ketika hal tersebut diwujudkan. Misi kebenaran
ini adalah sesuatu yang tidak pernah ditinggalkan oleh Gereja. Ajaran sosial Gereja adalah sisi
khusus dari pewartaan ini: Ajaran sosial ini adalah pelayanan terhadap kebenaran yang
memerdekakan kita. Terbuka bagi kebenaran, dari cabang pengetahuan apapun ia datang, ajaran
sosial Gereja menerimanya, menyusunnya menjadi satu kesatuan bagian-bagian yang di dalamnya
ajaran itu ditemukan, dan menyampaikannya di dalam pola kehidupan yang terus menerus
berubah di dalam masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara.[12]

BAB SATU
PESAN DARI POPULORUM PROGRESSIO
10. Pembacaan Populorum Progressio, yang lebih dari empat puluh tahun sesudah penerbitannya,
mengundang kita untuk tetap setia kepada pesannya tentang kasih dan kebenaran, yang dilihat
dalam konteks keseluruhan dari magisterium khusus Paus Paulus VI, dan secara umum, dalam
tradisi ajaran sosial Gereja. Lebih lagi, sebuah evaluasi diperlukan tentang istilah-istilah yang
berbeda yang menyatakan masalah perkembangan [manusia] dewasa ini, dibandingkan dengan
empat puluh tahun yang lalu. Sehingga, cara pandang yang benar adalah, yang menjadi
pandangan Tradisi iman rasuli,[13] sebuah warisan baik yang kuno maupun baru, yang tanpanya
Populorum Progressio akan menjadi dokumen tanpa akar — dan hal-hal tentang perkembangan
akan ter-reduksi menjadi hanya data sosiologis.

11. Penerbitan Populorum Progressio terjadi setelah penutupan Konsili Vatikan II, dan di dalam
alinea pembuka, ensiklik tersebut menyatakan hubungan yang dekat dengan Konsili tersebut.[14]
Dua puluh tahun kemudian, di dalam Sollicitudo Rei Socialis Yohanes Paulus II, di dalam masanya,
menekankan hubungan yang berbuah antara ensiklik terdahulu dengan Konsili Vatikan II, dan
secara khusus dengan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes.[15] Saya juga ingin mengingat di sini
pentingnya Konsili Vatikan II bagi surat ensiklik Paulus VI dan untuk keseluruhan Magisterium
sosial sesudahnya dari para Paus. Konsili menyelidiki lebih dalam apa yang sudah selalu menjadi
milik kebenaran iman, yaitu bahwa Gereja, yang berada pada pelayanan Tuhan, adalah berada
pada pelayanan dunia, dalam pengertian kasih dan kebenaran. Paulus VI menjabarkan dari visi ini
untuk mencapai dua kebenaran yang penting. Pertama adalah bahwa seluruh Gereja, dalam
keberadaannya dan tindakannya – ketika ia mengumumkan, ketika ia merayakan, ketika ia
melakukan perbuatan-perbuatan kasih – terikat di dalam usaha memajukan perkembangan
manusia seutuhnya/ secara keseluruhan. Ia mempunyai peran publik yang mengatasi dan di atas
kegiatan-kegiatan kasih dan pendidikan: semua kekuatan yang dibawanya demi memajukan
manusia dan persaudaraan universal diwujudkan ketika ia dapat bekerja di dalam iklim
kemerdekaan. Di dalam kasus yang tidak sedikit, kemerdekaan itu dihalangi oleh larangan-
larangan dan penganiayaan, atau dibatasi ketika kehadiran Gereja secara publik direduksi menjadi
semata-mata kegiatan kemanusiaan saja. Kebenaran kedua adalah bahwa perkembangan
manusia secara otentik berkaitan dengan keseluruhan pribadi manusia di dalam setiap dimensi.
[16] Tanpa sudut pandang kehidupan ilahi, ruang pernafasan kemajuan manusia di dunia ini
disangkal. Terperangkap dalam sejarah, kemajuan manusia ini mempunyai resiko berkurang
menjadi semata-mata pengumpulan kekayaan, sehingga kemanusiaan kehilangan keberanian
untuk melayani kebaikan-kebaikan yang lebih tinggi, untuk melayani inisiatif-inisiatif yang luhur
dan tidak terpusat untuk kepentingan pribadi, yang dituntut oleh kasih universal. Manusia tidak
berkembang melalui kekuatannya sendiri, dan perkembangan tidak diberikan langsung kepadanya.
Menurut sejarah, sering dikatakan bahwa penciptaan lenbaga-lembaga adalah cukup untuk
menjamin pemenuhan hak-hak manusia untuk perkembangannya. Sayangnya, terlalu banyak
kepercayaan diberikan kepada lembaga-lembaga itu, seolah-olah mereka dapat mengirimkan
sasaran yang diinginkan secara otomatis. Kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut tidaklah
cukup, sebab perkembangan manusia seutuhnya pada dasarnya terletak pada sebuah panggilan
hidup, dan oleh karena itu, melibatkan sebuah pengambilan tanggung jawab secara bebas di
dalam solidaritas di pihak setiap orang. Lagipula, perkembangan itu mensyaratkan visi yang
transenden dari pribadi seseorang, perkembangan tersebut membutuhkan Tuhan: tanpa Tuhan,
perkembangan manusia itu disangkal ataupun dipercayakan hanya kepada manusia, yang jatuh
dalam suatu perangkap karena berpikir bahwa ia dapat menghasilkan keselamatan bagi dirinya
sendiri, dan berakhir dengan mengajukan bentuk perkembangan yang kurang manusiawi. Hanya
melalui sebuah pertemuan dengan Tuhan, kita dapat melihat di dalam diri orang lain sesuatu yang
lebih dari sekedar ciptaan yang lain,[17] untuk mengenal gambaran ilahi di dalam diri orang lain
sehingga dapat sungguh-sungguh memahaminya dan bertumbuh di dalam kasih yang dewasa
yang “memperhatikan dan mempedulikan orang lain”.[18]

12. Hubungan antara Populorum Progressio dan Konsili Vatikan II tidak berarti bahwa magisterium
sosial yang diajarkan Paulus VI menandai pemutusan dengan ajaran para Paus pendahulunya,
sebab Konsili Vatikan II merupakan sebuah penyelidikan yang mendalam dari magisterium ini di
dalam kesinambungan dengan kehidupan Gereja.[19] Dalam hal ini, kejelasan tidak didukung oleh
pembagian-pembagian abstrak tertentu dari ajaran sosial Gereja, yang menerapkan kategori-
kategori terhadap ajaran sosial dari Paus yang tidak berhubungan dengan ajaran itu. Ini bukan
kasus adanya dua tipologi ajaran sosial, yang satu sebelum Konsili dan yang lainnya setelah
Konsili, yang berbeda satu dengan lainnya: sebaliknya, hanya ada satu pengajaran yang konsisten
dan pada saat yang bersamaan, baru.[20] Adalah satu hal untuk memperhatikan ciri-ciri khusus
satu ensiklik atau yang lain, tentang pengajaran seorang Paus atau Paus lainnya, tetapi adalah
sesuatu hal yang lain jika seseorang kehilangan pandangan akan kesesuaian dari keseluruhan
corpus pengajaran tersebut.[21] Kesesuaian tidak berarti sebuah sistem yang tertutup; sebaliknya
itu berarti kesetiaan yang dinamis terhadap terang yang diterima. Ajaran sosial Gereja menerangi
masalah-masalah baru yang terus timbul dengan terang yang tak berubah.[22]    Ajaran ini
menjaga karakter yang tetap dan historis dari ajaran “warisan”,[23] yang dengan ciri-ciri
khususnya, merupakan bagian dan bingkisan dari Tradisi Gereja yang selalu hidup.[24] Ajaran
sosial dibangun di atas pondasi yang dipercayakan oleh para Rasul kepada para Bapa Gereja, dan
kemudian diterima dan selanjutnya diselidiki oleh para Doktor/ pujangga besar Gereja. Ajaran ini
secara definitif menunjuk kepada Sang Manusia Baru, kepada “Adam yang akhir [yang] menjadi
roh yang menghidupkan (1 Kor 15:45), dasar dari kasih yang “tiada berkesudahan” (1 Kor 13:8).
Ajaran ini dibuktikan oleh para orang kudus dan oleh mereka yang memberikan hidup mereka
untuk Kristus Penyelamat kita di dalam hal keadilan dan perdamaian. Ajaran sosial merupakan
ekspresi tugas nubuatan dari Imam Agung yang tertinggi untuk memberikan bimbingan apostolik/
rasuli kepada Gereja Kristus dan untuk melihat tuntutan-tuntutan kebutuhan penginjilan. Untuk
alasan-alasan ini, Populorum Progressio, yang terletak di dalam arus Tradisi besar, dapat tetap
berbicara kepada kita saat ini.

13. Sebagai tambahan terhadap hubungan yang penting dengan keseluruhan ajaran sosial Gereja,
Populorum Progressio berhubungan erat dengan keseluruhan magisterium Paulus VI, terutama
magisterium sosial-nya. Ajaran beliau adalah sungguh sebuah ajaran sosial yang sangat penting:
beliau menggarisbawahi sangat diperlukannya Injil untuk membangun masyarakat sesuai dengan
kebebasan dan keadilan, di dalam sudut pandang yang ideal dan historis dari sebuah peradaban
yang dijiwai oleh kasih. Paulus VI dengan jelas memahami bahwa pertanyaan sosial telah
mendunia[25]  dan beliau menangkap hubungan antara dorongan menuju persatuan umat
manusia dan idealisme Kristiani yang mencakup satu keluarga bangsa-bangsa di dalam solidaritas
dan persaudaraan. Di dalam pengertian perkembangan, yang dimengerti di dalam istilah manusia
dan Kristiani, beliau memperkenalkan inti dari pesan sosial Kristiani, dan beliau mengusulkan kasih
Kristiani sebagai kekuatan prinsip yang melayani perkembangan manusia. Didorong oleh keinginan
untuk membuat kasih Kristus menjadi nampak secara penuh kepada kaum pria dan wanita di
jaman sekarang, Paulus VI membahas dengan keras pertanyaan-pertanyaan etis yang penting,
tanpa menyerah kepada kelemahan-kelemahan budaya pada jamannya.

14. Dalam Surat Apostolik Octogesima Adveniens tahun 1971, Paulus VI merefleksikan tentang
arti-arti politik, dan bahaya yang terkandung dalam pandangan-pandangan utopia dan ideologis
yang menempatkan sisi-sisi etis dan kemanusiaan dalam bahaya. Ini adalah hal-hal yang
berhubungan erat dengan perkembangan. Sayangnya, ideologi yang negatif terus berkembang.
Paulus VI telah memperingatkan terhadap [ancaman] ideologi teknokratis yang sangat umum
dewasa ini,[26] sadar sepenuhnya akan bahaya mempercayakan seluruh proses perkembangan
hanya kepada teknologi semata, sebab dengan cara itu, perkembangan manusia dapat kehilangan
arah. Teknologi, dilihat di dalam dirinya sendiri, mengandung dua hal yang bertentangan. Jika di
satu pihak, beberapa orang dewasa ini lebih condong untuk mempercayakan seluruh proses
perkembangan kepada teknologi, di pihak yang lain kita menyaksikan peningkatan ideologi-
ideologi yang menolak in toto nilai perkembangan itu sendiri, yang terlihat sebagai anti
kemanusiaan secara radikal dan hanya semata-mata sumber penurunan [kemanusiaan]. Ini
menuju kepada sebuah penolakan, tidak saja terhadap jalan yang menyimpang dan tidak adil di
mana kemajuan sering diarahkan, tetapi juga terhadap penemuan-penemuan ilmiah sendiri, yang
jika digunakan dengan benar dapat berperan sebagai sebuah kesempatan perkembangan bagi
semua orang. Ide tentang sebuah dunia tanpa perkembangan menunjukkan kurangnya
kepercayaan terhadap manusia dan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan
serius untuk menganggap rendah kemampuan manusia untuk melakukan pengendalian terhadap
penyimpangan- penyimpangan dari perkembangan atau untuk mengabaikan kenyataan bahwa
manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk “menjadi lebih”. Meng-idealkan
kemajuan teknik atau memandang utopia tentang kembalinya kepada tingkat asal kodrat
manusia, adalah dua hal yang kontras untuk melepaskan kemajuan dari evaluasi moral dan
karenanya, dari tanggung jawab kami.

15. Dua dokumen Paulus VI, tanpa hubungan langsung dengan doktrin sosial – ensiklik Humanae
Vitae (25 Juli 1968) dan Wejangan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 December 1975) — adalah
sangat penting untuk melukiskan perkembangan arti kemanusiaan secara penuh seperti yang
diajarkan Gereja. Karena itu, adalah sangat membantu untuk mempertimbangkan tulisan-tulisan
ini juga dalam hubungannya dengan Populorum Progressio.

Ensiklik Humanae Vitae menekankan baik arti persatuan maupun prokreatif dari seksualitas,
sehingga meletakkan pasangan suami istri pada pondasi masyarakat, yang saling menerima satu
sama lain, dalam perbedaan dan dalam persamaan: sebuah pasangan, yang terbuka terhadap
kehidupan.[27] Ini bukan sebuah pertanyaan tentang moralitas perorangan semata: Humanae
Vitae menyatakan hubungan yang kuat antara etika kehidupan dan etika sosial, yang
mengarahkan ke dalam daerah baru dari ajaran magisterium yang telah sedikit demi sedikit
dibicarakan di dalam beberapa dokumen seri, yang terakhir adalah Ensiklik Yohanes Paulus II,
Evangelium Vitae.[28] Gereja dengan kuat memegang hubungan antara etika kehidupan dan etika
sosial, sadar sepenuhnya bahwa “sebuah masyarakat kurang kuat pondasinya jika, di satu sisi, ia
menyatakan nilai-nilai seperti martabat manusia, keadilan dan kedamaian, namun di lain sisi,
sebaliknya bertindak radikal dengan memperbolehkan atau mentolerir aneka cara di mana
kehidupan manusia direndahkan dan dirusak, terutama ketika kehidupan manusia itu lemah dan
tersingkir”.[29]

Wejangan Apostolik, Evangelii Nuntiandi, pada tempatnya, berhubungan erat dengan


perkembangan, sebab, menurut perkataan Paulus VI, “evangelisasi tidak akan genap jika ia tidak
memperhitungkan peran timbal balik yang tak terputuskan antara Injil dan kehidupan manusia
yang nyata, baik pribadi maupun sosial”.[30] “Antara evangelisasi dan kemajuan manusia –
perkembangan dan pembebasan – sesungguhnya terdapat hubungan-hubungan yang
mendalam”[31] : berdasarkan pendapat ini, Paulus VI secara jelas mengetengahkan hubungan
antara pengajaran Kristus dan kemajuan pribadi manusia di dalam masyarakat. Kesaksian
terhadap kasih Kristus, melalui perbuatan-perbuatan keadilan, perdamaian, dan perkembangan,
adalah bagian dan paket evangelisasi, sebab Yesus Kristus yang mengasihi kita, menaruh
perhatian-Nya pada keseluruhan manusia. Ajaran-ajaran yang penting ini membentuk dasar bagi
aspek missionaris[32] dari ajaran sosial Gereja, yang menjadi elemen yang esensial dari
evangelisasi.[33] Ajaran sosial Gereja mengumumkan dan memberi kesaksian tentang iman.
Ajaran ini adalah sebuah alat dan sebuah kerangka yang sangat diperlukan bagi pembentukan di
dalam iman.

16. Di dalam Populorum Progressio, Paulus VI mengajarkan bahwa kemajuan, di dalam asal
usulnya dan esensinya, adalah pertama-tama sebuah penggilan hidup: “di dalam rencana Tuhan,
setiap manusia dipanggil untuk mengembangkan dan memenuhi dirinya, sebab setiap kehidupan
adalah sebuah panggilan.”[34] Ini adalah sesuatu yang memberikan kekuasaan kepada
keterlibatan Gereja di dalam keseluruhan hal perkembangan. Jika perkembangan hanya berkaitan
dengan aspek-aspek teknikal dari hidup manusia, dan tidak dengan arti ziarah manusia melalui
sejarah di dalam kawanan dengan sesama umat manusia lainnya, dan tidak dengan adanya tujuan
dari perjalanan itu, maka Gereja tidak mempunyai kuasa untuk berbicara tentang itu. Paulus VI,
seperti Leo XIII sebelumnya di dalam Rerum Novarum,[35] mengetahui bahwa ia mengemban
tugas yang layak bagi jabatannya dengan menebarkan terang Injil terhadap masalah-masalah
sosial pada jamannya.[36]

Menganggap perkembangan sebagai sebuah panggilan hidup adalah mengenali, di satu sisi, bahwa
perkembangan berasal dari sebuah panggilan yang transenden (mengatasi semua), dan di lain
sisi, bahwa perkembangan tidak dapat, dengan dirinya sendiri, untuk memberikan artinya yang
tertinggi. Bukan tanpa alasan bahwa kata “panggilan” juga ditemukan di dalam perikop yang lain
di dalam Ensiklikal, di mana kita membaca: “Tak ada kemanusiaan yang sejati, selain dari yang
terbuka kepada Sang Absolut, dan yang sadar akan panggilan yang memberi arti sesungguhnya
dari kehidupan manusia.”[37] Visi perkembangan ini ada di inti Populorum Progressio, dan visi ini
ada di dalam semua refleksi dari Paulus VI tentang kebebasan/ kemerdekaan, tentang kebenaran,
dan tentang kasih di dalam perkembangan. Visi ini juga menjadi alasan penting mengapa Ensiklik
itu masih relevan pada jaman kita sekarang ini.

17. Sebuah panggilan hidup adalah sebuah panggilan yang mensyaratkan jawaban yang bebas
dan bertanggung jawab. Perkembangan manusia seutuhnya mensyaratkan kebebasan yang
bertanggung jawab dari individu dan bangsa-bangsa: tidak ada struktur yang dapat menjamin
perkembangan ini di atas tanggung jawab manusia. “Tipe-tipe messiamisme yang memberikan
janji-janji namun menciptakan ilusi-ilusi”[38] selalu membangun kasus mereka di atas penolakan
akan segi transenden dari perkembangan, dengan keyakinan bahwa hal itu tergantung
sepenuhnya pada kontrol mereka. Keamanan yang semu ini menjadi sebuah kelemahan, sebab ia
melibatkan penurunan manusia menjadi hamba, menjadi alat semata-mata bagi perkembangan,
sedangkan kerendahan hati mereka yang menerima panggilan hidup diubah menjadi otonomi yang
sejati, sebab mereka dijadikan merdeka. Paulus VI tidak ragu bahwa hambatan-hambatan dan
bentuk-bentuk dari pengkondisian menghambat perkembangan, namun beliau juga yakin bahwa
“setiap orang, apapun pengaruh-pengaruh yang mempengaruhinya, tetap menjadi alat kesuksesan
atau kegagalannya sendiri.”[39] Kebebasan ini memperhatikan tipe perkembangan yang sedang
kita pertimbangkan, tetapi ia juga mempengaruhi keadaan-keadaan dari kurangnya
perkembangan/ underdevelopment yang tidak disebabkan karena kebetulan atau keharusan
sejarah, tetapi yang disebabkan oleh tanggung jawab manusia. Inilah sebabnya mengapa
“bangsa-bangsa yang kelaparan sedang membuat permohonan dramatis kepada bangsa-bangsa
yang terberkati dengan limpahnya”.[40] Ini juga adalah sebuah panggilan hidup/ pengabdian,
sebuah panggilan yang diserukan oleh subyek yang bebas kepada subyek bebas yang lainnya
dalam rangka pengambilan tanggungjawab bersama. Paulus VI mempunyai perasaan yang tajam
tentang pentingnya struktur ekonomi dan lembaga-lembaga, tetapi ia mempunyai juga perasaan
yang jelas tentang kodrat mereka sebagai alat-alat kebebasan manusia. Hanya jika perkembangan
itu bebas/ merdeka maka hal itu dapat menjadi seutuhnya manusiawi; hanya di dalam sebuah
iklim kebebasan yang bertanggung jawab, perkembangan dapat tumbuh dengan cara yang
memuaskan.

18. Di samping mensyaratkan kebebasan, perkembangan manusia seutuhnya sebagai panggilan


hidup juga menuntut penghormatan terhadap kebenarannya. Panggilan menuju kemajuan
mendorong kita untuk “melakukan lebih, mengetahui lebih agar mempunyai lebih”.[41] Tetapi di
sini terdapat masalah: apakah artinya “untuk menjadi lebih”? Paulus VI menjawab dengan
pertanyaan yang menyatakan kualitas esensial dari perkembangan “otentik”: perkembangan itu
harus integral, yaitu seutuhnya, menyeluruh, artinya, ia harus memajukan kebaikan bagi setiap
orang dan semua umat manusia”.[42] Di tengah visi antropologis yang berbeda dan saling
bersaingan yang diusulkan di dalam masyarakat sekarang ini, bahkan lebih [jika] dibandingkan
dengan jaman Paulus VI, visi Kristiani mempunyai ciri khusus tentang pernyataan dan
pembenaran nilai yang tak bisa berubah dari kemanusiaan manusia dan arti dari pertumbuhannya.
Panggilan Kristiani untuk perkembangan membantu menaikkan kemajuan seluruh umat manusia
dan keseluruhan manusia. Seperti yang dituliskan oleh Paulus VI: “Apa yang kami anggap penting
adalah manusia, setiap manusia dan setiap kelompok manusia, dan kami bahkan memasukkan
keseluruhan umat manusia”.[43] Di dalam memajukan perkembangan, iman Kristiani tidak
mengandalkan hak-hak istimewa atau posisi kekuasaan, atau bahkan pada jasa-jasa orang-orang
Kristen (meskipun ini terjadi dan terus terjadi bersamaan dengan keterbatasan-keterbatasan
mereka),[44] tetapi hanya pada Kristus, yang kepada-Nya setiap panggilan otentik terhadap
perkembangan manusia seutuhnya harus diarahkan. Injil adalah sangat fundamental bagi
perkembangan, sebab di dalam Injil, Kristus, “di dalam wahyu misteri Allah Bapa dan kasih-Nya,
secara penuh menyatakan umat manusia kepada dirinya sendiri”[45]  Diajar oleh Tuhannya,
Gereja memeriksa tanda-tanda jaman dan menginterpretasikan tanda- tanda itu, menawarkan
kepada dunia “apa yang dimilikinya sebagai sifatnya yang khas: sebuah visi global tentang
manusia dan tentang umat manusia”.[46] Tepatnya karena Tuhan memberikan sebuah
persetujuan “ya” kepada manusia,[47] manusia tidak dapat gagal untuk membuka dirinya
terhadap panggilan ilahi untuk mengejar perkembangan dirinya sendiri. Kebenaran dari
perkembangan tersebut bersandar pada kelengkapannya: jika itu tidak melibatkan keseluruhan
manusia dan setiap manusia, itu bukan perkembangan yang sejati. Ini adalah pesan utama dari
Populorum Progressio, yang berlaku untuk sekarang dan sepanjang masa. Perkembangan manusia
seutuhnya dalam hal kodrat, sebagai sebuah tanggapan terhadap panggilan dari Tuhan Pencipta,
[48] menuntut pemenuhan diri di dalam “kemanusiaan transenden yang memberikan [kepada
manusia] kemungkinan terbesar untuk kesempurnaannya: ini adalah tujuan yang tertinggi dari
perkembangan pribadi”.[49] Maka panggilan Kristiani menuju perkembangan ini menerapkan baik
hal kodrat dan adikodrati/ ilahi; itulah sebabnya mengapa, “ketika Tuhan dikaburkan, kemampuan
kita untuk mengenal tatanan kodrat, tujuan dan ‘kebaikan’ mulai semakin berkurang”. [50]

19. Akhirnya, visi perkembangan sebagai panggilan membawa bersamanya tempat utama bagi
kasih di dalam perkembangan tersebut. Paulus VI, dalam Surat Ensiklik- nya Populorum
Progressio, mengemukakan bahwa sebab-sebab kurangnya perkembangan bukan berasal dari
tatanan materi. Beliau mengajak kita untuk mencari sebab-sebab itu di dalam dimensi yang lain di
dalam diri manusia: pertama, di dalam kehendak/ keinginan, yang sering kali mengabaikan tugas-
tugas solidaritas, kedua, di dalam pemikiran, yang tidak selalu memberikan arahan yang layak
bagi keinginan. Oleh karena itu, dalam mengejar perkembangan, terdapat kebutuhan untuk
“pemikiran yang mendalam dan refleksi dari orang-orang yang bijak dalam mencari humanisme
yang baru, yang akan memampukan manusia modern untuk menemukan dirinya secara baru”.
[51] Tetapi, ini bukan segalanya. Kurangnya perkembangan mempunyai sebab yang bahkan lebih
penting daripada kekurangan pemikiran yang mendalam: itu adalah “kekurangan persaudaraan di
antara pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa”.[52] Akankah mungkin untuk mencapai persaudaraan
ini hanya dengan usaha manusia sendiri? Karena masyarakat menjadi lebih global, ia membuat
bagi kita sesama/ tetangga, namun tidak membuat bagi kita saudara-saudara. Akal budi dengan
sendirinya mampu menangkap persamaan antara manusia dan memberikan stabilitas terhadap
ko-eksistensi kemasyarakatan mereka, tetapi akal budi tidak dapat menghasilkan persaudaraan.
Persaudaraan berasal di dalam panggilan transenden dari Allah Bapa, yang mengasihi kita terlebih
dahulu, yang mengajarkan melalui Allah Putera apakah kasih persaudaraan itu. Paulus VI, yang
mengemukakan tingkat-tingkat yang bervariasi di dalam proses perkembangan manusia,
menempatkan pada puncaknya, setelah menyebut iman, “kesatuan di dalam kasih Kristus yang
memanggil kita semua untuk mengambil bagian sebagai anak-anak di dalam kehidupan Allah yang
hidup, Bapa bagi semua orang”.[53]

20. Sudut-sudut pandang ini, yang dibuka oleh Populorum Progressio, tetap fundamental untuk
memberikan ruang pernafasan dan arahan bagi komitmen kita terhadap perkembangan bangsa-
bangsa. Lagipula, Populorum Progressio berkali-kali menggarisbawahi kebutuhan yang mendesak
bagi pembaharuan,[54] dan di dalam menghadapi masalah-masalah besar dari ketidakadilan di
dalam perkembangan bangsa-bangsa, ensiklik ini menyerukan tindakan berani untuk dilakukan
tanpa terlambat. Keadaaan mendesak ini juga adalah akibat dari kasih di dalam kebenaran. Adalah
kasih Kristus  yang mendorong kita pada: “caritas Christi urget nos” (2 Kor 5:14). Keadaaan
mendesak tidak dijabarkan hanya di dalam benda-benda, tidak diperoleh hanya dari kejadian-
kejadian cepat yang beruntun dan masalah-masalah, tetapi juga dari hal itu sendiri yang menjadi
taruhannya: perwujudan persaudaraan yang otentik.

Pentingnya tujuan ini adalah seperti menuntut keterbukaan kita untuk memahaminya secara
mendalam dan untuk menggerakkan kita sendiri pada tingkatan “hati”, agar dapat memastikan
bahwa proses ekonomi dan sosial saat ini berangsur berubah menuju hasil-hasil yang benar-benar
manusiawi.

BAB  DUA
PERKEMBANGAN MANUSIA PADA JAMAN KITA
21. Paulus VI mempunyai sebuah visi yang artikulatif dari perkembangan. Beliau memahami istilah
untuk memperlihatkan tujuan untuk menyelamatkan bangsa-bangsa, pertama dan utama, dari
kelaparan, perampasan, penyakit-penyakit menular dan buta huruf. Dari sudut pandang ekonomi,
ini berarti partisipasi aktif, pada pengertian yang setara, di dalam proses ekonomi internasional;
dari sudut pandang sosial, ini berarti evolusi mereka menjadi masyarakat yang berpendidikan
yang ditandai dengan solidaritas; dari sudut pandang politis itu berarti konsolidasi dari regim
demokratik yang mampu menjamin kebebasan dan perdamaian. Setelah banyak tahun terlewati,
setelah kita mengamati dengan seksama perkembangan-perkembangan dan sudut-sudut pandang
dari rangkaian krisis yang mempengaruhi dunia dewasa ini, kita bertanya, sampai manakah
harapan-harapan Paulus VI telah terpenuhi oleh model perkembangan yang diterapkan di dalam
dekade baru-baru ini. Oleh karena itu, kita mengenali, bahwa Gereja mempunyai alasan yang baik
untuk menjadi prihatin tentang kemampuan dari sebuah masyarakat teknologis yang murni untuk
mematok tujuan-tujuan realistis dan untuk menggunakan dengan baik alat-alat dalam
wewenangnya. Keuntungan/ profit berguna kalau itu digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan yang menyediakan suatu pengertian baik tentang bagaimana untuk menghasilkannya dan
bagaimana untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya.  Ketika keuntungan/ profit menjadi
tujuan eksklusif, jika itu dihasilkan dengan cara yang tidak layak dan tanpa kebaikan bersama
sebagai tujuan akhirnya, hal itu beresiko merusak kesehatan dan menciptakan kemiskinan.
Perkembangan ekonomi yang diharapkan oleh Paulus VI adalah dimaksudkan untuk menghasilkan
pertumbuhan yang nyata, yang menguntungkan setiap orang dan dapat bertahan secara sungguh-
sungguh. Adalah benar bahwa pertumbuhan telah terjadi, dan terus menjadi faktor positif yang
mengangkat milyaran orang dari kesengsaraan —  baru-baru ini hal ini telah memberikan kepada
banyak negara kemungkinan untuk menjadi lakon efektif dalam politik internasional. Tetapi harus
diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang sama telah dan terus dibebani oleh kesalahan fungsi-
fungsi dan masalah-masalah dramatis, yang dinyatakan secara lebih jelas dengan krisis sekarang
ini. Ini memberikan kita pilihan-pilihan yang tidak dapat ditunda mengenai sesuatu yang tidak
kurang dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yang lebih-lebih lagi  tidak dapat terlepas dari
kodratnya. Kekuatan-kekuatan teknis yang bermain, hubungan timbal balik yang global, efek-efek
yang merusak dari ekonomi riil yang diatur dengan buruk dan persetujuan finansial yang
kebanyakan spekulatif, migrasi dalam skala besar dari bangsa-bangsa, sering diprovokasi oleh
keadaan khusus tertentu dan lalu diberikan perhatian yang tidak cukup, penggunaan tak teratur
sumber-sumber bumi: semua ini memimpin kita untuk merefleksikan pada ukuran-ukuran yang
penting untuk menyediakan sebuah solusi terhadap masalah-masalah yang tidak hanya baru
dalam perbandingan terhadap apa yang disampaikan oleh Paus Paulus VI, tetapi juga, di atas
semua itu, tentang pengaruh yang kuat yang menentukan atas umat manusia di masa sekarang
dan di masa mendatang. Aspek-aspek yang berlainan dari krisis, solusi-solusinya, dan
perkembangan baru apapun yang dapat terjadi di masa mendatang, adalah saling berhubungan
secara meningkat, mereka menyatakan satu sama lain, mereka mensyaratkan usaha-usaha baru
dari pengertian yang menyeluruh dan sebuah rangkuman kemanusiaan yang baru. Kompleksitas
dan kegawatan keadaan ekonomi masa kini layak membuat kita prihatin, tetapi kita harus
mengambil sikap yang realistis pada saat kita mengambil suatu tanggung jawab dengan percaya
diri dan pengharapan, di mana kita dipanggil oleh kemungkinan sebuah dunia yang membutuhkan
pembaharuan budaya secara mendalam, sebuah dunia yang perlu untuk menemukan nilai-nilai
fundamental untuk membangun masa depan yang lebih baik. Krisis yang terjadi sekarang ini
mengharuskan kita untuk merencanakan kembali perjalanan kita, untuk menentukan aturan-
aturan baru bagi kita sendiri dan untuk menemukan bentuk-bentuk komitmen yang baru, untuk
membangun di atas pengalaman-pengalaman yang positif dan untuk menolak pengalaman-
pengalaman yang negatif. Maka, krisis ini menjadi sebuah kesempatan untuk pemahaman, yang di
dalamnya membentuk visi baru untuk masa depan.  Di dalam semangat ini, dengan percaya diri
bukannya pengunduran diri, layaklah kita membahas kesulitan-kesulitan jaman ini.

22. Dewasa ini, gambaran perkembangan mempunyai banyak lapisan yang bertumpuk-tumpuk.
Terdapat banyak jumlah para pemain dan penyebab di dalam kurangnya perkembangan maupun
di dalam perkembangan, kesalahan -kesalahan dan jasa-jasanya [dapat] dibedakan. Kenyataan ini
seharusnya mendorong kita untuk membebaskan diri sendiri dari ideologi- ideologi, yang sering
menyederhanakan realitas dalam cara-cara yang artifisial, dan hal ini seharusnya memimpin kita
untuk memeriksa secara obyektif masalah-masalah segi manusia seutuhnya. Seperti yang telah
diamati oleh Yohanes Paulus II, garis batas antara negara- negara yang kaya dan yang miskin
tidak lagi jelas seperti pada jaman Populorum Progressio.[55] Kekayaan dunia bertumbuh dalam
pengertian absolut, tetapi ketidaksetaraan meningkat. Di dalam negara-negara kaya, sektor-
sektor baru dalam masyarakat membuka jalan bagi kemiskinan dan timbullah bentuk-bentuk baru
dari kemiskinan. Di daerah-daerah yang lebih miskin beberapa kelompok menikmati semacam
“perkembangan super” dari sejenis konsumerisme yang boros yang membentuk sebuah kontras
yang tak dapat diterima dengan keadaan-keadaan yang terus menerus menjadi semakin tidak
manusiawi. “Skandal ketidaksetaraan yang menyolok”[56] terus terjadi. Korupsi dan hal-hal yang
illegal sayangnya secara nyata terjadi dalam tingkah laku kelas ekonomi dan politik di negara-
negara kaya, baik yang lama dan baru, seperti juga di dalam negara-negara miskin. Di antara
mereka yang sering gagal untuk menghormati hak-hak azasi manusia dari para pekerja adalah
perusahaan- perusahaan multinasional dan juga produser-produser lokal. Bantuan internasional
sering telah dibelokkan dari tujuan-tujuan yang layak, melalui tindakan-tindakan yang tidak
bertanggung jawab baik di dalam rangkaian para donatur maupun yang menerima bantuan.
Demikian juga, dalam konteks sebab-sebab yang tidak bersifat material atau sebab-sebab budaya
dari perkembangan dan kurangnya perkembangan/ underdevelopment, kita menemukan pola-pola
tanggung jawab yang sama terjadi kembali. Pada sisi negara-negara yang kaya, terdapat
semangat yang berlebihan untuk melindungi pengetahuan melalui sebuah tuntutan yang tegas
yang terlalu kaku tentang hak pemilikan intelektual, terutama dalam bidang pemeliharaan
kesehatan (health care). Pada saat yang sama, di  beberapa negara miskin, model-model budaya
dan norma-norma sosial dari tingkah laku tetap ada yang menghindari proses perkembangan.

23. Banyak daerah di dunia kini telah mengalami perubahan yang besar, sekalipun di dalam cara
yang problematik dan berbeda-beda, sehingga mengambil tempatnya di antara kekuasaan-
kekuasaan besar yang ditentukan untuk memainkan peran-peran yang penting di masa yang akan
datang. Tetapi perlu ditekankan bahwa kemajuan yang hanya dari hal ekonomis dan teknologi
adalah tidak cukup. Di atas segalanya, perkembangan perlu menjadi sesuatu yang sejati dan
menyeluruh/ seutuhnya. Fakta semata kebangkitan dari keterbelakangan ekonomi, meskipun
positif, tidak menyelesaikan hal-hal yang kompleks tentang kemajuan manusia, tidak juga untuk
negara-ngara yang mempelopori kemajuan tersebut, tidak juga untuk mereka yang secara
ekonomi sudah maju, bahkan tidak untuk mereka yang masih miskin, yang dapat menderita tidak
hanya melalui bentuk-bentuk eksploitasi lama, tetapi juga dari konsekuensi-konsekuensi negatif
dari pertumbuhan yang ditandai dengan ketidakteraturan dan ketidakseimbangan.

Setelah kejatuhan sistem ekonomi dan politik dari negara-negara Komunis di Eropa Timur dan
akhir dari blok-blok yang bertentangan, sebuah peninjauan kembali yang menyeluruh bagi
perkembangan sangat diperlukan. Paus Yohanes Paulus II menyerukan hal ini, ketika pada tahun
1987 beliau menunjukkan bahwa eksistensi dari blok-blok ini sebagai salah satu dari sebab utama
dari kurangnya perkembangan,[57] karena politik-politik menarik sumber-sumber daya dari
ekonomi dan dari kebudayaan, and ideologi menghalangi kebebasan/ kemerdekaan. Lagipula, di
tahun 1991, setelah kejadian-kejadian tahun 1989, beliau mengajak bahwa, dengan maksud
mengakhiri blok-blok, diperlukan suatu rencana komprehensif  untuk perkembangan, tidak hanya
di negara-negara tersebut, tetapi juga di negara-negara Barat dan di bagian-bagian lain di dunia
yang sedang dalam proses perubahan[58] Ini telah dicapai hanya sebagian, dan hal ini masih
menjadi tugas nyata yang perlu dilaksanakan, mungkin melalui pilihan-pilihan yang diperlukan
untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi belakangan ini.

24. Dunia yang terpampang di depan Paulus VI – meskipun masyarakat [saat itu] sudah berubah
sampai pada titik di mana beliau dapat berbicara tentang hal-hal sosial dalam istilah-istilah global–
adalah masih kurang terintegrasi dibandingkan dengan dunia sekarang ini. Kegiatan ekonomi dan
proses politik keduanya dilaksanakan di dalam daerah geografis yang sama, dan maka dapat
saling mendukung satu dengan yang lain. Produksi umumnya mengambil tempat di dalam batas-
batas nasional, dan investasi-investasi finasial sepertinya mempunyai sirkulasi yang terbatas di
luar negara, sehingga politik dari banyak Negara masih dapat menentukan prioritas-prioritas
ekonomi tersebut dan sampai pada taraf tertentu mengatur pelaksanaannya dengan menggunakan
alat-alat yang ada dalam kontrol mereka. Oleh karena itu, Populorum Progressio memberikan
sebuah peran yang sentral walaupun tidak eksklusif, terhadap “otoritas –otoritas publik”.[59]
Pada jaman kita, Negara menemukan dirinya harus membahas keterbatasan-keterbatasan
terhadap kekuasaannya yang ditentukan oleh konteks baru dari perdagangan dan keuangan
internasional, yang dicirikan dengan mobilitas yang meningkat, baik dalam hal modal finansial dan
cara-cara produksi, materi dan bukan materi. Konteks baru ini telah mengubah kekuasaan politik
dari Negara.

Dewasa ini, saat kita meresapkan di hati pelajaran-pelajaran dari krisis ekonomi baru-baru ini,
yang melihat otoritas-otoritas publik Negara langsung terlibat dalam memperbaiki kesalahan-
kesalahan dan kegagalan fungsi, kelihatannya lebih realistis untuk meng-evaluasi kembali peran
mereka dan kekuasaan mereka, yang perlu untuk ditinjau kembali secara bijak dan dibentuk
kembali agar memampukan mereka, mungkin melalui bentuk-bentuk baru dari perjanjian, untuk
menangani tantangan-tantangan dunia sekarang ini. Ketika peran otoritas-otoritas publik telah
lebih jelas didefinisikan, seseorang dapat meramalkan sebuah peningkatan di dalam bentuk-
bentuk baru dari partisipasi politik, secara nasional dan internasional, yang telah terjadi melalui
aktivitas dari organisasi-organisasi yang bekerja di dalam masyarakat sipil; dengan cara ini, dapat
diharapkan bahwa kepentingan warga dan partisipasi di dalam res publica akan berakar lebih
dalam.

25. Dari sudut pandang sosial, sistem-sistem proteksi dan kesejahteraan, yang sudah ada di
banyak negara pada jaman Paulus VI, sedang menemukan kesulitan dan dapat menemukan
bahkan lebih besar kesulitan di masa mendatang untuk mencapai tujuan keadilan sosial yang
sejati di dalam lingkungan masa kini yang berubah secara menyeluruh. Pasar global telah
merangsang pertama-tama dan terutama, pada pihak negara- negara kaya, sebuah pencarian
daerah- daerah di mana [dimungkinkan] membeli produksi dengan harga yang semurah-
murahnya dengan pandangan untuk mengurangi harga-harga banyak barang, yang meningkatkan
kemampuan pembelian dan lalu meningkatkan tingkat perkembangan dalam pengertian
peningkatan ketersediaan dari barang-barang konsumsi untuk pasar dalam negeri. Akibatnya,
pasar telah menimbulkan bentuk-bentuk baru persaingan antara Negara karena mereka
bermaksud menarik bisnis luar negeri untuk menentukan tempat-tempat produksi, melalui alat-
alat yang bervariasi, termasuk regim-regim fiscal yang menarik/ favourable fiscal dan deregulasi
pasar pekerja. Proses-proses ini telah mengakibatkan penyusutan sistem- sistem keamanan sosial
sebagai harga yang harus dibayar untuk pencapaian keuntungan kompetitif yang besar di dalam
pasar global, dengan konsekuensi bahaya yang besar bagi hak-hak pekerja, bagi hak-hak azasi
manusia dan bagi solidaritas yang berhubungan dengan bentuk-bentuk tradisional dari Negara
sosial. Sistem-sistem keamanan sosial dapat kehilangan kemampuan untuk melaksanakan tugas
mereka, baik di dalam negara-negara yang berkembang dan di dalam negara-negara yang
termasuk di antara negara-negara yang telah lebih dulu berkembang, maupun di dalam negara-
negara miskin. Di sini kebijakan-kebijakan keuangan, dengan pemotongan-pemotongan dalam
pengeluaran sosial sering dibuat di bawah tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional,
dapat menjadikan para warga menjadi tak kuasa menghadapi resiko-resiko lama dan baru;
ketidakberdayaan yang sedemikian ditingkatkan oleh kekurangan proteksi yang efektif di pihak
asosiasi para pekerja. Melalui kombinasi dari perubahan sosial dan ekonomis, trade union
organizations mengalami kesulitan-kesulitan lebih besar dalam mengemban tugas mereka untuk
mewakili kepentingan-kepentingan para pekerja, sebagian disebabkan karena para Pemerintah,
dengan alasan-alasan keperluan ekonomi, sering membatasi kebebasan atau kemampuan
negosiasi dari serikat pekerja. Oleh karena itu, jaringan-jaringan  tradisional solidaritas memiliki
lebih dan lebih lagi halangan untuk diatasi. Seruan-seruan yang berulang kali dikeluarkan di dalam
doktrin sosial Gereja, dimulai dengan Rerum Novarum,[60] untuk kenaikan dari asosiasi para
pekerja yang dapat mempertahankan hak-hak mereka harus dihormati di jaman ini lebih daripada
di masa yang lalu, sebagai tanggapan segera dan yang memandang jauh ke depan, terhadap
keperluan mendesak untuk bentuk-bentuk kerjasama yang baru di tingkat internasional, dan juga
di tingkat lokal.
Mobilitas pekerja, yang disosiasikan dengan sebuah iklim deregulasi, adalah sebuah fenomena
yang penting dengan aspek-aspek positif, sebab itu dapat merangsang produksi kekayaan dan
pertukaran kebudayaan. Meskipun demikian, ketidakpastian tentang kondisi-kondisi kerja yang
disebabkan oleh mobilitas dan deregulasi ketika itu menjadi endemik, cenderung menciptakan
bentuk-bentuk baru ketidakstabilan psikologis, yang meningkatkan kesulitan dalam hal
penempaan rencana-rencana hidup yang terkait, termasuk rencana tentang perkawinan. Ini
mengakibatkan keadaan penurunan manusia, tanpa menyebut tentang pemborosan sumber-
sumber daya sosial. Dalam perbandingan dengan korban-korban dari masyarakat industri di jaman
lalu, pengangguran di jaman sekarang menyebabkan bentuk-bentuk baru marjinalisasi ekonomi
dan krisis sekarang ini hanya dapat membuat keadaan ini menjadi semakin parah. Keluar dari
pekerjaan atau menjadi tergantung dari bantuan- bantuan publik atau pribadi untuk jangka waktu
yang lama merendahkan kebebasan dan kreativitas seseorang dan keluarganya dan hubungan-
hubungan sosial, menyebabkan penderitaan yang besar dalam hal kejiwaan dan kerohanian. Saya
ingin mengingatkan semua orang, terutama para pemerintah yang terkait dalam hal meningkatkan
asset-aset ekonomis dan sosial, bahwa modal utama yang harus dijaga dan dihargai adalah
manusia, diri manusia di dalam martabatnya: “Manusia adalah sumber, fokus dan tujuan dari
semua kehidupan ekonomi dan sosial.”[61]

26. Dalam bidang kebudayaan, dibandingkan dengan jaman Paulus VI, perbedaan bahkan semakin
nyata. Pada saat itu kebudayaan-kebudayaan secara relatif lebih terdefinisi dan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk mempertahankan diri dari usaha-usaha untuk menggabungkan
budaya-budaya menjadi satu. Sekarang ini kemungkinan hubungan timbal balik telah meningkat
dengan sangat pesat, meningkatkan terbukanya kesempatan-kesempatan yang baru bagi dialog
antar budaya: sebuah dialog bahwa, kalau itu menjadi efektif, harus mengacu pada sebuah
pengetahuan yang mendalam tentang identitas khusus dari rekan-rekan dialog yang bervariasi.
Janganlah dilupakan bahwa peningkatan komersialisasi pertukaran budaya dewasa ini
mengakibatkan dua jenis bahaya. Pertama, seseorang dapat mengamati sebuah budaya eklektik/
campuran yang sering diangkat tanpa dikritisi: budaya-budaya dengan mudahnya ditempatkan
sejajar satu dengan yang lainnya dan dipandang sebagai sesuatu yang sama secara substansial
dan dapat ditukarkan satu dengan yang lain. Ini secara mudah menghasilkan relativisme yang
tidak melayani dialog yang sejati antar budaya; di bidang sosial, budaya relativisme mempunyai
akibat bahwa kelompok-kelompok budaya eksis berdampingan, tetapi tetap terpisahkan, tanpa
dialog yang otentik dan karenanya tanpa integrasi yang benar. Kedua, terdapat bahaya yang
berlawanan, yaitu tentang penyamaan tingkat budaya dan penerimaan secara indiskriminatif dari
tipe-tipe tingkah laku dan gaya hidup. Dengan cara ini seseorang dapat kehilangan pandangan
akan arti yang mendalam dari budaya negara-negara yang berbeda, dari tradisi-tradisi bangsa-
bangsa yang bermacam-macam, yang melaluinya seseorang mendefinisikan dirinya dalam
hubungan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan.[62] Apa yang umum
dari eklektisme dan penyamaan tingkat budaya adalah pemisahan budaya dari kodrat manusia.
Karena itu, budaya-budaya tidak dapat lagi mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah
kodrat yang mengatasi mereka,[63] dan manusia akhirnya direduksi menjadi sebuah statistik
budaya semata-mata. Ketika ini terjadi, kemanusiaan mempunyai resiko baru dalam hal
perbudakan dan manipulasi.

27. Kehidupan di dalam negara-negara miskin masih sangat tidak aman sebagai akibat dari
kurangnya makanan, dan keadaan tersebut dapat menjadi lebih parah: kelaparan masih
mengakibatkan sejumlah besar korban-korban di antara mereka yang seperti Lazarus, tidak
diizinkan untuk mengambil tempat mereka di meja orang kaya, yang bertentangan dengan
harapan Paulus VI.[64] Berilah makan pada orang lapar (lih Mt 25: 35, 37, 42) adalah keharusan
etis bagi Gereja universal, seperti ia menanggapi ajaran-ajaran dari Pendirinya, Tuhan Yesus
Kristus, mengenai solidaritas dan pembagian harta milik. Lagipula, di era global, penghapusan
kelaparan dunia telah menjadi sebuah persyaratan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia
ini. Kelaparan ini tidak semata-mata tergantung dari kekurangan benda-benda material seperti
kekurangan sumber-sumber sosial, yang terpenting darinya adalah yang bersifat kelembagaan.
Dengan kata lain, apa yang hilang, adalah sebuah jaringan lembaga-lembaga ekonomi yang
mampu untuk menjamin akses regular untuk makanan dan air yang cukup untuk kebutuhan-
kebutuhan pangan, dan juga yang mampu menangani kebutuhan-kebutuhan dasar dan
kepentingan-kepentingan yang terjadi dari krisis pangan yang sesungguhnya, apakah karena
sebab-sebab alami atau ketiadaan tanggungjawab politis, secara nasional dan internasional.
Masalah ketidak-amanan dalam hal pangan harus ditangani dengan perspektif jangka panjang,
menghapuskan sebab-sebab struktural yang mengakibatkannya dan meningkatkan perkembangan
pertanian pada negara-negara yang lebih miskin. Ini dapat dilakukan dengan investasi pada
infrastruktur di daerah pedesaan, sistem pengairan, transport, organisasi pasar dan di dalam
perkembangan dan penyebaran teknologi pertanian yang dapat menggunakan tenaga manusia,
alam dan sumber sosio- ekonomis yang lebih tersedia pada tingkat lokal, pada saat bersamaan
juga menjamin kesinambungan mereka pada jangka waktu yang lama. Semua ini perlu dicapai
dengan keterlibatan komunitas-komunitas lokal di dalam pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan
yang mempengaruhi tanah pertanian. Dengan perspektif ini, dapatlah menjadi berguna untuk
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka terhadap penggunaan yang layak
dari teknik-teknik tradisional dan juga teknik pertanian yang inovatif, selalu dengan anggapan
bahwa ini telah dipertimbangkan, setelah diuji secukupnya, menjadi layak, menghormati
lingkungan dan memperhatikan kepentingan bangsa-bangsa yang paling berkekurangan. Pada
saat yang bersamaan, persoalan tentang reformasi agraria yang layak di negara-negara
berkembang seharusnya tidak diabaikan. Hak untuk memperoleh makanan, seperti halnya hak
untuk memperoleh air, mempunyai tempat yang penting dalam pengejaran hak-hak yang lain,
yang dimulai dengan hak dasar untuk hidup. Oleh karena itu, adalah sangat penting untuk
mengusahakan sebuah nurani publik yang menganggap bahwa makanan dan akses terhadap air
adalah hak-hak universal untuk semua umat manusia, tanpa perbedaan atau diskriminasi.[65]
Selanjutnya, adalah penting untuk menekankan bahwa solidaritas dengan negara-negara miskin di
dalam proses perkembangan dapat menuju ke sebuah solusi terhadap krisis global sekarang ini,
seperti yang telah diperkirakan baru-baru ini oleh para politisi dan direktur institusi internasional.
Melalui bantuan untuk negara-negara yang miskin ekonominya dengan rencana-rencana finansial
yang diinspirasikan oleh solidaritas — sehingga negara-negara ini dapat melangkah untuk
memenuhi kebutuhan para warga mereka sendiri dalam hal barang-barang konsumen dan
perkembangan —   tidak saja pertumbuhan ekonomi yang sejati dapat dihasilkan, tetapi sebuah
kontribusi dapat dibuat menuju penopangan kapasitas produksi negara-negara kaya yang ber-
resiko dikompromikan oleh krisis tersebut.

28. Salah satu yang aspek yang paling menonjol dari perkembangan pada saat ini adalah
persoalan penting tentang penghormatan terhadap kehidupan, yang tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari persoalan tentang perkembangan bangsa-bangsa. Hal ini adalah sebuah aspek yang
telah memperoleh keutamaan secara meningkat belakangan ini, yang mengharuskan kita untuk
memperluas konsep kita tentang kemiskinan[66] dan kurangnya perkembangan, untuk melibatkan
persoalan-persoalan yang terkait dengan penerimaan kehidupan, terutama di dalam kasus-kasus
di mana kehidupan dihalangi dengan berbagai cara.

Tak hanya keadaan kemiskinan yang masih mempengaruhi tingkat kematian bayi di banyak
kawasan, tetapi beberapa bagian dunia masih mengalami praktek-praktek untuk mengendalikan
kependudukan, di pihak pemerintah-pemerintah yang sering mendorong kontrasepsi dan bahkan
sampai sejauh menentukan aborsi. Di negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi,
peraturan yang bertentangan dengan kehidupan sangat tersebar luas, dan hal itu telah
membentuk sikap-sikap moral dan praktek, yang menyumbangkan penyebaran mental anti-
kelahiran; seringkali usaha-usaha dibuat untuk meng-ekspor mentalitas ini ke Negara-negara lain
seperti seolah-olah hal itu adalah sebuah bentuk kemajuan budaya.
Beberapa Organisasi non-pemerintah bekerja aktif untuk menyebarkan aborsi, seringnya
mendukung praktek- parktek sterilisasi di negara-negara miskin, di beberapa kasus bahkan tidak
memberitahukan para wanita yang terlibat. Lagipula, terdapat alasan untuk menduga bahwa
bantuan perkembangan seringkali dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan khusus pemeliharaan
kesehatan (health- care) yang secara de facto melibatkan penekanan pengukuran pengontrolan
kelahiran dengan kuatnya. Hal-hal selanjutnya yang memprihatinkan adalah hukum-hukum yang
memperbolehkan euthanasia, dan juga tekanan dari kelompok-kelompok lobby, secara nasional
maupun internasional, yang condong kepada pengakuan euthanasia secara yuridis.

Keterbukaan terhadap kehidupan terletak di pusat perkembangan sejati. Ketika masyarakat


bergerak menuju penolakan atau penekanan terhadap kehidupan, ia akan berakhir dengan tidak
lagi menemukan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi
manusia. Jika sensitivitas pribadi dan sosial menuju penerimaan sebuah kehidupan hilang, maka
bentuk-bentuk lainnya tentang penerimaan yang berharga bagi masyarakat juga layu.[67]
Penerimaan terhadap kehidupan memperkuat jaringan moral dan membuat orang-orang dapat
saling membantu. Dengan mengusahakan keterbukaan terhadap kehidupan, bangsa-bangsa yang
kaya dapat memahami kebutuhan bangsa-bangsa yang miskin dengan lebih baik, mereka dapat
menghindari penggunaan sumber-sumber daya intelektual dan ekonomi secara besar-besaran
untuk memuaskan keinginan-keinginan yang egois dari para warga mereka sendiri, dan sebaliknya
mereka dapat memajukan kegiatan-kegiatan kebajikan dalam perspektif produksi yang baik
secara moral dan ditandai dengan solidaritas, yang menghormati hak fundamental untuk hidup
dari setiap bangsa dan setiap pribadi.

29. Terdapat aspek lain di kehidupan modern yang sangat berhubungan erat dengan
perkembangan: penolakan hak kebebasan beragama. Saya tidak mengacu hanya kepada
pergolakan-pergolakan dan konflik-konflik yang terus dipertengkarkan di dunia demi motif-motif
agama, bahkan sering motif agama digunakan semata-mata sebagai kedok untuk alasan-alasan
lainnya, seperti keinginan untuk kekuasaan dan kekayaan. Saat ini, kenyataannya, orang-orang
kerap membunuh di dalam nama Tuhan yang kudus, seperti yang sering diakui dan diratapi secara
publik oleh pendahulu saya Yohanes Paulus II dan saya sendiri.[68] Kekerasan meletakkan rem
pada perkembangan otentik dan menghambat evolusi bangsa-bangsa menuju kesejahteraan yang
lebih besar dalam hal sosial ekonomi dan rohani. Ini secara khusus terlihat pada terrorisme yang
dimotivasi oleh fundamentalisme,[69] yang menghasilkan duka cita, kehancuran dan kematian,
menghalangi dialog antara negara-negara dan mengalihkan sumber-sumber daya esktensif dari
pengunaan-penggunaan mereka bagi perdamaian dan masyarakat sipil.

Tetapi harus ditambahkan bahwa, sepertihalnya fanatisme agama yang sampai konteks tertentu
menghalangi penerapan hak kebebasan beragama, juga, demikian juga peningkatan keacuhan
terhadap agama (religious indifference) yang dilakukan dengan sengaja atau atheisme praktis di
pihak banyak negara menghalangi persyaratan-persyaratan untuk perkembangan bangsa-bangsa,
menghilangkan mereka dari sumber-sumber daya spiritual dan manusia. Tuhan adalah penjamin
perkembangan manusia, karena, setelah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran-Nya, Ia
juga menetapkan martabat transenden bagi para pria dan wanita dan mengenyangkan kerinduan
yang tertanam di dalam diri mereka untuk “menjadi lebih”. Manusia bukanlah sebuah atom yang
hilang tidak disengaja di dalam sebuah alam semesta[70] : ia adalah ciptaan Tuhan, yang telah
dipilih Tuhan untuk dianugerahi jiwa yang kekal dan yang selalu dikasihi oleh-Nya. Jika manusia
hanya merupakan buah dari kebetulan atau kebutuhan, atau jika ia harus merendahkan cita-cita
kepada cakrawala dunia yang terbatas di mana ia hidup, jika semua realitas adalah semata-mata
sejarah dan budaya, dan manusia tidak mempunyai sebuah kodrat yang mengatasi dirinya di
dalam kehidupan ilahi, maka seseorang dapat berbicara tentang pertumbuhan atau evolusi, tetapi
bukan perkembangan. Ketika Negara memajukan, mengajarkan, atau mengadakan bentuk-bentuk
atheisme praktis, Negara menghalangi para warganya dari kekuatan moral dan spiritual yang
sangat diperlukan untuk pencapaian perkembangan manusia seutuhnya dan Negara merintangi
mereka dari pergerakan maju dengan dinamisme yang diperbaharui saat mereka berjuang untuk
menawarkan tanggapan manusiawi yang lebih murah hati terhadap kasih ilahi.[71] Dalam konteks
hubungan-hubungan budaya, komersial dan politik, kadang dapat terjadi bahwa negara-negara
yang sudah maju secara ekonomi atau negara-negara yang sedang berkembang mengekspor
pandangan yang kurang baik tentang manusia dan tujuan hidupnya kepada negara-negara miskin.
Ini adalah kerusakan yang disebabkan oleh “perkembangan super”[72]  terhadap perkembangan
otentik ketika hal itu disertai oleh “kurangnya perkembangan moral”.[73]

30. Dalam konteks ini, tema perkembangan manusia seutuhnya bahkan mencakup arti-arti yang
lebih luas: hubungan korelasi antara elemen-elemen yang banyak mensyaratkan komitmen untuk
membantu perkembangan interaksi dari tingkat-tingkat pengetahuan manusia yang berbeda-beda
dalam rangka menaikkan perkembangan otektik bangsa-bangsa. Seringkali dikira bahwa
perkembangan, atau ukuran-ukuran sosial dan ekonomi yang menyertainya, hanya mensyaratkan
untuk diterapkan melalui kerja sama. Namun demikian, kerja sama ini, harus diberi pengarahan,
sebab “semua kegiatan sosial melibatkan sebuah ajaran”.[74] Dalam hal kerumitan masalah-
masalahnya, sangat jelas bahwa berbagai disiplin harus bekerja sama melalui pertukaran inter-
disipliner yang teratur. Kasih tidak membuang pengetahuan, namun sebaliknya, mensyaratkan,
menaikkan, dan menghidupkannya dari dalam. Pengetahuan tidak pernah murni hasil kerja dari
akal budi. Pengetahuan tentu dapat dikurangi menjadi [hanya] perhitungan dan percobaan, tetapi
jika ia bercita-cita sebagai kebijaksanaan yang dapat mengarahkan manusia dalam terang awal
mula manusia, dan tujuan akhir hidupnya, maka pengetahuan harus “dibumbui” dengan “garam”
kasih. Perbuatan-perbuatan tanpa pengetahuan adalah kebutaan, dan pengetahuan tanpa kasih
adalah kemandulan. Memang, “pribadi yang dihidupkan oleh kasih sejati bekerja dengan ahlinya
untuk menemukan sebab-sebab penderitaan, untuk menemukan sarana-sarana untuk
melawannya dan untuk menanggulanginya dengan pasti”.[75] Dihadapi dengan fenomena yang
terbentang di hadapan kita, kasih dalam kebenaran mensyaratkan pertama-tama bahwa kita
mengetahui dan mengerti, mengenali dan menghormati keahlian khusus dari setiap tingkat
pengetahuan. Kasih bukanlah sesuatu ekstra yang ditambahkan, seperti sebuah appendix
terhadap sebuah pekerjaan yang telah dirangkum dalam setiap disiplin yang berbeda-beda: kasih
mengikat mereka [berbagai disiplin] dalam dialog sejak dari awal mula. Tuntutan-tuntutan kasih
tidak bertentangan dengan tuntutan-tuntutan akal budi. Pengetahuan manusia tidaklah cukup dan
kesimpulan-kesimpulan ilmu pengetahuan tidak dapat menentukan sendiri jalan menuju
perkembangan manusia seutuhnya. Selalu ada kebutuhan untuk mendorong ke arah yang lebih
maju:  ini adalah yang disyaratkan oleh kasih dalam kebenaran.[76] Meskipun demikian, pergi
melampaui, tidak pernah berarti meninggalkan kesimpulan-kesimpulan akal, ataupun menentang
hasil-hasilnya. Kecerdasan dan kasih tidaklah berada dalam wadah yang berbeda: kasih adalah
kaya dalam kecerdasan dan kecerdasan adalah kepenuhan kasih.

31. Ini berarti bahwa evaluasi moral dan penemuan ilmu pengetahuan harus berjalan
berdampingan, dan bahwa kasih harus menghidupi mereka di dalam keseluruhan inter-disiplin
yang serasi. Ajaran sosial Gereja, yang mempunyai “sebuah dimensi interdisiplin yang penting”,
[77] dapat menerapkan, di dalam sudut pandang ini, sebuah fungsi keberdayagunaan yang luar
biasa. Ajaran ini mengizinkan iman, teologi, metafisik dan ilmu pengetahuan untuk datang
bersama-sama di dalam usaha yang saling membangun dalam pelayanan terhadap umat manusia.
Di sinilah terutama bahwa ajaran sosial Gereja menampakkan dimensi kebijaksanaannya. Paulus
VI telah melihat dengan jelas di antara sebab-sebab kurangnya perkembangan
(underdevelopment), terdapat kekurangan dalam hal kebijaksanaan dan permenungan,
kekurangan pemikiran yang mampu merumuskan rangkuman yang dapat mengarahkan,[78] yang
daripadanya “sebuah pandangan yang jelas dari semua aspek ekonomi, sosial, budaya dan
rohani”,[79] disyaratkan. Pembagian/ segmentasi pengetahuan yang berlebihan,[80]  penolakan
metafisik oleh ilmu-ilmu pengetahuan manusia,[81] kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam dialog
antara ilmu pengetahuan dan teologi adalah merusak, tidak hanya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, tetapi juga terhadap perkembangan bangsa-bangsa, sebab hal-hal ini membuatnya
lebih sulit untuk melihat keseluruhan kebaikan manusia di dalam dimensi-dimensi yang
bermacam-macam. “Perluasan konsep kita tentang akal dan penerapannya”[82] adalah sangat
diperlukan jika kita harus berhasil dalam menimbang semua elemen yang terlibat dengan
secukupnya, di dalam masalah perkembangan dan dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial
ekonomi.

32. Elemen-elemen baru yang penting dalam gambaran perkembangan bangsa-bangsa dewasa ini
dalam banyak kasus menuntut solusi-solusi yang baru. Ini harus ditemukan bersama, dengan
menghormati hukum-hukum yang layak untuk setiap elemen dan di dalam terang pandangan
manusia seutuhnya, yang mencerminkan aspek-aspek yang berbeda dari manusia, yang dilihat
melalui lensa yang dimurnikan oleh kasih. Pemusatan pandangan yang hebat dan solusi-solusi
yang memungkinkan akan timbul menerangi, tanpa adanya komponen dasar hidup manusia yang
dikaburkan.

Martabat pribadi manusia dan tuntutan-tuntutan keadilan mensyaratkan, secara khusus sekarang
ini, agar pilihan-pilihan ekonomi tidak menyebabkan peningkatan perbedaan dalam kekayaan
secara berlebihan dan secara moral tidak dapat diterima,[83] dan bahwa kita terus
memprioritaskan tujuan kesempatan lapangan kerja yang tetap bagi setiap orang. Semua hal
dipertimbangkan, ini juga disyaratkan oleh “logika ekonomi”. Melalui peningkatan ketimpangan
sosial yang sistematik, baik di dalam sebuah negara maupun di antara populasi-populasi negara
yang berbeda-beda (yaitu peningkatan yang besar dalam hal kemiskinan relatif), tak hanya
mengganggu kesatuan sosial, sehingga menempatkan demokrasi pada kondisi beresiko, tetapi
juga mengganggu ekonomi, melalui pengikisan progresif dari “modal sosial”: jaringan hubungan
kepercayaan, saling ketergantungan, dan hormat terhadap peraturan, yang semuanya sangat
diperlukan untuk bentuk apapun juga tentang kehidupan kebersamaan masyarakat sipil.

Ilmu pengetahuan ekonomi mengatakan pada kita bahwa ketidak-amanan struktural


menghasilkan sikap-sikap anti-produktif yang memboroskan sumber-sumber daya manusia,
karena para pekerja cenderung untuk menyesuaikan diri secara pasif terhadap mekanisme
otomatis daripada bersikap kreatif. Tentang hal ini juga, terdapat persamaan pandangan antara
ilmu pengetahuan ekonomi dan evaluasi moral. Biaya-biaya manusia selalu melibatkan biaya
ekonomi, dan ekonomi yang tidak berfungsi selalu melibatkan biaya-biaya manusia.

Haruslah diingat bahwa pengurangan budaya ke [arah] dimensi teknik, bahkan jika itu menaruh
simpati pada keuntungan jangka pendek, dalam jangka panjang menghambat usaha saling
memperkaya dan dinamika kerjasama. Adalah sangat penting untuk membedakan antara
pertimbangan-pertimbangan jangka pendek maupun jangka panjang dalam hal ekonomi atau
sosiologi. Merendahkan tingkat perlindungan yang sesuai dengan hak-hak para pekerja, atau
membuang mekanisme pembagian kekayaan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan
bersaing suatu negara di era internasional, menghambat pencapaian perkembangan yang dapat
bertahan lama. Lagipula, akibat-akibat manusia dari kecenderungan-kecenderungan yang terjadi
baru-baru ini ke arah ekonomi jangka pendek –seringkali jangka sangat pendek– perlu untuk di-
eveluasi secara seksama. Ini mensyaratkan permenungan lebih jauh dan lebih dalam dalam hal
arti ekonomi dan tujuan-tujuannya,[84] dan juga peninjauan kembali yang mendalam dan
mengarah pada jangka panjang dari model perkembangan dewasa ini, agar dapat memperbaiki
gangguan-gangguan fungsi dan penyelewengan-penyelewengan. Ini adalah dituntut,
bagaimanapun juga, oleh tingkat bumi/ dunia ini dalam hal kesehatan ekologi; terutama ini
disyaratkan oleh krisis budaya dan moral manusia, yang gejala-gejalanya telah sangat jelas terjadi
selama beberapa waktu di seluruh dunia.

33. Lebih dari empat puluh tahun setelah  Populorum Progressio, tema dasarnya, yaitu kemajuan,
tetap merupakan masalah terbuka, ynag dibuat semakin akut dan mendesak oleh krisis ekonomi
dan keuangan yang terjadi baru-baru ini. Jika beberapa tempat di dunia, dengan sejarah
kemiskinan, telah mengalami perubahan-perubahan yang hebat dalam hal pertumbuhan ekonomi
dan keterlibatan mereka dalam produksi dunia, tempat-tempat yang lain masih hidup di dalam
sebuah situasi keterbelakangan yang dapat dibandingkan dengan masa Paulus VI, dan di dalam
banyak kasus, malah dapat dikatakan lebih mundur. Adalah penting bahwa beberapa kasus dalam
situasi ini dijelaskan di dalam Populorum Progressio, seperti tarif-tarif yang tinggi yang dibebankan
oleh negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, yang membuat sulitnya bagi produk-
produk negara-negara miskin untuk memperoleh kedudukan di pasar negara-negara kaya. Selain
itu, penyebab yang lain, yang hanya disebutkan sepintas di dalam Ensiklikal tersebut, kini telah
timbul dengan tingkat kejelasan yang lebih besar. Sebuah kasus dalam hal ini adalah evaluasi dari
proses dekolonisasi, yang pada waktu itu sedang mencuat. Paulus VI berharap untuk melihat
perjalanan menuju otonomi yang terbentang dengan bebas dan dalam damai. Setelah lebih dari
empat puluh tahun, kita harus mengakui betapa sulitnya perjalanan ini, baik karena bentuk-
bentuk baru dari kolonialisme dan ketergantungan yang terus berlanjut kepada kekuasaan-
kekuasaan yang lama dan kekuasaan-kekuasaan asing yang baru maupun karena ketiadaan
tanggung jawab di dalam negara-negara itu sendiri yang telah mencapai kemerdekaan.

Keistimewaan baru yang prinsip adalah meledaknya saling ketergantungan secara mendunia, yang
umum dikenal dengan globalisasi. Paulus VI telah meramalkannya sebagian, tetapi langkah
perkembangan yang begitu ganas tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Berasal dari
negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, proses ini secara natural telah menyebar
untuk melibatkan semua ekonomi. Itu telah menjadi kekuatan prinsip yang mendorong di
belakang kemunculan [suatu negara] dari keadaan kekurangan perkembangan di seluruh
kawasan, dan hal itu sendiri mewakili sebuah kesempatan yang besar. Namun demikian, tanpa
bimbingan kasih dalam kebenaran, kekuatan global ini dapat menyebabkan kerusakan yang belum
pernah terjadi sebelumnya dan menciptakan kotak-kotak baru di dalam keluarga besar manusia.
Oleh karena itu kasih dan kebenaran menghadapkan kita dengan sebuah tantangan yang sama
sekali baru dan kreatif, sesuatu yang tentunya besar dan kompleks. Ini adalah tentang perluasan
lingkup akal dan membuatnya mampu untuk mengetahui dan mengarahkan kekuatan-kekuatan
baru yang sangat kuat ini,  yang menghidupkan kekuatan-kekuatan ini di dalam sudut pandang
“peradaban kasih” tersebut yang bijinya telah ditanamkan oleh Tuhan di dalam setiap bangsa, di
dalam setiap budaya.

BAB TIGA
PERSAUDARAAN, PERKEMBANGAN EKONOMI DAN
MASYARAKAT SIPIL
34. Kasih di dalam kebenaran menempatkan manusia di hadapan pengalaman karunia yang
menakjubkan. Hal pemberian yang melebihi apa yang disyaratkan ada di dalam hidup kita dalam
banyak bentuk, yang sering tidak dikenali karena pandangan murni konsumeristik dan utilitarian di
dalam hidup. Manusia diciptakan untuk menjadi karunia, yang mengekspresikan dan
menghadirkan dimensinya yang transenden. Seringkali manusia modern diyakinkan secara keliru
bahwa ia adalah perancang utama dari dirinya sendiri, hidupnya dan masyarakatnya. Ini adalah
sebuah anggapan yang mengalir dari keadaan tertutup secara egois dalam dirinya sendiri, dan ini
adalah sebuah akibat – dalam istilah iman–  dari dosa asal. Kebijaksanaan Gereja telah selalu
menunjuk kepada kehadiran dosa asal di dalam kondisi- kondisi sosial dan di dalam struktur
masyarakat: “Pengingkaran kenyataan bahwa manusia mempunyai kodrat yang terluka yang
condong kepada kejahatan menyebabkan adanya kesalahan-kesalahan serius di dalam area
pendidikan, politik, kegiatan sosial dan moral”.[85] Di dalam daftar area di mana efek-efek
merusak dari dosa jelas terjadi, ekonomi telah termasuk di dalamnya untuk sekian waktu
sekarang. Kita mempunyai bukti kuat akan hal ini pada saat ini. Keyakinan bahwa manusia akan
cukup dengan sendirinya dan dapat dengan sukses menghapuskan kejahatan di dalam sejarah
dengan perbuatannya sendiri, telah membuatnya mencampuradukkan kebahagiaan dan
keselamatan dengan bentuk-bentuk kekayaan material dan kegiatan sosial yang tetap ada. Lalu,
keyakinan bahwa ekonomi harus bersifat otonom, bahwa itu harus diberi tameng dari “pengaruh-
pengaruh” dari sebuah karakter moral, telah memimpin manusia untuk menyalahgunakan proses
ekonomi di dalam cara yang seluruhnya merusak. Pada jangka waktu yang panjang, keyakinan-
keyakinan ini telah memimpin kepada sistem- sistem ekonomi, sosial dan politik yang menginjak-
injak kebebasan pribadi dan sosial, dan karenanya tidak dapat mewujudkan keadilan yang mereka
janjikan. Seperti yang telah saya katakan di dalam Surat Ensiklik Letter saya Spe Salvi, sejarah
menjadi kehilangan pengharapan Kristiani,[86] kehilangan sumber daya sosial yang kuat untuk
melayani perkembangan manusia seutuhnya, yang berakar pada kebebasan dan di dalam
keadilan. Pengharapan membesarkan akal dan memberikan kepadanya kekuatan untuk
mengarahkan keinginan.[87] Pengharapan telah hadir di dalam iman, memang diwujudkan dengan
iman. Kasih di dalam kebenaran mengambil makanannya dari pengharapan dan, pada saat yang
sama mewujudkan pengharapan. Sebagai karunia mutlak yang diberikan cuma-cuma oleh Tuhan,
pengharapan memenuhi hidup kita sebagai sesuatu yang tidak merupakan hak kita, sesuatu yang
mengatasi setiap hukum keadilan. Karunia secara kodratnya melampaui jasa, aturannya adalah
yang melimpah dengan ruahnya. Karunia menempati tempat pertama di dalam jiwa kita sebagai
tanda kehadiran Tuhan di dalam kita, sebuah tanda akan apa yang diharapkan-Nya dari kita.
Kebenaran – yang adalah karunia, seperti halnya kasih–  adalah sesuatu yang lebih besar dari
kita, seperti yang diajarkan oleh Santo Agustinus.[88] Demikian juga kebenaran tentang diri kita,
tentang hati nurani kita, adalah pertama-tama dikaruniakan kepada kita. Di dalam proses berpikir,
kebenaran bukan merupakan sesuatu yang kita hasilkan, melainkan sesuatu yang selalu
ditemukan, atau lebih baik, sesuatu yang diterima. Kebenaran, seperti halnya kasih, “adalah
bukan direncanakan atau diinginkan, tetapi sepertinya terletak sendiri di dalam diri manusia”.[89]

Oleh karena ia merupakan sebuah karunia yang diterima oleh setiap orang, kasih di dalam
kebenaran adalah sebuah kekuatan yang membangun komunitas, ia membawa semua orang
bersama tanpa mengadakan pembatas ataupun batas-batas. Komunitas manusia yang kita
bangun sendiri tidak pernah, murni dari dirinya sendiri, menjadi sebuah komunitas persaudaraan
yang sempurna, ataupun dapat mengatasi setiap pemisahan dan menjadi sebuah komunitas
universal sejati. Kesatuan umat manusia, sebuah persekutuan persaudaraan yang mengatasi
segala pembatas, diadakan oleh sabda Tuhan, yang adalah Kasih. Untuk membahas masalah
utama ini, kita harus membuatnya jelas, di satu sisi, bahwa logika karunia tidak membuang
keadilan, dan juga karunia tidak hanya duduk di samping keadilan seperti sebuah elemen kedua
yang ditambahkan dari luar; dan di sisi yang lain, perkembangan ekonomi, sosial dan politik, kalau
itu harus menjadi perkembangan manusia yang otentik, perlu memberikan tempat bagi prinsip
pemberian yang melebihi apa yang disyaratkan sebagai ungkapan dari persaudaraan.

35. Di dalam iklim saling kepercayaan, pasar adalah lembaga ekonomi yang mengizinkan
pertemuan antara orang-orang, lantaran mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi yang
mempergunakan kontrak-kontrak untuk mengatur hubungan mereka ketika mereka menukarkan
barang-barang dan jasa pelayanan-pelayanan yang bernilai setara di antara mereka, dalam
rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Pasar tergantung dari prinsip-prinsip yang
disebut keadilan pengganti (commutative justice), yang mengatur hubungan-hubungan pemberian
dan penerimaan antara pihak-pihak dalam sebuah transaksi. Namun ajaran sosial Gereja telah tak
henti-hentinya menekankan keutamaan keadilan distributif dan keadilan sosial untuk ekonomi
pasar, tidak hanya karena ia berada dalam sebuah konteks sosial dan politik yang lebih luas,
tetapi juga karena lebih luasnya jaringan hubungan yang di dalamnya ia bekerja. Sesungguhnya,
kalau pasar diatur hanya dengan prinsip kesetaraan nilai pertukaran barang-barang, itu tidak akan
menghasilkan kohesi/ persatuan sosial yang disyaratkan agar pasar dapat berfungsi dengan baik.
Tanpa bentuk-bentuk internal dari solidaritas dan saling percaya, pasar tidak dapat sepenuhnya
mencapai fungsi ekonomi yang layak. Dan dewasa ini, kepercayaan inilah yang sudah tidak ada
lagi, dan kehilangan kepercayaan ini adalah kehilangan yang sangat besar. Sudah saatnya, ketika
Paulus VI dalam Populorum Progressio meminta dengan tegas bahwa sistem ekonomi itu sendiri
akan mengambil keuntungan dari penerapan keadilan yang berjangka luas, lantaran pihak yang
pertama yang menerima keuntungan dari perkembangan negara-negara miskin adalah negara-
negara kaya.[90] Menurut Paus Paulus VI, hal itu tidak hanya sekedar memperbaiki kesalahan-
kesalahan fungsi melalui bantuan. Mereka yang miskin tidak boleh dianggap sebagai sebuah
“beban”,[91] tetapi sebuah sumber daya, bahkan dari sudut pandang ekonomi secara murni.
Namun demikian, juga salah untuk menganggap bahwa ekonomi pasar mempunyai sebuah
kebutuhan yang tertanam akan sebuah kuota kemiskinan dan kurangnya perkembangan agar
dapat berfungsi yang terbaik. Adalah menjadi kebutuhan-kebutuhan pasar untuk memajukan
emansipasi, tetapi agar dapat melakukannya secara efektif, pasar tidak dapat bergantung hanya
pada dirinya sendiri, sebab ia tidak dapat menghasilkan bagi dirinya sendiri sesuatu yang berada
di luar keahliannya. Pasar harus memperoleh kekuatan-kekuatan moralnya dari pelaku-pelaku lain
yang mampu untuk menghasilkan hal-hal tersebut.

36. Kegiatan ekonomi tidak dapat menyelesaikan semua masalah sosial melalui penerapan
sederhana dari logika komersial. Ini perlu untuk diarahkan menuju pencapaian kebaikan bersama,
yang mana komunitas politik secara khusus juga harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, harus
ditanamkan dalam pikiran bahwa ketidakseimbangan yang parah dihasilkan ketika kegiatan
ekonomi, yang dimengerti hanya sebagai sebuah mesin untuk penciptaan kekayaan, dipisahkan
dari kegiatan politik, yang dimengerti sebagai sebuah sarana untuk mengejar keadilan melalui
penyebaran kembali (redistribution).

Gereja selalu berpegang bahwa kegiatan ekonomi tidak untuk dianggap sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan masyarakat. Di dalam dan dari dirinya sendiri, pasar adalah tidak, dan harus
tidak menjadi, suatu tempat di mana mereka yang kuat menundukkan yang lemah. Masyarakat
tidak harus melindungi dirinya sendiri dari pasar, seperti seolah-olah perkembangan pasar adalah
ipso facto untuk membawa kematian hubungan-hubungan manusia yang otentik. Tidak dapat
disangkal, pasar memang dapat menjadi kekuatan negatif, tidak karena memang demikian secara
kodratnya, tetapi karena sebuah ideologi tertentu dapat membuatnya menjadi demikian. Haruslah
diingat bahwa pasar tidak eksis di dalam kondisi yang murni. Pasar dibentuk oleh konfigurasi
budaya yang menegaskan dan memberikan arahan kepadanya. Ekonomi dan keuangan, sebagai
sarana-sarana, dapat digunakan dengan buruk ketika mereka yang dalamnya dimotivasi oleh
tujuan-tujuan yang secara murni mementingkan diri sendiri. Sarana-sarana yang jika berdiri
sendiri adalah baik dapat diubah menjadi sesuatu yang berbahaya. Namun akal manusia yang
gelap-lah yang menghasilkan akibat- akibat ini, dan bukannya sarananya itu sendiri. Oleh karena
itu, bukannya sarananya yang harus bertanggung jawab, tetapi orang-orangnya, hati nurani
mereka, dan tanggung jawab mereka secara pribadi maupun sosial.

Ajaran sosial Gereja menganggap bahwa hubungan-hubungan sosial manusia yang otentik tentang
persahabatan, solidaritas dan hubungan timbal balik dapat juga dilakukan di dalam kegiatan
ekonomi, dan bukan hanya di luarnya atau “sesudah”-nya. Lingkup ekonomi bukanlah netral
secara etika, ataupun yang sifatnya tidak manusiawi dan berlawanan dengan masyarakat. Lingkup
ekonomi adalah bagian dan paket dari kegiatan manusia dan justru karena ia bersifat manusiawi,
lingkup ekonomi ini harus dibangun dan diatur di dalam cara yang etis.

Tantangan yang besar di hadapan kita, yang diperkuat oleh masalah-masalah perkembangan di
dalam era global dan bahkan dibuat lebih mendesak oleh krisis ekonomi dan keuangan, adalah
untuk membuktikan, di dalam hal pemikiran dan tingkah laku, tidak hanya bahwa prinsip-prinsip
tradisional dalam hal etika sosial, seperti transparansi, kejujuran dan tanggung jawab tidak dapat
diabaikan atau ditepiskan, tetapi juga bahwa di dalam hubungan-hubungan komersial prinsip
pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dan logika karunia sebagai sebuah ekspresi
persaudaraan, dapat dan harus menemukan tempat mereka di dalam kegiatan ekonomi yang
normal. Ini adalah tuntutan manusia pada saat ini, tetapi juga ini dituntut oleh logika ekonomi. Ini
merupakan tuntutan kasih maupun juga tuntutan kebenaran.
37. Ajaran sosial Gereja telah selalu menetapkan bahwa keadilan harus diterapkan di dalam setiap
fase kegiatan ekonomi, karena hal ini selalu berkaitan dengan manusia dan kebutuhan-
kebutuhannya. Penempatan sumber-sumber daya, keuangan, produksi dan konsumsi dan semua
fase lainnya di dalam siklus ekonomi secara tak terelakkan mempunyai implikasi- implikasi moral.
Oleh karena itu setiap keputusan ekonomi mempunyai sebuah konsekuensi moral. Ilmu-ilmu
pengetahuan sosial dan arahan yang diambil oleh ekonomi dewasa ini menunjuk juga kepada
kesimpulan yang sama. Mungkin pada suatu saat dianggap bahwa pertama-tama penciptaan
kekayaan dapat dipercayakan kepada ekonomi, dan lalu tugas pendistribusiannya dapat
dipercayakan kepada politik. Dewasa ini hal itu  menjadi lebih sulit, karena kegiatan ekonomi tidak
lagi dibatasi di dalam batas-batas territorial, sementara otoritas pemerintah-pemerintah tetap
pada prinsipnya bersifat lokal. Dengan demikian, batas- batas keadilan harus dihormati dari
permulaan, pada saat proses ekonomi terbentang, dan bukan hanya setelahnya atau merupakan
hal tidak disengaja. Ruang juga perlu diciptakan di dalam pasar untuk kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh pelaku-pelaku yang memilih dengan bebas untuk bertindak sesuai dengan prinsip-
prinsip yang berbeda dari prinsip-prinsip yang murni keuntungan (pure profit), tanpa
mengorbankan produksi nilai ekonomi di dalam prosesnya. Banyaknya badan-badan ekonomi yang
berasal dari inisiatif-inisiatif religius dan awam membuktikan bahwa hal ini secara nyata mungkin
terjadi.

Di dalam era global, ekonomi dipengaruhi oleh model-model persaingan yang terikat oleh budaya-
budaya yang nyata benar berbeda di antara mereka sendiri. Bentuk bentuk yang berbeda dari
kegiatan usaha ekonomi yang dihasilkannya menemukan titik temu utama di dalam keadilan
pengganti (commutative justice). Kehidupan ekonomi tak dapat diragukan mensyaratkan kontrak-
kontrak perjanjian, dalam rangka mengatur hubungan- hubungan pertukaran antara barang-
barang yang bernilai setara. Tetapi kehidupan ekonomi juga membutuhkan hukum- hukum yang
adil dan bentuk-bentuk penyebaran (redistribusi) yang diatur oleh politik, dan lebih lagi, ia
memerlukan pekerjaan-pekerjaan yang diberi aroma semangat karunia (the spirit of gift). Ekonomi
di dalam era global kelihatannya memberikan hak-hak istimewa kepada logika yang terdahulu,
yaitu tentang pertukaran kontrak, tetapi secara langsung atau tidak langsung ekonomi juga
membuktikan kebutuhannya terhadap dua hal lainnya: logika politik dan logika dari pemberian
secara tak bersyarat.

38. Pendahulu saya, Yohanes Paulus II mengarahkan perhatian kepada masalah ini di Centesimus
Annus, ketika beliau berkata tentang dibutuhkannya sebuah sistem dengan tiga pelaku: pasar,
Negara dan masyarakat sosial.[92] Beliau melihat masyarakat sosial sebagai kerangka yang paling
kodrati untuk sebuah ekonomi tentang pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dan
persaudaraan, tetapi tidak berarti menolaknya sebagai tempat bagi kedua kerangka lainnya.
Dewasa ini kita dapat berkata bahwa kehidupan ekonomi harus dimengerti sebagai sebuah
fenomena yang berlapis-lapis: di setiap lapis ini, pada derajat yang berbeda-beda dan dengan
cara-cara yang khusus sesuai dengan setiap tingkatan, hal persaudaraan yang timbal balik harus
ada. Di dalam era global, kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pemberian yang melebihi
dari apa yang disyaratkan, yang membantu perkembangan dan menyebarkan solidaritas dan
tanggung jawab untuk keadilan dan kebaikan bersama di antara para pelaku ekonomi. Ini adalah
jelas sebuah bentuk demokrasi ekonomi yang khusus dan amat mendalam. Solidaritas adalah
pertama-tama dan utama sebuah rasa tanggungjawab pada setiap orang tentang setiap orang,
[93] dan karenanya hal ini tidak dapat semata-mata didelegasikan kepada Negara. Sementara di
waktu yang lalu, adalah mungkin untuk berpendapat bahwa keadilan harus tercapai terlebih dulu,
dan baru kemudian pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dapat terjadi berikutnya
sebagai pelengkap, dewasa ini adalah jelas bahwa tanpa pemberian yang melebihi dari yang
disyaratkan, tidak mungkin ada keadilan di tempat utama. Karena itu, apa yang diperlukan adalah
sebuah pasar yang mengizinkan operasi yang bebas, di dalam kondisi-kondisi kesempatan yang
sama, dari kegiatan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelembagaan yang berbeda-beda.
Bersamaan dengan kegiatan usaha pribadi yang diorientasikan untuk keuntungan dan bermacam
tipe kegiatan usaha publik, harus terdapat ruang untuk badan-badan komersial yang didasari oleh
prinsip-prinsip saling ketergantungan dan pencapaian tujuan-tujuan sosial untuk berakar dan
mengekspresikan diri mereka. Adalah dari pertemuan yang timbal balik di dalam pasar maka
seseorang dapat berharap munculnya bentuk-bentuk campuran dari tingkah laku komersial, dan
karena itu sebuah perhatian untuk cara-cara untuk membuat ekonomi lebih beradab. Kasih di
dalam kebenaran, dalam hal ini, mensyaratkan bahwa bentuk dan struktur diberikan kepada tipe-
tipe inisiatif ekonomi yang, tanpa menolak keuntungan, mentargetkan pada tujuan yang lebih
tinggi daripada hanya logika pertukaran hal-hal yang setara, dengan keuntungan sebagai tujuan
satu-satunya.

39. Paulus VI dalam Populorum Progressio mengusulkan penciptaan sebuah model ekonomi pasar
yang dapat melibatkan dalam jangkauannya semua bangsa-bangsa dan bukan hanya bangsa-
bangsa yang lebih baik saja. Beliau mengusulkan usaha-usaha untuk membangun dunia yang
lebih manusiawi untuk semua, sebuah dunia yang di dalamnya “semua akan dapat memberi dan
menerima, tanpa sebuah kelompok membuat kemajuan dengan mengorbankan yang lain”.[94]
Dengan cara ini, beliau menerapkan secara global pandangan-pandangan dan cita-cita yang
terkandung dalam  Rerum Novarum, yang ditulis pada waktu, sebagai hasil dari Revolusi Industri,
idea ini pertama kali diusulkan – sepertinya lebih awal dari waktunya– bahwa urutan/ order
masyarakat sipil, untuk pengaturan dirinya sendiri, juga memerlukan intervensi dari Negara untuk
maksud redistribusi. Saat ini, tidak hanya pandangan ini terancam dengan keadaan di mana
pasar-pasar dan masyarakat menjadi terbuka, tetapi hal itu jelas menjadi tidak cukup untuk
memuaskan tutntutan-tuntutan dari sebuah ekonomi yang sepenuhnya manusiawi. Apa yang
selalu ditegakkan oleh ajaran sosial Gereja, dengan dasar pandangannya terhadap manusia dan
masyarakat, diperkuat sekarang ini dengan dinamika-dinamika globalisasi.

Ketika baik logika pasar dan logika Negara akhirnya setuju bahwa masing-masing akan tetap
menerapkan sebuah monopoli atas wilayah pengaruhnya, dalam jangka panjang akan banyak
mendatangkan kehilangan: solidaritas dalam hubungan antar warga negara, partisipasi dan
pelekatan [satu warga/ kelompok dengan yang lain], kegiatan-kegiatan yang melebihi dari apa
yang disyaratkan, semuanya bertentangan dengan pemberian untuk menerima kembali (logika
pertukaran) dan pemberian karena kewajiban (logika keharusan publik, yang diadakan oleh
hukum Negara). Untuk mengalahkan kurangnya perkembangan, kegiatan dibatasi tidak hanya
dalam hal meningkatkan transaksi-transaksi berdasarkan pertukaran dan membangun struktur-
struktur kesejahteraan publik, tetapi di atas semua itu, dalam hal meningkatkan keterbukaan, di
dalam konteks dunia, untuk membentuk aktivitas ekonomi yang ditandai dengan kuota pemberian
yang melebihi dari yang disyaratkan dan persekutuan.  Model pasangan ekslusif antara pasar-
ditambah- Negara adalah merusak bagi masyarakat, sedangkan bentuk-bentuk ekonomi yang
berdasarkan solidaritas, yang secara kodrati menemukan tempatnya di dalam masyarakat sipil
tanpa dibatasi olehnya, membangun masyarakat. Pasar dari pemberian yang melebihi dari apa
yang disyaratkan tidak eksis, dan sikap memberi yang demikian tidak dapat diadakan oleh hukum.
Namun baik pasar maupun politik membutuhkan orang-orang yang terbuka terhadap pemberian
yang timbal balik.

40. Adegan ekonomi internasional yang terjadi sekarang, yang ditandai dengan penyimpangan-
penyimpangan dan kegagalan yang parah, membutuhkan sebuah cara baru yang mendalam yang
memahami kegiatan usaha bisnis. Cara-cara lama lenyap, tetapi cara-cara yang baru dan
menjanjikan sedang mencari bentuknya untuk tampil ke permukaan. Tanpa ragu, salah satu dari
resiko-resiko yang terbesar dari bisnis adalah bahwa mereka nyaris hanya menjawab para investor
mereka secara ekslusif, dan dengan demikian membatasi nilai-nilai sosial mereka. Demi mengejar
skala pertumbuhan dan kebutuhan pertambahan modal lebih dan lebih lagi, kegiatan-kegiatan
usaha bisnis telah menjadi semakin jarang untuk berada di tangan seorang direktur yang stabil
yang merasa bertanggung jawab dalam jangka waktu panjang, tidak hanya jangka pendek, untuk
kehidupan dan hasil-hasil perusahaannya, dan menjadi semakin jarang bagi usaha-usaha bisnis
untuk bergantung pada satu teritori. Lagipula, apa yang disebut sebagai “outsourcing of
production” (pengambilan sumber produksi dari luar) dapat memperlemah rasa tanggungjawab
perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan – yaitu, para pekerja, suppliers/ pemasok,
konsumen, lingkungan alam dan masyarakat yang lebih luas– demi mementingkan pihak-pihak
pemegang saham, mereka yang tidak terikat dengan sebuah kawasan geografi tertentu dan yang
karenanya mempunyai mobilitas yang luar biasa. Pasar modal internasional sekarang ini
menawarkan kebebasan yang besar dalam kegiatan. Tetapi terdapat juga peningkatan kesadaran
akan tanggung jawab sosial yang lebih besar di bidang bisnis. Bahkan jika pertimbangan-
pertimbangan etik yang belakangan ini menginformasikan debat dalam hal tanggungjawab sosial
dalam dunia pekerjaan tidak semuanya dapat diterima dari sudut pandang ajaran sosial Gereja,
setidak-tidaknya terdapat sebuah keyakinan bahwa manajemen bisnis tidak dapat memperhatikan
dirinya sendiri, hanya dengan kepentingan-kepentingan dari para pemilik, tetapi harus juga
mengambil tanggung jawab untuk semua pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam
kehidupan bisnis tersebut: para pekerja, para langganan, supplier/ pemasok dari berbagai elemen
produksi, komunitas yang bersangkutan. Pada tahun-tahun ini manajer-manajer berkelas
kosmopolitan telah muncul, yang sering bertanggungjawab hanya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan secara umum terhadap dana- dana anonim yang secara de facto menentukan gaji
mereka. Walaupun demikian, saat ini banyak manajer yang jauh melihat ke depan menjadi
semakin menyadari akan hubungan yang erat antara kegiatan usaha mereka dengan daerah/
teritori atau daerah-daerah/ teritori di mana perusahaan mereka beroperasi. Paulus VI
mengundang orang-orang untuk memberikan perhatian serius terhadap kerusakan yang dapat
disebabkan terhadap negara asal seseorang dengan pengalihan modal yang secara murni
dilakukan demi keuntungan pribadi.[95] Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa penanaman modal
mempunyai kepentingan moral, bersamaan dengan kepentingan ekonomi.[96] Semua ini — hal ini
harus ditekankan — masih berlaku saat ini, di samping kenyataan bahwa pasar modal telah
dijadikan bebas secara besar- besaran, dan pemikiran teknologi modern dapat menyarankan
bahwa penanaman modal hanyalah merupakan kegiatan teknikal, bukan perbuatan manusia dan
perbuatan etis.Tak ada alasan untuk menolak bahwa sejumlah besar modal dapat menghasilkan
sesuatu yang baik, jika di-investasikan di luar negeri daripada di dalam negeri. Namun
persyaratan-persyaratan keadilan harus dijaga, dengan pertimbangan yang adil tentang cara di
mana modal dihasilkan dan tentang bahaya yang dihasilkan bagi orang-orang jika hal itu tidak
dipergunakan di tempat dimana itu dihasilkan.[97] Apa yang harus dicegah adalah penggunaan
spekulatif dari sumber daya keuangan yang memberikan godaan untuk mencari keuntungan
jangka pendek, tanpa memperhatikan ketahanan kegiatan usaha jangka panjang, keuntungannya
bagi ekonomi riil dan perhatian terhadap kemajuan, dengan cara- cara yang sesuai dan layak,
tentang inisiatif-inisiatif ekonomi selanjutnya di dalam negara-negara yang memerlukan
perkembangan. Adalah benar bahwa ekspor investasi dan keahlian-keahlian dapat menguntungkan
populasi negara yang menerimanya. Tenaga kerja dan pengetahuan teknik adalah suatu kebaikan
yang universal. Namun adalah suatu yang tidak benar untuk meng-ekspor hal-hal ini hanya demi
memperoleh kondisi-kondisi yang menguntungkan, atau lebih parah lagi, demi maksud eksploitasi,
tanpa membuat kontribusi yang nyata bagi masyarakat lokal dengan membantu untuk
menghasilkan sebuah sistim produksi yang kuat dan sistem sosial, sebuah faktor yang penting
untuk perkembangan yang stabil.

41. Dalam konteks diskusi ini, adalah berguna untuk memperhatikan bahwa kegiatan usaha bisnis
melibatkan nilai-nilai yang luas jangkauannya, yang menjadi lebih luas sepanjang waktu.
Pengaruh budaya yang terus menerus tentang sepasang model yang terdiri dari pasar-plus-
Negara telah menjadikan kita biasa berpikir hanya dalam rangka pemimpin bisnis privat dari
sebuah kapitalis di satu sisi, dan direktur Negara di sisi yang lain. Pada kenyataannya, bisnis harus
diartikan di dalam cara yang mudah dimengerti. Terdapat banyak alasan-alasan, tentang hal
meta-ekonomi, untuk mengatakan hal ini. Kegiatan bisnis mempunyai kepentingan manusiawi,
sebelum kepentingan professional.[98] Kepentingan manusia ini terjadi di dalam semua pekerjaan,
yang dimengerti sebagai sebuah kegiatan pribadi, sebuah “actus personae”[99], yang membuat
mengapa setiap pekerja harus memperoleh kesempatan untuk membuat kontribusi, mengingat
bahwa biar bagaimanapun “ia sedang bekerja ‘untuk dirinya sendiri’”[100] Dengan maksud yang
baik, Paulus VI mengajarkan bahwa “setiap orang yang bekerja adalah seorang pencipta”.[101]
Adalah dalam rangka menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan martabat pekerja, bersamaan juga
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, maka terdapatlah bermacam variasi tipe kegiatan
usaha bisnis, yang melampaui dan di atas perbedaan sederhana antara “privat” dan “publik”.
Setiap dari mereka mensyaratkan dan mengungkapkan kapasitas bisnis yang khusus. Dalam
rangka membangun sebuah ekonomi yang segera akan mengambil posisi melayani kebaikan
nasional dan kebaikan global, adalah layak untuk mempertimbangkan keutamaan yang luas
tentang kegiatan bisnis. Ini menaruh simpati pada pembiakan silang antara tipe-tipe yang berbeda
dari kegiatan bisnis, dengan pergeseran keahlian dari dunia “non- profit” kepada dunia “profit” dan
sebaliknya, dari dunia publik ke dunia masyarakat sipil, dari ekonomi yang maju kepada negara-
negara yang sedang berkembang.

Kekuasaan politik juga melibatkan sebuah kerangka luas dari nilai-nilai, yang harus tidak
diabaikan di dalam proses pembangunan sebuah keteraturan yang baru tentang produktivitas
ekonomi, yang bertanggung jawab secara sosial dan dalam ukuran manusia. Bersamaan dengan
pengolahan bentuk-bentuk yang berbeda dari aktivitas bisnis dalam tatanan global, kita harus
juga memajukan sebuah penyebaran otoritas politik, yang secara efektif terjadi di tingkat-tingkat
yang berbeda. Ekonomi terpadu pada masa sekarang ini tidak membuat peran Negara menjadi
berlebih-lebihan, tetapi mengarahkan pemerintah- pemerintah untuk bekerja sama dengan lebih
baik satu sama lain. Baik kebijakan maupun kebijaksanaan menganjurkan agar tak terlalu
tergesa-gesa untuk mengatakan kematian/ kebangkrutan suatu Negara. Dalam rangka
penyelesaian krisis yang terjadi sekarang ini, peran Negara kelihatannya ditentukan untuk
bertumbuh, sebab ia memperoleh banyak keahlian-keahlian. Lagipula, dalam beberapa bangsa,
pembangunan atau pembangunan kembali Negara tersebut tetap menjadi kunci utama bagi
perkembangan mereka. Fokus bantuan internasional, dalam sebuah rencana yang berdasarkan
solidaritas untuk menyelesaikan problem-problem ekonomi dewasa ini, seharusnya lebih
merupakan penggabungan sistem-sistem konstitusi, yuridis dan administratif di negara-negara
yang belum sepenuhnya menikmati hal-hal ini. Bersamaan dengan bantuan ekonomi, bantuan
tersebut perlu diarahkan untuk memperkuat jaminan yang layak  bagi hukum Negara: sebuah
sistem tatanan publik dan pembatasan efektif yang menghormati hak-hak azasi menusia, institusi-
institusi yang benar-benar demokratif. Negara tidak perlu untuk mempunyai karakter yang persis
sama di mana-mana: dukungan/ bantuan yang ditujukan bagi perkuatan sistem-sistem konstitusi
yang lemah dapat diiringi dengan perkembangan pelaku-pelaku politik yang lain, dari sebuah
kebudayaan, sosial, territorial atau kodrat religius, di samping Negara. Perwujudan/ artikulasi
otoritas politik pada tingkat-tingkat lokal, nasional dan internasional adalah salah satu dari cara-
cara yang terbaik untuk memberikan arah bagi proses globalisasi ekonomi. Itu juga merupakan
cara untuk memastikan bahwa hal itu ternyata tidak mengurangi pondasi demokrasi.

42. Kadang globalisasi dilihat dalam pengertian fatalistic, seperti seolah-olah dinamika-dinamika
yang terlibat merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan anonim yang tak manusiawi atau struktur-
struktur yang tak tergantung dari keinginan manusia.[102] Dalam hal ini, adalah berguna untuk
mengingat bahwa walaupun globalisasi tentunya harus dimengerti sebagai proses sosio- ekonomi,
namun ini bukanlah satu-satunya dimensi globalisasi. Di bawah proses yang lebih terlihat, umat
manusia sendiri menjadi lebih saling terkait; yang terdiri dari orang-orang dan bangsa-bangsa
yang kepadanya proses ini harus menawarkan keuntungan/ kebaikan-kebaikan dan
perkembangan,[103] ketika mereka mengambil tanggung jawab yang sesuai, baik secara sendiri-
sendiri maupun secara kolektif. Pembongkaran batas-batas bukanlah hanya merupakan sebuah
kenyataan material: itu juga merupakan kejadian budaya baik dalam hal sebab-sebabnya maupun
akibat-akibatnya. Jika globalisasi dipandang dari sudut pandang kepastian yang menentukan,
kriteria yang dipakai untuk mengevaluasi dan mengarahkannya menjadi hilang. Sebagai sebuah
kenyataan manusia, globalisasi adalah hasil dari kecenderungan-kecenderungan budaya yang
berbeda-beda, yang perlu tunduk kepada sebuah proses “discernment”. Kebenaran tentang
globalisasi sebagai sebuah proses dan kriteria etis yang mendasar diberikan oleh kesatuan
keluarga besar manusia dan perkembangannya menuju apa yang baik. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah komitmen yang menopang untuk memajukan proses budaya yang berorientasi pada
perorangan dan komunitas yang bersifat mendunia yang terpadu, yang terbuka ke arah yang
transenden.

Di samping beberapa elemen-elemen struktural, yang harus tidak ditolak maupun dilebih-lebihkan,
“globalisasi, a priori, adalah bukan sesuatu yang baik atau buruk. Ia akan menjadi apa yang
dibuat oleh manusia”.[104] Kita tidak boleh menjadi korban-korbannya, melainkan menjadi tokoh-
tokoh pelaku utama, yang bertindak dengan terang akal, yang dibimbing dengan kasih dan
kebenaran. Perlawanan [terhadap globalisasi] secara buta akan menjadi suatu kesalahan dan
sikap yang mencurigai, yang tak dapat mengenali aspek-aspek positif dari proses itu, dengan
konsekuensi resiko kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari banyak
kesempatan untuk perkembangan. Proses-proses globalisasi, yang dimengerti dan diarahkan
dengan semestinya, membuka kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap
skala besar redistribusi kekayaan dalam sebuah jangkauan yang mendunia; namun demikian, jika
diarahkan dengan buruk, proses- proses tersebut dapat memimpin ke arah peningkatan
kemiskinan dan ketimpangan, dan bahkan dapat menyebabkan sebuah krisis global. Adalah
penting untuk memperbaiki fungsi-fungsi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, beberapa di
antaranya adalah serius, yang menyebabkan perpecahan antara bangsa-bangsa, dan juga untuk
menjamin bahwa redistribusi kekayaan tidak terjadi melalui redistribusi atau peningkatan
kemiskinan: sebuah bahaya yang nyata jika situasi sekarang ini dikelola dengan buruk. Telah lama
dianggap bahwa bangsa-bangsa yang miskin harus tetap tinggal pada tingkat perkembangan yang
tertentu, dan harus puas untuk menerima bantuan dari kedermawanan bangsa-bangsa yang telah
berkembang. Paulus VI secara keras menentang mentalitas ini dalam Populorum Progressio.
Sekarang ini sumber-sumber daya material yang tersedia untuk membebaskan bangsa-bangsa ini
dari kemiskinan secara potensial lebih besar daripada sebelumnya, tetapi mereka akhirnya dalam
jumlah besar jatuh ke tangan-tangan orang- orang dari bangsa-bangsa yang telah berkembang,
yang telah mengambil keuntungan lebih dari liberisasi yang terjadi di dalam mobilitas modal dan
tenaga kerja. Karena itu, penyebaran bentuk-bentuk kemakmuran yang terjadi secara mendunia
harus tidak dilakukan dengan proyek-proyek yang terpusat pada diri sendiri, proteksionis, atau
yang melayani kepentingan-kepentingan pribadi. Sungguh, keterlibatan negara-negara yang
sedang muncul atau berkembang memperbolehkan kita untuk mengatur krisis dengan lebih baik
dewasa ini. Transisi yang melekat di dalam proses globalisasi menghadirkan kesulitan-kesulitan
besar dan bahaya-bahaya yang hanya dapat diatasi jika kita dapat menempatkan dengan wajar
semangat anthropologis dan etika yang mendasar yang mendorong globalisasi menuju tujuan
solidaritas yang berperikemanusiaan.  Sayangnya, semangat ini seringkali terbanjiri atau tertekan
oleh pertimbangan- pertimbangan etis dan budaya dari kodrat individualistik dan utilitarian.
Globalisasi adalah sebuah fenomena yang beraneka-segi dan kompleks yang harus ditangkap di
dalam keberagaman dan kesatuan dari semua dimensi yang berbeda-beda, termasuk dimensi
teologis. Dengan cara ini, akan menjadi mungkin untuk mengalami dan mengendalikan globalisasi
kemanusiaan di dalam pengertian- pengertian relasional, di dalam rangka persekutuan dan
pembagian barang-barang/ hal-hal yang baik.

BAB EMPAT
PERKEMBANGAN BANGSA
HAK- HAK DAN KEWAJIBAN- KEWAJIBAN LINGKUNGAN
43. “Realitas solidaritas manusia yang merupakan sebuah keuntungan bagi kita, juga menekankan
sebuah kewajiban”.[105] Dewasa ini banyak orang akan meng-klaim bahwa mereka tidak
berhutang kepada siapapun, kecuali kepada mereka sendiri. Mereka hanya memperhatikan hak-
hak mereka, dan mereka seringkali mempunyai kesulitan besar dalam hal mengambil tanggung
jawab untuk perkembangan seutuhnya dari diri mereka sendiri dan diri orang lain. Karena itu,
adalah penting untuk mengadakan sebuah permenungan yang diperbaharui dalam hal bagaimana
hak-hak mensyaratkan kewajiban-kewajiban, jika hak-hak tidak untuk hanya menjadi lisensi/ izin
belaka.[106] Dewasa ini, kita menyaksikan sebuah keadaan yang tidak konsisten secara besar-
besaran. Di satu sisi, himbauan-himbauan dibuat terhadap hak-hak yang dideklarasikan, didasari
pertimbangan subyektif dan non-esensial secara kodrat, diiringi oleh tuntutan bahwa mereka
diakui dan didukung oleh struktur-struktur publik, sedangkan, di lain pihak, hak-hak dasar dan
mendasar tetap tidak dikenali dan dilanggar di banyak kawasan di dunia.[107] Sebuah kaitan
seringkali terlihat antara klaim-klaim tentang “hak menjadi berlebihan”, dan bahkan untuk
pelanggaran dan sifat buruk, di dalam masyarakat yang berlebihan, dengan keadaan kekurangan
makanan, air yang dapat diminum, instruksi dasar dan penanganan kesehatan di daerah-daerah di
bagian dunia yang belum berkembang dan di daerah luar pusat- pusat metropolitan. Hubungannya
terdiri dari ini: hak-hak individual, ketika dilepaskan dari kerangka tanggungjawab yang menjamin
maknanya secara penuh, dapat menjadi liar, yang memimpin ke arah peningkatan tuntutan-
tuntutan yang secara efektif menjadi tak terbatas dan indiskriminatif. Penekanan berlebihan atas
hak-hak dapat meyebabkan pengabaian kewajiban. Kewajiban memberikan batas kepada hak-hak
karena mereka mengacu kepada kerangka anthropologis dan etis di mana hak-hak merupakan
sebuah bagiannya, dan dengan demikian memastikan bahwa mereka tidak menjadi lisensi/ izin
belaka. Maka, kewajiban memperkuat hak-hak dan mensyaratkan pertahanannya dan promosinya
sebagai sebuah tugas untuk dilaksanakan demi pelayanan terhadap kebaikan bersama. Jika tidak
demikian, kalau dasar hak-hak manusia hanya untuk ditemukan di dalam pertimbangan-
pertimbangan dari kumpulan para warganegara, maka hak-hak itu dapat diubah kapan saja, dan
sehingga kewajiban untuk menghargai dan mengejar hal itu menjadi pudar dari kesadaran
bersama. Para pemerintah dan badan internasional dapat kemudian kehilangan pandangan
terhadap obyektivitas dan “keadaan yang tidak dapat diganggu gugat” dari hak-hak. Ketika ini
terjadi, perkembangan otentik dari bangsa-bangsa menjadi terancam.[108] Pemikiran dan
tindakan semacam ini mengkompromikan otoritas badan-badan internasional, khususnya di mata
negara-negara yang paling membutuhkan perkembangan. Memang, negara-negara tersebut
menuntut bahwa komunitas internasional mengambil tugas kewajiban untuk membantu mereka
agar menjadi “pekerja ahli dari nasib mereka sendiri”,[109] yaitu untuk mengambil kewajiban-
kewajiban mereka sendiri. Pembagian kewajiban-kewajiban yang timbal balik adalah sebuah
insentif/ pendorong yang lebih kuat terhadap tindakan daripada hanya semata-mata pernyataan
hak-hak.

44.  Pikiran tentang hak-hak dan kewajiban di dalam perkembangan harus juga memperhatikan
masalah-masalah yang berhubungan dengan perkembangan populasi. Ini adalah sebuah aspek
yang sangat penting dari perkembangan otentik, karena hal ini memperhatikan nilai-nilai yang
tidak asing bagi kehidupan dan keluarga.[110] Menganggap peningkatan populasi sebagai
penyebab utama dari kurangnya perkembangan, adalah keliru, bahkan dari sudut pandang
ekonomi. Cukuplah untuk dipertimbangkan, di satu sisi, pengurangan angka kematian bayi secara
signifikan dan peningkatan umur rata-rata yang terdapat di negara-negara yang telah berkembang
secara ekonomi, dan di lain sisi, tanda-tanda krisis yang dapat dicermati di negara-negara yang
menunjukkan penurunan yang sangat memprihatinkan dalam hal angka kelahiran. Nampaknya
perhatian yang perlu harus diberikan bagi “responsible procreation” (pembiakan yang
bertanggungjawab), yang bersama dengan hal-hal lain memberikan sumbangan yang positif
terhadap perkembangan manusia seutuhnya. Gereja, di dalam perhatiannya terhadap
perkembangan otentik bagi manusia, mendesak manusia untuk memiliki penghormatan penuh
terhadap nilai-nilai kemanusiaan di dalam penerapan seksualitasnya. Seksualitas tidak dapat
direduksi menjadi semata-mata kesenangan atau hiburan, ataupun pendidikan seksual direduksi
menjadi instruksi teknis yang ditujukan pertama-tama untuk perlindungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dari kemungkinan penyakit atau “resiko” dari procreation. Ini merupakan
pemiskinan dan pengabaian makna seksualitas yang terdalam, sebuah arti yang perlu diakui dan
disesuaikan secara bertanggungjawab tidak hanya oleh perorangan tetapi juga oleh komunitas.
Adalah tidak bertanggungjawab untuk memandang seksualitas sebagai sebuah sumber
kesenangan, dan lalu mengaturnya melalui strategi-strategi wajib tentang pengontrolan kelahiran.
Di dalam kedua kasus di atas, ide- ide dan kebijakan-kebijakan materialisme-lah yang bekerja,
dan para individu akhirnya tunduk pada bermacam bentuk pelanggaran. Untuk menolak
kebijakan-kebijakan semacam itu, diperlukan adanya usaha untuk mempertahankan keahlian
mendasar tentang keluarga dalam hal seksualitas,[111] yang bertentangan dengan Negara dan
kebijakan-kebijakannya yang membatasinya, dan untuk menjamin bahwa para orang tua
dipersiapkan secara layak untuk memenuhi tanggung jawab mereka.

Keterbukaan terhadap kehidupan sebagai tanggungjawab moral mewakili sebuah sumber sosial
dan ekonomi yang kaya. Bangsa-bangsa yang padat penduduknya sudah dapat mengatasi
kemiskinan; terima kasih setidak-tidaknya kepada jumlah populasi dan bakat-bakat dari orang-
orangnya. Di samping itu, bangsa-bangsa yang tadinya makmur, pada saat ini melalui tahap yang
tidak pasti, dan di dalam beberapa kasus menurun, terutama karena tingkat kelahiran mereka
yang menurun drastis; ini telah menjadi masalah yang kritikal bagi masyarakat yang sangat
makmur. Penurunan tingkat kelahiran, yang jatuh di bawah “tingkat penggantian/ replacement
level”, juga mengakibatkan tekanan kepada sistem kesejahteraan sosial, meningkatkan ongkos-
ongkosnya, memakan tabungan dan juga sumber-sumber keuangan yang diperlukan untuk
penanaman modal, mengurangi ketersediaan tenaga kerja yang berkompeten, dan mempersempit
“jumlah otak/ brain pool” yang daripadanya para bangsa dapat memenuhi kebutuhannya.
Selanjutnya, keluarga yang kecil dan seringkali sangat kecil mempunyai resiko mempermiskin
hubungan sosial, dan gagal untuk menjamin bentuk-bentuk solidaritas yang efektif. Kondisi-
kondisi ini merupakan gejala kurangnya rasa percaya diri pada masa depan dan kelelahan/
kebosanan moral. Karena itu, menjadi sebuah kebutuhan sosial dan bahkan ekonomis sekali lagi
untuk memberikan kepada generasi mendatang keindahan perkawinan dan keluarga, dan
kenyataan bahwa institusi-institusi ini sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan terdalam dan martabat
manusia. Di dalam pandangan ini, Negara dipanggil untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
menaikkan keutamaan dan integritas keluarga yang dibangun di atas perkawinan antara seorang
pria dan seorang wanita, kelompok sel vital yang mendasar di dalam masyarakat,[112] dan untuk
mengambil tanggungjawab untuk kebutuhan-kebutuhan ekonomis dan fiskal, di samping
menghormati esensi karakternya yang bersifat relasional.

45. Kerja keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan moral yang terdalam dari seseorang juga
mempunyai akibat-akibat yang menguntungkan pada tingkat ekonomi. Kebutuhan ekonomi
membutuhkan etika agar dapat berfungsi dengan benar – bukan etika sembarangan, tetapi
sebuah etika yang berpusat pada manusia. Saat ini kita mendengar banyak pembicaraan tentang
etika dalam dunia ekonomi, keuangan dan bisnis. Pusat- pusat penelitian dan seminar dalam etika
bisnis meningkat; sistem sertifikasi etis tersebar di seluruh dunia yang sudah berkembang sebagai
bagian dari gerakan ide-ide yang dihubungkan dengan tanggung jawab bisnis terhadap
masyarakat. Bank-bank mengajukan account dan dana investasi yang “etis.” “Perencanaan
keuangan etis” dikembangkan, secara khusus melalui kredit- mikro, dan secara lebih umum,
melalui keuangan mikro. Proses-proses ini patut dipuji dan layak untuk didukung. Efek-efek positif
dari usaha ini juga dirasakan di bagian dunia yang kurang berkembang. Walaupun demikian, lebih
dianjurkan, untuk mengembangkan sebuah kriteria yang baik untuk melihat (discernment), karena
istilah “etis” dapat disalahgunakan. Ketika kata tersebut digunakan secara umum, ia dapat
mempunyai banyak interpretasi, bahkan pada titik di mana kata itu memasukkan keputusan-
keputusan dan pilihan-pilihan yang bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan manusia
yang otentik.

Kenyataannya, banyak hal tergantung dari sistem moralitas yang sudah ada. Dalam hal ini, ajaran
sosial Gereja dapat memberikan kontribusi khusus, sebab ajaran ini berdasarkan atas penciptaan
manusia “di dalam gambaran Allah” (Kej 1:27), sebuah datum/ pemersatu yang menghasilkan
martabat manusia yang tak dapat dilanggar dan nilai transenden dari norma-norma moral secara
kodrati. Ketika etika bisnis menyimpang dari kedua pilar ini, maka tak terelakkan ia mempunyai
resiko kehilangan kodratnya yang khas, dan jatuh termangsa ke dalam bentuk-bentuk eksploitasi,
dan secara lebih khusus, etika bisnis beresiko menjadi tunduk terhadap sistem-sistem ekonomi
dan keuangan yang ada daripada mengkoreksi aspek-aspek yang tidak berfungsi dari sistem-
sistem itu. Selain dari itu, etika bisnis beresiko dipergunakan untuk membenarkan proyek-proyek
pendanaan yang dalam kenyataannya tidak etis. Oleh karena itu, kata “etis”, seharusnya tidak
digunakan untuk membuat pembedaan- pembedaan ideologis, seolah- olah untuk menunjukkan
bahwa inisiatif- inisiatif yang tidak secara formal ditujukan merupakan sesuatu yang tidak etis.
Usaha- usaha diperlukan – dan adalah penting untuk mengatakan ini– tidak hanya untuk
menciptakan sektor-sektor atau segmen-segmen yang “etis” dalam dunia ekomoni dan keuangan,
tetapi untuk menjamin bahwa keseluruhan ekonomi – keseluruhan keuangan – adalah etis, tidak
hanya semata-mata karena label dari luar, tetapi karena penghormatannya terhadap syarat-syarat
yang melekat sesuai dengan kodratnya.
Ajaran sosial Gereja sangat jelas dalam hal ini, mengingat bahwa ekonomi, di dalam semua
cabang- cabangnya, merupakan sebuah sektor aktivitas manusia.[113]

46. Ketika kita mempertimbangkan hal-hal yang terlibat di dalam hubungan antara bisnis dan
etika, dan juga evolusi yang sekarang ini terjadi di dalam metoda-metoda produksi, maka akan
kelihatan bahwa pembedaan tradisional yang berlaku antara perusahaan-perusahaan profit-based
dan organisasi-organisasi non-profit tidak dapat lagi melakukan keadilan yang sempurna terhadap
kenyataan, atau menawarkan pengarahan praktis untuk masa depan. Di dalam dekade dewasa ini,
sebuah area peralihan yang luas telah timbul antara kedua jenis kelompok kegiatan usaha ini.
Area ini terbentuk dari perusahaan-perusahaan tradisional yang memberikan persetujuan bantuan
sosial untuk mendukung negara-negara yang kurang berkembang/ underdeveloped countries,
yayasan-yayasan sosial yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan individual, kelompok-
kelompok perusahaan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, dan dunia yang dibedakan
dengan yang disebut sebagai “ekonomi sipil” dan “ekonomi persekutuan”. Ini bukan semata-mata
sebuah “sektor ketiga”, tetapi sebuah kenyataan komposit yang baru dan luas yang merangkul
bidang privat dan publik, sesuatu yang tidak menolak keuntungan, namun sebaliknya
menganggapnya sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan kemanusian dan sosial. Tentang
apakah perusahaan-perusahaan yang demikian membagikan dividen atau tidak, atau apakah
struktur yuridisnya sesuai dengan satu bentuk atau bentuk lain yang sudah ada [atau tidak]
menjadi nomor dua jika dibandingkan dengan keinginan mereka untuk melihat keuntungan
sebagai alat untuk mencapai tujuan dari pasar dan masyarakat yang lebih manusiawi. Diharapkan
bahwa bentuk-bentuk baru dari kegiatan usaha ini akan berhasil untuk menemukan struktur
yuridis dan fiskal yang cocok di dalam setiap negara. Tanpa prasangka terhadap kepentingan dan
keuntungan- keuntungan ekonomi dan sosial dari  bentuk-bentuk bisnis yang lebih tradisional,
mereka mengemudikan sistem ke arah pengambilan tugas- tugas yang lebih jelas dan lebih
menyeluruh di pihak para pelaku ekonomi. Dan tidak hanya itu. Bentuk-bentuk institusional yang
sangat beraneka ragam dari bisnis mengakibatkan sebuah pasar/ market yang tidak hanya lebih
manusiawi namun juga lebih kompetitif.

47. Penguatan berbagai tipe bisnis, khususnya tipe-tipe yang mampu untuk melihat keuntungan
sebagai alat untuk mencapai tujuan sebuah pasar dan masyarakat yang lebih manusiawi, harus
juga dikejar di dalam negara-negara yang tidak termasuk atau yang di batas marjinal dari
lingkaran pengaruh ekonomi global. Pada negara- negara ini, adalah sangat penting untuk
bergerak maju dengan subsidiaritas/ bantuan yang bersifat projects based, yang direncanakan dan
dikelola dengan layak, yang ditujukan untuk memantapkan hak-hak namun juga menyediakan
pengambilan tanggung jawab yang sesuai. Di dalam program-program perkembangan, prinsip
keutamaan manusia, sebagai pelaku yang bertanggungjawab secara mendasar untuk
perkembangan, harus dipertahankan. Perhatian khusus secara prinsip harus diadakan untuk
meningkatkan kondisi-kondisi penghidupan yang aktual dari orang- orang di daerah itu, sehingga
memampukan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut yang tidak dapat dipenuhi oleh
mereka pada saat ini karena kemiskinan mereka. Perhatian sosial tidak pernah boleh berupa sikap
yang abstrak. Program- program perkembangan, jika mereka disesuaikan dengan situasi
perorangan, harus fleksibel; dan orang-orang yang diuntungkan harus dilibatkan secara langsung
di dalam perencanaannya dan pelaksanaannya. Kriteria yang diterapkan harus ditujukan terhadap
perkembangan yang menguntungkan di dalam konteks solidaritas – dengan “monitoring” yang
hati-hati terhadap hasil-hasilnya – lantaran karena tidak ada solusi-solusi valid yang universal.
Banyak hal tergantung dari bagaimana program- program dikelola pada prakteknya. “Bangsa-
bangsa sendiri mempunyai tanggung jawab utama untuk bekerja demi perkembangan mereka
sendiri. Tetapi mereka mereka tidak akan menghasilkan hal ini di dalam isolasi.”[114] Perkataan
Paulus VI ini adalah sangat tepat sekarang ini, karena dunia kita menjadi semakin lebih
terintegrasi secara progresif. Dinamika –dinamika keterlibatan hampir tidak otomatis. Solusi-solusi
perlu untuk dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kehidupan konkrit manusia,
berdasarkan atas evaluasi yang bijaksana dari setiap keadaan. Bersamaan dengan proyek-proyek
besar/ makro, diadakan tempat untuk proyek-proyek kecil/ mikro, dan di atas semua itu, terdapat
kebutuhan untuk mobilisasi aktif dari semua pelaku masyarakat sipil, baik perorangan secara
yuridis maupun fisik.

Kerjasama internasional mensyaratkan bangsa yang dapat menjadi bagian dari proses
perkembangan ekonomi dan perkembangan manusia melalui solidaritas kehadiran mereka,
supervisi, pelatihan dan respek. Dari titik tolak ini, organisasi-organisasi internasional dapat
mempertanyakan ke-efektifan aktual dari birokrasi dan perangkat administratif mereka, yang
seringnya berongkos mahal. Di banyak kesempatan, terjadi bahwa mereka yang menerima
bantuan menjadi tunduk terhadap mereka yang memberikan bantuan,dan [negara] yang miskin
tetap melanjutkan birokrasi yang mahal yang memakan prosentase yang tinggi dari biaya yang
dimaksudkan untuk perkembangan. Oleh karena itu, harus diharapkan bahwa semua badan-
badan internasional dan organisasi- organisasi non- pemerintah akan mengharuskan diri mereka
menuju transparansi yang total, memberitahukan kepada pihak donor dan pihak publik tentang
prosentase pendapatan mereka yang ditujukan untuk program-program kerjasama, isi aktual dari
program-program tersebut, dan akhirnya, perincian biaya-biaya dari institusi tersebut.

48. Sekarang ini subyek perkembangan adalah juga berhubungan dekat dengan tugas-tugas yang
timbul dari hubungan kita dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah karunia Tuhan 
kepada semua orang, dan di dalam penggunaannya oleh kita, kita mempunyai tanggung jawab
terhadap orang- orang miskin, terhadap generasi mendatang, dan terhadap umat manusia secara
keseluruhan. Ketika alam, termasuk manusia, dipandang sebagai hasil dari sebuah kebetulan atau
keyakinan evolusi, maka rasa tanggung jawab kita memudar.  Di dalam alam, seorang beriman
mengakui hasil yang mengagumkan dari perbuatan Tuhan yang menciptakan, yang dapat kita
gunakan secara bertanggungjawab untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita yang legitim,
baik material ataupun non-material, sementara menghormati keseimbangan yang ada di alam
ciptaan. Jika visi ini hilang, kita akhirnya akan menganggap alam sebagai sesuatu yang tabu dan
tak tersentuh, atau sebaliknya, malah menyalahgunakannya. Tidak ada satupun dari sikap ini yang
sesuai dengan visi Kristiani tentang alam sebagai buah dari ciptaan Tuhan.

Alam menyatakan sebuah rencana kasih dan kebenaran. Alam ada sebelum kita, dan diberikan
kepada kita oleh Tuhan sebagai kerangka bagi hidup kita. Alam berbicara kepada kita tentang
Pencipta kita (lih. Rom 1:20) dan kasih-Nya kepada manusia. Alam direncanakan agar
“dipersatukan” di dalam Kristus di akhir jaman (lih. Ef 1:9-10; Kol 1:19-20). Oleh karena itu, ia
(alam) juga adalah sebuah “panggilan”.[115] Alam berada di dalam kuasa kita, bukan sebagai “a
heap of scattered refuse”/ kumpulan dari buangan yang tercerai berai,[116] tetapi sebagai sebuah
karunia dari Sang Pencipta yang telah memberikan pengaturan yang sudah ada di dalamnya, yang
memampukan manusia untuk mengambil daripadanya prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk
“mengusahakan dan memelihara”- nya (Kej 2:15). Tetapi harus juga ditekankan bahwa adalah
suatu yang bertentangan dengan perkembangan otentik untuk melihat alam sebagai sesuatu yang
lebih penting daripada manusia. Pandangan ini mengarah kepada sikap neo-paganisme  atau
paganisme / pantheisme baru—  keselamatan manusia tidak dapat datang dari alam saja,  yang
dimengerti di dalam arti naturalistik yang murni. Seperti yang telah disebutkan, adalah penting
untuk menolak posisi yang bertentangan dengan pandangan ini, yaitu yang bertujuan pada
dominasi teknik secara total atas alam, sebab lingkungan alam adalah lebih dari bahan mentah
untuk dimanipulasikan menurut kesenangan manusia; alam adalah pekerjaan Pencipta kita yang
mengagumkan, yang mengandung sebuah “tatanan” yang menjabarkan tujuan-tujuan dan kriteria
untuk penggunaannya yang bijaksana, bukannya untuk eksploitasi yang sembarangan. Dewasa ini
banyak bahaya yang dilakukan terhadap perkembangan sebagai hasil dari pandangan- pandangan
yang menyimpang ini. Pembatasan alam semata-mata sebagai kumpulan data yang terjadi secara
kebetulan, berakhir dengan melakukan pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan bahkan
mendorong kegiatan yang gagal untuk menghormati kodrat manusia itu sendiri. Kodrat kita, terdiri
tidak hanya dari tubuh, tetapi juga jiwa, dan karena itu, yang dikaruniai dengan arti dan tujuan-
tujuan transenden, adalah juga menentukan kebudayaan. Manusia menginterpretasikan dan
membentuk lingkungan hidup melalui kebudayaan, yang pada gilirannya memperoleh pengarahan
dari penggunaan kebebasan yang bertanggung jawab, sesuai dengan ketentuan hukum moral.
Sebagai akibatnya, proyek-proyek perkembangan manusia secara keseluruhan tidak dapat
mengabaikan generasi-generasi mendatang, tetapi perlu untuk ditandai oleh solidaritas dan
keadilan inter- generasi, di samping memperhatikan konteks-konteks yang bervariasi: ekologis,
yuridis,ekonomi, politis dan kebudayaan.[117]

49. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup
dewasa ini perlu untuk memperhatikan masalah energi. Fakta bahwa beberapa Negara, kelompok-
kelompok tenaga [listrik] dan perusahaan-perusahaan yang menimbun sumber energi yang tak
dapat diperbaharui (non-renewable energy resources) mewakili penghalang yang besar bagi
perkembangan di negara-negara miskin. Negara-negara tersebut kekurangan cara ekonomis, baik
untuk memperoleh akses terhadap sumber- sumber energi non-renewable yang ada, atau untuk
membiayai penelitian alternatif- alternatif baru. Penimbunan persediaan sumber daya alam, yang
di banyak kasus ditemukan di negara-negara miskin itu sendiri, mengakibatkan timbulnya
eksploitasi dan konflik yang sering terjadi di antara dan di dalam negara-negara. Konflik-konflik ini
sering diadakan di tanah air negara-negara yang bersangkutan, yang mengakibatkan tingginya
angka kematian, pengrusakan dan kemunduran selanjutnya. Komunitas internasional mempunyai
tugas yang genting untuk menemukan cara kelembagaan untuk mengatur eksploitasi sumber-
sumber daya yang tak dapat diperbaharui, dengan melibatkan negara-negara miskin di dalam
prosesnya, demi merencanakan bersama bagi masa depan.

Dalam hal ini juga, terdapat kebutuhan moral yang mendesak untuk solidaritas yang diperbaharui,
khususnya di dalam hubungan- hubungan antara negara-negara yang sedang berkembang dan
negara-negara yang secara industri telah sangat maju.[118] Masyarakat-masyarakat yang secara
teknologis sudah maju dapat dan harus merendahkan pemakaian energi dalam negeri, baik
melalui evolusi metoda manufaktur atau melalui sensitivitas ekologis yang lebih tinggi di antara
warga negaranya. Harus ditambahkan bahwa pada saat ini adalah mungkin untuk mencapai
kemajuan efisiensi energi yang pada saat bersamaan mendukung penelitian bentuk-bentuk energi
alternatif. Meskipun demikian, apa yang juga dibutuhkan adalah redistribusi sumber daya secara
mendunia, sehingga negara-negara yang kekurangan sumber daya dapat memperoleh akses
untuk mendapatkannya. Nasib negara-negara tersebut tidak dapat diserahkan ke dalam tangan-
tangan siapa saja yang pertama kali memperoleh klaim sumber daya tersebut, atau siapapun yang
berhasil menang memperolehnya atas yang lain. Di sini kita berurusan dengan hal-hal utama, jika
hal- hal itu harus dihadapi dengan secukupnya, maka setiap orang harus secara bertanggung
jawab mengenali akibat yang mereka berikan kepada generasi-generasi mendatang, secara
khusus pada banyak orang muda di negara-negara miskin, yang “memohon untuk mengambil
bagian aktif mereka di dalam pembangunan sebuah dunia yang lebih baik.”.[119]
50. Tanggung jawab ini adalah sesuatu yang global sebab ia tidak hanya mempertimbangkan
energi tetapi juga seluruh ciptaan, yang harus tidak diturunkan kepada generasi-generasi
mendatang dalam keadaan kosong dari sumbernya. Manusia secara legitim mempunyai sebuah
tanggungjawab mengelola alam, untuk dapat melindunginya, menikmati buahnya, dan
mengembangkannya dalam cara-cara baru, dengan bantuan teknologi yang maju, sehingga alam
dapat dengan layak meng-akomodasikan dan memberi makan terhadap populasi dunia. Di dunia
ini terdapat ruang yang cukup untuk setiap orang: di sini seluruh keluarga besar umat manusia
harus mendapatkan sumber daya [baginya] untuk hidup bermartabat, melalui bantuan alam itu
sendiri – karunia Tuhan bagi anak-anak-Nya – dan melalui kerja keras dan kreativitas. Pada saat
yang sama, kita harus mengenali tugas berat kita untuk menurunkan dunia ini kepada generasi-
generasi yang akan datang di dalam kondisi bahwa mereka juga dapat dengan layak tinggal di
dalamnya dan terus mengembangkannya. Ini artinya komitmen untuk membuat keputusan-
keputusan gabungan “setelah merenungkan jalan yang bertanggung jawab yang harus diambil,
keputusan- keputusan yang ditujukan untuk memperkuat perjanjian antara umat manusia dengan
lingkungan hidup, yang harus mencerminkan  kasih penciptaan Allah, yang daripada-Nya kita
diciptakan dan kepada-Nya kita berziarah menuju”.[120] Mari kita berharap bahwa komunitas
internasional dan pemerintah-pemerintah individu akan berhasil di saat berhadapan dengan cara-
cara yang berbahaya untuk memperlakukan lingkungan hidup. Maka menjadi kewajiban pihak-
pihak yang berkompeten untuk membuat setiap usaha untuk menjamin bahwa biaya- biaya
ekonomi dan sosial dari penggunaan sumber daya bersama dilakukan dengan transparansi dan
sepenuhnya ditanggung oleh mereka yang memperolehnya, bukan oleh orang-orang lain ataupun
generasi-generasi mendatang: perlindungan lingkungan hidup, sumber daya dan iklim
mengharuskan semua pemimpin internasional untuk bertindak bersama-sama dan untuk
menunjukkan kesiap- siagaan untuk bekerja di dalam iman/ maksud yang baik,  yang
menghormati hukum dan meningkatkan solidaritas dengan bagian terlemah di planet ini.[121].
Salah satu tantangan yang terbesar untuk menghadapi ekonomi adalah untuk mencapai
penggunaan yang paling efisien – bukannya penyalahgunaan – dari sumber-sumber daya alam,
berdasarkan atas sebuah kesadaran bahwa pengertian “efisiensi” tidak bebas-arti/ ‘value-free.’

51. Cara manusia memperlakukan lingkungan hidup mempengaruhi cara manusia memperlakukan
dirinya sendiri dan sebaliknya. Ini mengundang masyarakat sekarang untuk memeriksa kembali
secara serius gaya hidupnya, yang di banyak bagian dunia, rentan terhadap hedonisme dan
konsumerisme, tanpa memperhatikan konsekuensi yang membahayakan dari hal-hal itu.[122] Apa
yang dibutuhkan adalah pengalihan efektif di dalam mentalitas, yang dapat mengarah kepada
pengambilan gaya hidup baru “yang mana pencarian kebenaran, keindahan dan kebaikan dan
persekutuan dengan orang lain demi perkembangan bersama adalah faktor-faktor yang
menentukan pilihan-pilihan konsumen, tabungan dan investasi”.[123] Setiap pelanggaran
terhadap solidaritas dan persahabatan sipil membahayakan lingkungan hidup, seperti pemerosotan
lingkungan hidup pada gilirannya mengganggu hubungan-hubungan di dalam masyarakat. Alam,
secara khusus pada jaman kita, digabungkan ke dalam dinamika masyarakat dan kebudayaan
sehingga sekarang ia hampir tidak mengandung variabel yang berdiri sendiri. Desertifikasi dan
penurunan produksi di dalam area pertanian adalah juga hasil dari pemiskinan dan kurangnya
perkembangan/ underdevelopment di antara para penduduk. Ketika insentif ditawarkan bagi
perkembangan ekonomi dan kebudayaan, alam sendiri dilindungi. Selanjutnya, betapa banyak
sumber daya alam yang dirusak oleh perang! Damai di dalam dan di antara bangsa-bangsa akan
menyediakan perlindungan yang lebih besar terhadap alam. Penimbunan sumber daya, terutama
air, dapat menimbulkan konflik yang serius di antara negara- negara yang bersangkutan.
Perjanjian-perjanjian tentang penggunaan sumber- sumber daya dapat melindungi alam dan pada
saat yang sama, kesejahteraan masyarakat yang menjadi perhatian.

Gereja mempunyai tanggung jawab terhadap alam ciptaan dan ia harus menyatakan tanggung
jawab ini kepada lingkup publik. Dengan demikian, ia harus mempertahankan tidak saja bumi, air
dan udara sebagai karunia-karunia ciptaan yang merupakan milik semua orang. Gereja harus
pertama-tama melindungi umat manusia dari pengrusakan diri sendiri. Terdapatlah kebutuhan
terhadap apa yang disebut sebagai ekologi manusia, yang dimengerti secara benar. Pengrusakan
alam pada kenyataannya berkaitan dengan kebudayaan yang membentuk ko-eksistensi manusia:
ketika “ekologi manusia”[124] dihormati di dalam masyarakat, ekologi lingkungan hidup juga
memperoleh keuntungan. Seperti kebajikan- kebajikan manusia juga saling berkaitan, sehingga
perlemahan dari satu kebajikan mempengaruhi yang lainnya, maka sistem ekologi di dasari atas
penghormatan terhadap rencana yang mempengaruhi baik kesehatan masyarakat dan
hubungannya yang baik dengan alam.

Untuk melindungi alam, tidak cukup hanya dengan meng-intervensi dengan insentif ekonomi atau
kekuatan militer; bahkan pendidikan dalam hal yang bersangkutan tidaklah cukup. Hal- hal ini
adalah langkah-langkah penting, tetapi yang menjadi hal yang menentukan adalah keadaan moral
secara keseluruhan di dalam masyarakat. Kalau tidak ada penghormatan terhadap hak untuk
hidup dan untuk kematian yang wajar, kalau konsepsi manusia, gestasi dan kelahiran dibuat
artifisial, kalau janin manusia dikorbankan untuk penelitian, hati nurani masyarakat berakhir
dengan kehilangan konsep tentang ekologi manusia dan, bersamaan dengan itu, tentang ekologi
lingkungan hidup. Adalah sesuatu yang bertentangan untuk menekankan bahwa generasi-generasi
mendatang harus menghormati lingkungan hidup ketika sistem-sistem pendidikan dan hukum-
hukum tidak membantu mereka untuk menghormati diri mereka sendiri. Kitab kehidupan alam
adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi: itu berkaitan tidak saja dengan lingkungan hidup, tetapi
juga kehidupan, seksualitas, perkawinan, keluarga, hubungan sosial: dengan kata lain:
perkembangan manusia seutuhnya. Tugas-tugas kita terhadap lingkungan hidup berkaitan dengan
tugas-tugas kita terhadap manusia, yaitu tugas terhadap diri sendiri dan terhadap hubungannya
dengan orang lain. Adalah salah untuk menjunjung tinggi salah satu perangkat tugas-tugas,
sementara menginjak-injak tugas- tugas yang lain. Di sini terletak pertentangan yang berat di
dalam mentalitas kita dan praktek pada masa ini: seseorang yang merendahkan manusia
mengganggu lingkungan hidup dan merusak masyarakat.

52. Kebenaran, dan kasih yang dinyatakan oleh kebenaran, tidak dapat dihasilkan: keduanya
hanya dapat diterima sebagai sebuah karunia. Sumber utama keduanya adalah bukan dan tidak
bisa dari manusia, tetapi hanya Tuhan, yang adalah Kebenaran dan Kasih. Prinsip ini adalah
teramat sangat penting bagi masyarakat dan bagi perkembangan, sebab masyarakat dan
perkembangan tidak dapat merupakan produk manusia secara murni; panggilan untuk
perkembangan di pihak perorangan dan bangsa- bangsa tidak berdasarkan hanya atas pilihan
manusia, tetapi merupakan bagian yang melekat dari sebuah rencana yang ada sebelum kita dan
membentuk bagi kita sebuah tugas untuk diterima dengan bebas. Bahwa apa yang sebelum kita
dan membentuk kita – Kasih dan Kebenaran yang tetap selamanya– menunjukkan kepada kita,
apa itu kebaikan, dan terdiri dari apa kebahagiaan kita yang sejati. Ia menunjukkan pada kita
jalan menuju perkembangan yang sejati.

BAB LIMA
KERJA SAMA KELUARGA MANUSIA
53. Salah satu bentuk kemiskinan yang paling dalam yang dapat dialami manusia adalah isolasi/
keterpisahan. Kalau kita melihat dari dekat bermacam bentuk kemiskinan, termasuk bentuk-
bentuk material, kita melihat bahwa mereka lahir dari isolasi, dari tidak dicintai atau dari kesulitan
untuk dapat mencintai. Kemiskinan sering dihasilkan dari penolakan atas kasih Tuhan, oleh
kecenderungan dasar dan tragis manusia yang menutup diri sendiri, memikirkan diri sendiri
sebagai “self-sufficient”/ cukup dengan diri sendiri atau semata-mata sebuah fakta yang tidak
penting dan hanya sekejap mata, seorang”asing” di dalam sebuah alam semesta yang acak.
Manusia terasing ketika ia sendirian, ketika ia terpisah dari realitas, ketika ia berhenti berpikir dan
percaya akan sebuah pondasi.[125] Semua manusia terasing ketika terlalu banyak kepercayaan
diberikan kepada proyek-proyek manusia semata, ideologi-ideologi dan utopia yang palsu.[126]
Sekarang umat manusia timbul menjadi lebih interaktif daripada di jaman dahulu: rasa kedekatan
antara satu dengan lainnya ini harus dapat diubah menjadi persekutuan yang sejati. Di atas
segalanya, perkembangan bangsa-bangsa tergantung dari sebuah pengakuan bahwa umat
manusia adalah sebuah keluarga yang bekerja sama di dalam persekutuan yang sejati, tidak saja
merupakan sebuah kelompok dari para pelaku yang kebetulan hidup berdampingan.[127]

Paus Paulus VI menyatakan bahwa “dunia ada di dalam kesulitan karena kekurangan berpikir”.
[128] Ia membuat suatu pengamatan, tetapi juga menyatakan pengharapan: sebuah pemikiran
maju/ meroket yang baru diperlukan supaya dapat mencapai pengertian yang lebih baik dari
implikasi-implikasi bahwa kita adalah satu keluarga; interaksi di antara bangsa-bangsa di dunia
memanggil kita untuk berangkat memulai kemajuan baru ini, sehingga integrasi dapat menandai
solidaritas[129] bukannya malah menjadikan marginalisasi. Pemikiran seperti ini mensyaratkan
sebuah evaluasi kritis yang lebih dalam tentang kategori hubungan/ relasi. Ini adalah sebuah
tugas yang tidak dapat diambil oleh ilmu-ilmu sosial saja, sebab kontribusi dari ilmu-ilmu seperti
metafisik dan teologi dibutuhkan kalau martabat manusia yang transenden itu mau diartikan
dengan sesungguhnya.

Sebagai mahluk spiritual, sorang manusia didefinisikan melalui relasi-relasi interpersonal. Semakin
otentik ia hidup dalam relasi-relasi ini, semakin dewasalah identitas pribadinya. Manusia tidak
menciptakan jatidirinya dengan isolasi, tetapi dengan menempatkan dirinya di dalam relasi dengan
sesamanya dan dengan Tuhan. Oleh karena itu, relasi-relasi ini mengambil tempat istimewa yang
mendasar. Ini berlaku juga bagi bangsa-bangsa. Oleh karena itu, pengertian metafisik tentang
relasi antar manusia adalah keuntungan yang besar bagi perkembangan mereka. Di dalam hal ini,
akal memperoleh inspirasi dan pengarahan di dalam wahyu Kristiani, yang menurutnya komunitas
umat manusia tidak menghisap/ menghilangkan individu, melenyapkan otonominya, seperti yang
terjadi dalam bentuk- bentuk totalitarianisme, melainkan menghargai manusia  dengan lebih lagi
sebab hubungan antara individu dan komunitas adalah hubungan antara satu totalitas dengan
totalitas lainnya.[130] Seperti sebuah keluarga tidak menenggelamkan identitas-identitas
anggota-anggotanya, seperti Gereja bersuka cita in dalam setiap “ciptaan baru” (Gal 6:15; 2 Kor
5:17) yang tergabung melalui Pembaptisan ke dalam Tubuhnya, maka juga kesatuan keluarga
umat manusia tidak menenggelamkan identitas- identitas individual, bangsa-bangsa dan
kebudayaan, tetapi membuat mereka menjadi lebih transparan satu dengan yang lainnya, dan
menghubungkan mereka dengan lebih dekat di dalam perbedaan- perbedaan yang legitim di
antara mereka.

54. Tema perkembangan dapat diidentifikasikan dengan keterlibatan di dalam relasi semua
individu dan bangsa di dalam satu komunitas umat manusia, yang dibangun di dalam solidaritas di
atas basis  nilai-nilai dasar keadilan dan kedamaian. Perspektif ini diterangi di dalam cara yang
sangat jelas dengan hubungan di antara Pribadi dari Allah Trinitas di dalam satu kesatuan Hakekat
ilahi. Trinitas adalah kesatuan absolut; bahwa ketiga Pribadi ilahi adalah hubungan yang murni/
“pure rationality”.  Transparansi timbal balik di antara Pribadi ilahi adalah total dan ikatan di
antara mereka lengkap, sebab Mereka merupakan sebuah kesatuan yang unik dan absolut. Tuhan
berkehendak untuk menggabungkan kita ke dalam realitas persekutuan ini juga: “supaya mereka
menjadi satu seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Gereja adalah sebuah tanda dan istrumen dari
kesatuan ini.[131] Hubungan- hubungan antara manusia di sepanjang sejarah tidak dapat tidak
diperkaya oleh acuan terhadap contoh ilahi ini. Secara khusus, di dalam terang dari misteri
Trinitas yang dinyatakan,  kita memahami bahwa keterbukaan yang sejati tidak berarti
penghilangan identitas individual tetapi saling memasuki/ interpenetration yang mendalam. Ini
juga timbul dari pengalaman-pengalaman umum manusia tentang kasih dan kebenaran.  Seperti
kasih sakramental dari pasangan suami istri mempersatukan mereka secara spiritual di dalam
“satu daging” (Kej 2:24; Mt 19:5; Ef 5:31) dan membuat dari keduanya sebuah kesatuan relasi/
hubungan, sehingga secara analogis, kebenaran mempersatukan jiwa-jiwa dan menyebabkan
mereka berpikir dalam kesatuan, menarik mereka sebagai suatu kesatuan kepada kebenaran itu
sendiri.

55.Wahyu Kristiani tentang kesatuan umat manusia mensyaratkan  sebuah interpretasi metafisik
tentang “humanum” yang di dalamnya hal hubungan adalah elemen yang esensial. Kebudayaan-
kebudayaan dan agama-agama lain mengajarkan persaudaraan dan damai dan oleh karena itu,
adalah menjadi sangat penting bagi perkembangan manusia seutuhnya. Namun demikian,
beberapa sikap religius dan kultural tidak sepenuhnya merangkul prinsip kasih dan kebenaran, dan
oleh karena itu mengakibatkan pemuduran atau penghambatan terhadap perkembangan manusia
yang otentik. Terdapat budaya-budaya religius tertentu di dunia sekarang ini yang tidak
mengharuskan para pria dan wanita untuk hidup di dalam persekutuan tetapi malah dipisahkan
satu dengan yang lainnya demi memenuhi kesejahteraan individual, terbatas kepada pemuasan
keinginan-keinginan psikologis. Selanjutnya, sebuah perkembangan pesat tertentu dari “jalan-
jalan” religius yang berbeda- beda, yang menarik kelompok- kelompok kecil atau bahkan orang-
orang secara pribadi, bersama- sama dengan sinkretisme religius, dapat menghasilkan perpisahan
dan pemutusan hubungan. Salah satu efek negatif dari proses globalisasi adalah kecenderungan
untuk menyukai bentuk sinkretisme ini[132] dengan mendorong bentuk-bentuk “agama” yang
bukannya membawa orang-orang untuk bersama, tapi malah mengasingkan mereka satu dengan
yang lainnya dan memisahkan mereka dari realitas. Pada saat yang sama, beberapa tradisi religius
dan budaya tetap berkukuh, yang membuat masyarakat menjadi kaku di dalam pengelompokan
sosial yang rigid, dengan kepercayaan magis yang gagal untuk menghormati martabat manusia,
dan di dalam sikap takluk kepada kekuasaan-kekuasaan okultisme. Dalam konteks- konteks ini,
kasih dan kebenaran mempunyai kesulitan untuk menyatakan diri mereka dan perkembangan
secara otentik menjadi terhambat.

Untuk alasan ini, di samping tetap benar bahwa perkembangan membutuhkan agama-agama dan
budaya-budaya dari bangsa yang berbeda- beda, maka adalah juga benar bahwa “discernment”
yang memadai juga diperlukan. Kebebasan beragama tidak berarti tidak peduli pada agama/
religious indifferentism, atau tidak berarti bahwa semua agama adalah sama.[133] Diperlukan
adanya discernment tentang kontribusi budaya-budaya dan agama-agama, terutama di pihak
mereka yang memegang kuasa politik, jika komunitas sosial harus dibangun di atas semangat
untuk menghormati kebaikan bersama. Discernment ini harus didasari oleh kriteria kasih dan
kebenaran. Sebab perkembangan manusia dan bangsa-bangsa adalah taruhannya, maka
discernment harus memperhitungkan kebutuhan untuk emansipasi dan peng-libatan (inclusivity),
di dalam konteks sebuah komunitas umat manusia yang benar- benar universal. “The whole man
and all men”/ keseluruhan diri manusia dan seluruh umat manusia, adalah juga tolok ukur untuk
meng-evaluasi budaya-budaya dan agama-agama. Kristianitas, agama  tentang “Tuhan yang
mempunyai wajah manusia”,[134] sungguh mengandung tolok ukur ini di dalam dirinya sendiri.

56. Agama Kristiani dan agama-agama lain dapat menawarkan kontribusi mereka kepada
perkembangan hanya jika Tuhan mendapat tempat di ruang publik, secara khusus di dalam hal
budaya, sosial, ekonomi dan secara khusus di dalam dimensi politik. Ajaran sosial Gereja lahir
dalam rangka meng-klaim “status kewarganegaraan” untuk agama Kristiani.[135] Pengingkaran
hak- hak seseorang untuk menyatakan agama di muka publik dan hak untuk menyatakan
kebenaran-kebenaran iman di dalam menjalani kehidupan publik memberikan konsekuensi-
konsekuensi negatif kepada perkembangan sejati. Pembuangan agama dari ruang publik – dan di
sisi ekstrim lainnya — fundamentalisme religius — menghambat sebuah pertemuan antar manusia
dan kerjasama mereka bagi kemajuan umat manusia. Kehidupan publik terhisap dari motivasinya
dan politik mempunyai karakter dominasi dan agresif. Hak- hak azasi manusia mempunyai resiko
diacuhkan entah karena sifat transendennya dirampas, atau karena kebebasan pribadinya tidak
diakui.  Sekularisme dan fundamentalisme mencoret kemungkinan dialog yang berbuah dan
kerjasama yang efektif antara akal dan iman religius. Akal budi selalu tetap perlu dimurnikan oleh
iman: ini juga tetap benar untuk alasan politik, yang tidak boleh menganggap dirinya sendiri
sebagai mahakuasa. Sebab bagiannya, agama selalu perlu dimurnikan dengan akal budi, agar
dapat memperlihatkan wajah kemanusiaannya yang otentik. Pelanggaran apapun dari dialog ini
[antara agama dan akal budi] hanya akan mengakibatkan harga yang besar terhadap
perkembangan manusia.

57. Dialog yang berhasil antara iman dan akal budi tidak dapat tidak mengembalikan pekerjaan/
tindakan kasih menjadi lebih efektif di dalam masyarakat dan itu merupakan kerangka kerja yang
paling layak untuk memajukan kerjasama persaudaraan antara umat/ orang-orang yang percaya
dan yang tidak percaya di dalam komitmen bersama untuk bekerja bagi keadilan dan kedamaian
bagi keluarga besar umat manusia. Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, para bapa Konsili
menyatakan bahwa “umat beragama dan tak beragama setuju hampir dengan suara bulat bahwa
semua hal di dunia harus diatur demi manusia sebagai pusat dan puncaknya”.[136] Untuk umat
beriman, dunia berasal tidak dari “blind chance” /kesempatan buta ataupun dari “strict necessity”/
keharusan yang kaku, tetapi dari rencana Allah. Inilah yang menyebabkan timbulnya tugas dari
umat beriman untuk mempersatukan usaha-usaha mereka dengan usaha semua pria dan wanita
yang berkehendak baik, dengan para pengikut agama-agama lain dan dengan mereka yang tidak
beragama, sehingga dunia kita ini dapat secara efektif menanggapi rencana ilahi: untuk hidup
sebagai sebuah keluarga di bawah pengawasan mata Sang Pencipta. Sebuah manifestasi khusus
tentang kasih dan sebuah kriteria yang membimbing untuk kerjasama persaudaraan antara umat
yang percaya dan yang tidak percaya, adalah tak diragukan lagi merupakan prinsip dari
subsidiaritas,[137]  sebuah ekspresi dari kebebasan manusia yang tidak dapat dicabut.
Subsidiaritas adalah pertama-tama dan utama merupakan sebuah bentuk bantuan kepada
manusia melalui otonomi badan-badan perantara. Bantuan semacam ini ditawarkan ketika orang-
orang secara individu atau kelompok tidak dapat menyelesaikan sesuatu dengan usahanya sendiri,
dan bantuan ini selalu direncanakan untuk mencapai keterlibatan/ emansipasi mereka, sebab itu
meningkatkan kebebasan dan partisipasi melalui mengambilan tanggungjawab. Subsidiaritas
menghormati martabat manusia dengan mengakui di dalam dirinya seorang pelaku yang selalu
mampu memberi sesuatu kepada orang lain. Dengan mempertimbangkan hal timbal balik sebagai
inti dari apa yang menjadi hakekat manusia, subsidiaritas adalah obat pemulih yang paling efektif
melawan segala bentuk penguasaan hal kesejahteraan oleh Negara. Subsidiaritas dapat
memperhitungkan baik berbagai artikulasi rencana-rencana – dan dengan demikian keberagaman
para pelaku–  maupun koordinasi dari rencana-rencana itu. Oleh karena itu prinsip subsidiaritas
secara khusus sangat cocok dengan pengaturan globalisasi dan pengarahannya kepada
pengembangan manusia yang otentik.  Agar tidak menghasilkan kekuasaan universal yang
berbahaya yang bersifat tirani, pengaturan globalisasi harus ditandai dengan subsidiaritas, yang
dinyatakan di dalam beberapa lapisan dan melibatkan tingkatan-tingkatan yang dapat bekerja
sama. Globalisasi pasti memerlukan otoritas, lantaran globalisasi berkaitan dengan masalah
kebaikan bersama yang harus dikejar/ dicapai. Namun demikian, otoritas ini, harus diatur di dalam
sebuah subsidiaritas dan jalan stratifikasi,[138] jika itu tidak untuk melanggar kebebasan dan jika
itu adalah untuk menghasilkan hasil-hasil yang efektif di dalam pelaksanaannya.

58. Prinsip subsidiaritas harus tetap berhubungan dengan prinsip solidaritas dan begitu juga
sebaliknya, sebab subsidiaritas tanpa solidaritas membuka jalan kepada privatisme sosial,
sedangkan solidaritas tanpa subsidiaritas membuka jalan ke arah bantuan sosial paternalis yang
merendahkan mereka yang membutuhkan. Aturan umum ini harus diambil secara luas dalam
pertimbangan ketika membahas hal-hal tentang bantuan perkembangan internasional
(international development aid). Bantuan tersebut, apapun maksud-maksud para donatur,
kadang-kadang dapat mengunci bangsa-bangsa di dalam keadaan tergantung dan bahkan
menunjang keadaan-keadaan penindasan lokal dan eksploitasi pada negara-negara yang
menerima bantuan. Bantuan ekonomi, supaya menjadi benar sesuai dengan maksudnya, harus
tidak mengejar tujuan-tujuan sekunder. Bantuan itu harus didistribusikan dengan keterlibatan
tidak saja pihak pemerintah negara-negara yang menerima bantuan, tetapi juga badan-badan
ekonomi lokal dan penunjang budaya di dalam kehidupan sosial, termasuk Gereja-gereja lokal.
Program-program harus secara meningkat mendapatkan karakter-karakter partisipasi dan
penyelesaian dari akar rumput/ masyarakat basis. Sungguh, sumber daya yang paling berharga di
dalam negara-negara yang menerima bantuan perkembangan adalah sumber daya manusia: di
sinilah terletak modal nyata yang perlu untuk dikumpulkan untuk menjamin sebuah masa depan
yang sungguh otonom bagi negara-negara yang termiskin. Harus juga diingat bahwa di dalam
lingkup ekonomi, bentuk prinsip bantuan yang dibutuhkan oleh negara-negara yang sedang
berkembang adalah yang berkaitan dengan sesuatu yang memperbolehkan dan mendorong
penetrasi perlahan-lahan dari produk-produk hasil mereka ke dalam pasar internasional, sehingga
memungkinkan bagi negara-negara ini untuk berpartisipasi sepenuhnya di dalam kehidupan
ekonomi internasional. Sudah terlalu sering di masa lalu, bantuan dilakukan hanya untuk
menciptakan pasar-pasar pinggiran untuk produk-produk negara-negara donor ini. Ini seringnya
disebabkan oleh kurangnya kebutuhan yang sungguh-sungguh akan produk-produk tersebut: oleh
karena itu adalah penting untuk membantu negara-negara tersebut untuk memperbaiki produk-
produk mereka dan menyesuaikan mereka dengan lebih efektif terhadap kebutuhan yang ada.
Selanjutnya, terdapat pihak-pihak yang takut terhadap akibat-akibat persaingan melalui import
produk-produk— biasanya produk-produk pertanian— dari negara-negara yang miskin secara
ekonomi. Walaupun demikian, haruslah diingat bahwa bagi negara-negara tersebut, kemungkinan
untuk memasarkan produk mereka seringnya adalah yang menjamin kelangsungan hidup mereka
baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Perdagangan internasional yang adil dan
wajar di dalam produk hasil pertanian dapat menguntungkan bagi semua orang, baik bagi supplier
(negara penghasil) maupun para pemakai. Untuk alasan ini, tidak hanya dibutuhkan orientasi
komersial bagi produk jenis ini, tetapi juga penentuan peraturan- peraturan perdagangan
internasional untuk mendukungnya dan pendanaan yang lebih luas untuk perkembangan agar
dapat meningkatkan produktivitas ekonomi-ekonomi ini.

59. Kerjasama untuk perkembangan harus tidak hanya mengkhususkan perhatian pada dimensi
ekonomi: kerjasama ini menawarkan sebuah kesempatan yang istimewa bagi pertemuan di antara
budaya-budaya dan bangsa-bangsa. Jika pihak-pihak dalam kerjasama ini pada sisi negara-
negara yang telah berkembang secara ekonomi – seperti yang sudah sering terjadi – gagal untuk
mempertimbangkan identitas budaya mereka sendiri atau negara-negara lain, atau nilai-nilai
kemanusiaan yang membentuknya, mereka tidak dapat membangun dialog yang berarti dengan
para warga negara- negara yang miskin. Jika para warga miskin  ini, pada giliran mereka, tidak
mengkritisi dan tanpa memilah terbuka terhadap setiap proposal budaya, mereka tidak akan
berada dalam posisi mengambil tanggung jawab terhadap perkembangan mereka sendiri secara
otentik.[139] Masyarakat- masyarakat yang telah maju secara teknologi harus tidak mencampur
adukkan perkembangan teknologi mereka dengan anggapan superioritas budaya, tetapi sebaliknya
harus menemukan di dalam diri mereka sendiri kebajikan- kebajikan yang sering terlupakan yang
telah memungkinkan mereka berkembang di sepanjang sejarah mereka. Masyarakat yang
berkembang harus tetap setia kepada semua hal yang sungguh-sungguh manusiawi di dalam
tradisi- tradisi mereka, mencegah godaan-godaan untuk menutup tradisi tersebut secara otomatis
dengan mekanisme-mekanisme kemasyarakatan dengan teknologi global. Di dalam semua
budaya, terdapat contoh-contoh pemusatan pandangan yang etis, beberapa di antaranya terpisah
satu sama lain, beberapa yang lain saling berkaitan, sebagai suatu ekspresi dari satu kodrat
kemanusiaan yang diinginkan oleh Sang Pencipta; tradisi kebijaksanaan etis mengenal hal ini
sebagai hukum kodrat (natural law).[140] Hukum moral yang universal menyediakan dasar yang
kuat bagi semua dialog budaya, religius dan politis, dan hukum itu menjamin bahwa pluralisme
yang dari berbagai segi dari keanekaragaman budaya tidak melepaskan dirinya dari penyelidikan
umum terhadap kebenaran, kebaikan dan Tuhan. Oleh karena itu, kesetiaan terhadap hukum
menggoreskan di dalam hati manusia kondisi awal bagi semua kerjasama sosial yang
membangun. Setiap budaya mempunyai beban-beban yang daripadanya ia harus dibebaskan dan
bayangan-bayangan yang daripadanya ia harus timbul. Iman Kristiani, yang merasuk/ menjelma
di dalam budaya-budaya dan pada saat yang sama mengatasi mereka secara transenden, dapat
membantu mereka bertumbuh di dalam persaudaraan yang universal dan solidaritas, bagi
kemajuan global dan perkembangan komunitas.

60. Dalam pencarian solusi-solusi pada krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini, bantuan
perkembangan bagi negara-negara miskin harus diperhitungkan sebagai sebuah cara yang sah/
valid untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua. Adakah program bantuan yang dapat
menghasilkan prospek- prospek pertumbuhan yang signifikan – bahkan dari titik tolak ekonomi
dunia – sebagai pendukung populasi- populasi manusia yang masih berada di dalam tahap awal
perkembangan ekonomi? Dari sudut pandang ini, negara-negara yang secara ekonomi telah
berkembang harus melakukan segala sesuatu yang dapat mereka lakukan untuk menempatkan
bagian yang lebih besar dari produk domestik global mereka bagi bantuan perkembangan,
sehingga dengan demikian mereka menghormati kewajiban-kewajiban yang diambil oleh
komunitas internasional dalam hal ini. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan
memeriksa kembali bantuan sosial dalam negeri dan kebijakan kesejahteraan (welfare policies),
menerapkan prinsip subsidiaritas dan menciptakan sistem kesejahteraan yang terintegrasi dengan
lebih baik, dengan partisipasi aktif dari pihak perorangan dan masyarakat sipil. Dengan cara ini,
adalah mungkin untuk memperbaiki pelayanan sosial dan program-program kesejahteraan, dan
pada saat yang sama menghemat sumber daya — dengan menghapuskan dana yang tidak perlu
dan menolak klaim-klaim yang curang — yang sesungguhnya dapat dialokasikan untuk solidaritas
internasional. Sebuah sistem organik dan yang lebih dapat ditransfer dari solidaritas sosial, yang
lebih tidak birokratif tapi tetap terkoordinasi dengan baik, akan membuatnya mungkin untuk
memanfaatkan secara efektif kekuatan yang terpendam, bagi kebaikan solidaritas antar bangsa.

Sebuah pendekatan yang mungkin bagi bantuan perkembangan adalah untuk menerapkan secara
efektif apa yang diketahui sebagai subsidiaritas fiskal, yang memperbolehkan para warga untuk
memutuskan bagaimana caranya untuk menentukan bagian bagi pembayaran pajak kepada
Negara. Asalkan hal ini tidak turun derajatnya menjadi peningkatan kepentingan-kepentingan
pribadi, ini dapat membantu untuk mendorong bentuk-bentuk solidaritas kesejahteraan dari
bawah, dengan kebaikan-kebaikan yang jelas terlihat dalam hal solidaritas untuk perkembangan
juga.

61. Solidaritas yang lebih besar pada tingkat internasional terlihat secara khusus di dalam
kemajuan yang terus menerus — bahkan di tengah krisis ekonomi — akses yang lebih besar
terhadap pendidikan, yang pada saat yang sama merupakan kondisi awal yang penting bagi
kerjasama internasional yang efektif. Istilah “pendidikan” mengacu tidak hanya pada pengajaran
di dalam kelas dan pendidikan dalam lapangan kerja — yang keduanya merupakan faktor penting
di dalam perkembangan — tetapi pendidikan di sini adalah untuk menyelesaikan pembentukan
sebagai manusia. Dalam hal ini terdapat satu masalah yang harus diperhatikan: untuk mendidik,
adalah penting untuk mengetahui kodrat seorang manusia, untuk mengetahui siapakah dia.
Peningkatan keutamaan dalam hal pengertian yang relatif dari kodrat manusia menghadirkan
masalah-masalah serius bagi pendidikan, khususnya pendidikan moral, yang membahayakan
makna luasnya yang universal. Ketergantungan pada relativisme macam ini, membuat setiap
orang menjadi lebih miskin dan mempunyai akibat yang negatif dalam ke-efektif-an bantuan bagi
populasi manusia yang paling miskin, yang kekurangan tidak hanya dalam hal sarana- sarana
ekonomi dan teknologi, tetapi juga metoda-metoda pendidikan dan sumber-sumber daya untuk
membantu orang- orang dalam mewujudkan potensi manusia sepenuhnya.

Sebuah ilustrasi dari keutamaan masalah ini ditawarkan oleh fenomena turisme internasional,
[141] yang dapat menjadi faktor utama di dalam perkembangan ekonomi dan pertumbuhan
budaya, tetapi dapat juga menjadi sebuah kesempatan bagi eksploitasi dan pemunduran moral.
Situasi pada saat ini menawarkan kesempatan-kesempatan unik bagi aspek-aspek ekonomi dari
perkembangan — yaitu bahwa aliran uang dan munculnya jumlah kegiatan usaha lokal secara
signifikan —untuk dipadukan dengan aspek-aspek budaya, dan terutama adalah pendidikan. Di
dalam banyak kasus inilah yang terjadi, namun di kasus-kasus lainnya turisme internasional
mempunyai akibat pendidikan yang negatif baik bagi turis maupun penduduk lokal. Penduduk lokal
seringnya terekspos kepada bentuk-bentuk tingkah laku yang tidak bermoral atau bahkan
melenceng, seperti di dalam kasus yang dikenal dengan sex-tourism, di mana banyak orang
dikorbankan, bahkan pada usia muda. Adalah menyedihkan untuk melihat bahwa perbuatan ini
seringnya terjadi dengan dukungan dari pemerintah lokal, dengan adanya kondisi ‘tutup mulut’
dari mereka pada negara-negara asal para turis dan dengan keterlibatan banyak dari operator tur.
Bahkan dalam kasus yang kurang ekstrim, turisme internasional sering mengikuti pola-pola
konsumeristik dan hedonistik, sebagai sebuah bentuk pelarian dengan cara yang tipikal di negara-
negara asalnya, dan karena itu tidak kondusif bagi pertemuan otentik antara para pribadi/
perorangan dan budaya. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan tipe turisme yang berbeda,
yang mempunyai kemampuan untuk memajukan saling pengertian yang tulus, tanpa membuang
elemen istirahat dan rekreasi yang sehat. Turisme tipe ini perlu untuk ditingkatkan, sebagian
melalui koordinasi yang lebih dekat dengan pengalaman yang diperoleh dari kerjasama
internasional dan kegiatan usaha bagi perkembangan.

62. Aspek lainnya dari perkembangan manusia seutuhnya yang layak untuk diperhatikan adalah
fenomena migrasi. Ini adalah sebuah fenomena yang mencengangkan karena terjalnya jumlah
orang-orang yang terlibat, problem-problem sosial, ekonomi, politis, budaya dan religius yang
ditimbulkannya, dan tantangan-tantangan dramatis yang dimilikinya terhadap bangsa-bangsa dan
komunitas internasional. Kita dapat berkata bahwa kita menghadapi sebuah fenomena sosial
tentang ukuran-ukuran yang membuka jaman batu yang mensyaratkan kebijakan-kebijakan kerja
sama internasional yang berani dan berwawasan ke masa depan jika itu untuk ditangani secara
efektif. Kebijakan-kebijakan tersebut harus dibentuk dari kerjasama yang dekat antara negara-
negara asal para migran dan negara- negara tujuan mereka; hal itu harus dibarengi dengan
norma-norma internasional yang memadai yang dapat mengkoordinasikan sistem-sistem legislatif
dengan pandangan untuk menjaga kebutuhan- kebutuhan dan hak-hak individu para migran dan
keluarga mereka, dan pada saat yang sama, mereka yang dari negara tuan rumah. Tidak ada
satupun negara yang dapat diharapkan untuk membahas masalah- masalah migrasi dewasa ini
secara sendirian. Kita semua adalah saksi dari beban penderitaan, tergelincirnya dan cita-cita yang
mengiringi aliran para migran. Fenomena ini, seperti diketahui semua orang, sulit untuk diatur;
tetapi, tidak diragukan, bahwa para perkerja asing, di samping segala kesulitan yang berkaitan
dengan integrasi, memberikan kontribusi yang signifikan kepada perkembangan ekonomi negara
tuan rumah melalui tenaga kerja mereka, di samping bahwa mereka juga mengembangkan
ekonomi negara asalnya dengan uang yang mereka kirimkan kembali ke rumah/ negara asalnya.
Jelaslah, bahwa para pekerja ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah komoditas atau sebuah
kekuatan kerja. Oleh karena itu, mereka harus tidak diperlakukan seperti faktor produksi lainnya.
Setiap migran adalah seorang manusia, dan karena itu, mempunyai hak-hak yang fundamental,
dan tidak dapat dicabut yang harus dihormati oleh setiap orang dan di dalam setiap keadaan.[142]

63. Tidak ada satupun pertimbangan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan
perkembangan dapat gagal untuk menunjukkan hubungan langsung antara kemiskinan dan
pengangguran. Di dalam banyak kasus, kemiskinan merupakan hasil dari pelanggaran martabat
pekerjaan manusia, entah karena kesempatan kerja yang terbatas (melalui pengangguran atau
kekurangan pekerjaan), atau “sebab sebuah nilai yang rendah dipasang pada pekerjaan dan hak-
hak yang mengalir daripadanya, khususnya hak untuk memperoleh gaji yang wajar dan untuk
keamanan personal dari pekerja dan keluarganya”.[143] Untuk alasan ini, pada tanggal 1 May
2000, pada kesempatan tahun Yubelium para Pekerja, pendahulu saya yang terhormat Paus
Tohanes Paulus II mengeluarkan permohonan untuk “sebuah koalisi global yang memihak kepada
‘pekerjaan yang layak’”,[144] untuk mendukung strategi Organisasi Buruh Internasional. Dengan
cara ini, beliau memberi dorongan moral yang kuat kepada tujuan ini, melihatnya sebagai sebuah
cita-cita dari keluarga-keluarga di setiap negara di dunia. Apakah yang dimaksudkan dengan
istilah “layak” dalam hubungannya dengan pekerjaan? Itu berarti pekerjaan yang
mengekspresikan martabat hakiki dari setiap laki-laki dan perempuan di dalam konteks
masyarakat mereka yang khusus: pekerjaan yang dipilih secara bebas tanpa paksaan, lembaga-
lembaga para pekerja yang efektif, baik laki-laki dan perempuan, dengan perkembangan
komunitas mereka; pekerjaan yang memampukan pekerja agar dihormati dan bebas dari segala
bentuk diskriminasi; pekerjaan yang membuatnya mungkin bagi para keluarga untuk memenuhi
kebutuhan mereka dan menyediakan pendidikan/ biaya sekolah bagi anak-anak mereka, tanpa
anak-anak mereka terpaksa harus bekerja; pekerjaan yang mengizinkan para pekerja untuk
mengatur diri mereka sendiri dengan bebas, dan untuk membuat suara mereka didengarkan;
pekerjaan yang menyediakan kesempatan bagi penemuan kembali akar diri seseorang pada
tingkat pribadi, keluarga dan rohani; pekerjaan yang menjamin mereka yang sudah pensiun
sebuah standar kehidupan yang layak.

64. Sementara merenungkan tema pekerjaan, adalah pantas untuk mengingat pentingnya bahwa
serikat-serikat pekerja —  yang selalu harus didorong dan didukung oleh Gereja —  harus terbuka
kepada sudut pandang yang baru yang timbul di dunia pekerjaan. Dengan melihat kepada
masalah- masalah yang lebih luas daripada katagori spesifik tentang tenaga kerja yang untuknya
serikat- serikat itu dibentuk, organisasi-organisasi serikat dipanggil untuk menanggapi beberapa
masalah baru yang timbul di dalam masyarakat kita: Saya pikir, sebagai contohnya, isu-isu
kompleks yang dijabarkan oleh para ilmuwan sosial dalam hal konflik antara pekerja dan
masyarakat pemakai/ konsumen. Tanpa perlu mendukung thesis bahwa fokus utama pada pekerja
telah memberikan jalan kepada fokus utama pada konsumen, ini akan tetap tampak sebagai dasar
baru bagi serikat- serikat untuk menjelajahi kreativitas. Konteks global yang di dalamnya
pekerjaan mengambil tempat juga menuntut agar serikat-serikat kerja nasional, yang cenderung
untuk membatasi diri mereka sendiri untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan para
anggota yang terdaftar, harus mengalihkan perhatian mereka kepada mereka yang di luar
keanggotaan mereka, dan secara khusus kepada para pekerja di negara-negara berkembang di
mana hak-hak sosial seringnya dilanggar. Perlindungan para pekerja ini, yang sebagian dicapai
melalui inisiatif-inisiatif yang layak, yang ditujukan pada negara-negara asal mereka, akan
memampukan serikat- serikat perdagangan untuk membuktikan motivasi-motivasi etis dan
budaya yang otentik yang membuatnya mungkin bagi mereka, di dalam sebuah konteks sosial dan
tenaga kerja yang berbeda, untuk memainkan peran yang menentukan di dalam perkembangan.
Ajaran tradisional Gereja membuat perbedaan yang valid antara peran-peran dan fungsi-fungsi
serikat-serikat perdagangan dan politik. Pembedaan ini memperbolehkan serikat-serikat untuk
mengenali masyarakat sipil sebagai wadah yang layak bagi kegiatan mereka yang diperlukan
untuk mempertahankan dan memajukan tenaga kerja, terutama atas nama para pekerja yang
dieksploitasi dan yang tidak terwakili, yang kesengsaraannya sering diabaikan oleh pandangan
masyarakat yang teralihkan.

65. Oleh karena itu, keuangan, — melalui struktur-struktur yang diperbaharui dan metoda-metoda
pelaksanaan yang harus direncanakan setelah disalahgunakan, yang menimbulkan malapetaka
pada ekonomi riil — sekarang perlu untuk kembali menjadi sebuah alat yang diarahkan menuju
peningkatan penciptaan kesejahteraan dan perkembangan. Karena mereka adalah alat,
keseluruhan ekonomi dan keuangan, tidak saja sektor-sektor tertentu, harus digunakan dengan
cara yang etis sehingga menciptakan kondisi-kondisi yang cocok bagi perkembangan manusia dan
bagi perkembangan bangsa-bangsa. Tentu adalah sesuatu yang berguna, dan di dalam beberapa
keadaan merupakan keharusan, untuk meluncurkan inisiatif-inisiatif keuangan di mana dimensi
humanitarian mendominasi. Namun demikian, ini harus tidak menghalangi kenyataan bahwa
seluruh sistem keuangan harus ditujukan pada penopangan perkembangan yang sejati. Di atas
semuanya, maksud untuk melakukan kebaikan tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan
kemampuan efektif untuk menghasilkan sesuatu. Para ahli keuangan harus menemukan kembali
pondasi kegiatan mereka, agar tidak menyalahgunakan alat-alat yang canggih yang dapat
digunakan untuk mengkhianati kepentingan- kepentingan para penabung. Maksud yang benar,
transparansi, dan penyelidikan untuk hasil-hasil positif adalah hal –hal yang saling berkaitan dan
harus tidak dipisahkan satu sama lain. Jika kasih itu bijaksana, maka kasih dapat menemukan
cara- cara yang sesuai dengan hemat cermat dan kebijaksanaan yang adil, seperti yang telah
digambarkan dengan cara yang signifikan oleh banyaknya pengalaman dari koperasi-koperasi
kredit/ credit unions.

Baik pengaturan sektor keuangan, agar melindungi pihak-pihak yang lebih lemah dan mencegah
spekulasi yang keji, maupun eksperimen dengan bentuk-bentuk baru keuangan, yang
direncanakan untuk mendukung proyek-proyek perkembangan, adalah pengalaman-pengalaman
positif yang harus diselidiki dan didorong lebih lanjut, dengan menekankan tanggungjawab
investor. Selanjutnya, pengalaman keuangan mikro (micro-finance), yang berakar pada pemikiran
dan kegiatan para masyarakat sipil – saya pikir terutama timbulnya rumah pegadaian –
seharusnya diperkuat dan diperhalus/ fine-tuned. Ini adalah lebih penting di hari-hari ini ketika
kesulitan-kesulitan keuangan dapat menjadi parah bagi banyak sektor-sektor yang lebih rentan di
masyarakat, yang harus dilindungi dari resiko riba dan dari keputus asa-an. Anggota- anggota
masyarakat yang terlemah harus ditolong untuk mempertahankan diri mereka sendiri terhadap
riba, sama seperti orang-orang miskin harus dibantu untuk memperoleh keuntungan riil dari kredit
kecil (micro-credit), agar tidak terjadi eksploitasi yang mungkin terjadi di dalam kedua hal ini.
Sebab negara-negara kaya juga mengalami bentuk-bentuk kemiskinan yang baru, keuangan
makro dapat memberikan bantuan praktis dengan peluncuran inisiatif-inisiatif baru dan
pembukaan sektor-sektor baru bagi keuntungan/ kebaikan golongan-golongan yang lebih lemah di
dalam masyarakat, bahkan pada saat penurunan ekonomi secara umum.

66. Keterkaitan global telah memimpin kepada timbulnya sebuah kekuasaan politik baru yaitu
yang terdiri dari para konsumen dan asosiasi-asosiasinya. Ini adalah fenomena yang perlu untuk
diselidiki, sebab hal ini mengandung elemen-elemen yang perlu didorong, namun juga perbuatan-
perbuatan keterlaluan yang harus dihindari. Adalah baik bagi masyarakat untuk menyadari bahwa
pembelian adalah selalu merupakan tindakan moral —dan bukan hanya tindakan ekonomi. Oleh
karena itu, konsumen mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus, yang berjalan
berdampingan dengan tanggung jawab sosial dari kegiatan usaha. Para konsumen harus terus
menerus dididik[145] sesuai dengan peran mereka sehari-hari, yang dapat dilakukan dengan
penghormatan terhadap prinsip-prinsip moral, tanpa mengurangi rasionalitas ekonomi yang
terlekat dalam kegiatan pembelian. Di dalam industri retail, khususnya pada saat-saat seperti
sekarang ini ketika daya beli telah menurun dan orang-orang harus hidup dengan lebih sederhana/
hemat, adalah penting untuk menyelidiki cara-cara lain: contohnya, bentuk- bentuk pembelian
secara bersama-sama seperti koperasi- koperasi pembeli yang telah diterapkan sejak abad ke
sembilan belas, yang sebagian dimulai atas inisiatif umat Katolik. Sebagai tambahan, adalah
berguna untuk meningkatkan cara-cara baru tentang pemasaran produk-produk dari daerah-
daerah yang terpencil di dunia, demi menjamin pengembalian yang layak bagi para penghasil/
produser mereka. Namun demikian, kondisi-kondisi tertentu perlu dipenuhi: pasar harus benar-
benar transparan, para penghasil/ produser selain meningkatkan batas keuntungan/ profit margin,
juga harus menerima peningkatan pembentukan tenaga dan teknologi profesional; dan akhirnya
perdagangan jenis ini harus tidak menjadi jaminan/ sandera bagi ideologi- ideologi partisan.
Sebuah peran yang lebih melibatkan para konsumen, sepanjang mereka sendiri tidak dimanipulasi
oleh asosiasi- asosiasi yang tidak benar- benar mewakili mereka, adalah sebuah elemen yang
diperlukan bagi pembangunan demokrasi ekonomi.

67. Menghadapi pertumbuhan yang tak berbelas kasihan dari ketergantungan global, terdapat
sebuah kebutuhan yang sangat keras terasa, bahkan ditengah-tengah resesi global, untuk sebuah
reformasi dari organisasi- organisasi PBB/ Perserikatan Bangsa- bangsa (United Nations
Organization) dan juga dari institusi-institusi ekonomi dan keuangan internasional, sehingga
konsep keluarga bangsa-bangsa dapat memperoleh gigi yang nyata. Seseorang juga merasakan
kebutuhan yang mendesak untuk menemukan cara- cara inovatif yang menerapkan prinsip
tanggung jawab untuk melindungi[146] dan memberikan negara-negara yang lebih miskin sebuah
suara di dalam pengambilan keputusan secara bersama. Ini kelihatannya perlu supaya dapat
tercapai sebuah keteraturan politis, yuridis dan ekonomis yang dapat meningkatkan dan
memberikan arahan kepada kerjasama internasional bagi perkembangan semua bangsa di dalam
solidaritas. Untuk mengatur ekonomi global; untuk menghidupkan ekonomi yang terpukul oleh
krisis, dan untuk menghindari pemunduran dari krisis yang terjadi sekarang ini dan ketidak-
seimbangan yang lebih besar yang akan dihasilkan; untuk mencapai gencatan senjata yang utuh
dan tepat pada waktunya, keamanan persediaan makanan dan perdamaian; untuk menjamin
perlindungan lingkungan hidup dan untuk mengatur migrasi; untuk semua ini, terdapat kebutuhan
yang mendesak tentang sebuah otoritas politik dunia yang sejati, seperti yang diindikasikan oleh
pendahulu saya Yohanes XXIII yang Terberkati beberapa tahun yang lalu. Sebuah otoritas yang
demikian akan perlu diatur oleh hukum, untuk secara konsisten menerapkan prinsip subsidiaritas
dan solidaritas, untuk mencari pencapaian kebaikan bersama,[147] dan untuk membuat sebuah
komitmen untuk melindungi perkembangan manusia seutuhnya yang otentik, yang diinspirasikan
oleh nilai-nilai kasih di dalam kebenaran. Selanjutnya, otoritas itu perlu diakui secara universal
dan dilengkapi oleh kekuasaan efektif untuk menjamin keamanan semua pihak, menghormati
keadilan dan hak-hak.[148] Jelaslah, bahwa itu akan memerlukan otoritas untuk memastikan
pemenuhan/ kesesuaian dengan keputusan- keputusannya dari semua pihak, dan juga dengan
ukuran-ukuran koordinasi yang diambil di dalam berbagai forum internasional. Tanpa hal ini, di
samping kemajuan besar yang tercapai di berbagai sektor, hukum internasional akan mempunyai
resiko dikondisikan oleh keseimbangan kekuasaan di antara bangsa-bangsa yang terkuat.
Perkembangan bangsa-bangsa yang seutuhnya dan kerjasama internasional mensyaratkan
pengadaan sebuah tingkat yang lebih besar tentang pengaturan internasional, yang ditandai oleh
subsidiaritas, untuk pengaturan globalisasi.[149] Mereka juga mensyaratkan sebuah konstruksi
keteraturan sosial yang pada akhirnya sesuai dengan peraturan moral, sesuai dengan hubungan
timbal balik antara bidang moral dan sosial, dan dengan hubungan antara bidang politik dan
ekonomi dan kemasyarakatan, seperti yang telah digambarkan oleh anggaran dasar Perserikatan
Bangsa- Bangsa.

BAB ENAM

PERKEMBANGAN BANGSA- BANGSA DAN TEKNOLOGI

68. Perkembangan bangsa-bangsa secara dekat berhubungan dengan perkembangan para


individu. Pribadi manusia secara kodrati terlibat secara aktif di dalam perkembangan dirinya
sendiri. Perkembangan dalam masalah bukan hanya melulu merupakan hasil dari mekanisme-
mekanisme kodrat, karena setiap orang mengetahui, bahwa kita semua mampu membuat pilihan-
pilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Tidak juga semata-mata berada pada belas kasihan
atas perubahan pikiran kita yang tiba-tiba terjadi, sebab kita mengetahui bahwa kita adalah
sebuah karunia/ gift, bukan sesuatu yang lahir dengan sendirinya/ self-generated. Kebebasan kita
secara mendalam dibentuk oleh keberadaan kita dan oleh keterbatasan keberadaan kita. Tidak
ada seorangpun membentuk hati nuraninya secara acak/ subyektif terlepas dari batas-batas,
tetapi kita semua membangun diri “saya” sendiri atas dasar seorang “diri sendiri” yang diberikan
kepada kita. Tidak hanya bahwa orang-orang lain berada di luar kontrol kita, tetapi setiap dari kita
berada di luar kontrol dirinya sendiri. Perkembangan seseorang dikompromikan, kalau ia
mengklaim bahwa ia sendirilah yang bertanggungjawab untuk menghasilkan perkembangan
dirinya sendiri. Analoginya, perkembangan bangsa-bangsa menjadi serba salah kalau manusia
berpikir bahwa ia dapat menciptakan dirinya melalui ‘keajaiban-keajaiban’ teknologi, sama seperti
perkembangan ekonomi terekspos sebagai kepura- puraan yang menghancurkan, kalau
perkembangan itu mengandalkan ‘keajaiban-keajaiban’ keuangan untuk menopang pertumbuhan
yang tidak wajar dan konsumtif. Menghadapi anggapan Promethean, kita harus memperkuat kasih
kita akan kebebasan/ kemerdekaan yang tidak hanya terjadi secara acak, tetapi yang dibuat
sungguh manusiawi dengan pengenalan akan kebaikan yang mendasarinya. Untuk tujuan ini,
manusia perlu melihat ke dalam dirinya untuk mengenali norma-norma dasar dari hukum kodrat
moral yang telah dituliskan oleh Tuhan di dalam hati kita.

69. Dewasa ini, tantangan perkembangan berhubungan erat dengan kemajuan teknologi, dengan
penerapan yang sangat mengherankan di bidang biologi. Teknologi – layaknya ditekankan di sini –
adalah sungguh realitas manusia, terkait dengan otonomi dan kebebasan manusia. Di dalam
teknologi kita mengekspresikan dan meneguhkan kekuasaan roh atas materi. “Roh manusia, yang
‘terus meningkat bebas dari belenggu mahluk-mahluk ciptaan, dapat lebih mudah diarahkan
kepada penyembahan dan kontemplasi kepada Sang Pencipta”.[150] Teknologi memampukan kita
untuk menerapkan penguasaan atas materi, untuk mengurangi resiko- resiko, untuk menghemat
tenaga kerja, untuk memperbaiki kondisi- kodisi kehidupan. Teknologi menyentuh inti panggilan
tenaga kerja manusia: di dalam teknologi, yang dilihat sebagai hasil keahliannya, manusia
mengenali dirinya sendiri dan menempa kemanusiaannya sendiri. Teknologi adalah sisi obyektif
dari kegiatan manusia,[151] yang asalnya dan raison d’etre ditemukan di dalam elemen subyektif:
[yaitu] si pekerja itu sendiri. Untuk alasan ini, teknologi tidak pernah hanya sebagai teknologi.
Teknologi menyatakan manusia dan cita-citanya menuju perkembangan, ia menyatakan tekanan
dari dalam yang mengharuskannya berangsur-angsur mengatasi keterbatasan- keterbatasan
materi. Teknologi, dalam hal ini, adalah sebuah tanggapan terhadap perintah Tuhan untuk
mengusahakan dan memelihara tanah itu (lih. Kej 2:15) yang dipercayakan-Nya kepada umat
manusia, dan teknologi harus melayani untuk memperkuat perjanjian antara manusia dan
lingkungan hidup, perjanjian yang harus mencerminkan kasih Tuhan yang kreatif.

70. Perkembangan teknologi dapat menimbulkan ide bahwa teknologi mencukupkan dirinya sendiri
(self-sufficient) ketika terlalu banyak perhatian diberikan kepada pertanyaan- pertanyaan
“bagaimana”, dan tidak cukup untuk banyak pertanyaan “mengapa” yang mendasari aktivitas
manusia. Karena alasan ini teknologi dapat terlihat sepertinya bertentangan. Dihasilkan melalui
kreativitas manusia sebagai alat kebebasan personal, teknologi dapat dimengerti sebagai
perwujudan kebebasan absolut, kebebasan yang mencari keterlepasan dari keterbatasan yang
melekat pada benda-benda. Proses globalisasi dapat menggantikan ideologi- ideologi dengan
teknologi,[152] yang mengizinkan teknologi menjadi kekuatan ideologis yang mengancam untuk
membatasi kita di dalam sebuah  a priori yang menahan kita untuk menemukan hakekat dan
kebenaran. Jika itu terjadi, kita semua akan mengetahui, mengevaluasi dan membuat keputusan-
keputusan tentang situasi hidup kita dari dalam sebuah perspektif budaya yang teknokrat, yang
menjadi kepunyaan kita secara struktural, tanpa pernah dapat memahami arti yang tidak kita buat
sendiri. Sudut pandang dunia secara ‘teknis’ yang mengikuti pandangan ini sekarang  sangatlah
dominan bahwa kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang bertepatan dengan apa yang mungkin
terjadi. Tetapi ketika kriteria utama dari kebenaran adalah efisiensi dan utilitas/ kegunaan, maka
perkembangan secara otomatis diabaikan. Perkembangan sejati tidak melulu terdapat di dalam hal
‘melakukan’ sesuatu. Kunci perkembangan adalah sebuah pikiran yang dapat berpikir di dalam
pengertian-pengertian teknologis dan pemahaman arti manusia sepenuhnya dari kegiatan-
kegiatan manusia, di dalam konteks arti keseluruhan dari keberadaan tiap- tiap orang. Bahkan
ketika kita bekerja melalui satelit atau melalui gerakan-gerakan elektronik yang langka, kegiatan-
kegiatan kita selalu tetap bersifat manusiawi, sebuah ekspresi kebebasan kita yang bertanggung
jawab. Teknologi adalah sangat menarik sebab ia menarik kita ke luar dari keterbatasan-
keterbatasan fisik dan memperluas cakrawala kita. Tetapi kebebasan manusia menjadi otentik
hanya kalau kebebasan itu menanggapi pesona teknologi dengan keputusan-keputusan yang
merupakan buah dari tanggung jawab moral. Oleh karena itu penting adanya pembentukan/
formasi di dalam penggunaan teknologi yang bertanggung jawab secara etis. Bergerak melampaui
pesona daya tarik yang dihasilkan oleh teknologi, kita harus menyesuaikan kembali arti
sesungguhnya dari kebebasan, yang bukan merupakan sebuah kemabukan/ intoksikasi dengan
total otonomi, tetapi sebuah tanggapan akan panggilan keberadaan kita [sebagai manusia], yang
dimulai dengan keberadaan diri masing-masing dari kita sendiri.
71. Penyimpangan ini dari prinsip-prinsip yang kuat tentang kemanusiaan yang dapat dihasilkan
oleh kerangka pikir teknis, dewasa ini terlihat di dalam penerapan-penerapan teknologis di bidang-
bidang perkembangan dan perdamaian. Seringnya perkembangan bangsa- bangsa diperkirakan
sebagai sebuah hal teknis finansial/ keuangan, pembebasan pasar, penghapusan tarif-tarif,
investasi di dalam produksi, dan reformasi-reformasi kelembagaan – dengan perkataan lain,
sebuah hal yang murni teknis. Semua faktor ini adalah sangat penting, tetapi kita harus bertanya
mengapa pilihan-pilihan teknis yang dibuat sejauh ini telah menimbulkan hasil-hasil yang
bervariasi. Kita perlu berpikir keras tentang penyebabnya. Perkembangan tidak akan dapat
dijamin sepenuhnya melalui kekuatan- kekuatan otomatis yang impersonal, entah itu berasal dari
pasar maupun dari politik-politik internasional. Perkembangan adalah tidak mungkin tanpa
manusia laki-laki dan perempuan yang tulus tanpa para ahli keuangan dan politikus, yang suara
hati nuraninya sungguh-sungguh terbiasa dengan persyaratan- persyaratan tentang kebaikan
bersama (common good). Keduanya, baik keahlian profesional dan konsistensi moral, diperlukan.
Ketika teknologi diperbolehkan untuk mengambil alih, maka hasilnya adalah percampuran antara
tujuan dan sarana, seperti bahwa kriteria utama untuk kegiatan di dalam bisnis dianggap sebagai
usaha memaksimalkan keuntungan, di dalam politik, konsolidasi kekuasaan, dan di dalam ilmu
pengetahuan, penemuan-penemuan penelitian. Seringkali, di bawah intrik-intrik ekonomi,
hubungan-hubungan keuangan dan politik, di sana tetap terdapat  kesalahpahaman, kesulitan dan
ketidak adilan. Aliran teknologi ‘know-how’ (apa-bagaimana dari sesuatu) meningkat, tetapi itu
hanya menjadi milik mereka yang mendapat keuntungan darinya, sementara keadaan di lapangan
bagi bangsa-bangsa yang hidup di bawah bayang-bayangnya tetap saja tidak berubah: bagi
mereka hanya terdapat sedikit kesempatan untuk emansipasi.

72. Bahkan perdamaian dapat beresiko dianggap sebagai produk teknis, semata-mata sebagai
hasil dari perjanjian-perjanjian antara para pemerintah atau dari inisiatif-inisiatif yang ditujukan
untuk menjamin bantuan ekonomi yang efektif. Adalah benar bahwa pembangunan perdamaian
mensyaratkan hubungan timbal balik yang terus menerus dari pihak-pihak diplomatik, pertukaran
ekonomi, teknologi dan budaya, perjanjian-perjanjian tentang proyek-proyek bersama, seperti
halnya strategi bersama untuk menahan ancaman konflik militer dan untuk membasmi penyebab
dasar dari terorisme. Namun demikian, kalau usaha-usaha itu harus mempunyai efek yang
berkepanjangan/ seterusnya, usaha- usaha itu harus didasari atas nilai- nilai yang berakar pada
kebenaran tentang kehidupan manusia. Yaitu, suara dari bangsa- bangsa yang terpengaruh harus
didengarkan, dan situasi mereka harus diperhitungkan, jika harapan-harapan mereka mau
ditafsirkan dengan benar. Seseorang harus menyesuaikan dirinya, sepertinya demikian, dengan
usaha-usaha yang tidak dikatakan oleh begitu banyak orang yang berkomitmen sungguh-sungguh
untuk membawa bangsa-bangsa bersama- sama dan untuk mem-fasilitasi perkembangan atas
dasar kasih dan pengertian yang timbal balik. Di antara mereka adalah anggota-anggota umat
Kristiani, yang terlibat dalam tugas besar untuk mendukung dimensi manusia seutuhnya tentang
perkembangan dan perdamaian.

73. Terkait dengan perkembangan teknologis adalah kehadiran sarana komunikasi sosial yang
dapat meresap secara meningkat. Dewasa ini hampir tidak mungkin untuk membayangkan
kehidupan keluarga manusia tanpa mereka. Baik akibat baik atau buruk, sarana komunikasi
tersebut merupakan bagian integral dari kehidupan dewasa ini, sehingga kelihatannya tidak dapat
dikatakan bahwa sarana tersebut adalah netral – dan oleh karena itu tidak terpengaruh oleh
pertimbangan-pertimbangan moral tentang orang-orang. Seringkali pandangan demikian,
menitikberatkan pada sifat dasar teknis dari media, secara efektif mendukung ke-tundukan
mereka kepada kepentingan-kepentingan ekonomi yang mendominasi pasar, tidak sedikit,
mengusahakan untuk menekankan contoh-contoh budaya yang mendukung agenda-agenda
ideologis dan politik.  Dengan mengetahui kepentingan dasar media di dalam mengatur
perubahan- perubahan sikap terhadap realitas dan manusia, kita harus merenungkan dengan
sungguh-sungguh pengaruh media, secara khusus di dalam hal dimensi etis dan budaya dari
globalisasi dan perkembangan bangsa-bangsa di dalam solidaritas. Pencerminan apa yang
disyaratkan pada sebuah pendekatan yang etis bagi globalisasi dan perkembangan, dan demikian
juga, arti dan maksud dari media harus dicari di dalam sebuah perspektif anthropologis. Ini berarti
bahwa mereka dapat mempunyai sebuah efek kemasyarakatan tidak hanya ketika, terima kasih
kepada perkembangan teknologis, mereka meningkatkan kemungkinan-kemungkinan komunikasi
informasi, tetapi di atas semua itu, ketika mereka diarahkan menuju visi tentang manusia dan
kebaikan bersama yang mencerminkan nilai- nilai yang sungguh-sungguh universal. Hanya karena
komunikasi- komunikasi sosial meningkatkan kemungkinan-kemungkinan saling keterkaitan dan
penyebaran ide-ide, tidaklah berarti bahwa mereka memajukan kebebasan atau meng-
internasionalkan perkembangan dan demokrasi bagi semua orang. Untuk mencapai tujuan-tujuan
semacam ini, mereka perlu untuk memusatkan diri kepada memajukan martabat manusia, dan
bangsa-bangsa, mereka perlu untuk dengan tegas didorong oleh kasih dan ditempatkan pada
pelayanan kebenaran, kebaikan dan persaudaraan baik natural/ kodrati maupun supernatural/ adi
kodrati. Kenyataannya, kebebasan manusia pada dasarnya terkait dengan nilai-nilai yang lebih
tinggi ini. Media dapat membuat sebuah kontribusi yang penting menuju pertumbuhan di dalam
hal persekutuan keluarga besar manusia dan ethos kemasyarakatan ketika media digunakan untuk
memajukan partisipasi universal dalam hal pencarian bersama tentang apa yang adil.

74. Sebuah pertempuran khusus yang penting di dalam pergumulan budaya dewasa ini antara
keutamaan teknologi dan tanggungjawab moral manusia adalah di bidang bio-etik, di mana
kemungkinan perkembangan manusia seutuhnya itu sendiri dipertanyakan secara radikal. Di
dalam bidang yang sangat halus dan penting ini, pertanyaan fundamental menyatakan dirinya
seniri dengan kuatnya: apakah manusia adalah hasil dari pekerjaannya sendiri, ataukah ia
bergantung dari Tuhan? Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan di dalam bidang ini dan
kemungkinan- kemungkinan intervensi teknologi kelihatannya sangat canggih seolah memaksa
sebuah pilihan antara dua tipe pemikiran: pemikian yang terbuka terhadap hal yang transenden
atau pemikiran yang tertutup di dalam hal yang ada/ immanence. Kita dihadapkan pada kedua
pilihan yang jelas tentang ini atau itu (either/ or). Namun rationalitas dari penggunaan teknologi
yang terpusat pada diri sendiri (self- centred) terbukti sebagai tidak masuk akal, sebab itu
mengakibatkan penolakan yang tegas terhadap arti dan nilai. Tidaklah merupakan kebetulan
bahwa penutupan pintu terhadap hal yang transenden mengakibatkan seseorang mengalami jalan
buntu menghadapi kesulitan: bagaimana sesuatu dapat timbul dari ketiadaan, bagaimana akal
budi/ kepandaian dapat lahir dari suatu kebetulan?[153] Dihadapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan dramatis ini, akal budi dan iman dapat saling membantu. Hanya dengan bekerja sama,
kedua hal itu menyelamatkan manusia. Diterima oleh penyerahan diri yang tertutup (tanpa
pertimbangan hal lainnya) kepada teknologi, akal budi tanpa iman akan berakhir tergelepar di
dalam sebuah ilusi akan dirinya sendiri yang omnipoten/ maha kuasa. Iman tanpa akal budi
beresiko tersingkir dari kehidupan sehari-hari .[154]

75. Paulus VI telah mengenali dan menarik perhatian kepada dimensi global tentang masalah
sosial.[155] Meneruskan kepemimpinan beliau, kami perlu menegaskan hari ini bahwa masalah
sosial telah secara radikal menjadi sebuah masalah anthropologis, dalam arti bahwa itu
menyangkut tidak saja pada bagaimana kehidupan dikandung, tetapi juga tentang bagaimana
kehidupan dimanipulasikan, seperti bio-teknologi secara meningkat menempatkan kehidupan di
bawah kontrol manusia. Di dalam in vitro fertilization/ bayi tabung, penelitian embrio,
kemungkinan membuat kloning dan hibrid manusia: semua ini timbul dan dipromosikan di budaya
tanpa ilusi (disillusioned) dewasa ini, yang percaya bahwa ia telah menguasai semua misteri,
sebab asal usul kehidupan sekarang berada dalam jangkauan kita. Di sini kita melihat ekspresi
yang paling jelas tentang supremasi teknologi. Di dalam tipe budaya ini, hati nurani diundang
untuk semata-mata menangkap kemungkinan-kemungkinan teknologis. Namun kita musti tidak
menganggap rendah skenario-skenario yang mengganggu yang mengancam masa depan kita,
atau alat-alat baru yang sangat berkuasa yang menuju kepada “culture of death”. Dengan adanya
penderaan aborsi yang tragis dan merajalela kita harus menambahkan di masa depan — yang
memang sekarang sudah terjadi dengan tidak rahasia —  pemrograman secara genetik tentang
kelahiran- kelahiran manusia. Sebagai akhir yang lain dari spektrum ini, pola pikir yang pro-
euthanasia sedang berjalan, yang sama-sama merupakan pernyataan merusak tentang kontrol
terhadap kehidupan yang di bawah keadaan-keadaan tertentu dianggap sudah tidak layak untuk
hidup lagi. Di dasar skenario-skenario ini adalah pandangan- pandangan budaya yang menolak
martabat manusia. Praktek-praktek ini pada gilirannya mengangkat pengertian materialistis dan
mekanistis terhadap kehidupan manusia. Siapa yang dapat mengatur efek-efek negatif tentang
mentalitas seperti ini bagi perkembangan? Bagaimana kita dapat dikejutkan oleh ketidakpedulian
yang diperlihatkan terhadap keadaan-keadaan penurunan derajat manusia, ketika ketidakpedulian
itu meluas bahkan kepada sikap kita terhadap apa yang adalah manusia dan yang bukan manusia?
Apa yang mengherankan adalah keyakinan yang tak menentu (arbitrary) dan selektif tentang apa
yang dimengerti dewasa ini sebagai sesuatu yang patut dihormati. Hal-hal yang tidak penting
dianggap sebagai mengejutkan, tetapi ketidakadilan- ketidakadilan yang belum pernah terjadi
sebelumnya sepertinya diterima secara luas. Sementara orang-orang yang miskin di dunia ini
terus menerus mengetuk pintu mereka yang kaya, dunia yang kaya beresiko tidak lagi
mendengarkan ketukan pintu mereka, atas dasar hati nurani yang tidak dapat lagi membedakan
apa manusia itu. Tuhan menyatakan manusia kepada dirinya sendiri; akal budi dan iman bekerja
berdampingan untuk menunjukkan kepada kita apa yang baik, asalkan kita mau melihatnya;
hukum kodrat, yang di dalamnya Akal budi yang kreatif bersinar keluar, menyatakan kebesaran
kita, namun juga kejahatan kita, lantaran kita gagal untuk mengenali panggilan kepada kebenaran
moral.

76. Satu aspek pemikiran teknologis dewasa ini adalah kecenderungan untuk menganggap
masalah-masalah dan emosi-emosi kehidupan rohani dari sudut pandang psikologis murni, bahkan
sampai pada titik reduksi neurologis/ neurological reductionism. Dengan cara ini, kerohanian
manusia dikosongkan dari maknanya dan sedikit demi sedikit kesadaran kita tentang kedalaman
ontologis jiwa manusia seperti yang diteliti oleh para orang kudus, menjadi hilang. Masalah
perkembangan secara dekat terikat dengan pengertian kita akan jiwa manusia, lantaran kita
sering mengurangi diri sendiri menjadi pikiran/ psyche, dan mencampur adukkan kesehatan jiwa
dengan kesenangan emosional. Penyederhanaan- penyederhanaan yang berlebihan ini berasal dari
kegagalan yang mendalam untuk memahami kehidupan spiritual, dan penyederhanaan ini
menghalangi kenyataan bahwa perkembangan individu- individu dan bangsa-bangsa tergantung
sebagian pada penyelesaian masalah-masalah yang bersifat rohani. Perkembangan harus
melibatkan tidak saja pertumbuhan materi, tetapi juga pertumbuhan rohani, sebab manusia
adalah “kesatuan antara tubuh dan jiwa”,[156] yang lahir dari kasih Tuhan yang kreatif dan
diperuntukkan untuk kehidupan kekal. Manusia berkembang ketika ia bertumbuh secara rohani,
ketika jiwanya mengetahui dirinya dan kebenaran-kebenaran yang Tuhan sudah tanamkan di
dalam dirinya, ketika ia masuk dalam dialog dengan dirinya sendiri dan Penciptanya. Ketika ia jauh
dari Allah, manusia tidak tenang dan mudah sakit.  Keterasingan sosial dan psikologis dan
banyaknya penyakit syaraf yang mempengaruhi masyarakat-masyarakat yang kaya disebabkan
sebagian oleh faktor-faktor spiritual. Masyarakat yang kaya, yang telah berkembang maju di
dalam hal materi tetapi terbeban berat di jiwanya, tidaklah dengan sendirinya kondusif terhadap
perkembangan otentik. Bentuk-bentuk baru terhadap perbudakan obat-obatan dan kehilangan
harapan di mana banyak orang jatuh dapat dijelaskan tidak saja di dalam pengertian sosiologis
dan psikologis tetapi juga secara esensial dalam pengertian spiritual. Kekosongan di mana jiwa
merasa ditinggalkan/ diabaikan, disamping ketersediaan segala macam terapi yang tak terhitung
bagi tubuh dan jiwa, memimpin [seseorang] kepada penderitaan. Tidak akan ada analisa
keseluruhan perkembangan dan kebaikan bersama yang universal kecuali kesejahteraan rohani
dan moral manusia diperhatikan, dianggap di dalam kesatuan totalitas sebagai tubuh dan jiwa.

77. Supremasi teknologi cenderung mencegah orang- orang mengenali apapun yang tidak dapat
dijelaskan di dalam hal materi saja. Namun setiap orang mengalami banyaknya dimensi spiritual
dan yang tidak bersifat material di dalam kehidupan. Mengetahui [sesuatu] bukanlah semata-mata
tindakan material, sebab obyek yang diketahui selalu menyembunyikan sesuatu yang melampaui
batas-batas empiris yang dapat diraba/ dilihat. Semua pengetahuan kita, bahkan yang paling
sederhana, adalah selalu sebuah mukjizat kecil, sebab hal itu tidak pernah dapat dijelaskan secara
penuh oleh alat material yang kita terapkan padanya. Di dalam setiap kebenaran, terdapat
sesuatu yang lebih daripada yang tadinya kita harapkan, di dalam kasih yang kita terima, selalu
ada elemen yang mengejutkan kita. Kita harus tidak pernah berhenti untuk mengagumi semuanya
ini. Di dalam semua pengetahuan dan di setiap tindakan kasih jiwa manusia mengalami sesuatu
yang “di atas dan melampaui/ over and above”, yang kelihatannya seperti sebuah karunia yang
kita terima, atau sebuah ketinggian yang kepadanya kita diangkat. Demikian pula, perkembangan
para individu dan bangsa-bangsa terletak pada suatu ketinggian, jika kita mempertimbangkan
dimensi spiritual yang harus ada jika perkembangan itu mau disebut sebagai otentik. Hal itu
mensyaratkan pandangan mata yang baru dan hati yang baru, yang mampu naik mengatasi
pandangan materialistis tentang kejadian-kejadian manusia, mampu melihat di dalam
perkembangan sesuatu yang “melampaui”, yang tidak dapat diberikan oleh teknologi. Dengan
mengikuti jalur ini, adalah mungkin untuk mengejar perkembangan manusia seutuhnya yang
mengambil arahnya dari dorongan kekuatan kasih di dalam kebenaran.

KESIMPULAN
78. Tanpa Tuhan manusia tidak tahu ke mana harus pergi, atau bahkan mengerti siapa dirinya.
Menghadapi masalah-masalah yang begitu besar seputar perkembangan bangsa-bangsa, kita
menemukan penghiburan di dalam perkataan Tuhan Yesus Kristus, yang mengajarkan kita, “…di
luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5) dan lalu menguatkan kita, “Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:20). Saat kita melihat begitu banyaknya
pekerjaan yang harus dilakukan, kita ditopang oleh iman kita bahwa Tuhan hadir di samping
mereka yang bersatu di dalam nama- Nya untuk bekerja bagi keadilan. Paulus VI menyebutkan di
dalam Populorum Progressio bahwa manusia tidak dapat menghasilkan kemajuan dirinya sendiri
tanpa bantuan, sebab dengan dirinya sendiri ia tidak dapat mengadakan sebuah kemanusiaan
yang otentik. Hanya jika kita sadar akan panggilan kita, sebagai individu- individu dan sebagai
sebuah komunitas, bagian dari keluarga Tuhan sebagai anak- anak laki-laki dan perempuan-Nya,
kita akan dapat menghasilkan sebuah visi yang baru dan mengerahkan tenaga baru dalam
pelayanan terhadap sebuah kemanusiaan yang benar-benar menyeluruh. Oleh karena itu,
pelayanan terbesar bagi perkembangan, adalah sebuah humanisme Kristiani[157] yang
menyalakan kasih dan mengarahkannya dari kebenaran, yang menerima kedua hal itu sebagai
sebuah karunia yang tak berakhir dari Tuhan. Keterbukaan kepada Tuhan membuat kita terbuka
kepada saudara/i kita dan kepada pemahaman akan kehidupan sebagai sebuah tugas yang penuh
suka cita untuk diselesaikan di dalam semangat solidaritas. Di sisi lain, penolakan ideologis
tentang Allah dan sebuah atheisme ketidakpedulian, yang lupa kepada Sang Pencipta dan beresiko
juga menjadi lupa kepada nilai-nilai manusiawi, membentuk beberapa penghalang utama terhadap
perkembangan dewasa ini. Sebuah humanisme yang tidak menyertakan Tuhan adalah humanisme
yang tidak menusiawi. Hanya sebuah humanisme yang terbuka terhadap Sang Absolut (yang Maha
Tinggi) dapat membimbing kita di dalam pemajuan dan pembangunan bentuk-bentuk kehidupan
sosial dan kemasyarakatan — struktur-struktur, institusi-institusi, budaya dan ethos —  tanpa
meng-ekspos kita terhadap resiko menjadi terjerat oleh mode-mode pada saat itu. Kesadaran
tentang kasih Tuhan yang tak pernah mati menopang kita di dalam pekerjaan kita yang bersusah
payah dan menggairahkan pekerjaan bagi keadilan dan perkembangan bangsa- bangsa, di tengah-
tengah kesuksesan dan kegagalan, di dalam pengejaran yang tak pernah berhenti akan sebuah
keteraturan yang adil tentang perkara-perkara manusia. Kasih Tuhan memanggil kita untuk
bergerak melampaui batas- batas dan kesementaraan waktu, kasih itu memberikan kepada kita
keberanian untuk terus menerus mencari dan bekerja untuk kebaikan semua orang, bahkan jika
ini tidak dapat dicapai dengan cepat dan jika apa yang dapat kita capai, bersama dengan otoritas
politik dan mereka yang bekerja di bidang ekonomi, adalah selalu kurang daripada yang kita
harapkan.[158] Tuhan memberikan kepada kita kekuatan untuk berjuang dan menderita bagi
kasih terhadap kebaikan bersama, sebab Ia adalah Segalanya bagi kita, harapan kita yang
terbesar.

79. Perkembangan memerlukan orang-orang Kristiani dengan lengan-lengan mereka terangkat


kepada Tuhan di dalam doa, orang-orang Kristiani yang tergerak oleh pengetahuan bahwa kasih
yang dipenuhi dengan kebenaran, caritas in veritate, yang daripadanya perkembangan otentik
dihasilkan, tidak dihasilkan oleh kita, tetapi diberikan kepada kita. Untuk alasan ini, bahkan di
dalam waktu- waktu yang paling sulit dan kompleks sekalipun, di samping mengenali apa yang
sedang terjadi, di atas segalanya kita harus kembali kepada kasih Tuhan. Perkembangan
mensyaratkan perhatian terhadap kehidupan spiritual, sebuah pertimbangan serius terhadap
pengalaman- pengalaman kepercayaan kepada Tuhan, persekutuan spiritual di dalam Kristus,
penyerahan kepada penyelenggaraan Ilahi dan belas kasih-Nya, kasih dan pengampunan,
penyangkalan diri, penerimaan terhadap sesama, keadilan dan perdamaian. Semua ini adalah
penting jika “hati yang keras” adalah untuk diubah menjadi “hati yang taat” (Yeh 36:26),
menganggap bahwa hidup di dunia ini sebagai “ilahi” dan karenanya menjadi lebih layak bagi umat
manusia. Semua ini adalah tentang manusia, sebab manusia adalah subyek bagi keberadaan
dirinya sendiri; dan pada saat yang sama, tentang Tuhan, sebab Tuhan ada sejak awal mula dan
akhir dari semua yang baik, semua yang memimpin kepada keselamatan: “…hidup, maupun mati,
baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu
adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah.” (1 Kor 3:22-23). Umat Kristiani rindu agar
seluruh keluarga manusia memanggil Tuhan sebagai “Bapa Kami!” Di dalam persekutuan dengan
Putera-Nya yang Tunggal, semoga semua bangsa belajar untuk berdoa kepada Bapa dan untuk
memohon kepada-Nya, di dalam perkataan yang Yesus sendiri ajarkan kepada kita, untuk rahmat
untuk memuliakan Dia dengan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, untuk menerima makanan/
rejeki sehari-hari yang kita perlukan, untuk menjadi pengertian dan murah hati terhadap yang
berhutang kepada kita, tidak dicobai melebihi kemampuan kita dan agar dibebaskan dari yang
jahat (lih. Mat 6:9-13).

Di penutupan Tahun Rasul Paulus, saya mengekspresikan dengan gembira harapan ini dengan
perkataan Rasul itu, yang diambil dari surat kepada umat di Roma: “Hendaklah kasih itu jangan
pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi
sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rom 12:9-10. Semoga Perawan
Maria – yang disebut sebagai Mater Ecclesiae (Bunda Gereja) oleh Paulus VI dan dihormati oleh
umat Kristiani sebagai Speculum Iustitiae dan Regina Pacis- melindungi kita dan memperoleh bagi
kita, melalui doa syafaat-nya di surga, kekuatan, pengharapan dan suka cita yang diperlukan
untuk terus mendedikasikan diri kita dengan kemurahan hati terhadap tugas menghasilkan
“perkembangan dari keseluruhan manusia dan semua manusia.[159]

Diberikan di Roma, di gereja St. Petrus, pada tanggal 29 Juni,


pada Hari Raya Rasul Petrus dan Paulus, di tahun 2009, tahun kelima dari Pontifikat saya.

PAUS BENEDIKTUS XVI

Anda mungkin juga menyukai