Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar
Imunitas merupakan respon adaptif yang normal. Sistem imun ini
melindungi tubuh dari invasi mikroba dan mencegah terjadinya ploriferasi sel
yang mengalami mutasi seperti yang terjadi pada pertumbuhan neoplasma.
Saat ini pengetahuan mengenai sistem imun semakin meningkat melalui
pengalaman-pengalaman alami yang diperoleh dari individu yang mendapat
gangguan pada sistem kekebalan tubuhnya baik itu yang diperoleh karena
faktor herediter, kelainan kongenintal maupun melalui penularan sebagai
contoh adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV)yang menyebabkan
Virus Acquired Immuno Deficiency Sindrome (AIDS).
HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan dunia.
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena
AcquiredImmunodeficiency Syndrome ( AIDS) sangat berakibat pada
penderitanya. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan
sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya
dirusak oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Cara penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, penggunaan
obat suntik, ibu ke anak-anak dan lain-lain.Mengenai penyakit HIV/AIDS,
penyakit ini telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat
dunia, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin
HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obat yang dapat sepenuhnya
menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat
namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara
berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang
diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal
terjadinya AIDS.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apa definisi dari HIV?
1.2.2. Apa Etiologi dari HIV?
1.2.3. Bagaimana patofisiologi dari HIV/AIDS?
1.2.4. Bagaimana manifestasi klinis HIV/AIDS
1.2.5. Apa diagnosa dan penatalaksanaan infeksi dan keganasan yang sering
timbul pada hiv?
1.2.6. Bagaimanakah pemeriksaan pada pasien HIV?
1.2.7. Apa komplikasi yang akan muncul dari HIV/AIDS ?
1.2.8. Bagaimana pencegahan HIV?
1.2.9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien
dengan HIV/AIDS komplikasi TB paru?

1.3. Tuju
1.3.1. Untuk mengetahui definisi dari HIV
1.3.2. Untuk mengetahui etiologi dari HIV
1.3.3 Untuk mengetahui patofisiologi dari HIV
1.3.3. Untuk mengetahui manifestasi klinis HIV
1.3.4. Untuk mengetahui diagnosa dan penatalaksanaan infeksi dan
keganasan yang sering timbul pada hiv
1.3.5. Untuk mengetahui pemeriksaan HIV
1.3.6. Untuk mengetahui komplikasi yang akan mucul pada HIV
1.3.7. Untuk mengetahui pencegahan HIV
1.3.8.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Defini
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut ‘sel T-4’ atau ‘sel
T-penolong’ (T-helper), atau disebut juga ‘sel CD-4’. HIV tergolong dalam
kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk
“mengkopi-cetak” materi genetik diri didalam materi genetic sel-sel yang
ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4.
Virus HIV telah ada di dalam tubuh sebelum munculnya penyakit AIDS. Tidak
semua orang yang terinfeksi virus HIV ini terjangkit penyakit AIDS menunjukkan
bahwa ada faktor-faktor lain yang berperan adalah :

a. Penggunaan alkohol dan obat bius,


b. kurang gizi,
c. tingkat stress yang tinggi
d. adanya penyakit lain terutama penyakit yang ditularkan lewat alat
kelamin

Faktor yang lain adalah waktu. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa


kesempatan untuk terkena AIDS meningkat, bukannya menurun dikarenakan
faktor waktu. HIV secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh
dengan cara menyerang dan menghancurkan kelompok-kelompok sel-sel darah
putih tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya sel T-helper ini (juga disebut sel T4)
memainkan suatu peranan penting pada pencegahan infeksi. Ketika terjadi infeksi,
sel-sel ini akan berkembang dengan cepat, memberi tanda pada bagian sistem
kekebalan tubuh yang lain bahwa telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh
memproduksi antibodi yang menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan
virus-virus yang berbahaya. Virus HIV ini mengubah struktur sel yang
diserangnya. Virus ini menyerang dengan cara menggabungkan kode genetiknya
dengan bahan genetik sel yang menularinya. Hasilnya, sel yang ditulari berubah
menjadi pabrik pengasil virus HIV yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan
dapat menulari sel-sel T-helper yang lain. Proses ini akan terjadi berulang-ulang.

2.2. Etiolo
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena.
3. Partner seks dari penderita AIDS.
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
2.3. Patofi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun )
adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan
terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan
protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen
grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi
virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes
zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

2.4. Manifestasi klinik


Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat
mengenai setiap sistem organ, salah satunya sistem pernapasan. Pneumonia
Pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunitis, seperti yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium-intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV)
dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering ditemukan di antara
penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP) yang merupakan
penyakit oportunis pertama yang dideskriPasienikan berkaitan dengan AIDS.
Pneumonia ini merupakan manifestasi pendahuluan penyakit AIDS pada 60% pasien.
Tanpa terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang-orang yang terinfeksi HIV
P. carinii awalnya diklasifikasikan sebagai protozoa, namun sejumlah penelitian dan
pemeriksa¬an analisis terhadap struktur RNA ribosomnya menunjukkan bahwa
mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati demikian, struktur dan
sensitivitas antimikrobanya sangat berbeda dengan jamur penyebab penyakit yang
lain. P. carinii hanya menimbulkan penyakit pada hospes yang kekebalannya
terganggu. Jamur ini menginvasi dan berproliferasi dalam alveoli pulmonalis
sehingga terjadi konsolidasi parenkim paru.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode
waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya
memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil,
batuk nonproduktif, napas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. PCP
dapat ditemukan kendati tidak terdapat krepitasi. Konsentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pasien yang bernapas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan hipoksemia minimal.
Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan
paru yang signifikan dan pada akhirnya, kegagalan pernapasan. Beberapa pasien
memperlihatkan awitan yang dramatis dan perjalanan penyakit yang fulminan yang
meliputi hipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubahan status mental.
Kegagalan pernapasan dapat terjadi dalam waktu 2 hingga 3 hari setelah timbulnya
gejala pendahuluan.
Diagnosis pasti PCP dapat ditegakkan dengan mengenali
mikroorganisme dalam jaringan paru atau sekret bronkus. Penegakan diagnosis ini
dilaksanakan dengan prosedur seperti induksi sputum, lavase bronkial-alveolar dan
bioPasieni transbronkial (melalui bronkoskopi serat optik).
Kompleks Mycobacterium avium. Penyakit kompleks Mycobacterium
avium (MAC; Mycobacterium avium Complex) muncul sebagai penyebab utama
infeksi bakteri pada pasien-pasien AIDS. Mikroorganisme yang termasuk ke dalam
MAC adalah M. avium, M. intracellulare dan M. scrofulaceum. MAC, yaitu suatu
kelompok baksil tahan-asam, biasanya menyebabkan infeksi pernapasan kendati
juga sering dijumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan sumsum
tulang. Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk. Infeksi MAC
akan disertai dengan angka mortalitas yang tinggi.
M. tuberculosis yang berkaitan dengan HIV cenderung terjadi di antara
para pemakai obat bius IV dan kelompok lain dengan prevalensi infeksi tuberkulosis
yang sebelumnya sudah tinggi. Berbeda dengan infeksi oportunis lainnya, penyakit
tuberkulosis (TB) cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan
biasanya mendahului diagnosis AIDS. Terjadinya tuberkulosis secara dini ini akan
disertai dengan pembentukan granuloma yang mengalami pengkijuan (kaseasi)
sehingga timbul kecurigaan ke arah diagnosis TB. Pada stadium ini. penyakit TB akan
bereaksi dengan baik terhadap terapi antituberkulosis. Penyakit TB yang terjadi
kemudian dalam perjalanan infeksi HIV ditandai dengan tidak terdapatnya resposn
tes kulit tuberkulin karena sistem kekebalan yang sudah terganggu tidak mampu lagi
bereaksi terhadap antigen TB. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB
disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf
pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum. Strain multipel baksil
TB yang resistenobat kini bermunculan dan kerapkali berkaitan dengan
ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan antituberkulosis.
2.5. Diagnosa dan penatalaksanaan infeksi dan keganasan yang sering
timbul pada HIV
Beberapa tanda dan gelaja umum dari pasien yang terinfeksi HIV tidak
sama dengan tanda dan gejala yang terjadi pada infeksi virus lainnya. Tanda dan
gejala yang terjadi meliputi demam berulang, menurunnya nafsu makan,
penurunan berat badan yang kronik, limfadenopati umum persisten dan mudah
letih. Sejalan dengan progresivitas penyakit yang melemahnya system kekebalan
tubuh (mis. Adanya penurunan sel-sel T4) maka infeksi oportunistik akan lebih
mudah timbul. Jika hal ini terjadi, maka gejala-gejala lain seperti sakit kepala,
pandangan kabur, nafas pendek, batuk, mudah lupa, kejang gangguan neurologi
fokal, keringat malam, lesi oral, fisfagia, mual, muntah dan diare dapat terjadi.

 HIV dan Limfadenopati Umum

Pada awal tahun 1979 dan 1980 disaat ditemukannya virus HIV. Para dokter
mulai melakukan observasi terjadinya limfadenopati umum resisten (LUP) pada
kelompok pria homoseksual yang sehat. Kini, LUP didefinisikan sebagai
terabahnya limfadenopati dengan diameter 1 cm atau lebih pada 2 atau lebih
daerah ekstrainguinal yang menetap lebih dari 3 bulan disaat tidak hidup, adanya
penyakit lain atau kondisi lain selain dari infeksi virus HIV. Akhir- akhir ini LUP
dikelompokkan dalam grup A pada system klarifikasi CDC bagi infeksi HIV.

 Diagnosa

Sebelum diagnose LUP ditegakan, pada pasien harus ditemukan adaknya


kelenjar limfe yang teraba dengan ukuran 1 cm atau lebih yang terjadi pada dua
atau lebih pada daerah eksrainguinal dan menerap selama lebih dari 3 bulan disaat
tidak adanya penyakit lain atau kondisi lain selain infeksi HIV.

 Penatalaksanaan

Tidak ada petunjuk penatalaksanaan bagi yang menderita LUP. Hal pertama
yang dipikirkan adalah adanya penyebab-penyebab lain dari adenopati, seperti
sifilis, toxoplasmosis, hepatitis B, virus sitomegalo, reaksi obat, histoplasmosis,
tuberkolosis dan kriptokokkus. Pemeriksaan rutin yang dilakukan setiap 3 bulan
sekali dan dilanjutkan dengan pengevaluasian system kekebalan tubuh (mis. Ratio
T4/T8, nilai T4 absolut, sel darah putih, hemoglobin/hematokrit, dan trombosit)
dianjurkan untuk dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala-gejala klinik.
Bagi pasien yang menunjukkan gejala-gejala klinik dan memperlihatkan
progresivitas infeksi HIV yang dialami dan LUP, mungkin perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut tergantung pada gejala-gejala yang timbul.

2.6. Pemer
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cermat dan ditujukan pada


system-sistem tubuh yang telah didiskusikan di atas. Untuk itu, focus utama
pemeriksaan fisik pada pasien positif HIV harus mencakup pemeriksaan mulut,
mata, kulit, system saraf sentral danperifer, paru-paru, jantung, kelenjar getah
beningm abdomen, rectum dan genitalia.

a. Mulut
Saat melakukan inspeksi mulut, perhatian harus dipusatkan pada adanya
plak yang berwarna putih pada buccal mukosa, langit-langit keras dan
langit-langit lunak, serta lidah. Lesi-lesi yang menyerupai plak dan
berwarna putih biasanya sering disebabkan oleh Kandida tetapi bisa juga
disebabkan oleh leukoplakia berambut pada mulut (oral hairy leukoplakia).
Leukoplakia berambut pada mulut biasanya timbul pada bagian lateral
lidah, dan tidak seperti Kandida pada oral, leukoplakia berambut pada
mulut tidak mudah dibuang dengan kerokan. Manifestasi klinik lainnya
yang dapat ditemukan pada mulut anatara lain lesi ulseratif yang
merupakan indikasi adanya infeksi oleh herpes simpleks, ulkus aphthous,
atau histoplasmosis. Lesi yang berwarna ungu, ciklat dan menonjol pada
rongga mulut harus dicurigai sebagai sarcoma Kaposi sampai ada terbukti
bahwa lesi tersebut bukan lesi Kaposi.
b. Mata
Abnormalitas klinik yang dapat terjadi pada mata dapat disebabkan oleh
abnormalitas pada mikrovaskuler seperti pada cotton wool spots. Virus
sitomegalo dan sarcoma Kaposi merupakan penyebab yang paling sering.
Yang juga dapat menybabkan herpes simpleks, zoster, Kriptokokus,
Kandida, Mycobacterium avium intracellulare, dan tuberculosis.
Dari semua kemungkinan-kemungkinan ini, retinitis yang disebabkan oleh
virus sitomegalo masih merupakan penyebab hilangnya fungsi penglihatan
yang paling sering pada pasien-pasien AIDS. Pada hasil pemeriksaan
funduskopi biasanya ditemukan adanya eksudat perivaskuler yang banyak
serta perdarahan. Adanya cotton wool spots mungkin juga disebabkan oleh
retinitis aktif. Menurut salah satu sumber, retinitis virus sitomegalo secara
khas mempengaruhi pasien-pasien yang system kekebalan tubuhnya
semakin lemah. Observasi ini didukung oleh adanya penemuan yang
menyatakan angka infeksi yang terjadi sebanyak 35% pada beberapa seri
otopsi tetapi hanya 5% pada populasi yang bergerak. Gambaran penting
dari retinitis virus sitomegalo yang berbeda dari gambaran klinik yang
disebabkan oleh toksoplasmosis, candidiasis, dan penyebab-penyebab
lainnya, yaitu retinitis virus sitomegalo seringkali tidak disertai dengan
respon inflamasi pada vitreus humor. Pada retinitis virus sitomegaloo,
retina dapat dengan mudah dilihat.
Penyakit okuler ekstraretina sering disebabkan oleh sarcoma Kaposi.
Sarcoma Kaposi paling sering menyerang kulit, tetapi jika menyerang
mukosa biasanya akan ditemukan pada traktus gastrointestinal, orofaring,
atau struktur konjungtiva. Walaupun sarcoma Kaposi dalam keadaan ini
jarang menyebabkan rasa tidak nyaman yang berarti atau nyeri, tetapi
sarcoma Kaposi biasanya menyebabkan gangguan kosmetik yang tidak
disukai.
c. Kulit
Pemeriksaan pada kulit merupakan suatu tantangan karena kelainan kulit
yang sering terjadi dapat timbul dengan cara yang berlebihan, sehingga
membuat kelainan-kelainan ini sulit untuk didiagnosa. Lesi-lesi pada kulit
yang sering timbul anatara lain herpes simpleks, herpes zoster, kondiloma,
pembentukan abses (terutama abses-abses perirektal), folikulitis, sifilis
sekunder, scabies, paronikhia/onikholisis, Tinea versicolor, sarcoma
Kaposi, dermatitis seboroika, dan xerosis. Kelainan-kelainan klinik ini
lebih sering timbul pada individu yang mengalami gangguan system imun
(hitung sel T4 kurang dari 200/mm3). Sebagai tambahan, pasien-pasien
yang hitung sel T4-nya kurang dari 200/mm3 dapat menderita lesi yang
tidak khas seperti lesi ulserasi berat yang disebabkan oleh herpes simpleks.
d. System Saraf Pusat dan Perifer
Manifestasi neurologis, baik pada susunan saraf pusat maupun pada saraf
perifer sering terjadi, oleh karena itu pemeriksaan neurologi harus
mendapat perhatian khusus. Pemeriksaan neurologi yang lengkap harus
dilakukan, termasuk mengevaluasi fungsi saraf cranial, motorik, dan
system sensoris, refleks-refleks, sikap tubuh, sikap saat istirahat, fungsi
serebral, dan pemeriksaan-pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan
adanya tanda-tanda meningitis, dan tanda frontal release (refleks
menggenggam dan refleks snout). Jika diperlukan, rujukan untuk
pemeriksaan neuropsikologis juga perlu dipertimbangkan, terutama jika
dicurigai adanya kelainan pada kemampuan kognitif/motorik/perilaku,
seperti pada demensia kompleks pada AIDS. Hal yang menyukarkan
adalah bahwa perubahan yang ditemukan bukan hanya perubahan yang
jelas tetapi juga perubahan yang sangat samar.
e. Jantung
Komplikasi kardiovaskuler pada HIV jarang sekali terjadi. Tuberculosis
dan organism jamur lainnya dapat menyebabkan efusi pericardial; oleh
karena itu pemeriksaan jantung lengkap harus dilakukan. Masalah yang
cukup mengkhawatirkan, terutama pada pasien-pasien yang menggunakan
obat-obatan suntikan terlarang, adalah kemungkinan adanya infeksi
endokarditis bakteri. Kardiomiopati telah dikaitkan dengan HIV, dan
walaupun jarang terjadi, keadaan ini mengkonotasikan prognosis yang
buruk.
f. Kelenjar Getah Bening
Inspeksi kelenjar getah bening harus dilakukan secara rutin karena banyak
penyakit-penyakit AIDS yang disertai pembesaran kelenjar getah bening.
Adanya perubahan ukuran kelenjar getah bening dapat disebabkan oleh
virus terutama CMV, virus Epstein-Barr, dan HIV. Sebagai petunjuk
umum, adanya benjolan yang lunak, mudah bergerak, dan nyeri
disebabkan oleh virus, sedangkan bila benjolan tersebut keras, nyeri, atau
tidak dapat bergerak maka mengindikasikan adanya masalah sekunder
seperti infeksi bakteri, jamur, atau mikobakterium atau neoplasma. Jika
benjolan tersebut teraba keras, tidak dapat bergerak, dan tidak nyeri
biasanya mengindikasikan adanya neoplasma. Kita harus perhatikan
terhadap adanya perubahan pada benjolan tersebut (misalnya ukurannya
bertambah besar atau bentuknya menjadi tidak simetris). Kelenjar getah
bening yang harus diperiksa antara lain yang terdapat pada supraklavikula,
servikal anterior dan posterior, pre dan postaurikula, tonsil, oksipital,
submandibula, submental, epitroklear, aksila, femoralis dan inguinalis.
g. Abdomen
Inspeksi abdomen harus dilakukan untuk mencari adanya massa,
organomegali, asites dan nyeri tekan. Hepatosplenomegali yang terjadi
bisa disebabkan oleh virus hepatitis, infeksi jamur diseminata, atau infeksi
mikobakterium. Adanya massa atau organomegali yang meluas biasnya
mengindikasikan adanya neoplasma atau jamur. Pada pasien yang
mengalami diare seringkali adanya nyeri yang tidak dapat dijelaskan pada
kuadran bawah, keadaan ini mengindikasikan adanya colitis yang
disebabkan oleh parasit, bakteri, atau virus. Malabsorpsi juga dapat
menyebabkan diare pada pasien tapi tidak disertai dengan gejala-gejala
fisik. Ascites dapat terjadi pada hati yang terkena infeksi jamur,
tuberculosis dan mikobakteriosis nontuberkulosis, sarcoma Kaposi, atau
limfoma.
h. Genetalia dan Rektum
Baik genetalia dan rectum harus dilakukan inspeksi dan palpasi untuk
mencari adanya lesi yang sesuai dengan lesi herpes, scabies, sifilis, tinea,
chancroid, kondiloma, dan sarcoma Kaposi. Kecuali yang sarcoma Kaposi,
semua penyebab diatas sering terlihat pada area ini. Sarcoma Kaposi
mungkin dapat terlihat pada tahap akhir penyakit. Pemeriksaan pada
rectum harus dilakukan pada semua pasien. Pada pria, harus dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui adanya prostatitis dan proktitis; sedangkan
baik pada pria maupun wanita harus dilakukan pemeriksaan darah samar
untuk mengetahui adanya perdarahan gastrointestinal.

2.7 komplikasi yang akan muncul dari HIV/AIDS

Komplikasi dengan penyakit HIV-AIDS, yaitu :


Penurunan sistem kekebalan tubuh akibat virus HIV (Human Immuno
Deficiency Virus), menyebabkan tubuh mudah diserang penyakit-penyakit
1. Tuberkulosis Paru
2. Pneumonia Premosistis
3. Berbagai macam penyakit kanker
4. Pemeriksaan Penunjang
2.8 Pencegahan HIV
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan AIDS, belum
ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS, dan belum ada metode yang
terbukti dapat menghilangkan infeksi pada karier HIV. Karena alasan ini, segala
usaha harus dilakukan untuk mencegah transmisi HIV.

 Cara Transmisi
Cara transmisi HIV yang paling sering adalah melalui hubungan seksual dengan
orang yang terinfeksi dan kontak dengan darah yang telah terkontaminasi,
terutama melalu penggunaan jarum suntuk secara bersama-sama di antara
pengguna obat-obat bius melalui intravena. Belum ada bukti yang menyatakan
bahwa kontak yang tidak disengaja (misalnya melalui makanan, gelas dan piring,
kamar mandi atau bersin) dapat menyebabkan infeksi AIDDS. Walaupun HIV
telah dapat diisolasi dari cairan dan jaringan tubuh seperti darah, semen, saliva, air
mata, ASI, urine, kelenjar limfe, jaringan otak, cairan serebrospinalis, dan
sumsum tulang, tetapi hanya darah dan semen yang merupakan cairan tubuh yang
menjadi tempat berkumpulnya virus ini dengan konsentrasi sedang sampai tinggi
dan tampaknya merupakan caira tubuh yang diketahui secara epidemiologi
berkaitan dengan transmisi infeksi HIV.

Karena segala sesuatunya yang berhubungan dengan infeksi HIV masih


belum jelas, maka perlu kiranya untuk selalu berhati-hati terhadap semua cairan,
jaringan, sekresi, dan ekskresi yang berasal dari pasien sebagai sesuatu yang
bersifat infeksis, terutama jika mengandung darah. Penggunaan alat-alat secara
parenteral dan membrane mukosa yang telah bersentuhan dengan zat-zat di atas
harus dihindari. Petunjuk penggunaan darah dan cairan tubuh yang baru
menyebutkan bahwa semua cairan tubuh yang berasal dari pasien yang menderita
penyakit apapun harus diperlakukansebagai zat yang dapat menyebabkan infeksi.

 Menurunkan Risiko Penularan HIV


Petunjuk untuk mengurangi risiko terpapar oleh darah dan cairan tubuh telah
disusun oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the
Occuptional Safety and Health Administration (OSHA). Petunjuk ini sangat
berguna untuk menurunkan transmisi HIV dan VHB pada individu dan tenaga
kesehatan.

Penurunan Risiko pada Individu

Banyak metode telah dianjurkan dilakukan untuk menurunkan terjadinya risiko


transmisi HIV. Secara keseluruhan, pendidikan kesehatan dan peningkatan
pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan trnasmisinya sangat
penting diketahui oleh tiap orang terutama mengenai fakta penyakit dan perilaku
yang dapat membantu mencegah penyebarannya. Individu yang melakukan paling
sedikit salah satu dari perilaku di bawah ini mempunyai risiko untuk
mentransmisikan HIV: hubungan seks melalui anus, hubungan seks dengan
pasangan yang berganti-ganti, pengguna obat-obat bius terlarang dengan
menggunakan suntikan, pengobatan medis dengan menggunakan darah dan
produknya, atau berhubungan seks dengan orang yang melakukan salah satu
tindakan-tindakan tersebut di atas. Bayi mempunyai risiko terinfeksi melalui
transmisi dari ibu yang terinfeksi HIV saat masih dikandungan, saat melahirkan
maupun setelah kelahiran.
Kontak seksual di antara homoseksusal merupakan penyebab factor risiko
utama untuk mendapatkan HIV. Tindakan seksual yang berbahaya adalah
mengadakan hubungan seksual anal dan oral tanpa pelindung. Aktivitas seks jenis
ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan local, jaringan yang terluka ini dapat
menjadi jalan masuk bagi virus yang berasal dari semen pasangan di saat
melakukan hubungan seks. Kebanyakan homoseksual mempunyai pasangan lebih
dari satu, hal ini akan menambah risiko mereka. Bagi pasien homoseksual, diskusi
mengenai kegiatan seksual mereka sangat diperlukan. Setelah mengetahui
kebiasaan seksual mereka, maka harus dijelaskna tindakan pencegahannya.
Sebagai contoh, pasien yang sering mau melakukan hubungan seksual melalui
anal harus memilih untuk menahan diri dari aktivitas tersebut. Sebagai alternative,
pakai kondom.

Mempunyai pasangan seksual yang lebih dari satu, heteroseksual dan/atau


homoseksual juga harus dipertimbangkan sebagai perilaku yang berisiko. Denga
semakin banyaknya orang yang terjangkit, semakin besar pula risiko untuk
mendapatkan HIV. Walaupun misalnya seseorang hanya mempunyai sedikit
pasangan dalam berhubungan seksual, tetapi pasangan-pasangan tersebut mungkin
berhubungan intim dengan beratus-ratus orang yang berbeda. Para wanita tuna
susila pada umumnya tidak mau menginformasikan status kesehatannya kepada
orang lain, dan kegiatan hubungan seksual yang tidak amanpun terjadilah.
Pencegahan timbulnya risiko karena berhubungan dengan banyak pasangan
membutuhkan kesadaran dari diri individu itu sendiri akan risiko ini. Pasien harus
mengurangi jumlah pasangannya di masa yang akan datang atau memilih untuk
menggunakan kondom untuk mencegah penyebaran virus tersebut.

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntikan, risiko yang


timbul berasal dari kontak dengan darah karena penggunaan jarum suntik secara
bersamaan dan/atau penggunaan jarum suntik hipodermik secara berulang. Yang
termasuk dengan pemakai obat-obat melalui suntikan adalah setiap cara
pemakaian obat yang masuk ke tubuh melalui pengerusakan kulit oleh jarum
suntik termasuk intravena, intraarterial, intramuscular, dan subdermal. Pasien
yang menggunakan obat-obat melalui suntikan perlu mendapat pengetahuan
mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat
dimanfaatkan oleh pasien yang termotiasi untuk menghentikan penggunaan obat-
obat tersebut. Bila pasien tidak dapat atau tidak ingin menghentikan penggunaan
obat-obat dengan suntikan, perlu beberapa tindakan pencegahan yang dapat
membantu menurunkan penyebaran HIV seperti tidak menggunakan alat suntik
secara bersama-sama, membersihkan alat suntik dengan cairan pembersi atau
mengganti jarum suntik. Mereka yang terlibat dalam prostitusi dan juga
menggunakan obat-obat dengan suntikan mempunyai risiko yang lebih tinggi
daripada pengguna obat-obat saja.

Ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak terlibat dengan kebiasaan


yang berbahaya, tetapi mempunyai risiko untuk mendapatkan HIV karena
pasangan seksual mereka mempunyai perilaku yang berisiko. Pencegahan HIV
pada kelompok ini adalah dengan memberikan pengetahuan mengenai
kemungkinan risiko yang timbul dari pasangan seksual mereka. Untuk semua
orang yang mempunyai riwayat aktivitas homoseksual akhir-akhir ini atau di masa
lalu, mempunyai pasangan seksual yang banyak, pengguna obat-obat dengan
suntikan, dan/atau mendapat pengobatan dengan darah atau produknya,
penggunaan teknik seks yang aman dengan pasangan seksualnya dapat membantu
mencegah penyebaran HIV. Pantangan terhadap aktivitas seksual merupakan satu-
satunya metode yang paling aman untuk mencegah transmisi HIV melalui
hubungan seksual. Tetapi karena cara ini tidak disukai, maka metode pencegahan
yang disebut dengan istilah teknik seks yang aman telah diperkenalkan. Walaupun
penggunaan teknik seks yang aman tidak akan mencegah transmisi HIV secara
menyeluruh, tetapi cara ini dapat digunakan sebagai perlindungan. Yang
dimaksudkan dengan teknik seks yang aman antara lain adalah dengan
menghindari aktivitas seksual yang berisiko termasuk hubungan intim melaui anal
atau vagina, penggunaan kondom yang terbuat dari lateks selama melakukan
aktivitas seksual yang berisiko, penggunaan spermisida nonoksinol-9, dan
pemijatan serta sentuhan.

Pasien yang telah mendapatkan pengobatan dengan darah atau produknya


mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Sampai dengan akhir
tahun 1985, kebutuhan darah yang diperoleh melalui donor pada umumnya tidak
di tes secara adekuat untuk mengetahui adanya antibody HIV. Sebagai tambahan,
pemberian factor pembeku darah pada penderita hemophilia juga tidk diperiksa
untuk mengetahui adanya HIV. Sebagai akibatnya, setiap pasien yang
membutuhkan transfuse darah atau mendapat factor pembeku darah, karena
kurang hati-hati terinfeksi oleh HIV. Semenjak dilakukan pemeriksaan antibody
HIV pada pendonor darah yang ingin menyumbangkan darahnya dan dilakukan
pemeriksaan pada darah simpanan yang akan digunakan, risiko terjadinya
transmisi HIV menurun banyak dengan angka kejadian antara 1 per 40.000- 1 per
150.000 unit infuse pada tahun 19891. Pasien yang menerima transfuse darah di
tahun 1985, sedang menunggu keadaan status HIVnya, sebaiknya tidak
melakukan kontak seksual atau menggunakan teknik seks yang aman. Karena
masih adanya sisa risiko transmisi HIV melalui transfuse darah, pasien yang baru-
baru ini menerima transfuse darah juga perlu melakukan tindakan di atas. Untuk
pasien yang membutuhkan transfuse darah atau factor pembeku darah di masa
yang akan datang, metode pencegahan yang dilakukan mencakup beberapa pilihan
termasuk di dalamnya menyimpan darah sendiri sebelum operasi, hemodilusi,
penyelamatan darah pada periode perioperatif, dan penggunaan rekombinan factor
pembeku darah, rekombinan factor pertumbuhan hematopoietic, dan penggnati sel
darah merah1.

Transmisi HIV ke fetus dan bayi baru lahir mungkin saja terjadi. Bagi
wanita yang diketahui menderita positif HIV, metode pencegahan yang perlu
dilakukan termasuk penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan
tidak memberikan ASI pada bayinya. Wanita usia subur yang menunjukkan
aktivitas seksual yang aktif harus memahami benar risiko terjadinya transmisi
HIV pada anaknya di masa yang akan datang dan sebaiknya menggunakan teknik
seks yang aman untuk menjaga agar tidak terinfeksi.

Pengurangan Risiko Terhadap Tenaga Kesehatan

Bagi tenaga kesehatan, petunjuk yang dikeluarkan oleh OSHA 2


menginformasikan tindakan pencegahan antara lain penggunaan alat
perlindungan pribadi dapat menurunkan risiko terkena darah atau bahan-bahan
lain yang mungkin infeksius. Alat yang dianjurkan untuk digunakan antara
lain sarunf tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka atau
masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut harus tepat sesuai dengan
kebutuhan aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jika
tenaga kesehatan mempunyai tugas yang menyebabkan terjadinya kontak
dengan darah dan bahan-bahan infeksius lainnya, maka penggunaan baju
pelidung sangat diperlukan. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, penggunaan
sarung tangan sekali pakai adalah tindakan yang tepat. Sarung tangan yang
terbuat dari lateks ini langsung dibuang setelah sekali digunakan. Jika tenaga
kesehatan tersebut alergi terhadap baha lateks, dapat juga digunakan sarung
tangan hipoalergi. Sarung tangan perlu dipakai pada hampir semua situasi
yang membutuhkan tindakan flebotomi. Satu-satunya pengecualian adalah di
pusan donor darah sukarela, dimana pemakaian sarung tangan tidak
diperlukan. Tenaga kesehatan yang bekerja di pusat donor darah sukarela
boleh saja tidak menggunakan sarung tangan, walaupun begitu mereka harus
menggunakan sarung tangan jika mereka mempunyai luka, tergores, atau ada
kerusakan kulit, saat sedang melakukan latihan, atau juga mereka merasa
bahwa kemungkinan kontaminasi dapat terjadi.
Tergantung dari macam pekerjaannya
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Identitas pasien
Nama : Tn “J”
Umur : 44 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Suku : Dayak
Pendidikan : SD
Alamat : Jl. Dsn. Suka Damai RT 04/004. Pasigi.
Mempawah Hulu
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 04 Oktober 2014
Tanggal pengkajian : 06 Oktober 2014
Diagnosa medis : PLHA + Obs. DyspePasienia, TB Paru.
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn “A”
Jenis kelamin : Laki-laki
Hubungan dengan pasien : Adik
2. Riwayat Penyakit
a. Alasan masuk rumah sakit sakit
Pasien mengatakan demam ± 2 bulan SMRS, demam naik turun. Pasien juga
mengatakan batuknya berdahak ± 1 tahun yang lalu SMRS, sering sesak.
Pasien pernah berobat TB paru hanya 2 bulan saja. Pasien mengatakan
nafsu makannya berkurang.
b. Keluhan utama
Pasien mengatakan napasnya terasa sesak, pasien juga mengatakan ada
batuk berdahak.
c. Keluhan saat dikaji
Pasien mengatakan nafsu makannya menurun, sering juga mual muntah.
Pasien mengatakan juga tidak bisa tidur saat malam hari karena gelisah,
sesak dan batuk berdahak.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan pernah berganti-ganti pasangan ketika berhubungan
intim dan pasien memiliki riwayat mentato badannya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita penyakit
menular dan penyakit kronis lainnya.
3. Genogram


 


Keterangan :

 : Laki-laki

 :Perempuan

: Pasien

: Tinggal dalam satu rumah


Data Biologis
a. Pola nutrisi
SMRS : Pasien makan tiga kali sehari dengan menu bervariasisatu porsi
makan habis.
MRS : Pasien tidak nafsu makan dan makan satu kali sehari porsi
makan RS tidak habis sisa 1/2.
b. Pola minum
SMRS : Pasien minum 7-8 gelas sehari (1.5-2 liter)
MRS : Pasien minum 5-6 gelas sehari (0.8-1 liter)
c. Pola eliminasi
SMRS : Pasien BAB satu kali sehari, BAK 7-8 kali sehari
MRS : Pasien jarang BAB karena jarang makan, BAK 6-7 kali sehari.
d. Pola istirahat/tidur
SMRS : Pasien tidur 7-8 jam sehari.
MRS : Pasien tidur hanya ± 3-4 jam saat malam hari, saat rasa sesak
dan batuk datang, pasien terjaga.
e. Pola hygiene
- Mandi
SMRS : Pasien mandi dua kali sehari.
MRS : Pasien mandi satu kali sehari.
- Cuci rambut
SMRS : Pasien mencuci rambutnya saat mandi.
MRS : Pasien hanya membasahi rambutnya ketika mandi.
- Gogok gigi
SMRS : Pasien gosok gigi dua kali sehari.
MRS : Pasien baru satu kali menggosok gigi selama tiga hari
masuk rumah sakit.
4. Pola aktifitas
Aktifitas 0 1 2 3 4

Mandi √
Berpakaian √

Eliminasi √
Mobilisasi ditempat tidur √

Pindah √
Makan dan minum √

Keterangan : 0 = mandiri
1 = dibantu sebagian
2 = perlu bantuan orang lain
3 = perlu bantuan orang lain dan alat
4 = tergantung orang lain tidak mandiri
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : E4M6V5 (GCS = 15) Compos
Mentis
TTV : TD = 100/80 mmHg
N = 86x/menit
RR = 40x/menit
S = 37,3ºC
Berat badan
SMRS : 55 Kg± 6 bulan lalu
MRS : 35 Kg
Tinggi badan : 159 cm
BB 35
IMT : 2
= 2
=12,69
(TB) (1,59)
Kg
Keterangan : Nilai normal 18,5 - 24,5 2
m
b. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala simetris, rambut hitam keriting, kulit kepala
kering, tidak ada ketombe.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
c. Mata
Inspeksi : Sklera putih, dapat melihat dengan jelas, bola mata
simetris, konjungtiva merah muda, ada reaksi terhadap
cahaya (miosis) tidak mengguakan alat bantu penglihatan,
fungsi penglihatan normal.
Palpasi : Tidak nyeri tekan.

d. Hidung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan dan
pembengkakan.
e. Telinga
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada kelainan dikedua telinga, tidak
ada lesi dan serumen.
Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan.
f. Mulut
Inspeksi : Gigi tampak kuning, lidah bersih, mukosa mulut lembab.
Palpasi : Otot rahang kuat.
g. Leher
Inspeksi : Ada pembesaran kelenjar getah bening.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
h. Thoraks (paru-paru)
Inspeksi : Dada simetris, tidak ada lesi, respirasi 40 kali per menit,
terdapat retraksi dinding dada.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : Bunyi napas ronkhi.
Perkusi : Batas paru-paru normal.
i. Thoraks (jantung)
Inspeksi : Ictus cordis terlihat, terlihat tatto di dada sebelah
kanan.
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Auskultasi : S1 dan S2 reguler.
Perkusi : Batas jantung normal.
j. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada lesi, terdapat pembesaran abdomen
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : Bising usus 8 kali per menit.
Perkusi : Timpani.
k. Genetalia
(pasien menolak untuk dikaji karena menyangkut masalah pribadi).
l. Ekstremitas

Kanan 5 5 5 5 5 5 5 5 Kiri
5 5 5 5 5 5 5 5

Keterangan:
Terpasang infus di tangan kiri (RL 20 TPM).
0 : Tidak mampu bergerak sama sekali
1 : Hanya mampu menggerakkan ujung ektremitas.
2 : Hanya mampu menggerser sedikit.
3 : Mampu mengangkat tangan dengan bantuan, saat
bantuan di lepaskan tangan ikut jatuh.
4 : Kekuatan otot sedikit berkurang, mampu melawan
gravitasi sesaatlalu jatuh.
5 : Kekuatan otot utuh mampu melwan gravitasi.
8. Pemeriksaan Laboratorium
Golongan darah :B
HbsAg : Non-reaktif
HIV : R/Reaktif
BTA :+
LABORATORIUM
04-10-2014 Hasil Nilai Normal

RBC 3,57 3,50-5,50 12/l


MCV 7,47 75,0-100,0 fl

RDW% 63,1 1,0-1,6 %


HCT 26,7 35,0-55,0 %

PLT 386 100-400 10 g/l


MPV 6,3 8,0-11,0 fl

PCT 0,24 0,01-99,9 %


g
HGB 10,2 HL 11,5-16,5
dl
WBC 13,5 3,5-10 10 g/l

9. Pengobatan

06 Oktober 2014 07 Oktober 2014 08 Oktober 2014


- IUFD RL 20 Tpm - IUFD Clinimix - IUFD Clinimix
- Inj. Dexametason - IUFD ivelif - Sohobion drip 1x1
3x1 amp 3cc
- Sohobion drip 1x1 3cc
- Inj. Ranitidin 2x1 - OAT Terapi (INH
- OAT Terapi (INH 300
amp 300 mg 1x1,
mg 1x1, Rifampisin
Rifampisin 400 mg
- Inj Ceftriaxone 400 mg 2x1.
1x1, etambutol 1x1
2x1 gram - Pirazinamol 1x1,
- PCT 3x1 (bila
Ketokonazole 1x200
l
mg 1x1 demam), O24
m
- Candistatin
2x1(peroral)
- PCT 3x1 (bila demam),
l
O24
m
B. ANALISA DATA

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1. DS: HIV masuk ke dalam tubuh Bersihan jalan napas


tidak efektif
-Pasien mengatakan sering
sesak.
- Pasien mengatakan sering
batuk.
DO: Penurunan kekebalan tubuh

-Ketika batuk, tampak adanya


sputum yang dikelarkan.
- Respirasi 40 kali per menit Masuknya Micobacterium
- Pasien terpasang oksigen 4 tuberkulosa
l/m

Menyebar ke organ paru

Menempel di paru

Terjadi kerusakan membran


alveolar

Terjadi pembentukan sputum


berlebih

Tidak efektif bersihan jalan nafas


2. DS: Gangguan jalan nafas Pola nafas tidak efektif
- Pasien mengatakan
nafasnya terasa sesak

DO: Suplai O2 turun

- RR : 40 x/menit
- Terdapat retraksi dinding
dada
- Terpasang O2 4 l Difusi O2 terganggu

Hipoksia

Sesak nafas

Pola nafas tidak efektif

3. DS: Mual muntah Ketidakseimbangan


nutrisi
- Pasien mengatakan tidak
nafsu makan

- Pasien mengatakan sering Nafsu makan turun


mual dan muntah

DO:
- Pasien tampak lemah.
Asupan nutrisi tubuh berkurang
- BB pasien turun 20 kg, BB =
35 kg

- Pasien makan satu kali porsi


Ketidakseimbangan nutrisi kurang
RS tidak habis
dari kebutuhan tubuh
- TTV (TD: 100/80 mmHg, N:
86 kali per menit.

- IMT = 12,69 (18,5-24,5)


Kg/m2

4. DS: Proses penyakit Perubahan pola tidur


- Pasien mengatakan tidak
bisa tidur karena gelisah,
sesak dan batuk Perubahan status kesehatan
DO:
- Pasien tidur ± 3-4 jam saat
malam hari

Kegelisahan

Perubahan pola tidur


C. DAFTAR MASALAH

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL MASALAH PARAF

DITEMUKAN TERATASI

1. Bersihan jalan napas tidak efektif 6 Okto


berhubungan dengan produksi ber 2014
sputum
DS:
-Pasien mengatakan sering sesak.
- Pasien mengatakan sering batuk.
DO:
-Ketika batuk, tampak adanya
sputum yang dikelarkan.
- Respirasi 40 kali per menit
- Pasien terpasang oksigen 4 l/m

2 Pola nafas tidak efektif b.d 06 Oktober 2014


gangguan jalan nafas :
DS:
- Pasien mengatakan sesak
nafas

DO:
- RR : 40x/mnt

- Terdapat retraksi dinding dada

- Terpasang O2 4 l

Ketidakseimbangan nutrisi 6 Oktober 2014


kurang dari kebutuhan tubuh
3 berhubungan dengan
menurunnya nafsu makan dan
mual muntah.
DS:
- Pasien mengatakan tidak nafsu
makan

- Pasien mengatakan sering mual


dan muntah

DO:
- Pasien tampak lemah.

- BB pasien turun 20 kg, BB = 35


kg

- Pasien makan satu kali porsi RS


tidak habis

- TTV (TD: 100/80 mmHg, N: 86


kali per menit.

- IMT = 17,79 (18,5-24,5) Kg/m2

4 Gangguan pola tidur 06 Oktober 2014


berhubungan dengan kegelisahan
akibat perubahan status
kesehatan.
DS:
- Pasien mengatakan tidak bisa
tidur karena gelisah, sesak dan
batuk

- Pasien mengatakan tidurnya


sering terjaga saat sesak datang
DO:
Pasien tidur ± 3-4 jam saat malam
hari
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC

1. Bersihan jalan nafas b/d adanya Setalah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji k/u Pas
sputum di jalan nafas, ditandai 3x24 jam diharapkan bersihan jalan
dengan: nafastidakefektifan hilang dengan kriteria 2. Posiskan pa
hasil : ventilasi.
DS:
- Mampu mengeluarkan sputum 3. Ajarkan unt
- Pasien mengatakan sering sesak
- Frekuensi pernafasan dalam rentang 4. Monitor res
- Pasien mengatakan sering batuk
normal (18-20x/m) therapy.
DO:
- Ttv dalam batas normal 5. Berikan pos
- Ketika batuk,tampak adanya
sputum yang dikeluarkan dari
mulut Pasien

- Pasien terpasang oksigen 4 L/m


2. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan Setalah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji pola na
jalan nafas : 3x24 jam diharapkan :
2. Auskultasi b
DS: - nafas dalam batas normal 18-
bunyi nafas
- Pasien mengatakan sesak nafas 20x/mnt
3. Berikan pos
- Retraksi dinding dada ( - )
DO: 4. Ciptakan lin

- RR : 40x/mnt 5. Kolaborasi d
pemberian t
- Terdapat retraksi dinding dada

- Terpasang O2 4 l

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam 1. Kaji keadaan
dari kebutuhan tubuh b/d diharapkan Ketidak seimbangan
menurunnya nafsu makan dan mual nutrisiterpenuhi dengan criteria hasil : 2. Monitor Inp
muntah, ditandai dengan: 3. Anjurkan m
- TTV dalam batas normal
DS: 4. Kolaborasi d
- BB meningkat
- Pasien mengatakan tidak nafsu
- Pasien mengatakan nafsu makan
makan
meningkat
- Pasien mengatakan sering mual
muntah - Mual muntah berkuarang

DO:
- Pasien tampak lemah

- BB 35 kg

- Pasien makan 1 kali sehari porsi


rs tidak habis

- TTV : TD =100/80 N=86x/m

IMT=12,69 Kg/m2

4. Gangguan pola tidur b/d Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam 1. Kaji keadaan
kegelisahan akibat perubahan diharapkan Perubahan pola tidur tidak
setatus kesehatan ditandai dengan: terjadi dengan criteria hasil: 2. Kaji kebutuh

- DS : - Pasien mengatakan sudah bisa tidur 3. Idenfikasi pe

Pasien mengatakan tidak bisa - Jumblah jam tidur normal 6-8 jam. tidur Pasien
tidur karena gelisah 4. Berikan pos
- DO :
5. Kolaborasi d
Pasien tidur kurang lebih 1-2 jam
saat malam hari. supaya men
tenag dan n
E. CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI

TANGGAL CATATAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI

06-10-2014 1. Kaji k/u Pasien S : Pasien mengatakan masih sesak dan sering
batuk.
07.00 R/Pasientampak tenang
07:10 O:
2. Monitor respirasi dan status O2.
R/Pasien terpasang O2 4 l - Respirasi 40 x/m
- Pasien terpasang oksigen sebanyak 4
3. Ajarkan untuk batuk efektif
l/m
07:20 R/Pasien mengikuti instruksi
A : Masalah belum teratasi.
4. berikan posisi semi fowler pada Pasien.
P : Intervensi 2,3,4 dan 5 dilanjutkan.
07:30
R/Pasien mengikuti
5. memberikan pendidikan kesehatan pada Pasien
07:40
R/Pasien mendengarkan

06-10-2014 1. Kaji pola nafas


S : - Pasien mengatakan sesak
09.00 R/ Pasien mengatakan sesak, RR : 40x/menit
O : - terdapat retraksi dinding dada
10.00 2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi
- Pasien menggunakan oksigen
nafas seperti krekels, wheezing
4 liter
R/ auskultasi bunyi nafas Pasien ronki
- RR : 40x/menit
10.30 3. Berikan posisi semi fowler
- Pasien tampak gelisah
R/ Pasien merasa nyaman
A : Masalah belum teratasi.
10.45 4. Ciptakan lingkungan yang adekuat
P : Intervensi 1, 2,3 dan 4 dilanjutkan.
R/ Pasien merasa nyaman
11.00 5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
terapi
R/ pemberian oksigen 4 liter
DX 3. 06-10-2014 1.Monitor input dan output nutrisi S : Pasien mengatakan tidak naf
09:20 R/ Pasien mengatakan tidak nafsu makan, BAB jarang
2.Anjurkan makan sedikit tapi sering O:
R/ Pasien mengikuti instruksi - Pasien tampak l
09:30 3.Kolaborasi dengan ahli gizi - Pasien makan 1

R/Pasien diberi makan bubur. RS tidak habis

09:35 A : Masalah belum teratasi.


P : Intervensi 1,2 dan 3 dilanjutk
DX 4. 06-10-2014 S : Pasien mengatakan susah un
1.Kaji kebutuhan istirahat tidur Pasien
10.20 O:
R/Pasien mengatakan susah tidur
- Mata Pasien tam
2.Idenfikasi penyebab perubahan pola tidur Pasien
10:40 berkantung
R/Pasien mengatakan susah tidur karena sesak dan
gelisah. - Pasien tampak l
10:45
3. Berikan posisi semi fowler A : Masalah teratasi sebagian.

R/Pasienmerasa nyaman. P : Intervensi 2,3 dan 4 dilanjut


10:50
4.Kolaborasi dengan keluarga Pasien supaya
menciptakan suasana yang tenag dan nyaman .
R/Keluarga Pasien mengerti

DX 1. 07-10-2014 1. Monitor resfirasi dan status O2. S : Pasien mengatakan masih se


berkurang .
09.00 R/Pasien terpasang oksigen 4 l
O:
2. Mengajarkan untuk batuk efektif
R/Pasien mengikuti - Respirasi 40 x/m
09:05
3. Berikan posisi semi fowler pada Pasien. - Pasienterpasan
R/Pasien mengikuti sebanyak 4 l
09:10
4. Memberikan pendidikan kesehatan pada Pasien A : Masalah belum teratasi.
R/Pasien mendengarkan P : Intervensi2, dan 5 dilanjutka
09.15

DX 2. 07-10-2014
1. Kaji pola nafas S : - Pasien mengatakan masih m
13.00 sesak
R/ Pasien mengatakan masih sesak, RR : 40x/menit
O : - terdapat retraksi dinding d
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
seperti krekels, wheezing - Pasien menggun
13.30 R/ auskultasi bunyi nafas Pasien ronkhi 4 liter
3. Berikan posisi semi fowler - RR : 40x/menit
R/ Pasien merasa nyaman - Pasien tampak g
4. Ciptakan lingkungan yang adekuat
A : Masalah teratasi sebagian.
R/ Pasien merasa nyaman
P : Intervensi 1, 2,3, 4 dan 5 dila
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
terapi
R/ pemberian oksigen 4 liter.

DX 3. 07-10-2014 1.Kaji keadaan umum Pasien S : Pasien mengatakan masih tid


makan.
09.30 R/ Pasien lemah, belum ada nafsu makan
O:
2. Monitor Input dan Output nutrisi
09.35 - Pasien tampak l
R/ Pasien mengatakan tidak nafsu makan BAB jarang.
- Pasien makan 1
3.Anjurkan makan sedikit tapi sering
09:40 RS tidak habis
R/ Pasienmengatakan akan mengikuti instruksi
A : Masalah belum teratasi.
P : Intervensi 2, dan 3 dilanjutka
DX 4. 07-10-2014 1.Kaji kebutuhan istirahat tidur Pasien S : Pasien mengatakan masih su
tidur.
09.50 R/Pasien mengatakan susah tidur
O:
2. Idenfikasi penyebab perubahan pola tidur Pasien
10.00 - Mata Pasien tam
R/Pasien mengatakan susah tidur karena sesak
berkantung
3. Berikan posisi semi fowler
10.05 - Pasien tampak l
R/Pasien tampak nyaman
A : Masalah teratasi sebagian.
P : Intervensi 2 dan 4 dilanjutka

DX 1. 08-10-2014 1. Monitor resfirasi dan status O2. S:


09.00 R/Pasien terpasang oksigen 2 liter - Pasien mengata
2. Memberikan pendidikan kesehatan pada Pasien sesak yang masih ada.

R/Pasien mendengarkan - Pasien mengata


09.10 dengan penyakit yang d
O:
- respirasi 36 x/m
- Pasien terpasan
sebanyak 2 L/m
A : Masalah belum teratasi.
P : Intervensi 2 dilanjutkan.

DX 2. 08-10-2014 1. Kaji pola nafas S : - Pasien mengatakan sesakny


berkurang
R/ Pasien mengatakan sesaknya sedikit berkurang,
RR : 36x/menit O : - terdapat retraksi dinding d
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
- Pasien menggun
seperti krekels, wheezing
4 liter
R/ auskultasi bunyi nafas Pasien ronki
3. Berikan posisi semi fowler - RR : 36x/menit
R/ Pasien merasa nyaman - Pasien milau ten
4. Ciptakan lingkungan yang adekuat
R/ Pasien merasa nyaman A : Masalah teratasi sebagian.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
P : Intervensi 1, 2,3 dilanjutkan.
terapi
R/ pemberian oksigen 2 liter

DX 3. 08-10-2014 1.Monitor Input dan Output nutrisi S : Pasien mengatakan ada nafsu
kadang-kadang
09:15 R/ Pasien makan bubur tiga kali sehari porsi makan ¼.
BAB belum ada. O:

09:30 2. Anjurkan makan sedikit tapi sering - Pasien tampak l


R/ Pasien melakukan - Pasien makan 1
RS tidak habis
A : Masalah belum teratasi.
P : Intervensi 2, dan 3 dilanjutka

DX 4. 08-10-2014 1.Kaji kebutuhan istirahat tidur Pasien S : Pasien mengatakan bisa tidu
nyenyak.
09.40 R/Pasien mengatakan masih belum bisa tidur malam.
O:
2.Berikan posisi semi fowler
09.45 - Pasien tampak g
R/Pasien merasa nyaman
- Pasien tidur 5-6
3. Merapikan tempat tidur
10.00 A : Masalah teratasi sebagian.
R/Pasien mengatakan tempat tidurnya sudah merasa
nyaman. P : Intervensi 2 dan 4 dilanjutka
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN

40
DAFTAR PUSTAKA

41

Anda mungkin juga menyukai