Anda di halaman 1dari 2

Rabu, 23 Mei 2007

"Virus Profit" Herry Tjahjono


Ada tiga salah kaprah gejala kehidupan yang memprihatinkan di negeri ini.

Pertama, salah kaprah paradigma yang sadar atau tidak telah menggiring orang untuk
memutarbalikkan hukum alam, "hidup sejati" dengan "konsekuensi logis kehidupan". Hidup
sejati adalah inti, hakikat, comes first. Konsekuensi logis adalah perifer, kulit, comes later. Yang
seharusnya dikejar lebih dahulu adalah hidup sejati dan konsekuensi logis akan datang
dengan sendirinya.

Ilustrasinya sederhana, seorang pelajar hidup sejatinya adalah menjadi pelajar sejati (cerdas,
bukan hanya otak, tetapi juga kepribadian, watak, dan sebagainya). Jika sudah jadi pelajar
sejati, konsekuensi logis akan datang sendirinya, seperti nilai dan peringkat yang baik. Tapi
kenyataannya, dunia pendidikan sekarang, orang tua, menggiring anak untuk lebih dulu
mengejar nilai dan peringkat. Maka, berbagai penyimpangan terjadi demi nilai dan peringkat
yang "hanya" konsekuensi logis itu. Demikian juga atlet, yang terjadi adalah upaya untuk lebih
dulu mengejar hadiah dan uang, bukannya menjadi atlet sejati.

Secara umum, demikianlah yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Itu sebabnya banyak
wacana, pelatihan, seminar, atau berbagai upaya lain yang menawarkan tema tentang
bagaimana mendapatkan "konsekuensi logis kehidupan" (apalagi secara cepat dan instan)
laris luar biasa bak kacang goreng. Menjadi kaya dengan cepat, menjadi sukses dengan cepat,
dan lainnya, semuanya akan diserbu masyarakat.

Kedua, salah kaprah paradigma kehidupan di atas mendapatkan resultante sempurna dengan
dimensi usaha. Para pengusaha (terlepas tetap ada pengecualian) juga dirasuki "virus"
konsekuensi logis ini. Mereka cenderung enggan untuk menjadi "pengusaha sejati" dan lebih
gemar dengan upaya-upaya mengejar konsekuensi logis lebih dulu.

Elkington (dalam Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Bussiness,
1997) menyebutkan tentang tanggung jawab dunia usaha yang mencakup "3P": profit, people,
planet—yang terkait dengan konsep kepentingan stakeholder.

Namun, dari ketiga P itu, profit lebih mudah tergelincir ke wilayah konsekuensi logis. Profit
tentu penting dan menjadi tanggung jawab pengusaha demi kepentingan stakeholder
keseluruhan. Namun, secara faktual-psikologis, keuntungan ini lebih diperlakukan sebagai
konsekuensi logis yang dikejar lebih dulu. Maka, lupakan soal menjadi pengusaha sejati. Itu
sebabnya penyelewengan dunia usaha, mulai dari kasus Enron dan seterusnya sampai kasus
"lumpindo" (lumpur panas Lapindo), lebih karena pengusaha dirasuki nafsu mengejar
keuntungan sebagai konsekuensi logis belaka.

Ketiga, kedua salah kaprah di atas itulah yang melahirkan "virus profit" (sebagai konsekuensi
logis), yang kini merasuki, menghantui, sekaligus merusak berbagai dimensi dan kualitas
kehidupan masyarakat kita. Pelajar dan mahasiswa cenderung berpikir dan berorientasi untuk
mengejar "profit" bagi dirinya dulu (baca: nilai, peringkat, kelulusan) sehingga kasus perjokian,
nyontek, beli ijazah, dan seterusnya merajalela.

Atlet atau olahragawan (apa pun) sama, "profit" apa yang bisa didapatkan lebih dulu, baik itu
hadiah, uang, nama besar, kemewahan, dan lainnya. Bahkan, sesungguhnya mereka lupa,
"kemenangan" atau menjadi "nomor satu" sekalipun hanyalah konsekuensi logis dari upaya
untuk menjadi atlet atau olahragawan sejati. Maka, jangan heran jika, misalnya, dunia sepak
bola kita sangat memalukan dengan perilaku tawuran atau lainnya sebab yang dikejar sekadar
konsekuensi logisnya.
Dunia politik pun terjangkit hebat oleh "virus profit". Para pemimpin, baik level politisi biasa,
menteri, sampai presiden sekalipun, telah terjangkit virus ini. Yang dikejar lebih dulu adalah
konsekuensi logis, apa "profit" yang bisa didapat bagi dirinya sendiri lebih dulu. Konsekuensi
logis menjadi pemimpin, politisi, atau presiden adalah "kekuasaan".

Secara kontekstual, persis yang dikatakan Victor Frankl, bahwa kekuasaan itu hanyalah
konsekuensi logis dari upaya seseorang menjadi "pemimpin sejati". Jika seseorang sudah
mampu menjadi pemimpin sejati (yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan,
umat manusia, rakyat), kekuasaan beserta segenap kenikmatan hidup akan datang dengan
sendirinya. Tapi, yang terjadi adalah sebongkah nafsu dan pertanyaan, "Apa profit (kekuasaan)
yang bisa didapat bagi diri sendiri dulu?" Itu sebabnya berbagai perilaku, kebijakan, dan pola
kepemimpinan cenderung berorientasi pada kekuasaan itu sendiri, bukannya menjadi
pemimpin atau presiden sejati. Itu juga sebabnya sekian kali ganti presiden, nasib bangsa
tetap terpuruk sebab profit berupa kekuasaan itu lebih dulu didekap oleh para pemimpin.
Akibatnya, kita hanya punya politisi dan bukannya negarawan.

Virus konsekuensi logis itu kini bersimaharajalela, semua berpikir, bersikap, dan berperilaku
sebagaimana "pengusaha" dengan "virus profitnya". Sejatinya, ketiga "P" bukan hanya
tanggung jawab "pengusaha" an sich, tetapi juga semua orang, baik itu pelajar, atlet,
pemimpin, menteri, presiden, pejuang LSM, dan seterusnya. Kedua P lainnya, people dan
planet, juga menjadi kepedulian semua orang.

Namun, akibat P pertama (profit) yang telah menjadi virus mengerikan, kedua P lainnya
menjadi mati suri. Jadi, jangan heran, kasus "lumpindo" terkatung-katung menyakitkan para
korbannya. Para pemimpin lebih berpikir dan bertindak bak pengusaha dengan "virus
profitnya". Mahasiswa, aktivis LSM, atau komponen masyarakat terkait lainnya nyaris tak
peduli, betapa sebagian "planet" dan people di Sidoarjo telah dihancurkan seenaknya oleh
segelintir pengusaha dan pemimpin republik yang dijangkiti "virus profit".

Sebagai fenomena kehidupan, "virus profit" ini hanya bisa diberantas dari lingkungan terdekat
dan diri sendiri masing-masing. Orang tua atau pendidik terhadap anak dan anak didiknya,
pelatih dan manajer terhadap atletnya, partai politik terhadap para kadernya, dan seterusnya.
Jangan mengharap perubahan itu turun dari para pemimpin, menteri, presiden, pengusaha. Ini
tentang sebuah virus yang telah menjangkiti diri kita masing-masing.

Herry Tjahjono Corporate Culture Therapist, Penulis Buku The XO Way: 3 GIANTS & 6
Liliputs, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai