Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PETANDA LABORATORIUM DARAH PADA


PENDERITA TBC
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi
Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

Safira Prinasti (P1337434119009)


Qonita Nur Aini (P1337434119012)
Herlenna Kusuma Wardhani (P1337434119029)
Farasta Aguna Dewangga (P1337434119034)
Aisha Nurul Aini (P1337434119050)

DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya karya tulis ilmiah dengan judul “Petanda Laboratrium Darah
pada Penderita TBC”, Penyusunan makalah ini penulis menyampaikan terimakasih
kepada yang terhormat :

1. Bapak Teguh Budiharjo, S.Tp.M.Si selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan


yang telah memberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Diploma
III Teknologi Laboratorium Medik di Poltekkes Kemenkes Semarang.
2. Ibu Surati.,ST.MSi.,Med selaku Ketua Program Studi DIII Teknologi
Laboratorium Medik yang telah memberikan sarana prasarana terkait dengan
penyusunan karya tulis ilmiah ini.
3. Bapak selaku dosen pengampu mata kuliah bahasa Indonesia serta
pembimbing karya tulis ilmiah ini yang telah memberikan bantuan,
masukan,dan dukungan terkait penyusunan karya tulis ilmiah.

Akhir kata, penulis berdoa semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kepada semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 31 Maret 2020

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terpenting di


dunia.Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai “Global Emergency”. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru Tuberkulosis pada tahun 2002,
dimana 3,9 juta adalah kasus baru BTA (basil tahan asam) positif. Jumlah terbesar
kasus Tuberkulosis terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus
Tuberkulosis di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 128
kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia
Tenggara yaitu 350 kasus per 100.000 penduduk(Aditama, 2006).Diperkirakan
bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman
M.tuberculosis(Darmanto, 2013). Di Indonesia, saat ini diperkirakan terdapat
450.000 penderita Tuberkulosis menular setiap tahunnya (atau suatu prevalensi
sebesar 300/100.000) dengan angka insiden225.000 kasus per tahunnya. Sebagian
besar penderita termasuk dalam kelompok usia produktif, yaitu antara 20-49
tahun (Danusantoso, 2013).Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis
Tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan pada tahun 2013 adalah 0.4 %, tidak
berbeda dengan 2007. Lima provinsi dengan Tuberkulosis paru tertinggi adalah
Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten
(0.4%), dan Papua Barat (0.4%) (Riskesda, 2013).

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu


tahan terhadap pewarnaanasam, sehingga disebut sebagai Basil Tahan
Asam(BTA).Gejala utama tuberkulosis adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan
atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat rendah, nyeri dada dan
batuk darah.Penularan tuberkulosis yaitu melalui percikan dahak (droplet) dari
seorang penderita kepada orang yang berada disekitarnya seperti pada saat
berbicara, batuk, maupun bersin. Kuman tuberkulosis dapat menyebar dari paru-
paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa,
saluran nafas atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.

Pada kasus tuberkulosis paru yang aktif kadar laju endap darah cenderung
meninggi itu disebabkan karena IgG dan IgA meningkat. Oleh karena itu
pemeriksaan laju endap darah pada penderita tuberkulosis dapat dijadikan sebagai
alat pemantau pada perjalanan penyakit infeksi tuberculosis yang aktif.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik ingin melakukan
penelitian dengan judul Pemeriksaan Laju Endap Darah Penderita Tuberculosis
Paru. Laju Endap Darah (LED merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk
darah untuk mengetahui tingkat peradangan dalam tubuh seseorang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemeriksaan LED pada penderita TBC?
2. Bagaimana gambaran darah tepi, Rasio Neutrofil Limfosit (RNL), dan Rasio
Trombosit Limfosit (RTL) pada pasien TBC Depresi?
3. Bagaimana gambaran eritrosit pada penderita TBC?
4. Bagaimana hubungan leukosit dan infeksi TBC?
5. Bagaimana gambaran kadar hemoglobin dan trombosit pada pasien TBC?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dari makalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui pemeriksaan LED pada penderita TBC.
2. Mengetahui gambaran darah tepi, Rasio Neutrofil Limfosit (RNL), dan Rasio
Trombosit Limfosit (RTL) pada pasien TBC Depresi.
3. Mengetahui gambaran eritrosit pada penderita TBC.
4. Mengetahui hubungan leukosit dan infeksi TBC
5. Mengetahui gambaran kadar hemoglobin dan trombosit pada pasien TBC

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)

LED adalah salah satu pemeriksaan darah rutin yang menggunakan sampel
darah yang diperiksan dalam suatu alat tertentu yang dinyatakan dalam
mm/jam,yang bertujuan untuk mendeteksi suatu proses peradangan, infeksi,
sebagai sarana pemantauan keberhasilan terapi dan perjalan penyakit terutama
penyakit kronis misalnya arthritis rheumatoid dan tuberculosis. Secara umum,
saat penyakit radang atau infeksi tersebut makin bertambah parah maka nilai LED
semakin meningkat, sebaliknya pada saat penyakit radang atau infeksi mulai
membaik perlahan-lahan LED akan menurun. (Depker RI, 1989).

Pada kasus tuberkulosis paru yang aktif kadar laju endap darah cenderung
meninggi itu disebabkan karena IgG dan IgA meningkat. Oleh karena itu
pemeriksaan laju endap darah pada penderita tuberkulosis dapat dijadikan sebagai
alat pemantau pada perjalanan penyakit infeksi tuberculosis yang aktif. Proses
pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan
darah kita ke dalam tabung khusus LED dalam posisi tegak lurus selama satu jam.
Sel darah merah akan mengendap ke dasar tabung sementara plasma darah akan
mengambang di permukaan LED-nya.

Danusantoso dalam jurnal Sri Hartini berpendapat bahwa Laju Endap Darah
dijumpai meningkat selama proses inflamasi/peradangan akut, infeksi akut dan
kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi,
dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Bila dilakukan secara
berulang, Laju Endap Darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit
seperti tuberculosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju Endap Darah yang
cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan Laju Endap Darah
dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan Laju
Endap Darah yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu
perbaikan (Gandasoebrata, 2010).

Fungsi pemeriksaan Laju Endap Darah untuk membantu mendiagnosis


perjalanan penyakit dan membantu keberhasilan terapi kronik, misal
tuberculosis.Uji Laju Endap Darah pertama kali ditemukan pada tahun 1897 oleh
seorang Dokter asal Polandia, Edmund Faustyn Biernacki. Pada tahun 1918,
Robert Sanno Fahraeus, seorang patologis dan hematologis asal Swedia,
mengembangkan penemuan Biernacki dan menggunakan uji Laju Endap Darah
untuk uji kehamilan. Selanjutnya pada tahun 1921, Westergreen Alf Vilhelm
memperkenalkan metode Westergreen untuk mengukur kecepatan pengendapan
sel darah merah dalam sebuah artikel mengenai darah dalam tuberculosis pada
paru - paru. (Gandasoebrata, 2010)

a. Pengaruh Infeksi Mycobacterium tuberculosis terhadap nilai Laju Endap


Darah (LED)

Pada umumnya setiap penderita tuberculosis pasien akan mengalami


gejala – gejala umum berupa batuk berdahak lebih dari dua minggu, batuk
berdarah, lemah badan, penurunan berat badan, meningkatnya suhu tubuh,
keringat dimalam hari sering terjadi, berubahnya gambaran hitung leukosit
darah dan meningkatnya laju endap darah (LED) (Soedarto 1995). Nilai LED
umumnya tetap dalam batas normal pada penyakit – penyakit infeksi lokal
yang kecil atau infeksi akut. Sebaliknya LED menjadi sangat meninggi pada
tuberculosis, infeksi kronis, demam reumatik, arthritis, dan nefritis (Depkes
RI, 1989).

Mekanisme dalam pemeriksaan LED adalah fase I, tahap pengendapan


(agregasi) dimana eritrosit saling menyatu atau membentu rouleaux, fase II,
tahap sedimentasi dimana pengendapan eritrosit terjadi secara konstan dan
berlangsung selama 30 menit dengan kecepatan maksimal. Fase III, tahap
pemadatan dimana kumpulan agregat mulai melambat karena terjadi
pemadatan dari eritrosit yang mengendap (Kiswari.S, 2014)).

Pembentukan rouleaux, jika rouleaux banyak terbentuk maka LED


meningkat, dimana dalam hal hal ini di pengaruhi oleh temperatur, letak posisi
pipet, fibrinogen dan globulin yang meningkat (Depkes RI. 1989).

b. Prosedur Kerja Pemeriksaan Laju Endap Darah

Dalam pemeriksaan laju endap darah (LED) pada pasien TBC dilansir
dalam jurnal Sri Hartini menggunakan metode Westergeen. Prinsip dalam
metode ini yaitu darah dicampur dengan antikoagulan dengan perbandingan
tertentu dan dari campuran tersebut dimasukkan kedalam pipet/ tabung yang
telah diketahui ukurannya (dalam ml), kemudian dibiarkan dalam posisi tegak
lurus selama 1 jam, kemudian catat berapa tingi plasma sebagai laju endap
darah.

Dalam pemeriksaan laboratorium tidak terlepas dari komponen-


komponen penting. Komponen-komponen ini berupa alat dan bahan-bahan
untuk menunjang dilaksanakannya pemeriksaan. Dalam pemeriksaan LED
dengan metode Westergen alat-alat yang digunakan yaitu, pipet westergen,
rak westergen, dan spuit 3cc. Adapun bahan-bahan yang digunakan berupa
larutan Natrium sitrat 3.8%(Reagen), darah EDTA. Kemudian langkah kerja
yang dapat dilakukan antara lain:

a) Lakukan fungsi pena dengan spuit steril sebanyak 2cc, masukkn ke


dalam tabung yang berisi larutan anti koagulan EDTA, homogenkan.
b) Dengan spuit steril isap darah sebanyak 1, 6 ml lanjutkan dengan
menghisap sebanyak 0, 4 larutan Na. Citrat 3, 8% sehingga mendapat
2, 0 ml campuran.Campur hingga homogen.
c) Masukkan darah dalam pipet Westergren sampai garis 0 mm, tegakkan
di rak Westegreen dengan posisi tegak lurus, biarkan selama satu jam.
d) Baca tinggi lapisan plasma dengan millimeter dan angka tersebut
sebagai nilai laju endap darah. 7) Nilai Normal. Laki-laki 0 – 15
mm/jam Perempuan 0 – 20 mm/jam.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilansir pada jurnal karya Sri Hartini
penelitian yang dilakukan pada 30 orang pasien Tuberculosis paru terhadap
pemeriksaan LED baik pada laki-laki maupun perempuan menunjukan bahwa
terjadi peningkatan kadar LED. Meningkatnya nilai Laju Endap Darah pada
pasien Tuberculosis paru disebabkan adanya infeksi baik akut maupun kronis.
Dengan kata lain bahwa pertumbuhan kuman mikobakterium tuberkulosa
sedang menyebar atau meluas mencapai puncaknya.

Pada hasil penelitian lain yang diambil dari jurnal karya Hasnawati
mengatakan, berdasarkan nilai Laju Endap Darah yang telah diperiksa
sebanyak 30 sampel dengan BTA positif (+) di Laboratorium Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Makassar mengalami peningkatan nilai LED
berdasarkan derajat positif hasil BTA-nya, walaupun pada penelitian ini
ditemukan peningkatan nilai LED pada pasien TB paru. Tetapi peningkatan
LED tidak selamanya ditemukan pada penderita TB paru saja, Namun pada
dasar peningkatan nilai LED dapat terjadi pada penyakit – penyakit infeksi
lain, oleh sebab itu nilai LED tidak digunakan sebagai penegak diagnosa
tetapi digunakan sebagai penunjang diagnosa. LED merupakan respon
terhadap trauma, inflamasi atau kehamilan yang ditandai dengan peningkatan
kadar globulin dan fibrinogen, peningkatan LED terjadi pula apabila inflamasi
kronik menjadi akut. Pemeriksaan LED secara rutin dapat menunjukkan
perkembangan apakah penyakit diderita mengalami proses penyembuhan
misalnya pada penyakit TB paru dan demam rematik. LED adalah reaksi non
sfesifik dari tubuh, dikatakan demikian karena LED biasa meninggi pada
penyakit-penyakit atau keadaan phatologis apa saja. LED biasanya tetap
dalam batas normal pada penyakit-penyakit appendiatur infeksi setempat yang
kecil, misalnya appendiatur akut dalam fase infeksi pada selaput lendir dengan
sedikit reaksi radang (Afyt, 2011).

Pada penelitian oleh Hasnawati ini, didapatkan nilai LED yang amat
meningkat pada semua sampel darah berdasarkan derajat gradasi BTA-nya.
Semakin tinggi derajat gradasi BTA-nya maka semakin tinggi pula nilai LED-
nya karena di sebabkan oleh beratnya infeksi yang diderita oleh pasien
tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada tabel 1 dimana nilai LED dipengaruhi
oleh beratnya infeksi Mycobacterium tuberculosis dengan nilai LED ratarata
di atas normal, meningkat sesuai dengan derajat gradasi BTA dari pasien
tersebut, dimana nilai LED dari sampel BTA +2 lebih tinggi dari nilai LED
dengan BTA +1 begitupun dengan sampel BTA +3 lebih tinggi

dari nilai LED dengan BTA +2. Peningkatan LED dapat di pengaruhi
oleh beberapa faktor di antaranya adalah faktor eritrosit, alat, suhu, tempat
dan tehnik pemeriksaan LED. Perubahan konsentrasi kandungan protein
plasma seperti fibrinogen dan globulin yang menyertai sebagian besar infeksi
akut dan kronis cenderung akan meningkatkan pembentukan rouleaux. Oleh
karena itu, peningktan fibrinogen disebabkan oleh kerusakan jaringan seperti
tuberculosis dan infeksi kronis lainnya akan menyebabkan peningkatan LED.
Menurut Kalma, Bakhri.S, dkk, (2015) Pembentukan rouleaux di mana sel
darah merah saling berdekatan seperti tumpukan koin, jika rouleaux banyak
terbentuk maka LED meningkat, dimana dalam hal hal ini di pengaruhi oleh
temperatur, letak posisi pipet, fibrinogen dan globulin yang meningkat
(Depkes RI. 1989).

B. Gambaran Darah Tepi, Rasio Neutrofil Limfosit, dan Rasio Trombosit


Limfosit pada Pasien TBC Depresi
Saat ini, telah banyak penelitian yang dikembangkan untuk menilai
status penyakit maupun prognosis pasien dengan menggunakan pemeriksaan
darah tepi sederhana yang dapat menilai proses inflamasi sistemik. Rasio
neutrofil-limfosit (RNL), dan rasio trombosit-limfosit (RTL) merupakan
pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk menentukan prognosis
pasien terkait kondisi inflamasi sistemik dalam berbagai situasi klinik. Studi-
studi sudah menemukan adanya peningkatan nilai RNL pada berbagai
gangguan mood termasuk depresi, dan hal ini terkait dengan beratnya derajat
depresi dan peningkatan risiko kardiovaskular. Studi yang dilakukan oleh
Kayhan, dkk. juga menemukan nilai RTL terkait dengan depresi berat yang
disertai dengan gejala psikotik. Namun, studi-studi lain terkait dengan RTL
pada pasien depresi belum menemukan hubungan yang signifikan terkait
kondisi inflamasi yang terjadi pada depresi.
Berdasarkan hasil penelitian pada jurnal karya Hamzah, Reinaldo, dkk
(2019) menggunakan metode desain potong lintang dari 106 pasien TB paru
tidak resisten obat yang menjadi subjek penelitian, didapatkan proporsi
depresi sebesar 32%. Didapatkan nilai leukosit lebih rendah pada pasien TB
paru dengan depresi (p=0,024), dan juga nilai limfosit absolut yang lebih
rendah pada pasien TB paru dengan depresi (p=0,004) bila dibandingkan
dengan subjek tanpa depresi. Rasio neutrofil – limfosit (RNL) dan RTL tidak
berhubungan signifikan secara statistik (p>0,05) dengan beratnya derajat
depresi.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa nilai hitung leukosit dan
limfosit pada pasien TB paru dengan depresi lebih rendah dibandingkan
pasien tanpa depresi. Nilai RNL dan RTL pada pasien depresi dengan TB paru
lebih tinggi walaupun tidak signifikan secara statistik.

C. Gambaran Eritrosit pada Penderita TBC

Pemeriksaan indeks eritrosit dapat dilakukan dengan pemeriksaan


automatic menggunakan metode hematologi analyzer dan dengan metode
manual seperti menghitung jumlah eritrosit , Hb, Hct, menghitung jumlah dan
jenis eritrosit secara manual.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sadewo Wahyu S, dkk


(2012) tentang Gambaran Status Anemia pada Pasien TBC di Unit
Pengobatan Penyakit Provinsi Kalimantan Barat dengan penelitian metode
deskriptif, desain penelitian cross section sampel berjumlah 692 orang pada
kelompok usia 25-34 tahun. Dengan kesimpulan pemeriksaan bahwa anemia
terjadi pada 76% pasien TBC dan klasifikasi anemia normokrom normostik
adalah yang paling banyak ditemukan.

Adapun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhartati.R dan


Yuzril Alwi (2015) tentang Gambaran Indeks Eritrosit pada Pasien
Tuberkulosis dengan metode deskriptif, sampel berjumlah 20 orang. Dengan
kesimpulan volume sel rerata (MCH) hipokrom normostik 10%, hemoglobin
sel rerata (MCHC) hipokrom mikrostik 20%, hiperkrom makrositik 10%,
normokrom 5% dan pada konsentrasi hemoglobin sel rerata (MCV)
normokrom normositik 55%.

Dengan demikian dapat disimpulan bahwa penderita TBC lebih


banyak mengalami anemia normokrom normostik. Hal ini dikarenakan bakteri
yang sudah masuk kedalam eritrosit akan mempengaruhi produksi
pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang sehingga fungsi Hb terganggu
dan menyebabkan terjadinya anemia. Tidak hanya Hb yang terganggu namun
nilai indeks eritrosit juga dapat menyebabkan anemia karena mempengaruhi
MCV, MCH, dan MCHC.

Hasil penelitian indeks eritrosit pada penderita TBC oleh Asa


Qorrotulain sebagian besar didapatkan mikrositik hipokrom. Menurut peneliti
Obat Anti Tuberkulosi (OAT) mempunyai efek samping bagi tubh karena
mengkonsumsi obat secara terus menerus selama pengobatan yang dapat
menyebabkan penumpukan obat didalam tubuh yang dapat berpengaruh pada
eritrosit terutama pada indeks eritrosit. Hal tersebut sesuai dengan teori
Thuraidah 2017 pada kutipan (Istiantoro YH & Setiabudy R, 2010) Isoniazid
(INH) dan rifampirin adalah obat yang dapat menyebabkan anemia
hemolitikdengan mekanisme kompleks imun, obat antibody mengikat
membrane sel darah merah dan penghancuran sel darah merah. Oleh karena
itu, semakin menurun hitung sel darah merah.

D. Hubungan Leukosit dan Infeksi TBC

Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih yang pada sel
orang dewasa, biasanya lebih dari 11.000/ml. Leukosit terdiri dari sekumpulan
granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil), monosit dan limfosit. Setiap
gangguan yang terjadi baik sendiri-sendiri maupun kombinasi dapat
menyebabkan peningkatan sel darah putih. Leukositosis dapat merupakan
proses yang akut maupun kronik. Paling sering disebabkan oleh respon
fisiologis sumsum tulang normal terhadap rangsang infeksi ataupun inflamsi.

Sekitar ¾ sel nucleus di sumsum tulang bertanggung jawab terhadap


produksi leukosit. Setiap hari sekitar 1,6 miliar/kg berat badan leukosit
dihasilkan dan lebih dan lebih dari separuhnya adalah netrofil. Hitung jenis
leukosit darah perifer merupakan perhitungan tidak langsung total leukosit
tubuh karena hanya 2%-3% leukosit total berada di dalam pembuluh darah:
90% leukosit disimpan di sumsum tulang dan 7%-8% disimpan di jaringan
lain. Hitung leukosit terhadap hitung darah lengkap di darah tepi dipengaruhi
oleh (1) ukuran tempat penyimpanan; (2) rerata pelepasan leukosit dari tempat
penyimpanan; (3) leukosit di sirkulasi; dan (4) rerata migrasi ked an konsumsi
leukosit di jaringan perifer.

Inflamasi kronik dapat menyebabkan leukositas terutama peningkatan


produksi neutrophil dan monosit. Cadangan netrofil matang akan dihabiskan
seiring dengan berjalannya inflamasi dan kompartemen myeloid sumsum
tulang akan meningkatkan produksi netrofil. Berbagai macam sitokin (TNF-α,
granulocyte colony-stimulating factor G-CSF, granulocyte-macrophage
colony- stimulating factor/ GM-CSF, macrophage inflammatory protein-
1/MIP-1, IL-1, IL-6, dan IL-8) ikt berperan dalam stimulasi sumsum tulang.

Infeksi bakteri umumnya menyebabkan leukositas ringan sampai


sedang (11.000-30.000/ml), dengan dominasi netrofil matur dan berkelompok.
Granulositosis biasanya berlangsung cepatdan berkaitan dengan pergeseran ke
kiri serta granulasi tosis atau badan Dohle (Dohle bodies). Hitung leukosit
dapat meningkat pada keadaan sepsis serta beberapa pasien dengan infeksi
Clostridium difficile atau TB dapat menimbulkan reaksi leukemoid dengan
hitung leukosit lebih dari 50.000/ml. Infeksi virus tidak secara khas
menyebabkan netrofilia tetapi leukositosis dapat terjadai pada faseawal infeksi
virus.

Leukositosis lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit TB


lanjut dibandingkan pada TB parun minimal.Selain itu dapat ditemukan pada
netrofilia relative atau absolut pada 29%-57% pasien TB paru. Leukopenia
ringan jarang ditemukan atau hanya sekitar 1,5%-4% pasien dengan hitung sel
darah putih kurang dari 4.000/ml. Terdapat penurunan absolut atau relative
hitung limfosit perifer pada pasien TB paru sejumlah 17%-40% pasien
menunjukan hitung limfosit absolut sebesar 1.500 atau kurang. Presentase
limfosit perifer sekitar kurang dari 20% yang ditemukan pada 21% pasien
dengan penyakit minimal, 32% dengan penyakit sedang dan 47% dengan
penyakit lanjut. Monositosis ringan absolut atau relative ditemukan pada 29%-
60% pasien.

E. Gambaran Kadar Hemoglobin dan Trombosit pada Pasien TBC


Sel darah merah berfungsi mengangkut O2 ke jaringan dan
mengembalikan (CO2) dari jaringan ke paru, untuk mencapai hal ini sel darah
merah mengandung protein spesial yaitu hemoglobin. Tiap sel darah merah
mengandung 640 juta molekul hemoglobin (Hb). Nilai umum kadar Hb
adalah kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa dan kurang dari 11,5 g/dL
pada wanita dewasa, penurunan kadar Hb dibawah nilai normal didefinisikan
sebagai anemia.4Anemia adalah fitur utama pada pasien dengan infeksi
bakteri, terutama infeksi yang berlangsung lebih dari satu bulan, termasuk
tuberkulosis paru di mana mekanisme yang tepat dari anemia pada TB paru
tidak jelas diketahui. Pada pasien TB paru meningkatnya level Hb digunakan
sebagai penanda respon pengobatan.
Trombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu
pembentukan dan stabilisasi sumbat trombosit. Pembentukan sumbatan
trombosit terjadi melalui beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi
trombosit dan reaksi pelepasan. Trombositosis reaktif ditemukan dalam
sejumlah situasi klinis termasuk penyakit menular seperti tuberkulosis paru.
Trombositosis TB paru merupakan indeks hematologi yang penting dan fitur
biasa dalam penilaian prognosis penyakit. Trombositopenia pada TB biasanya
adalah komplikasi dari terapi, Rifampin telah diketahui sebagai penyebab
trombositopenia.

Kadar Hemoglobin merupakan indikator untuk menentukan seseorang


menderita anemia atau tidak. Dilansir dalam jurnal penelitian karya Nathalian,
Linda dkk (2014) hasil distribusi Hemoglobin pada pasien TB paru terdapat
44 pasien (65,67%) dengan kadar Hb dibawah normal atau anemia. Pada
pasien laki-laki sebanyak 26 pasien (39%) dan perempuan 18 pasien (27%)
mengalami anemia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sei Won
Lee dkk, dari 281 pasien (31,9%) yang didapati anemia, 133 pasien (28,2%)
adalah laki-laki dan 148 pasien (36,3%) adalah perempuan. Supresi
eritropoiesis oleh media inflamasi adalah faktor penyebab anemia dan
defisiensi nutrisi dapat memperburuk anemia. Menurut Hiswani yang dikutip
dari WHO, penderita TB paru cenderung lebih tinggi daripada laki-laki
dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih
tinggi karena merokok tembakau dan minum alcohol sehingga menurunkan
sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar agen penyebab TB
paru.

Sedangkan kadar Trombosit merupakan indeks hematologi yang


penting dan fitur biasa dalam penilaian prognosis penyakit. Berdasarkan
penelitian yang diambil pada jurnal karya Nathalian, Linda dkk (2014)
distribusi kadar trombosit pada TB paru sebagian besar hasilnya normal
sebanyak 50 pasien (74,62%), tetapi masih ditemukan trombositopenia
sebanyak 4 pasien (5,97%) dan trombositosis sebanyak 13 pasien (19,40%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Unsal E dkk, dari 62 pasien yang
terdiagnosis TB paru, 27 pasien (43,54%) dengan kadar trombosit normal dan
35 pasien dengan trombositosis. Pada sejumlah kasus infeksi dan inflamasi,
trombositosis reaktif sering ditemukan sebagai respon sistem inflamasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Oehadian A, 87,5% pasien dengan
trombosit normal dan 12,5% pasien trombositopeni menyatakan kelainan
hematologi dapat disebabkan karena proses infeksi tuberkulosis atau kelainan
dasar hematologis yang sudah ada sebelumnya.

Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa kadar hemoglobin


pada penderita TB paru ditemukan terbanyak dengan kadar Hb yang rendah
atau anemia, sedangkan jumlah trombosit pada penderita TB paru ditemukan
terbanyak dengan jumlah trombosit normal.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan simpulan dapat diambil bahwa pemeriksaan


LED dapat dilakukan dengan menggunakan metode Westergeen, dimana hasil
yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilansir pada beberapa jurnal
menunjukkan bahwa laju endap darah (LED) pada seorang penderita TBC
menurun atau melambat. Sedangkan untuk gambaran darah tepi, Rasio
Neutrofil Limfosit, dan Rasio Trombosit Limfosit pada pasien TBC depresi
nilai hitung leukosit dan limfosit pada pasien TB paru dengan depresi lebih
rendah dibandingkan pasien tanpa depresi. Nilai RNL dan RTL pada pasien
depresi dengan TB paru lebih tinggi walaupun tidak signifikan secara statistik.
Untuk gambaran eritrosit pada penderita TBC bahwa penderita TBC lebih
banyak mengalami anemia normokrom normostik. Hal ini dikarenakan bakteri
yang sudah masuk kedalam eritrosit akan mempengaruhi produksi
pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang sehingga fungsi Hb terganggu
dan menyebabkan terjadinya anemia. Tidak hanya Hb yang terganggu namun
nilai indeks eritrosit juga dapat menyebabkan anemia karena mempengaruhi
MCV, MCH, dan MCHC. Sdangkan untuk gambaran kadar Hb dan trombosit
pada pasien TBC berdasarkan penilitian dinyatakan bahwa kadar hemoglobin
pada penderita TB paru ditemukan terbanyak dengan kadar Hb yang rendah
atau anemia, sedangkan jumlah trombosit pada penderita TB paru ditemukan
terbanyak dengan jumlah trombosit normal.
B. Saran
Sebaiknya pembaca mampu mengindari penularan penyakit TBC dan
menjaga kesehatan tubuh. Pembaca mampu mengetahui seberapa bahayanya
penyakit TBC sehingga mampu bermawas diri. Dengan menjaga pola hidup
sehat dan mengontrol kesehatan dengan mengecek kesehatan di laboratosium
kesehatan berapa bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai