Anda di halaman 1dari 8

Bernard M.

Bass (1990) membagi kepemimpinan menjadi dua tipe, yaitu


kepemimpinan transformasional dan transaksional. Karakteristik dari kedua
kepemimpinan tersebut tergantung pada standar perilaku, nilai, dan moral dari
individu pemimpin. Pada kepemimpinan transaksional, terdapat transaksi atau
pertukaran dalam hubungan antara pemimpin dan bawahannya. Pemimpin
memberi janji dan imbalan untuk kinerja yang baik atau ancaman dan hukuman
untuk kinerja yang buruk kepada bawahan.
Pada kepemimpinan transformasional, hubungan antara pemimpin dan bawahan
lebih condong pada timbal balik dan berdasarkan pada kepercayaan. Pemimpin
meluaskan dan mengangkat minat bawahan dengan memberikan motivasi dan
perhatian yang tinggi dan juga dengan membangkitkan kesadaran bagi bawahan.
Situasi ini menunjukkan kecenderungan dari pemimpin dan bawahan untuk
melihat satu sama lain sebagai kolega atau teman sejawat dan di antara mereka
memiliki kerja sama yang kuat. Pada tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk
membuat refleksi gaya kepemimpinan atasan berdasarkan pada definisi
kepemimpinan menurut Bass. Refleksi yang penulis buat ini tidak terlepas dari
interaksi penulis dengan atasan.

Definisi Kepemimpinan Menurut Bass


Bass menerima pandangan bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah
melakukan apa yang pemimpin ingin lakukan. Disebutkan di dalam
bukunya, Bass and Stogdill's Handbook of  Leadership (1990), bahwa
kepemimpinan adalah "an interaction between  two or more members of a group
that often involves a structuring or restructuring of the situation and the
perceptions and expectations of the members". Pemimpin adalah agen perubahan,
yaitu seseorang yang bertindak mempengaruhi orang lain lebih dari tindakan
orang lain mempengaruhi dirinya. Kepemimpinan terjadi ketika satu anggota
kelompok mengubah motivasi atau kompetensi orang lain dalam kelompoknya
tersebut.
Pada bukunya yang lain, "Leadership and Performance
Beyond Expectation", Bass (1985) sepertinya juga menyamakan kepemimpinan
dengan seorang pemimpin yang mendapatkan "kinerja melebihi dari yang

1
diharapkan" dari para pengikutnya. Definisi ini diambil melalui
pernyataannya: "to sump up, we see transformational leader as one
who motivates us to do more than we originally expected to do".
Bass (1985) mengusulkan bahwa "untuk mencapai kinerja pengikut
melebihi dari batas biasa, kepemimpinan harus transformasional". Kinerja
kepemimpinan superior adalah kepemimpinan transformasional (Bass, 1990). Hal
ini terjadi ketika "pemimpin memperluas dan meningkatkan minat dari para
karyawannya, ketika mereka membangkitkan kesadaran dan penerimaan terhadap
tujuan dan misi kelompok, dan ketika mereka mengarahkan para karyawannya
untuk melihat melebihi dari kepentingan pribadi mereka demi kebaikan
kelompok" (Bass, 1990).
Menurut Bass (1985), tingkat di mana seorang pemimpin adalah
transformasional diukur terutama berkaitan dengan pengaruh pemimpin terhadap
pengikutnya. Pemimpin mengubah dan memotivasi pengikut dengan: (1)
membuat mereka menyadari pentingnya hasilhasil tugas (task outcomes), (2)
membujuk mereka untuk melebihi kepentingan pribadi mereka demi organisasi
atau tim, dan (3) mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang lebih tinggi.
Bass (seperti dikutip dalam Tracey dan Hinkin, 1998) mengusulkan bahwa
kepemimpinan transformational terdiri dari "4 I". Dimensi pertama
adalah idealised influence, digambarkan sebagai perilaku yang menghasilkan rasa
bangga pengikut, rasa hormat, dan kepercayaan. Idealised influence termasuk
pembagian risiko (risk sharing) pada bagian si pemimpin, pertimbangan
kebutuhan pengikut melebihi dari kebutuhan personal, dan perilaku etis dan moral
(ethical and moral  conduct). Dimensi kedua adalah inspirational motivation.
Dimensi ini direfleksikan dengan perilaku yang memberikan arti dan tantangan
bagi para pengikut, misalnya menyampaikan harapan-harapan yang jelas dan
menunjukkan komitmen terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. Dalam
aspek ini, semangat tim (team spirit) dibangkitkan melalui antusiasme dan
optimisme. Dimensi ketiga adalah intellectual stimulation. Pemimpin
menstimulasi ide-ide baru dan daya inovatif para pengikut, mendorong
penyelesaian permasalahan secara kreatif, dan menstimulasi para pengikut untuk
menghasilkan dan menggunakan pendekatan-pendekatan baru dalam penyelesaian

2
pekerjaan. Dimensi keempat adalah individual consideration. Dimensi ini
ditunjukkan oleh pemimpin yang mau mendengarkan para pengikutnya dengan
penuh perhatian, memperlakukan mereka secara individual, dan memberikan
perhatian khusus bagi pencapaian prestasi dan pemenuhan berbagai kebutuhan
pengembangan diri (growth needs).
Bass (1990) membagi kepemimpinan menjadi dua, yaitu kepemimpinan
transformasional dan kepemimpinan transaksional. Berikut ini adalah
karakteristik-karakteristik yang dapat disimpulkan dari kedua kepemimpinan
tersebut:
1. Kepemimpinan Transaksional
a. Imbalan kontingensi, yaitu adanya kontrak pertukaran imbalan
untuk berbagai upaya yang dilakukan bawahan, seperti
menjanjikan imbalan untuk kinerja yang baik dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
b. Manajemen dengan pengecualian secara aktif (active management
by exception), yaitu kecenderungan pemimpin untuk mengamati
dan mencari berbagai penyimpangan dari standar dan prosedur,
dan untuk mengambil tindakan koreksi untuk kelompok yang
dipimpinnya.
c. Manajemen dengan pengecualian secara pasif
(passive management by exception), yaitu kecenderungan dari
pemimpin untuk turun tangan atau mengintervensi hanya ketika
prosedur dan standar tidak terpenuhi.
d. Laissez-faire, yaitu perilaku para pemimpin untuk menghindari
pembuatan keputusan atau melepaskan tanggung jawab mereka.
2. Kepemimpinan Transformasional
a. Karisma atau pengaruh ideal, di mana pemimpin memberi sense of
mission dan sense of vision, menanamkan rasa bangga dan
memperoleh rasa hormat dan kepercayaan.
b. Kepemimpinan inspirasional, di mana pemimpin memberikan ide-
ide yang jelas dan harapan yang tinggi, menyimbulkan upaya

3
sebagai fokus, dan memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
tujuan-tujuan penting dalam berbagai cara yang sederhana.
c. Stimulasi intelektual, di mana pemimpin mendorong kecerdasan,
rasionalitas dan penyelesaian masalah.
d. Pertimbangan individual, di mana pemimpin memberikan
perhatian personal, melatih, menasihati para pengikut, dan
memperlakukan setiap pengikut secara individual.
Bass (1990) berargumentasi bahwa kepemimpinan transformasional lebih
efektif dibanding kepemimpinan transaksional dipandang dari sisi kontribusi
pemimpin transformasional yang lebih banyak dalam memotivasi para anggota
kelompoknya dibandingkan dengan pemimpin transaksional. Relatif terhadap
bawahan, pemimpin transformasional memberikan lebih banyak kepuasan
dibanding pemimpin transaksional karena para bawahan tidak hanya
membutuhkan untuk dibayar setelah menyelesaikan pekerjaan, tetapi mereka juga
membutuhkan perhatian, stimulasi intelektual dan nasihat yang diperoleh dari
pemimpin mereka.
Relatif terhadap isu gender, Bass (1999) menulis bahwa perempuan cenderung
untuk lebih transformasional dibanding laki-laki. Berdasarkan pada penelitian,
pemimpin perempuan memberikan efektivitas dan kepuasan lebih jika
dibandingkan dengan laki-laki menurut para bawahan.
Bass (1999) juga menggarisbawahi pengaruh pengembangan moral dan
personal serta pelatihan dan pendidikan dalam kepemimpinan transformasional.
Pengembangan moral dan personal sebagaimana orang tua menerapkan standar
moral yang tinggi, memberikan perhatian dan tantangan, dan kegiatan-
kegiatan extra curricular yang memberikan kesempatan-kesempatan untuk
bertindak sebagai anak muda dewasa yang mempengaruhi orang lain untuk
menjadi transformasional. Dengan memberikan teori implisit tentang pemimpin
ideal, pelatihan dan pendidikan dapat mempengaruhi kemauan dan kemampuan
individu untuk menjadi pemimpin transformasional.

Refleksi Kepemimpinan Atasan Berdasar Pada Definisi Kepemimpinan


Menurut Bass

4
Sebagai individual, kepemimpinan transformasional sepertinya lebih banyak
teraplikasikan pada diri penulis dibandingkan kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memberikan lebih
banyak sentuhan manusia pada kelompok atau organisasi, seperti perhatian,
fleksibilitas dan kecerdasan daripada kepemimpinan transaksional yang cenderung
lebih birokratik, di mana para anggotanya diperlakukan seperti mesinmesin.
Kepemimpinan transformasional tidak hanya memberikan manfaat dalam
bentuk nyata (tangible benefits), seperti pertumbuhan pendapatan dan keuntungan,
tetapi juga manfaat dalam bentuk tidak nyata (intangible benefits), yaitu bagi
pengembangan diri dari dalam, seperti misalnya kecerdasan dan kepuasan. Penulis
pribadi lebih memilih untuk bekerja dalam sebuah kelompok atau organisasi yang
di dalamnya para anggota dan pemimpin membangun hubungan kebersamaan
(mutual relationship) berdasarkan pada kepercayaan dan dukungan karena
kelompok atau organisasi tersebut dapat meningkatkan fleksibilitas dan kepuasan
yang lebih bagi para anggotanya. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa
menjadi pemimpin sebaiknya lebih transformational dibandingkan transaksional.
Atasan saya laki-laki, Kepala Seksi Pemetaan dan Pengendalian
Penduduk. Atasan saya orang Sunda dibesarkan di lingkungan Sunda. Nilai-nilai
Sunda menjadi salah satu bagian dari nilai-nilai yang atasan saya miliki sekarang.
Di dalam tradisi Sunda, sifat melindungi adalah nilai yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin. Pemimpin memiliki kewajiban untuk mengikat pertalian
secara personal dengan anak buah seperti pertalian atau hubungan dalam sebuah
keluarga (Mulder, 1994).
Pemimpin harus membuat orang lain percaya pada dia (ing ngarsa sung
tuladha), membangkitkan semangat dan kreativitas (ing madya mangun karsa),
serta mendorong inisiatif dan tanggung jawab pada diri anak buahnya (tut wuri
handayani). Kewajiban-kewajiban pemimpin seperti ini sepertinya mirip dengan
karakteristik dari pemimpin transformasional yang dikemukakan oleh Bass, yaitu
karisma atau pengaruh ideal, stimulasi intelektual dan motivasi inspirasional.
Nilai lain yang harus dimiliki seorang pemimpin Sunda adalah tanggung jawab,
yaitu memberikan simpati kepada anak buah (tepa slira) dengan membangkitkan
perasaan kecintaan dan kebanggan (wedi-asih) yang mirip dengan pertimbangan

5
individual pada karakteristik pemimpin transformational. Di dalam tradisi Sunda,
pada gilirannya kita menjadi anak buah, maka kewajiban moral adalah nilai yang
harus dipegang, yaitu untuk mematuhi dan mengikuti apa yang menjadi keinginan
sang pemimpin. Nilai-nilai kepemimpinan Sunda ini mempengaruhi perjalanan
kehidupan pembelajaran atasan yang dikuatkan oleh contoh teladan perilaku orang
tua atasan yang merupakan ASN juga yang sering diceritkan kepada kita-kita
bawahannya, orang tua selalu meminta atasan saya untuk bisa menjadi contoh
teladan.
Atasan saya dengan saya dan staf lain memperlakukan kita sperti satu
keluarga. Kadang atasan bercerita tentang hidup dan kehidupan masa sulit,
menjaga anak-anak dari kakak beliau ketika mereka pergi ke tempat lain, menjaga
rumah tetap bersih dan rapi, serta membantu kakak-kaka menyelesaikan pekerjaan
rumah atau berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Cara bagaimana kedua
orang tua penulis dalam memperlakukan penulis seperti seorang pemimpin
tersebut menjadi salah satu faktor juga yang mempengaruhi bagaimana atasan
saya lebih berperilaku transformasional dibandingkan transaksional.
Sejak kecil atsan sudah menjadi terbiasa untuk membantu orang tua dan
kakak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi,
memahami perasaan mereka, mendengarkan mereka, dan bahkan memotivasi
mereka. Situasi seperti ini tentunya mengasah atasan untuk memiliki dan
meningkatkan karakteristik-karakteristik kepemimpinan transformasional yang
ada pada diri atasan saya. Cantor dan Bernay (1992) ternyata setuju bahwa
keluarga memang pendukung terbaik bagi perbaikan dan kemajuan diri bagi
seluruh anggota di dalam keluarga.
Sebagai seorang atasan, menurut penulis, kepemimpinan transformasional
lebih cocok pada atasan saya dibandingkan kepemimpinan transaksional karena
dalam berhubungan dengan orang lain atasan saya lebih cenderung untuk
menekankan nilai-nilai hubungan baik dan pertemanan. Meskipun pada dasarnya
penulis juga setuju bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional perlu juga
dimiliki oleh atasan saya, seperti misalnya memberikan reward staf ketika mereka
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tetapi bagi penulis hal tersebut tidak
cukup. Penulis lebih suka melihat atasan saya sebagai kolega atau teman sejawat

6
dan berusaha membangun hubungan kebersamaan di antara kita di seksi pemetaan
dan pengendalian penduduk. Kadang atasan juga kepada staf-staf untuk
memberikan simpati kepada staf, memberikan saran dan perhatian di dalam atau
di luar proses penyelesaian tugas-tugas pekerjaan, misalnya dengan
membicarakan berbagai hal tentang kehidupan personal, tentang permasalahan-
permasalahan yang dihadapi, dan sebagainya. Kecenderungan atasan berperilaku
terhadap orang lain menggunakan cara-cara keadilan seperti tersebut ternyata
didukung oleh Klenke (1996) yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung
menggunakan cara-cara keadilan (justiceoriented ways).
Simpulan
Berdasarkan pada dua tipe kepemimpinan yang dikemukakan oleh Bass tersebut,
kepemimpinan transformasional sepertinya lebih teraplikasi pada atasan saya
dibandingkan kepemimpinan transaksional, karena kepemimpinan
transformasional memberi nilai-nilai yang sama yang atasan saya miliki.
Meskipun demikian, penulis yakin bahwa kepemimpinan transformasional tidak
dapat diterapkan secara pasti pada setiap kelompok atau organisasi di tempat
kantor saya. Seperti yang disampaikan oleh Bass (1985) bahwa kepemimpinan
transaksional dan transformasional secara konseptual berbeda, akan tetapi
keduanya tidak saling eksklusif sehingga seorang pemimpin dapat menggunakan 
gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional pada waktu dan situasi
yang berbeda. Oleh karena itu, menurut penulis bisa jadi kepemimpinan yang
terbaik adalah kepemimpinan yang transaksional sekaligus transformasional.
Kepemimpinan transformational menambah efektivitas kepemimpinan
transaksional, kepemimpinan transformasional melengkapi kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan transformasional tidak menggantikan atau
meniadakan kepemimpinan transaksional.
 
References
Bass, B.M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectation. New
York: The Free Press.
Bass, B.M. (1990). Bass & Stodgill's Handbook of Leadership: Theory,
Research, and Managerial Applications. Third Edition. New York: The Free

7
Press.
Bass, B.M. (1990). From transactional to transformational leadership: learning to
share vision. Organizational Dynamics, 18(3), 19-31.
Bass, B.M. (1995). Concept of leadership. In Pierce, J.L. and J.W. Newstrom
(eds.), Leaders and Leadership Process. Boston, MA., Irwin.
Bass, B.M. (1999). Two decades of research and development in transformational
leadership. European Journal of Work and Organizational Psychology, 8(1), 9-
32.
Cantor, D.W. and Bernay, T. (1992). Women in Power. Houghton Mifflin
Company, New York.
Klenke, K. (1996). Women and Leadership: A Contextual Perspective, Springer
Publishing Company Inc., New York.
Mulder, N. (1994). Yhe Ideology of Javanese-Indonesian Leadership. In H.
Antlöv and Sven Cederroth (eds.). Leadership on Java: Gentle Hints,
Authoritarian Rule. Curzon Press, Ltd., Surrey.
Tracey, J.B. and Hinkin, T.R. (1998). Transformational leadership or effective
managerial practices? Group and Organisation Management, 23 (3), 220-236.

Anda mungkin juga menyukai