Anda di halaman 1dari 4

Perkembangan teknologi berjalan pesat dan mulai menjangkau segala hal, termasuk bidang

kesehatan. Sebagian besar ilmuwan percaya bahwa teknologi hadir dengan tujuan
‘rehumanize’, memanusiakan manusia dan menciptakan kualitas hidup terbaik bagi manusia
dengan cara meminimalisir penderitaan dan meningkatkan harapan hidup baik melalui cara
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF) merupakan suatu teknologi kesehatan di bidang
reproduksi yang sejalan dengan hak manusia untuk memiliki keturunan. Teknik bayi tabung
merupakan teknik pembuahan in vitro, yaitu sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita.
Teknologi ini pertama kali berhasil dipraktikkan pada tahun 1970, bermula dari
ditemukannya teknik awetan sperma dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat
Fahrenheit. Dengan adanya teknologi ini, para pasangan infertil memiliki harapan untuk
memiliki keturunan yang tetap berasal dari benih mereka. 1,2
Sejalan dengan perkembangan teknologi reproduksi, masyarakat saat ini mulai berorientasi
untuk mendapatkan anak yang sehat, salah satunya melalui diagnosis prenatal. Identifikasi
kecacatan janin sejak masih dalam kandungan melalui USG atau prosedur amniosintesis
mulai dikembangkan. Hal tersebut dapat menjadi polemik seandainya ditemukan kecacatan
pada anak yang dikandung, akankah dilanjutkan hidupnya atau sebaliknya digugurkan.
Pre-implantation genetic diagnosis (PGD) atau Pre-implantation genetic screening (PGS)
muncul untuk mengatasi polemik tersebut. PGD dikembangkan untuk mengetahui profil
genetik embrio agar dapat dilaku- kan seleksi sebelum implantasi sehingga dianggap lebih
manusiawi. Teknik ini sering ditujukan untuk menghindari anak cacat lahir dari orang tua
berisiko pada program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF).2
Namun, selain memberikan kemudahan, PGD berpotensi menimbulkan polemik dan dilema
di bidang etika. Perubahan konsep definisi mengenai anak, kesempurnaan anak sebagai
ciptaan Tuhan, arti kehamilan, persalinan,dankehidupansuciyangberfokus pada produksi
manusia merupakan risiko yang mungkin terjadi. Masalah lain seperti pemilihan jenis
kelamin, jual beli embrio, dan eugenika pun berisiko untuk berkembang.
PGD (Pre-implantation Genetic Diagnosis) merupakan teknik screening genetik embrio yang
akan ditanam pada teknologi repro- duksi bayi tabung/in-vitro fertilization (IVF).2 Sperma
dan telur dibuahi dengan teknik in vitro (di luar tubuh ibu). Pada PGD, teknik IVF adalah
intracytoplasmic sperm injection (ICSI), yaitu single sperma diambil dan disuntikkan ke
dalam sel telur hingga menjadi embrio.2
Embrio yang diperoleh akan dikembangkan dalam laboratorium selama tiga hari menjadi
delapan sel. Pada tahap ini, embrio berpotensi berkembang menjadi beberapa jaringan tubuh
yang dikenal dengan totipoten. Satu atau dua sel tersebut kemudian diambil untuk sampel in
vitro yang disebut dengan embrio biopsi.2,3
Sel embrio biopsi tersebut dapat diperiksa dengan dua metode, yaitu metode polymer chain
reaction (PCR) dan fluorosence in situ hybridization (FISH). Jika abnormalitas genetik
berkaitan dengan single DNA, maka dilakukan skrining PCR. Sedangkan, jika abnormalitas
berhubungan dengan abnormalitas kromosom atau untuk menentukan jenis kelamin
(kromosom Y) embrio, maka digunakan FISH.2,3

Pada tahun 1990, PGD pertama kali di- gunakan untuk genetic screening pada mutasi cystic
fibrosis. Seiring dengan per- kembangannya, PGD mulai dilakukan pada penyakit genetik
dan ireversibel seperti sickle-cell anemia, Tay-Sachs, Duchenne’s muscular dystrophy, dan
beta-thallasemia. Beberapa tujuan PGD antara lain:2-5
1. Monogenic Disorder
Saat ini, PGD banyak digunakan untuk gangguan monogenik, yaitu gangguan kromosom
karena gen tunggal (autosomal resesif, autosomal dominan atau X-linked). PGD akan
mengidentifikasi embrio pembawa penyakit genetik atau kelainan kromosom, agar dapat
menghindari kelahiran anak yang sakit. Penyakit gangguan autosomal resesif yang paling
sering didiagnosis adalah cystic fibrosis, thalassemia beta, penyakit sel sabit, dan atrofi otot
tulang belakang tipe 1. Penyakit autosomal dominan yang paling umum adalah miotonia
distrofi, penyakit Huntington, dan penyakit Charcot-Marie- Tooth, sedangkan kasus yang
berhubungan dengan kromosom X adalah hemofilia A dan muscular distrophy Duchenne.
PGD juga sekarang sedang dilakukan untuk penyakit multiple exostoses herediter
(MHE/MO/HME). Selain itu, ada pasangan pembawa gen memilih PGD karena dapat dengan
mudah dikombinasikan dengan perawatan IVF.

2. Penentuan Peluang Kehamilan


PGD telah disarankan sebagai metode untuk menentukan kualitas embrio yang difertilisasi in
vitro, untuk memilih embrio yang tampaknya memiliki peluang terbesar untuk kehamilan
sukses. Namun, karena bergantung dari penilaian sel tunggal, PGD memiliki keterbatasan
karena bersifat acak yang mungkin tidak mewakili embrio.
3. Penyelamat Saudara (savior siblings) Savior siblings merupakan anak yang sengaja
dilahirkan untuk menyediakan donor organ atau jaringan yang akan ditransplantasi- kan
kepada saudara terdahulunya yang menderita penyakit seperti thalassemia-β atau anemia
Fanconi. Dalam transplantasi, kecocokan human leucocyte antigen (HLA) antara donor dan
resipien merupakan hal yang penting. HLA sudah dapat diketahui sejak masih dalam bentuk
embrio. PGD dapat menyeleksi embrio yang memiliki HLA yang sama dengan resipien dan
bebas dari penyakit genetik dan selanjutnya akan ditanam dalam rahim pada proses bayi
tabung. Transplantasi terbaik yang dilakukan adalah dengan transplantasi stem cell
hematopoetik yang didapat dari tali pusat janin resipien yang dilahirkan.
4. Identifikasi dan Pemilihan Jenis Kelamin
PGD dapat mengetahui jenis kelamin embrio bahkan sebelum implantasi. Sebuah survei
tahun 2006 menemukan bahwa 42 persen klinik yang menawarkan PGD telah menyediakan
seleksi jenis kelamin untuk alasan non-medis. Hampir setengahnya melakukan itu hanya
untuk ”menyeimbang- kan jenis kelamin keluarga”, yaitu jika pasangan dengan dua anak atau
lebih dari satu jenis kelamin menginginkan anak dengan jenis kelamin yang lain.
ASPEK ETIKA
Teknologi PGD berpotensi menimbulkan berbagai masalah etika, di antaranya adalah:
1. SeleksiEmbrio2,6,7

PGD digunakan untuk memilih embrio yang terbaik ditinjau dari profil genetik. Hal ini
menimbulkan potensi embrio yang tidak baik dibuang atau disumbangkan untuk ilmu
pengetahuan. Seleksi ini mendiskriminasi orang yang cacat. Hal tersebut juga menimbulkan
dilema jika menilik pada sumpah Hipokrates bahwa setiap dokter seharusnya menghargai
kehidupan sejak pembuahan, dan penjelasan KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
tahun 2011 pasal 11 bahwa manusia sejak dalam pembuahan memiliki hak hidup.
Penggunaan embrio yang tidak terpakai sebagai sampel penelitian diperbolehkan dengan
persyaratan tertentu. The Inter- national Islamic Center for Population Studies and Research,
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), dan Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah Sakit, Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI
mengijinkan penggunaan embrio untuk penelitian tersebut tidak lebih dari 14 hari pasca-
fertilisasi.

2. Sex Selection2,6,8-10
PGD dapat mengetahui jenis kelamin dan penyakit yang mungkin terkait (X-linked disorder),
hingga sering terjadi permintaan untuk mengubah jenis kelamin agar embrio tersebut tidak
terkena penyakit. Menurut FIGO, pemilihan jenis kelamin untuk menghindari penyakit yang
diturunkan merupakan hal yang diperbolehkan. Yang menjadi masalah adalah jika
permintaan oleh orang tua yang menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu sebagai
family balancing. Pada tahun 2000 di Italia, Alan dan Louise Masterton mendaftar kepada
HFEA (Human Fertilisation and Embryology Authority) untuk meminta ijin melakukan PGD
agar mendapatkan bayi perempuan setelah kematian anak perempuannya akibat kecelakaan.
Pasangan tersebut telah memiliki 4 anak laki-laki dan Mrs. Masterton telah melakukan
sterilisasi setelah keha- milan kelima. HFEA mengijinkan, akan tetapi ternyata ketiga embrio
yang digunakan gagal. Di Inggris, penggunaan PGD untuk family balancing dilarang oleh
hukum. Di Cina dan India, pemilihan jenis kelamin ini merupakan hal yang berpotensi untuk
di- perdagangkan mengingat di kedua negara tersebut para orang tua sering kali lebih
memilih anak dengan jenis kelamin laki- laki. Di Indonesia belum ada peraturan yang
mengatur mengenai hal tersebut.
3. Savior Siblings2,6,9-12
PGD juga digunakan untuk menyelamatkan saudara (savior siblings). Pada bulan Agustus
tahun 2002, seseorang meminta ijin kepada HFEA untuk melakukan IVF menggunakan PGD
agar embrio yang dihasilkan dapat menyelamatkan anaknya yang mengalami Diamond
Blackfan Anemia (DBA). Embrio yang berkembang menjadi janin tersebut akan diambil
stem cell-nya untuk ditransplan- tasi setelah disesuaikan dengan saudaranya. Sebuah survei
pada 4000 orang Amerika menunjukkan bahwa 61% dari mereka menerima penggunaan
PGD dengan tujuan penyelamat saudara. Hal ini menimbulkan permasalahan etika, telah
terjadi pergeseran arti kehamilan yang bukan lagi sebagai suatu hadiah atau hal suci dari
Tuhan, tetapi sebagai sebuah proses produksi yang hasilnya dapat diatur sesuai kehendak
produsen. Aspek psikologi anak yang dilahirkan tentu menjadi hal yang harus diperhatikan,
mengingat anak tersebut di- lahirkan untuk menyelamatkan saudaranya terdahulu setelah
melalui seleksi embrio yang ketat dengan prasyarat kecocokan HLA (human leukocyte
antigen) dan bebas dari penyakit genetik yang serupa dengan saudaranya.
4. Designer Babies2,6,8-10,13
Saat ini, PGD hanya untuk skrining penyakit genetik serius, akan tetapi berpotensi ber-
kembang menjadi eugenika modern yang mendesain anak (designer babies) sesuai yang
diinginkan, seperti gender, tinggi, kecantikan, kecerdasan, dan pendengaran; sesuai tuntutan
orang tua yang menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Jika PGD dapat
menghasilkan anak yang sempurna maka tak mustahil jika nanti IVF dan PGD di- lakukan
tidak hanya berdasarkan indikasi, tetapi berdasarkan permintaan. Hal ini tentu saja
meresahkan dan diperlukan aturan yang tegas.
PENUTUP
Penggunaan PGD dalam teknologi IVF dapat menimbulkan berbagai masalah etik seperti
seleksi embrio, sex selection, savior siblings, dan designer babies. Oleh karena itu,
pemerintah bersama dengan pakar berbagai disiplin ilmu diharapkan dapat menetapkan
regulasi yang sesuai dengan teknologi yang ada, sehingga tidak menimbulkan masalah etika
dan hukum di masa depan
Pre-implantation genetic diagnosis (PGD) is the genetic profiling of embryos prior
to implantation (as a form of embryo profiling),[1] and sometimes even of oocytes prior
to fertilization. PGD is considered in a similar fashion to prenatal diagnosis. When used to
screen for a specific genetic disease, its main advantage is that it avoids selective abortion, as
the method makes it highly likely that the baby will be free of the disease under
consideration. PGD thus is an adjunct to assisted reproductive technology, and requires in
vitro fertilization (IVF) to obtain oocytes or embryos for evaluation. Embryos are generally
obtained through blastomere or blastocyst biopsy. The latter technique has proved to be less
deleterious for the embryo, therefore it is advisable to perform the biopsy around day 5 or 6
of development.[2]
The world's first PGD was performed by Handyside,[3] Kontogianni and Winston at the
Hammersmith Hospital in London. Female embryos were selectively transferred in five
couples at risk of X-linked disease, resulting in two twins and one singleton pregnancy.[4]

Anda mungkin juga menyukai