Anda di halaman 1dari 34

Laporan kasus

ASMA

Oleh :
dr. Intan Komala Sari

Pembimbing:
dr. Dewi M. Manihuruk, Sp.P

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD KOTA DUMAI
2019/2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asma adalah penyakit yang heterogen, yang ditandai dengan adanya
inflamasi kronik saluran napas yang menimbulkan gejala berupa sesak napas,
mengi, nyeri dada dan batuk yang timbul bervariasi dalam hal waktu, intensitas
disertai dengan derajat obstruksi yang bervariasi.1 Inflamasi kronik pada asma
melibatkan banyak sel dan elemennya sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan hiperresponsif jalan napas yang dapat menimbulkan gejala episodik
berulang. Gejala episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.2
Survey Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat angka
serangan asma pada usia dibawah 18 tahun mencapai presentase 8,4% dengan
total jumlah kematian yang disebabkan oleh asma adalah 3.651 jiwa, dan serangan
asma dimulai dari usia 18 tahun di dunia mencapai persentase 7,6%.3 Menurut
Riskesdas tahun 2013, asma termasuk kedalam kelompok penyakit tidak menular
dengan prevalensi sebesar 4,5% di Indonesia.4,5 Prevalensi kasus asma di RSUD
Arifin Achmad sebanyak 18 orang, dimana kasus asma menempati urutan ke-7
dari 10 penyakit terbanyak di bangsal paru terpadu pada tahun 2017.
Interaksi antara faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan merupakan
faktor resiko terjadinya asma. Faktor pejamu yaitu predisposisi genetik, alergik,
hiperaktivitas bronkus dan faktor yang memodifikasi penyakit genetik sedangkan
faktor lingkungan yang berpengaruh adalah alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi saluran pernafasan, diet, dan status sosial
ekonomi. Peng;obatan penyakit asma dilakukan secara kuratif dan rehabilitatif.
Tujuan manajemen pengobatan asma adalah untuk mengontrol gejala,
mempertahankan aktivitas sehari-hari, meminimalisir resiko eksaserbasi, batas
aliran udara dan efek samping dari asma.2,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Berdasarkan Global Initiative For Asthma (GINA) asma adalah penyakit


heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronik. Asma
ditandai dengan gejala berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat, dan batuk
yang timbul secara bervariasi dalam waktu dan intensitas, disertai dengan derajat
obstruksi yang bervariasi.1 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Hiperesponsif jalan napas pada asma
menyebabkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk terutama malam dan atau dini hari, gejala bervariasi dan sering
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1,2

2.2 Faktor Risiko

Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor


pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Kemungkinan terjadinya interaksi
faktor genetik / pejamu dengan lingkungan dapat dipikirkan melalui2,8 :
a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma.
b. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

2.2.1 Faktor Pejamu

Asma sebagai penyakit yang diturunkan telah dibuktikan dari berbagai


penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat /
kecenderungan terjadinya asma. Fenotip berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan
ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum)

3
dan atau keduanya. Adapun faktor pejamu penyakit asma adalah sebagai
berikut2,9:

1. Predisposisi genetik
2. Alergik (atopi)
3. Hiperesponsif jalan napas
4. Jenis kelamin
5. Ras/etnik
6. Obesitas

2.2.2 Faktor Lingkungan


Faktor lingkungan dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi dengan
kecendrungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, dan yang
menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan menyebabkan gejala menetap1,2.

a. Faktor lingkungan yang mempengaruhi berkembangnya asma pada individu


dengan predisposisi asma2,9
1. Alergen di dalam ruangan  alergen binatang, alergen kecoa, jamur
2. Alergen di luar ruangan  tepung sari bunga, jamur
3. Bahan lingkungan kerja
4. Asap rokok  perokok aktif dan perokok pasif
5. Polusi udara  polusi udara di luar dan di dalam ruangan
6. Infeksi parasit
7. Status sosial ekonomi
8. Diet dan obat
b. Faktor lingkungan mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-
gejala asma menetap2,8
1. Alergen di dalam dan di luar ruangan
2. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
3. Infeksi pernapasan
4. Exercise dan hiperventilasi
5. Perubahan cuaca
6. Sulfur dioksida

4
7. Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat
8. Ekspresi emosi yang berlebihan
9. Asap rokok
10. Iritan (parfum, bau-bau merangsang, household spray)

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi pada asma baik saat serangan akut maupun berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, karena semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Pada
umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.2

Gejala Berat Serangan Akut Keadaan


danTanda Mengancam jiwa
Ringan Sedang Berat

Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -


Posisi Dapat tidurDuduk Duduk -
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa Kata demi kata -
kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
gelisah kesadaran menurun

Frekuensi napas <20 kali/menit 20-30 >30 kali/menit -


kali/menit
Nadi <100 100–120 >120 kali/menit Bradikardia
kali/menit kali/menit

Pulsus <10 mmHg 10–20 + >25 mmHg -


paradoksus mmHg
Otot Bantu - + + Kelelahan otot
Napas dan Torakoabdominal
retraksi paradoksal
suprasternal

5
Mengi Akhir Akhir Inspirasi danSilent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 60–80% <60% -
PaO2 >80 mHg 80-60 <60 mmHg -
mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg -
SaO2 >95% 91–95% <90% -
Tabel 2.3.1 Klasifikasi asma dalam serangan akut

Derajat Gejala Gejala Faal paru


Asma Malam
I. Bulanan ≤ 2 kali sebulan APE ≥80%
Intermiten * Gejala <1x/minggu * VEP1 ≥80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di APE ≥80% nilai terbaik
luar serangan
* Variabiliti APE <20%
* Serangan singkat

II. Persisten Mingguan > 2 kali sebulan APE > 80%


Ringan * Gejala >1x/minggu, * VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/hari prediksi APE ≥ 80% nilai
* Serangan dapat terbaik
mengganggu aktiviti dan * Variabiliti APE 20-30%
tidur

III. Harian > 1x / seminggu APE 60 – 80%


Persisten * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai prediksi
Sedang * Serangan mengganggu APE 60-80% nilaiterbaik
aktiviti dan tidur
* Variabiliti APE >30%
* Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari
IV. Kontinyu Sering APE ≤ 60%
Persisten * Gejala terus menerus * VEP1≤60% nilai
Berat * Sering kambuh prediksi APE ≤60% nilai
Aktiviti fisik terbatas terbaik
* Variabiliti APE >30%

Tabel 2.3.2 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)

Menurut Global Initiative For Asthma (GINA), klasifikasi asma dibagi menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak

terkontrol. Klasifikasi asma menurut GINA dapat dilihat pada Tabel 2.4.3 berikut:
1

Karakteristik (dalam Asma terkontrol Asma terkontrol Asma tidak terkontrol

6
waktu 1 bulan terakhir) sebagian

Gejala di siang hari Tidak ada 1-2x/minggu 3-4x/minggu

Aktivitas yang terbatas Tidak ada Ada 1-2x Ada 3-4x

Gejala pada malam hari Tidak ada Ada 1-2x Ada 3-4x

Membutuhkan obat Tidak ada 1-2x/minggu 3-4x/minggu


pelega

Tabel 2.3.3 Klasifikasi asma menurut GINA1

2.4 Patofisiologi

Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


peran sel – sel inflamasi seperti sel mast, sel limfosit T, eosinofil, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Inflamasi pada penderita asma disebabkan oleh faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain. Mediator inflamasi dari sel mast yang
berikatan dengan IgE akan diekskresikan jika pejamu tepapar alergen. Pada reaksi
asma tipe cepat, degranulasi akan terjadi pada sel mast, mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease, dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.2,7

Reaksi yang timbul antara 6 – 9 jam setelah provokasi allergen adalah


reaksi fase lambat. Reaksi ini melibatkan limfosit T, eosinofil, sel T CD4+,
neutrofil, dan makrofag. Inflamasi kronik melibatkan sel limfosit T, eosinofil,
makofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. Limfosit T ini
berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.2
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya hiperresponsif
terhadap adanya partikel udara, jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif) sebelum partikel keluar dari jalan napas tersebut
menyebabkan otot polos saluran nafas akan berkontraksi (memendek), produksi
kelenjar mucus yang berlebihan, dan bila terdapat infeksi akan terjadi reaksi

7
2,8
edema atau pembengkakan dalam saluran nafas Keadaan otot polos saluran
nafas pada pasien asma dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Perbedaan keadaan paru-paru pada pasien normal dan pasien asma

Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk-batuk karena saluran napas mulai berusaha
untuk membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar
suara napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran
napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama
saat mengeluarkan napas (ekspirasi).2,8

Proses inflamasi kronik yang terjadi pada asma akan menimbulkan


kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
yang menghasilkan perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel
baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan
yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi yang menghasilkan perubahan struktur saluran napas
dengan nama airway remodeling.1,2

2.5 Diagnosis

8
Diagnosis asma didasari oleh gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada yang bersifat episodik dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sangat berarti dalam menegakkan
diagnosis asma.1,2,9

2.5.1 Anamnesis
Riwayat Penyakit / gejala :
a. Bersifat episodik, adalah serangan berulang ( hilang timbul ) yang
diantaranya terdapat periode bebas serangan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul / memburuk terutama malam / dinihari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal – hal yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi /atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal pada saat stabil ( tidak
eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu pada
eksaserbasi akut berat. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi, yang merupakan tanda terdapatnya obstruksi jalan
nafas. Wheezing pada umumnya bilateral, polifonik dan lebih terdengar pada fase
ekspirasi.2,8

Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik dapat tidak terdengar mengi atau
hanya terdengar jika melakukan ekspirasi paksa. Hal itu menunjukkan obstruksi
jalan nafas yang tidak berat, sehingga intensitas bunyi nafas tambahan tersebut
(mengi) tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar pada 1 fase pernafasan
(ekspirasi). Semakin berat obstruksi jalan nafas semakin tinggi nadanya dan
semakin keras intensitasnya dan terdengar pada kedua fase pernafasan ( inspirasi

9
dan ekspirasi). Pada obstruksi jalan nafas yang sangat berat mengi tidak terdengar
dan pasien tanpak gelisah bahkan kesadaran menurun serta sianosis. Kondisi
tersebut dikenal dengan silent chest.2,9

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Spirometri

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa


(VKP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) Pemeriksaan itu sangat
bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP< 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.2,9
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Pemeriksaan ini dapat menggunakan spirometri atau dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF). Alat PEF ini dapat digunakan di rumah untuk
memantau kondisi asma pasien dan menilai reversibilitas dan variabilitas asma.2

c. Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus sebaiknya dilakukan pada penderita dengan gejala
asma dan faal paru normal. Uji ini mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma
persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma.
Hasil positif dapat ditemukan pada penyakit lain seperti rinitis alergika, PPOK,
bronkiektasis, dan fibrosis kistik.2

d. Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi dalam asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut dapat membantu untuk
mengetahui faktor pencetus.2,10
e. Foto toraks

10
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Pada serangan asma ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.2

f. Darah Rutin
Pada asma, eosinofil total akan meningkat di dalam darah.2

g. Analisa Gas Darah


Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan pada pasien asma yang sangat
berat dan ditemukan hiperkapnia dengan PaCO2> 45 mmHg, hipoksemia dan
asidosis respiratorik.2,8

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis pada asma antara lain sebagai berikut2,8,9:

Pada pasien dewasa :


1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
2. Bronkitis kronik atau infeksi lainnya
3. Gagal jantung kongestif
4. Batuk kronik akibat faktor lain
5. Disfungsi laring
6. Obstruksi mekanis (misalnya tumor)
Pada anak dapat dipikirkan :
1. Benda asing disaluran nafas
2. Pembesaran kelenjar limfe
3. Tumor
4. Stenosis trakea
5. Bronkiolitis

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan jangka panjang dari penatalaksanaan asma adalah dengan


mengurangi resiko dan pengendalian gejala. Tujuannya adalah untuk mengerangi
beban pasien dan mengurangi resiko kematian terkait penyakit asma, eksaserbasi,

11
kerusakan jalan nafas, dan efek samping obat-obatan. Secara umum, tujuan dari
penatalaksanaan asma2 :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Sedangkan penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit.


Asma dikatakan terkontrol jika2,11 :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Penatalaksaan asma terdiri dari non farmakologi dan farmakologi.


Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari2,11:
2.7.1 Penatalaksaan non farmakologi :
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
- Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
- Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
- Meningkatkan kepuasan
- Meningkatkan rasa percaya diri
- Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri.
- Menghindari faktor pencetus

12
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan. Pada tabel 2.7.1
dapat dilihat daftar pertanyaan untuk mengetahui faktor pencetus.2

13
Gambar 2.7.1. Daftar pertanyaan untuk identifikasi faktor pencetus

2.7.2 Penatalaksanaan Farmakologi


14
Prinsip pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu2,11,12:

1. Controller (pengontrol)

Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol


penyakit, diberikan setiap hari serta mencegah serangan dikenal dengan
pengontrol.
a. Kortikosteroid inhalasi
Merupakan pilihan bagi asma serangan ringan sampai berat dan
merupakan medikasi jangka panjang paling efektif untuk mengontrol asma.
b. Kortikosteroid sistemik
Diberikan melalui oral atau parenteral. Biasanya dipakai sebagai
pengontrol asma persisten berat setiap hari atau selang sehari.
c. Kromalin
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Kromalin
merupakan antiinflamasi nonsteroid yang menghambat pelepasan mediator
dari sel mast yang diperantarai IgE.
d. Metilsantin
Obat ini dapat dikombinasikan dengan β2 agonis kerja singkat dan
merupakan bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi.
e. β2 agonis kerja lama
Salmaterol dan formaterol termasuk di dalam β 2 agonis kerja lama
inhalasi yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pemberian inhalasi
pada preparat ini menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan
dengan preparat oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma relatif baru dengan pemberian secara
oral. Leukotrienedapat juga bersifat bronkodilator, mempunyai efek
antiinflamasi, dan dapat menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid
inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat.

15
16
Gambar 2.7.2. Sediaan dan dosis obat pengontrol asma

2. Bronkodilator (Pelega)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat didada dan batuk, tetapi tidak memperbaiki
inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif jalan nafas.2,11,12
a. β2 agonis kerja singkat
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol, mempunyai waktu kerja yang cepat. Formaterol mempunyai onset
yang cepat dan durasi lama. Pemberian ini dapat secara inhalasi atau oral.Obat ini
merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma.2,12
b. Kortikosteroid sistemik
Dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Obat ini biasanya digunakan
pada asma persisten berat setiap hari atau selang sehari. Steroid sistemik
digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain telah
optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain. 2,12
c. Antikolinergik
Mekanisme kerja antikolinergik memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Pemberiannya secara inhalasi. Efeknya
lama, membutuhkan 30-60 menit untuki mencapai efek maksimum. 2,12
d. Metilstatin
Amiofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala
walau disadari onsetnya lebih lama daripada antagonis beta-2 kerja singkat.2,12
e. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat apabila
tidak tersedia β2 agonis. 2,12

17
18
Gambar 2.7.3. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan,
tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Tidak perlu ---- -----
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepaslambat -----
Persisten inhalasi  Kromolin
Ringan (200-400 ug BD/hari  Leukotrienemodifiers
atau ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroid  Ditambah
Persisten glukokortikosteroid (400-800 inhalasi (400-800 ug BD agonis beta-
Sedang ug BD/hari atau ekivalennya) atau ekivalennya) 2 kerja lama
dan agonis beta-2 kerja lama ditambah Teofilin lepas oral,atau
lambat,atau
 Glukokortikosteroid  Ditambah
inhalasi (400-800 ug BD teofilin lepas
atau ekivalennya) lambat
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral,atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya)atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah
leukotrienemodifiers
Asma Kombinasi Prednisolon/
Persisten inhalasiglukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat (> 800 ug BD selang sehari 10 mg
atauekivalennya) dan ditambah agonis beta-2
agonis beta-2 kerja lama, kerja lama oral,
ditambah  1 di bawah ditambah teofilin lepas
ini: lambat
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin
dengan kondisi asma tetap terkontrol

Tabel 2.7.4. Pengobatan sesuai berat asma

19
Pada tahun 2019, Global Initiative for Astma membuat suatu kesepakatan
manajemen penyakit asma yang melibatkan siklus yang berkelanjutan untuk
menilai, menyesuaikan pengobatan dan menilai respon pengobatan.1 Siklus
manajemen asma dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 2.7.5. Siklus manajemen asma1

Global Initiative for Asthma (GINA) tidak lagi merekomendasikan


pengobatan hanya dengan menggunakan Beta agonis kerja cepat (SABA). GINA
merekomendasikan untuk semua pasien asma dewasa dan remaja harus
mendapatkan obat pengontrol yang mengandung kortikosteroid inhalasi, untuk
mengurangi resiko terjadinya eksaserbasi yang serius dan untuk mengendalikan
gejala. Strategi pengobatan menurut GINA 2019 dapat dilihat pada gambar 2.

20
Gambar 2.7.6. Strategi pengobatan asma1
21
2.8 Penatalaksanaan di Rumah

Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan asmanya


adalah penting dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila penderita
dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah, maka ia tidak hanya
mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk
mengontrol asmanya sendiri.2,4

2.9 Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Kondisi di Indonesia dengan fasilitas layanan medis yang sangat bervariasi


akan mempengaruhi bagaimana penatalaksanaan asma saat serangan akut terjadi.
Serangan yang ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di fasilitas layanan
medis sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi dirumah. Namun, serangan
sedang dan berat sebaiknya dilakukan dirumah sakit mengingat mortalitas akibat
serangan asma sedang berat yang tak tertolong sangat tinggi. Berikut ini algoritma
pentalaksanaan serangan asma di rumah sakit :2,11,12

22
Gambar 2.9.1. Algoritma penatalaksanaan serangan asma di rumah sakit

23
2.10 Pencegahan

Upaya pencegahan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu8,10 :


1. Pencegahan primer
Ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi risiko asma dengan cara:
a. mengindari asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
b. Pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan
c. Diet hipoalergik ibu menyusui.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Ditujukan untuk mencegah inflamasi yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta alergen
dalam ruangan.
3. Pencegahan tersier
Menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan pengobatan.

24
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. RD
Umur : 25 tahun
Alamat : Jl. Bintan Gg Ampera - Dumai
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum kawin
Tanggal masuk RSUD : 11 September 2019

ANAMNESIS (Auto-anamnesis)

Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak kurang lebih 3 jam SMRS, pasien mengeluh sesak nafas yang
semakin memberat. Sesak timbul mendadak saat pasien sedang tidur malam hari.
Sesak nafas sering dirasakan hilang timbul. Sesak nafas disertai bunyi ngik. Sesak
nafas muncul terutama saat pasien kelelahan dan terkena debu. Sesak nafas tidak
disertai dengan nyeri dada. Sesak nafas hanya timbul dua kali dalam seminggu ini.
Sesak nafas mulai menganggu aktivitas, pasien lebih nyaman dengan posisi duduk
ketika sesak. Pasien masih dapat berbicara beberapa kata. Keluhan disertai batuk
yang muncul sejak 1 hari SMRS. Batuk dirasakan hilang timbul disertai dengan
dahak berwarna putih bening, darah (-). Demam (-), penurunan nafsu makan (-),
penurunan berat badan (-). Mual – muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien rutin kontrol ke poliklinik paru jika habis obat.

1 tahun SMRS pasien mengeluhkan sesak napas. Sesak napas dirasakan


hilang timbul, disertai dengan bunyi ngik. Sesak nafas timbul terutama pada pagi
dan malam hari. Pasien berobat ke dokter dan diberikan obat hirup dan dianjurkan
kontrol rutin setiap bulan ke poli paru.

25
Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat asma sejak 8 tahun yang lalu,

- Riwayat alergi debu (+)

- Tidak ada riwayat penggunaan OAT

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu kandung dan adik kandung pasien memiliki penyakit asma

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien sehari-hari berjualan di rumahnya, memasak dengan kompor gas. Tidak
ada hewan peliharaan di rumah. Tidak merokok.

Pemeriksaan Umum

• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


• Kesadaran : Komposmentis kooperatif
• Tekanan darah : 120/80 mmHg
• Nadi : 108x/menit
• SpO2 : 98%
• Suhu : 36,8 °C
• Napas : 30x/ menit
• Berat Badan : 48 kg

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter
pupil kiri dan kanan 2 mm , reflek cahaya +/+.
2. Telinga: deformitas daun telinga (-), cairan (-), darah (-)
3. Hidung: nafas cuping hidung (-), cairan (-), darah (-)
4. Mulut : Pursed-lip breathing (+)
5. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5-2 cmH20

26
Toraks
Paru:
1. Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, (-), retraksi
dinding dada (+)
2. Palpasi : Vokal fremitus teraba sama pada paru kanan = kiri
3. Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
4. Auskultasi : Vesikuler (+/+) ,wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
Jantung :
1. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
3. Perkusi :
 Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri : 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (11 September 2019)
Hb : 11,5 gr/dl
Hematokrit : 34%
Leukosit : 14.500 /mm3
Trombosit : 290.000 /mm3
Basofil : 0 (Normal : 0-5)
Eosinofil : 0 (Normal : 0-2)
Netrofil : 2 (Normal : 2-6)
Limfosit : 22 (Normal : 20-40)

27
DIAGNOSIS KERJA
Asma persisten sedang serangan akut sedang terkontrol sebagian

PENATALAKSANAAN
• O2 Nasal Canul 3-4 liter/menit
• Nebul Combivent 1 respul  Observasi : Sesak berkurang, Wheezing
(+/+)
• Nebul Combivent 1 respul  Observasi : Sesak berkurang, Wheezing
(+/+)
• Nebul Pulmicort 1 respul  Observasi : Sesak berkurang, Wheezing (+/+)

Konsul dr. Dewi M. Manihuruk, Sp.P


• Rawat inap
• IVFD D5% + Aminofilin 1 ampul  20 tpm
• Inj Fartison 1 ampul/12 jam (IV)
• Inj Cefotaxim 1 gr/12 jam (IV)  skin test (+)
• Nebul Combivent/8 jam
• Ambroxol tab 3x30 mg

USULAN PEMERIKSAAN
- APE (Arus Puncak Ekspirasi)
- Spirometri
- Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah)

FOLLOW UP

Kamis, 12 September 2019

S : Sesak (+), batuk (+)


O : KU = Sedang Kesadaran = Composmentis
TD = 120/80 mmHg HR = 96 x/i
RR = 28 x/i Suhu = 36,9oC
SpO2 = 99%

28
Toraks
Paru = Vesikuler (+/+), Wheezing (+/+) berkurang, Ronkhi (-/-)

A : Asma persisten sedang serangan akut sedang terkontrol sebagian

P : - O2 nasal canul 3-4 liter/menit


- IVFD D5% + Aminofilin 1 ampul  20 gtt/i
- Inj Fartison 1 ampul/12 jam (IV)
- Inj Cefotaxim 1 gr/12 jam (IV)
- Nebul Combivent/8 jam
- Ambroxol tab 3x30 mg

Jumat, 13 September 2019

S : Sesak (-), batuk (+) berkurang


O : KU = Sedang Kesadaran = Composmentis
TD = 120/80 mmHg HR = 96 x/i
RR = 24 x/i Suhu = 36,8oC
SpO2 = 99%

Toraks
Paru = Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-) , Ronkhi (-/-)

A : Asma persisten sedang serangan akut sedang terkontrol sebagian

P : - Rawat jalan
- Salbutamol 3x2 mg
- Cefixime 2x100 mg
- Methylprednisolon 3x4 mg
- Berotec inhaler (K/P) , kandungan : Fenoterol Hbr
- Ambroxol tab 3x30 mg
- Edukasi : Hindari alergen pencetus

29
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien merasakan sesak nafas yang dapat disebabkan oleh penyempitan


saluran nafas karena adanya faktor pencetus dari lingkungan. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pada auskultasi berupa wheezing pada kedua lapangan paru. Hal
ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah membran basal
sehingga menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan
gejala episodik berupa mengi, sesak nafas, dan batuk –batuk pada malam hari dan
atau dini hari.1,2

Diagnosa pada pasien ini adalah Asma persisten sedang serangan akut
sedang terkontrol sebagian. Hal ini berkaitan dengan keluhan serangan sesak nafas
pada pasien dengan riwayat asma. Pada asma persisten sedang didapatkan keluhan
sesak terjadi mingguan, dalam 1minggu gejala muncul >1 kali tetapi <1 kali
sehari, gejala malam muncul >2 kali dalam sebulan, serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur. Pada serangan akut sedang terdapat gejala – gejala diantaranya
sesak nafas saat berbicara, posisi yang bisa dilakukan pasien saat sesak adalah
duduk, cara berbicara dapat beberapa kata, gelisah, frekuensi nafas 20 - 30 kali /
menit, nadi 100 - 200 kali/menit, ditemukan mengi pada akhir ekspirasi, APE >
60-80% , PaO2 80 – 60 mmHg , PaCO2 <45 mmHg, SpO2 91 – 95 %.2 Pada
ilustrasi laporan kasus ini gejala khas tersebut ditemukan pada pasien yang
tercakup dalam anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
asma terkontrol sebagian gejala dapat muncul pada siang hari sebanyak 1-2 kali
dalam seminggu, ada keterbatasan pada aktivitas tertentu, terdapat gejala pada
malam hari, dan biasanya pada sebagian pasien membutuhkan obat pelega untuk
mengurangi keluhan.

Pada anamnesis, pasien mengeluhkan dalam seminggu ini sesak nafas 2


kali muncul terutama pada malam hari dengan bunyi “ngik”, sesak mulai sedikit
mengganggu aktivitas, tidak mengganggu tidur, pasien memiliki riwayat asma.

30
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak gelisah, lebih nyaman dengan
posisi duduk, dapat menjawab dengan beberapa kata, frekuensi nafas 30 kali /
menit, nadi 108 kali / menit, SpO 2 95%. Pasien mendapatkan obat semprot/inhaler
jika serangan muncul. Gambaran klinis tersebut sesuai dengan gambaran klinis
derajat asma intermiten dengan serangan akut sedang.2,10

Pada pasien ini diberikan tatalaksana farmakologi di IGD berupa


pemberian bronkodilator Combivent dan Fulmicort inhalasi, namun keluhan tidak
berkurang. Combivent mengandung Iprapropium bromide dan albuterol yang
termasuk dalam golongan agonis selektif β2 adrenergik kerja cepat, sementara
Fulmicort mengandung budesonide yang termasuk kedalam golongan
kortikosteroid inhalasi. Pemberian inhalasi pada preparat ini menghasilkan efek
bronkodilatasi lebih baik dibandingkan dengan preparat oral. Pada pasien ini
didapatkan perburukan gejala serta peningkatan serangan asma, sehingga
dibutuhkan beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan APE (Arus Puncak
Ekspirasi), spirometri dan AGD (Analisa Gas Darah) untuk menilai
perkembangan penyakit. 8,9

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2019. Available on www.ginasthma.org
2. Perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) 2011. Asma (Pedoman Diagnosis
& penatalaksanaan asma di Indonesia). Jakarta : 2011 : 3-80.
3. Centers for Disease Control and Pervention (CDC) : Respiratory and Allergies
: Asthma. 2015. Available on : https://www.cdc.gov/nchs/fastats/asthma.htm
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. J-akarta: Bakti Husada;
2013.
5. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. Profil Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun
2015. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru; 2016. 23.
6. Reviona D, Munir SM, Azrin M. Penilaian Derajat Asma Dengan
Menggunakan Asthma Control Test (ACT) Pada Pasien Asma Yang
Mengikuti Senam Asma di Pekanbaru. 2014;1(2):1–13.
7. Sullivan, Hunt, John Mac Sharry. The Microbiome and the Pathophysiology
of Asthma. 2016. Available on https://respiratory-
research.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12931-016-0479-4.
8. WebMD. Astham Prevention. 2017. Available on
https://www.webmd.com/asthma/guide/asthma-prevention.
9. Zab Mosenifar, MD, FACP, FCCP. Asthma Guidelines. 2017. Available on
https://emedicine.medscape.com/article/296301-guidelines.
10. Cut Yulia Indah Sari. Inflamasi Alergi pada Asma. PPDS I Pulmonologi dan
Ilmu Kedokt Respirasi. 2013;40(8):585–8.
11. Fitri R, Priyanto H, Rinanda T, Kedokteran F, Syiah U, Mikrobiologi B, et al.
Kepatuhan Pengobatan Asma dengan Kualitas Hidup pada Pasien Asma
Persisten. J Respirologi Indones. 2016;36(3):130–7.
12. Prihartanto D. Pilihan Pengobatan pada Serangan Asma. CDK-242.
2016;43(7).

32

Anda mungkin juga menyukai