Anda di halaman 1dari 9

Bab II

Tinjauan Teori

2.1 Definisi Sosiologi


Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang memiliki arti teman atau kawan,
dan Logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Permulaan definisi sosiologi ini dipublikasikan
dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" yang di tulis oleh Auguste Comte
(1798-1857). Pada umumnya sosiologi lebih dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang
masyarakat.
Sosiologi adalah studi ilmiah tentang perilaku sosial manusia dan organisasi, asal-
usulnya, lembaga dan pembinaan. Sosiologi adalah ilmu sosial, yang memakai bermacam
metode penyelidikan empiris dan analisis kritis untuk menambah pengetahuan tentang
kegiatan sosial manusia. Banyak sosiolog yang menyatakan, tujuan sosiologi adalah untuk
mengadakan penelitian, yang bisa diterapkan secara langsung pada kebijakan sosial dan
kesejahteraan, sedangkan sosiolog yang lain tetap fokus terutama pada memperbaiki
pemahaman teoritis proses sosial. Subyek berkisar pada level mikro dari setiap instansi dan
interaksi ke tingkat makro dari sistem dan struktur sosial.
Sosiologi memfokuskan pada stratifikasi sosial dan mobilitas sosial serta kelas sosial,
agama, budaya, hukum, sekularisasi dan penyimpangan. Sebab segala aspek kegiatan
manusia dipengaruhi oleh interaksi antara lembaga individual dan struktur sosial, sosiologi
sedikit demi sedikit memperlebar fokus ke studi berikutnya, seperti lembaga medis,
kesehatan, pidana, militer, Internet, dan peran kegiatan sosial pada pengembangan
pengetahuan ilmiah.

2.2 Interaksi Sosial


Interaksi sosial merupakan bentuk umum proses sosial yang menjadi syarat terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Hubungan-hubungan sosial yang terjadi bersifat dinamis yang
menyangkat hubungan antar manusia karena adanya kesadaran masing-masing untuk saling
berhubungan.
Menurut Gillin dan Gillin dalam buku Syahrial Syarbani dan Rusdiyanta (2009:25)
interaksi sosial (yang juga dinamakan proses sosial) merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan- hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang- perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara
kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-
anggotanya.
ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial yakni:
1. Proses yang asosiatif yaitu suatu proses sosial yang mengindikasikan adanya gerak
pendekatan atau penyatuan.
2. Proses yang dissosiatif yaitu proses sosial yang mengindikasikan pada gerak ke arah
perpecahan.
2.3 Sosiologi Masyarakat Pesisir
Merupakan cabang sosiologi yang mempunyai objek khusus yaitu masyarakat pesisir
yang hidup dari sumber daya laut seperti nelayan, buruh, pembudidaya, dsb. Populasi
masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan
sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir.
Kelompok masyarakat pesisir cenderung digolongkan pada kelompok miskin yang
terdiri dari rumah tangga perikanan menangkap ikan tanpa menggunakan perahu,
menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Kemiskinan yang merupakan
indicator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama:
kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural.
Secara faktual ada dua faktor yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat
nelayan, yaitu faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah disebabkan karena fluktuasi
musim tangkap ikan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sementara faktor non
alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan,
ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja, lemahnya
penguasaan jaringan pemasaran hasil tangkapan dan belum berfungsinya koperasi nelayan
yang ada. Selain itu, masalah teknologi konservasi atau pengolahan yang sangat tradisional,
serta dampak negatif orientasi produktivitas yang dipacu oleh kebijakan motorisasi perahu
dan modernisasi peralatan tangkap (revolusi biru) yang telah berlangsung sejak tiga
dasawarsa terakhir (Kusnadi, 1998).
Kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir sering timbul konflik-konflik yang
digolongkan menjadi empat jenis konflik. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial
nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di
sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional. Kedua,
konflik orientasi yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka
pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara
nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah
lingkungan. Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi
pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan dapat juga
terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang
pasir dan industri pariwisata. Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem
pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat
murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya
kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.
2.4 Hubungan Keterkaitan Pedesaan dan Perkotaan
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang,
karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin
menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa caar, seperti:
1. Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan
merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan
dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam;
2. Invasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru
sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau
hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan;
3. Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses
ini yang sesungguhnya banyak terjadi;
4. ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat
kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai
pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena
itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya
dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
1. Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota yang saling ketergantungan dan
saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu
proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi
merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).8
2. Sebab-sebab Urbanisasi

a. Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah


kediamannya (Push factors)
b. Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah
dan menetap dikota (pull factors)

 Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :

a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan


lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang
ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama,
kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari
penghidupan lain dikota.

 Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :

a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota banyak pekerjaan dan lebih
mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah
menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah
didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan
tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat
atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-
125 ).

2.5 Mazhab Sosiologi


Secara umum, perkembangan sosiologi dapat dibagi dalam tiga kelompok masa.
Ketiga kelompok masa tersebut meliputi masa sebelum Auguste Comte, era Auguste Comte,
dan setelah Auguste Comte. Jadi, bisa dikatakan masa Auguste Comte -lah yang menjadi
patokan dari perkembangan sosiologi.
Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak sosiologi ini sangat populer karena dialah
yang memunculkan istilah sosiologi untuk pertama kalinya. Setelah masa Auguste Comte,
sosiologi kemudian terus mengalami perkembangan. Bermunculan pula tokoh tokoh sosiologi
lainnya yang juga memunculkan pemikirannya masing -masing mengenai sosiologi dan
kajiannya.
Ada banyak tokoh sosiologi yang menyerukan gagasan mengenai konsep masyarakat,
dengan aneka ide berbeda. Dari berbagai gagasan inilah, kemudian untuk memudahkan
kajian mengenai sosiologi, maka dibuatlah kelompok pemikiran berupa mazhab mazhab
sosiologi.
Mazhab mazhab sosiologi ini mencakup aliran aliran pemikiran dari para pemikir
yang memiliki ciri khas serupa. Teori sosiologi setelah Auguste Comte ini mengenal ada
enam mazhab, yang meliputi :
1. mazhab geografi dan lingkungan,
2. Mazhab Organis dan Evolusioner,
3. Mazhab Formal,
4. Mazhab Psikologi,
5. Mazhab Ekonomi,
6. Mazhab Hukum.

2.5.1 Mazhab Geografi dan Lingkungan


Ada banyak tokoh pemikir yang ikut mengembangkan mazhab geografi dan
lingkungan. Bahkan, teori teori yang dapat digolongkan ke dalam mazhab ini juga cukup
banyak dan sudah lama berkembang. Banyak pemikir yang setuju bahwa masyarakat manusia
mengalami perkembangan tak lepas dari tanah atau lingkungan di mana masyarakat tersebut
hidup.
Sederhananya, keberadaan masyarakat hanya akan mungkin ketika terdapat tempat
atau lingkungan untuk berpijak dan hidup bagi masyarakat tersebut. Dalam lingkungan
tersebut pula, masyarakat bisa berkembang.
Menurut teori-teori dalam mazhab ini, bahwa antara masyarakat dengan
lingkungannya sangat erat kaitannya, masyarakat erat dan tak terlepas dari tanah atau
lingkungan di mana masyarakat itu berada. Teori tersebut sangat lazim karena masyarakat
hanya mungkin timbul dan berkembang apabila ada tempat berpijak dan tempat hidup bagi
masyarakat tersebut. Edward Bucle dari Inggris (1821-1862) dalam bukunya “History of
Civilization in England” menguraikan dan menganalisa tentang pengaruh keadaan alam
terhadap masyarakat. Ditemukannya adanya beberapa keteraturan dari hubungan antara
keadaan alam dengan tingkah laku manusia. Misalnya, terjadinya bunuh diri adalah sebagai
akibat rendahnya penghasilan, dan tinggi rendahnya penghasilan tergantung dari keadaan
alam terutama iklim dan tanah. Taraf kemakmuran suatu masyarakat, juga sangat tergantung
pada keadaan alam di mana masyarakat hidup.
Le Play (1806-1888) dari Perancis, berpendapat sama dengan Bucle, walaupun cara
analisanya berbeda beliau seorang ahli teknik (insinyur) pertambangan. Analisanya dimulai
dari keluarga sebagai unit sosial yang fundamental dari masyarakat. Organisasi keluarga
ditentukan oleh cara-cara mempertahankan kehidupannya, yaitu cara mereka bermata
pencarian. Hal ini tergantung pada lingkungan timbal balik antara faktor-faktor tempat
pekerjaan dan manusia (masyarakat). Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapatlah
ditemukan unsur-unsur yang menjadi dasar adanya kelompokkelompok yang lebih besar,
yang memerlukan analisa terhadap semua lembaga-lembaga sosial politik dari suatu
masyarakat tertentu. Pengikut Le Play memperkembangkan teorinya tersebut. Hal ini
dilakukan dengan jalan mencoba mengumpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kehidupan sosial faktor-faktor mana disusun secara lazim dan sistematis. Berdasarkan asumsi
bahwa tipe organisasi sosial ditentukan oleh faktor tempat, maka timbul teori bahwa
keluarga-keluarga patrilineal timbul di daerah-daerah stepa, bersifat otoriter, konservatif tidak
demokratis, mata pencahariannya bercocok tanam dan menangkap ikan berkembang menjadi
tipe keluarga yang disebut Particulanust Type of family, dari tipe keluarga semacam inilah
tumbuh demokrasi dan kebebasan.
Abad ke 20 awal, muncul karya dari E. Hungtington (1915) yang berjudul Civilization
and Climate, diuraikan bahwa mentalitas manusia ditentukan oleh faktor iklim. Ajaran-ajaran
atau teori menurut mazhab ini adalah penting yang menghubungkan faktor keadaan alam
dengan faktor struktur serta organisasi sosial. Diungkapkannya adanya korelasi antara
tempat tinggal dengan adanya antara ragam karakteristik kehidupan sosial-sosial suatu
masyarakat tertentu.
2.5.2 Mazhab Organis dan Evolusioner
Tokoh-tokohnya Herbert Spencer, W.G. Sumner, Emile Durkheim dan Ferdinand
Tonnies. Ciri khas dari mazhab ini adalah kuatnya pengaruh ilmu alam, positivistik, biologi
terhadap kajianya. Mazhab ini menganalogikan kehidupan manusia dalam bermasyarakat
seperti sebuah organisme makhluk hidup yang berkembang dan mengalami fase-fase
perubahan secara teratur. Herbert Spencer menilai masyarakat sebagai organisme dengan
kriteria kompleksitas, diferensiasi dan integrasi. Sumner dengan kebiasaan, tata krama dalam
masyarakat. Durkheim dengan konsep solidaritasnya. Dan Tonnies dengan pembagian
kelompok masyarakat, ada yang paguyuban dan patembayan.
2.5.3 Mazhab Formal
Tokoh-tokohnya; Georg Simmel, Leopold von Wiese, Alfred Vierkandt. Ciri khas
dari mazhab ini kebanyakan sosiolognya dari Jerman dan dipengaruhi oleh filsuf Imanuel
Kant. Selain itu mazhab ini menekankan pada kelompok sosial dan lembaga sosial. Simmel
menilai elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang mengatur
hubungan antar elemen tersebut. Leopold von Wiese menilai sosiolog harus memusatkan
perhatian pada hubungan-hubungan antar manusia tanpa mengaitkanya dengan tujuan-tujuan
maupun kaidahnya. Alfred Vierkandt menilai tugas sosiologi adalah menganalisis dan
mengadakan sistematika terhadap gejala sosial dengan jalan menguraikanya ke dalam bentuk-
bentuk kehidupan mental.
2.5.4 Mazhab Psikologi
Tokoh-tokohny; Gabriel Tarde, Albion Small, Richard Horton Cooley, L.T Hobhouse.
Gabriel Tarde menilai gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi
antar jiwa-jiwa individu, dimana jiwa tersebut terdiri dari kepercayaan-kepercayaan dan
keinginan-keinginan. Richard Horton Cooley menilai individu dan masyarakat saling
melengkapi, dimana individu hanya akan menemukan bentuknya di dalam masyarakat.
Menurut LT Hobhouse, psikologi dan etika merupakan kriteria yang diperlukan untuk
mengukur perubahan sosial.
2.5.5 Mazhab Ekonomi
Tokoh-tokohnya; Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim. Karl Marx menilai
masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang dipengaruhi oleh kekuatan dan kekayaan. Ini
kemudian menimbulkan pertikaian antar kelas. Weber menganalisa fenomena kapitalisme,
industri dalam masyarakat berkaitan dengan nilai sosial dan agamanya.

2.5.6 Mazhab Hukum


Tokoh-tokohnya; Emile Durkheim, Max Weber, Lawrence M. Friedman, Daniel S. Lev.
Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap hukum yang dihubungkanya dengan jenis-
jenis solidaritas di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang didasarkan solidaritas mekanis
terdapat kaidah-kaidah hukum dengan sanksi yang represif, sedangkan sanksi-sanksi restitutif
terdapat pada masyarakat atas dasar solidaritas organis.
Menurut Max Weber ada empat tipe ideal hukum, yaitu;
1. hukum irasional dan material,
2. hukum irasional dan formal,
3. hukum rasional dan material, dan
4. hukum rasional dan formal.
Lawrence M. Friedman mengenalkan budaya yang kemudian diteruskan Daniel Lev;
budaya hukum mencakup dua hal; nilai-nilai hukum subtantif dan nilai-nilai hukum ajektif.

2.6 Kohesi Sosial


Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok. Banyak teori-teori yang menjelaskan
hal tersebut sebagai “belongingness” atau “we-ness”, yang merupakan esensi dari
kohesivitas kelompok. Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa
kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan
antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif—dimana kohesivitas
diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi – akan
lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalah-masalah sosial
maupun interpersonal. Kohesivitas merupakan sebuah ketertarikan. Beberapa teori
mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal (Lott & Lott, 1965).
Menurut Mitchell (1994) ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu:
1. komitmen individu untuk norma dan nilai umum,
2. kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan
3. individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
Istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses yang lebih dari kondisi
atau keadaan akhir, itu dipandang sebagai rasa yang melibatkan komitmen, dan keinginan
atau kemampuan untuk hidup bersama dalam harmoni. (Jensen, 1998).

2.7 Segregasi Sosial


Kehidupan sosial masyarakat selalu terjadi fenomena-fenomena sosial yang beraneka
ragam. Segregasi penduduk merupakan hasil dari pola kehidupan masyarakat perkotaan yang
ditandai dengan pemisahan permukiman yang satu dengan yang lainya yang memiliki ciri-ciri
tertentu dan dapat dibedakan dengan yang lainya.
Menurut Bintarto (1977:26-27) segregasi dapat dianalogikan dengan pemisahan yang
dapat menimbulkan berbagai kompleks atau kelompok (clusters). Segregasi ini ditimbulkan
karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan tingkat
pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainya. Segregasi ini dapat disengaja dan dapat
pula tidak disengaja, disengaja dalam hubunganya dengan perencanaan kota sedangkan tidak
disengaja terjadi tanpa perencanaan seperti masukya arus penduduk dari luar yang
memanfaatkan ruang kota. Apabila ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku
bangsa yang mempunyai kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompeks ini atau
clusters semacam ini disebut natural areas.
(Menurut Bayer 2001) segregasi merupakan ekspresi dari kesenjangan sosial di dalam
wilayah kota yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan masyarakat di daerah permukiman
tertentu karena kebijakan, perbedaan kondisi sosial ekonomi, etnis maupun ras. Segregasi
memiliki dampak yang lebih negatif karena menimbulkan diskriminasi yang sebagian besar
diakibatkan oleh segregasi. Segregasi selalu mengacu pada kondisi sosial terutama terjadi di
daerah permukiman yang terpisah sub kelompok dalam populasi yang lebih luas yang dapat
dikaitkan terutama dengan kelompok-kelompok ras, etnis, agama atau status pendapatan.
Proses segregasi dapat dibagi menjadi "sengaja" dan "tidak sengaja". Feitossa 2001
menyatakan segregasi sosial-spasial telah menjadi salah satu masalah yang paling banyak
dipelajari dalam bidang studi perkotaan selama hampir satu abad. Segregasi itu sendiri
merupakan suatu ide pemisahan kelompok sosial tertentu dalam ruang masyarakat. Segregasi
dapat ditentukan sebagai suatu tindakan untuk memisahkan atau menghapus satu item atau
kelompok dari yang lain.

2.8 Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat


Pemberdayaan masyarakat adalah upaya mendorong masyarakat untuk mandiri serta
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, prakarsa sendiri, dan
memperbaiki hidup sendiri. Keterlibatannya, dapat berupa aktifitas dalam wujud sumbangan
pikiran, pendapat maupun tindakan, dapat pula berupa sumbangan biaya, material untuk
perbaikan lingkungannya. (Alit, 2005). Pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari keikutsertaannya dalam 5 tahap kegiatan, yaitu kegiatan dalam pengambilan
inisiatif, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, serta pengelolaan dan
pemeliharaan. Menurut Parsons dalam Suharto (2005:58-59),
“Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk
berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-
kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan
menenkankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang
cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya.”

Selanjutnya berdasarkan konsep World Bank dalam Mardikanto (2010:34) disebutkan bahwa:
“Pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan
kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara atau menyuarakan
pendapat,ide, atau gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice)
sesuatu (konsep, metoda, produk, tindakan, dan lain-lain) yang terbaik bagi pribadi,keluarga,
dan masyarakatnya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan proses
meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat.
Bebbington dalam Mardikanto (2010:36) mengemukakan pengertian pemberdayaan
masyarakat sebagai “Empowernment is a process trough wich those excluded are able to
participate more fully in decision about forms of growth, strategies of development, and
distribution of their product.”
(Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan
diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan adalah memampukan
dan memandirikan masyarakat.)
Kristiadi dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007:117) mengemukakan bahwa ujung
dari pemberdayaan masyarakat ialah harus membuat masyarakat memenuhi 3 kriteria, yaitu :
1. Swadiri : yaitu mampu mengurusi diri sendiri
2. Swadana : yaitu mampu membiayai keperluan sendiri
3. Swasembada :yaitu mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara berkelanjutan.
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat
(community development ) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-
based development) (Chamber, 1995 dalam Kartasasmita, 1997). Pendekatan utama dalam
konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek
pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Tahapan
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dimulai dari proses seleksi lokasi sampai dengan
pemandirian masyarakat (Subejo dan Supriyanto, 2004). Menurut Laverack (2006) dalam
Heritage (2009), pemberdayaan tidak dapat dilakukan kepada orang lain kecuali jika ia
mempunyai daya (power) dan menginginkannya. Hal ini dapat dilakukan melalui capacity
building dan tindakan sosial untuk mengatasi kondisi sosial, struktural dan ekonomi yang
berdampak pada kesehatan.
Menurut WHO (2002) dalam Heritage (2009), partisipasi masyarakat adalah proses di
mana masyarakat dimungkinkan menjadi aktif dan terlibat dalam mendefinisikan isu-isu di
masyarakat, pengambilan keputusan tentang faktor yang berdampak pada kehidupan,
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan, merencanakan, mengembangkan dan
memberikan pelayanan dan mengambil tindakan untuk mencapai perubahan. Konsep
partisipasi dapat diuraikan lebih lanjut dalam pengertian berikut ini:
Pertama, partisipasi masyarakat mengimplikasikan perbedaan tipe dan tingkatan
partisipasi (contoh konsultasi dan pemberdayaan). Kedua, Partisipasi masyarakat
merepresentasikan metode kerja yang prioritasnya agar memungkinkan masyarakat untuk
berpartisipasi (membangun kapasitas masyarakat dan pengembangan masyarakat).Ketiga,
Partisipasi masyarakat menjelaskan atau mempetakan interaksi dan hubungan dengan
masyarakat yang dipengaruhi oleh partisipasi dan hubungannya dengan kesehatan dan
kesejahteraan (contoh social capital dan community cohesion)
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan
wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan
berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan
(level of involvement ) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan
untuk mencari solusi permasalahan yang lebih baik dalam suatu komunitas dengan membuka
lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk ikut memberikan kontribusi sehingga
implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan. Menurut Marisa B.
Guaraldo Chougil, partisipasi masyarakat di negara-negara yang kurang berkembang
(underdeveloped ), dapat dibagi menjadi 8 tingkatan yaitu : Pemberdayaan (Empowerment),
Kemitraan (Partnership), Mendamaikan (Conciliation) Dissimulasi/Pura-pura
(Dissimulation), Diplomasi (Diplomation) , Memberikan Informasi (Informing) , Konspirasi
(Conspiration) , Management Diri Sendiri (Self Management).

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, 1992


Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan
Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut
Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.

Kusnadi, 1998, Nelayan Buruh: Lapisan Sosial yang Paling Miskin di Desa Pantai, Makalah
dipresentasikan di Pusat Studi Komunitas Pantai, 5 Januari 1998.

Mansyur, cholil, 2001, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, , usaha nasional.
Meinarno, Eko, Widianto, Bambang, Halida, Rizka, 2011, Manusia Dalam Kebudayaan dan
Masyarakat, Salemba Humanika

Anda mungkin juga menyukai