Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Terapi oksigen hiperbarik (OHB) merupakan terapi yang menggunakan oksigen

murni 100% yang dilakukan pada tekanan udara yang lebih tinggi dari yang bias kita

dapatkan pada kehidupan sehari-hari. Dimana terapi ini menggunakan tekanan yang

menyerupai tekanan pada kedalaman tertentu di bawa permukaan laut. Terapi oksigen

hiperpabrik memiliki banyak sekali manfaatnya, bias digunakan untuk mengatasi

penyakit yang bias didapatkan pada saat penyalaman atau bias kita kenal dengan

penyebutan penyakit dekopresi. Banyak sekali penyelaman yang dilakukan dimana

diantra mereka ada yang merupakan penyelam professional, menyelam dengan konfresor

konvensional. Penyelam pada umunya merupakan penyelam tradisional yang tidak

dibekali pengetahuan tentang penyelaman dan akibat-akibatnya sehingga bula terjadi

penyakit dekopresi baik yang ringan maupun yang berat dianggap suatu kecelakan biasa

dan tidak tau harus dirujuk ke fasiliras kesehatan.

Oksigenasi hiperbarik melibatkan penyediaan oksigeninpirasi seseorang sampai

dengan 100% dalam lingkungan dengantekananlebih besardariyangdipermukaan laut(760

mmHg;14,7pound per square inchi-psi, atausatuatmosfer absolut-ATA). Pada tekanan

sebesar 2,4ATA(45 kakidariairlaut) denganpernapasanoksigenmurni 100%

terjadipeningkatantekananoksigen parsialdi arteri (PaO2) dari100mmHgmenjadilebih dari

2000mmHg. Tekanan yang meningkat meninggalkan hemoglobin dari sel darah merah

sehingga tidak terjadi perubahan. Dalam kondisinormal, hamper semua oksigen diangkut

1
oleh hemoglobin dan sangat sedikit yang larut dalam plasma. Kondisi ini akan membuat

sebuah gradient yang sangat besar padatingkatj aringan yang dapat meningkatkan

kadaroksigendi jaringan lebih dari300mmHg. Tampaknya logis dengan kondisi tingginya

tekanan oksigen dalam darahdan jaringan mampu memberikan keunggulan kompetitif

bagiatlet bersaing dalam kompetisi yang bersifat aerobik (Wilson, J.R. & Prather, I.

2004).

Disamping pengobatan utama untuk penyakit-penyakit akibat penyelaman saat ini

hiperpabrik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan tambahan dan

pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit

klinis seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi

diabetes militus, serta kesehatan dan kebugaran pasien usia lanjut.

B. TUJUAN PENULISAN

a. Tujuan umum

mengetahuai bagaimana perhitungan table terapi TABEL TERAPI KINDWOLL,

TABEL V US navi, TABEL VI US navi

b. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui penyakit diabetes militus

b. Umtik mengetahui Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

c. Untuk mengetahui asuham keperawatan retapi hiperbarik

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya (American Diabetes Association, 2009). diartikan individu yang

mengalirkan volume urin yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes mellitus

adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolut insulin atau

penurunan sensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Disimpulkan bahwa DM merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya

peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang diakibatkan oleh ketidakadekuatan

sekresi insulin maupun produksi insulin.

B. Klasifikasi diabetes mellitus

Dokumen konsensus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert

Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, menjabarkan empat

kategori utama diabetes, (Corwin, 2009) yaitu:

a. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) (5-10%)

3
Sel β-pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses

autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Jenis

DM ini diakibatkan karena faktor keturunan atau genetik.

b. DM Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (95%)

Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten

insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. DM tipe ini sering

disebabkan karena faktor lifestyle yang buruk ataupun obesitas.

c. DM Tipe Lain

DM tipe lain diakibatkan oleh kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma

pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan

karakteristik gangguan endokrin.

C. Etiologi diabetes mellitus

1. Diabetes mellitus tipe 1

DM tipe 1 biasanya disebabkan oleh:

 Faktor genetic

Kecenderunggan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen

HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang

bertanggungjawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.

 Faktor imunologi

4
Adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibodi

terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan

tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.

 Faktor lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh hasil

penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses

autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pankreas.

2. Diabetes mellitus tipe 2

Penyebab DM tipe II ini belum diketahui pasti, faktor genetik diperkirakan

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Namun, lifestyle yang

buruk seperti pola makan yang buruk, obesitas, dan kurangnya olahraga menjadi faktor

pemicu tersering pada kasus DM tipe 2 (Price, 1995 dalam Indriastuti 2008).

D. Manifestasi klinis diabetes mellitus

a) DM tipe 1

1. Hiperglikemia berpuasa

2. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia

3. Keletihan dan kelemahan fisik (malaise) Ketoasidosis diabetikum (KAD) ditandai

dengan mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau keton, perubahan

tingkat kesadarn, koma, kematian

4. Kesemutan

b) DM tipe 2

5
1. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif

Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, poliuria, polidipsia, polifagia, luka pada

kulit sembuh lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur

2. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer seperti

kaki diabetik)

E. Patofisiologi diabetes mellitus

a. DM tipe 1

Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel

β - pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi

akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu, glukosa yang berasal

dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah dan

menimbulkan hiperglikemi pospandrial.

Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap

kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin

(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi

ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini

dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien

akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera

6
makan (polifagia) akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya mencakup

kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan

glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis

(pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada

penderita defisiensi insulin, proses ini tidak akan terjadi tanpa hambatan dan lebih

lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan

lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan

produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu

keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang

diakibatkan dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,

muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan

menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin

bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat

kelainan metabolic tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis.

Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan

komponen terapi yang penting.

b. DM Tipe 2

Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin

yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat

dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan

reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam

sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel

7
ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa oleh jaringan.

Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya

glukosa dalam darah, harus terdapat pengingkatan jumlah insulin yang diekskresikan.

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin

yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi

DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas DM

tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh karena itu

ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2

yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan

sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

DM tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yan berusia lebih dari 30

tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa yang berlangsung lambat (selama

bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa

terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan

dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama

sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika akdar glukosa sangat tinggi).

8
Web of causation (WOC) diabetes militus

9
F. Penatalaksanaan diabetes mellitus

Penatalaksanaan DM meliputi:

a) Medis

Menurut Soegondo (2006), penatalaksanaan medis pada pasien dengan Diabetes

Mellitus meliputi

1. Obat Hiperglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

 Pemicu sekresi insulin. Contoh: Sulfonylurea, glibenclamide, chlorpramide,

glimepiride.

 Penambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh: Thiazolidinedione.

 Penghambat gluconeogenesis. Contoh: Metformin

Penghambat glukosidase alfa. Contoh: Acarbose.

2. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

 Penurunan berat badan drastic

 Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis

 Ketoasidosis diabetic (KAD)

 Gangguan faal gunjal atau hati yang beratd

b) Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk

dikemudian dinaikan secara bertahap sesuwai dengan respon kadar glukosa darah.

10
c) Keperawatan

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), tujuan utama terapi pada diabetes mellitus

adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan tujuan

jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Ada beberapa

komponen dalam penatalaksan diabetes mellitus:

d) Diet nutrisi dan kontrol berat badan

Diet dan pengendalian BB merupakan dasar untuk memberikan semua unsur

makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah kadar glukosa darah yang

tinggi dan menurunkan kadar lemak. Diet DM yaitu 3J tepat jumlah disesuaikan

dengan jenis kelamin, berat badan, dan umur; jadwal teratur 3x sehari yaitu 3x

makan utama dan 3x makan kecil (kudapan); jenis disesuaikan dengan makanan

yang dianjurkan untuk Dmdan menghindari makanan pantangan seperti tinggi gula.

e) Latihan atau olahraga

Berolahraga yang teratur akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan epengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian akdar

insulin. Prinsip olahraga yang dianjurkan secara teratur adalah CRIPE (Continuous,

Rhytmis, Interval, Progressive, and Endurance) sebagai berikut:

 Frekuensi : 3-5x seminggu

 Intensitas : Ringan – sedang

 Durasi : 30-60 menit / 5 x 30 menit / minggu

 Tipe : Aerobik (jalan, joging, bersepeda)

11
f) Pemantauan atau check up berkala

Pemantauan kadar gula darah secara mandiri diharapkan dapat mengatur terapi

secara optimal.Terapi (jika diperlukan)Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali

per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan

pada malam hari.Pendidikan kesehatanTujuan edukasi ini adalah supaya pasien

dapat mempelajari keterampilan dalam melakukan penatalaksanaa diabetes secara

mandiri dan mampu menhindari komplikasi.

g) Kontrol nutrisi dan metabolic

Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh dalam

proses penyembuhan. Perlu monitor Hb diatas 12 gram/dl dan pertahankan albumin

diatas 3.5 gram/dl. Diet pada penderita DM dengan selulitis atau gangrene

dieprlukan protein yang tinggi yaitu dengan komposisi protein 20%, lemak 20%, dan

karbohidrat 60%.

G. Komplikasi diabetes mellitus

Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes mellitus digolongkan akut

dan kronik (Mansjoer et. al, 2007):

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula darah yang

normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai keadaan. Salahs atu bentuk

12
dari kegawatan hipoglikemik adalah koma hipoglikemik. Pada kasus spoor dan

koma yang tidak diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu

hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pemberian glukosa. Koma

hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin. Selain itu dapat pula

disebabkan oleh karena terlambat makan atau olahraga berlebih. Diagnose dibuat

dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemikterjadi bila akdar gula darah dibawah

50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaan darah jari.

2. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)

HHNK adalah keadaan hiperglikemia dan hiperosmoliti tanpa terdapatnya

ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg bahkan sampai 2000, tidak

terdapat aseton, osmolitas darah melewati 350 mOsm per kilogram, tidak terdapat

asidosis dan fungsi ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN banding

kreatinin lebih dari 30:1, elektrolit natrium berkisar antara 100-150mEq per liter.

13
BAB III

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

A. Definisi HBOT

Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kesehatan yang

timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA) terhadap tubuh

sebagai bentuk pengobatan (Hariyanto et al, 2009). Terapi oksigen hiperbarik merupakan

sebuah terapi yang menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan

lebih besar daripada tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan tekanan ini

bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace chamber maupun multiple

chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al, 2004; Biomedical engineering, 2014).

14
Kondisi ruang terapi HBO harus memiliki tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan

tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami seseorang pada waktu

menyelam atau dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk

kasus penyelaman maupun pengobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter),

tekanan akan naik 1 atm. Setiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut

dalam 100 ml plasma dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang digunakan pada

perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan

lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas tidak boleh lebih dari

3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang

dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresid (Ali

et al, 2004).Meskipun banyak keuntungan yang diperoleh dari HBOT, cara ini pun juga

mengandung risiko, sehingga harus dilaksanakan secara hari-hati sesuai prosedur yang berlaku,

agar mencapai hasil yang maksimal dengan risiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

B. Jenis Chamber HBOT

Ruangan hiperbarik dibedakan menjadi 4 yaitu:

1. Monoplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan satu orang

penderita.

2. Multiplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan beberapa

penderita pada waktu yang bersamaan dengan bantuan masker untuk setiap

pasiennya.

15
3. Animal chamber : chamber yang digunakan untuk penelitian khususnya untuk

binatang (seperti mencit dan kelinci).

4. Portable chamber : suatu jenis chamber yang dapat digunakan atau dibawa ke

tempat kejadian (seperti hyperlite).

C. Indikasi HBOT

Terapi HBO dapat diterapkan pada penyakit-penyakit berikut ini:

1. Penyakit dekompresi (DCS)

2. Aktinomikosis

3. Emboli udara

4. Anemia karena kehilangan banyak darah

5. Insufisiensi arteri perifer akut

6. Infkesi bakteri, gas gangren, ulkus diabetic

7. Keracunan CO dan sianida

8. Cangkok kulit

9. Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob

10. Osteoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak

11. Sistitis akibat radiasi dan ekstrasi gigi pada rahang yang diobati dengan

radiateoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak

12. Kandiobolus koronutus

13. Mukomikosis

14. Osteomielitis

16
15. Ujung amputasi yang tidak sembuh, luka tidak sembuh akibat hipoperfusi dan trauma

lain, ulkus stasis refraktori

16. Tromboangitis obliterans

17. Inhalasi asap, luka bakar

18. Ulkus yang terkait vaskulitis

D. Kontraindikasi HBO

1. Kontraindikasi absolut

Kontraindikasi absolut adalah pneumothoraks yang belum dirawat, kecuali bila sebelum

pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi

pneumothoraks tersebut (LAKESLA, 2009).

a) Kontraindikasi relative

 ISPA

 Sinusitis kronik

 Penyakit kejang

 Emfisema yang disertai retensi CO2

 Panas tinggi yang tidak terkontrol

 Riwayat pneumothoraks spontan

 Riwayat operasi dada dan telinga

 Infeksi virus

 Spherositosis kongenital

 Riwayat neuritis optic

17
 Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan atau

pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009)

b) Komplikasi HBO

 Barotrauma telinga, paru, dan gigi

 Keracunan oksigen

 Gangguan neurologis

 Fibroplasia retrolental

 Katarak

 Trantsientmiopia reversible

E. Fisiologi terapi HBO

Terdapat 3 hukum yang Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen

hiperbarik, yaitu (Gill & Bell, 2004):

1. Hukum Boyle

Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume

Rumus à P1 V1 = P2 V2 = P3 V3

Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi ketika

tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga kompresi

gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah. Pada pasien yang tidak bisa

secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus

18
dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang

harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan

ruang telinga bagian luar. Demikian pula gas yang terperangkap dapat membesar

dan membahayakan selama dekompresi, seperti pneumothorakx yang terjadi

selama pemberian tekanan.

2. Hukum Dalton

Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan parsial

dari masing-masing bagian gas.

Rumus à P = P1 + P2 + P3 + . . .

3. Hukum Henry

Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanam

parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap. Ini adalah

dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan dengan

pengobatan HBO. Implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan

oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert apda jarungan

(terutama nitrogen) juga meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga

dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.

a) Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni:

19
Hiperoksigenasi atau peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan. Sebagian besar

oksigen yang dibawa dalam darah terikat dalam hemoglobin (Hb2O2), dimana 97%

tersaturasi pada tekanan atmosfer, namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada

bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan Hukum Henry yang akan

memaksimalkan oksigen jaringan. Ketika menghirup udara normobarik, tekanan oksigen

arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun,

oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatan tekanan oksigen arteri 2000

mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menajdi sekitar 500 mmHg, dan hal ini

memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah (dibandingkan dengan 3 ml.l

pada tekanan atmosfer), yang cukup untuk mendukung jaringan berisitirahat tanpa

kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak didalam plasma maka dapat

menjangkau derah-daerah yang terhambat dimana sel-sel darah merah tidak bisa lewat,

dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdaapt gangguan

hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas

karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001).

Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial oksigen yang

tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar untuk proses difusi oksigen

dari darah ke jaringan. Keadaan tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia

akibat angiopati mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu

HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer

karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik (Andrew,

2001).

20
Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan

signifikan pada sebagian besar jaringan.HBO juga biasanya meningkatkan resistensi

vaskular sistemik, bradiakrdi serta menurunkan CO sebanyak 10-20%, dengan stroke

volume masih dipelihara. Meskupun demikian, hal ini masih dikompensasi oleh

peningkatan pengangkutan oksigen plasma yang dua kali besar daripada baisanya (Gill

dan Bell, 2004).

Efek terhadap pertumbuhan bakteri (antimikroba). HBO yang meningkatkan

pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran, yang

kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah multiplikasi,

menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi sistem peroksidase yang

digunakan leukosit untuk membunuh materi. HBO sangat efektif terhadap bakteri

anaerob dan bakteri microaerophilic.

Efek pada perfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan radikal bebas

oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Apda reperfusion injury, leukosit menempel

pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran unidentified humoral mediators yang

menyebabkan konstriksi arteriol lokal. HBO mecegah proses tersebut dengan

memperbaiki hidup dari kulit atau bahkan tungkai yang diimpantasi (Andrew, 2001).

21
F. Manfaat terapi HBO

1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran

darah yang kurang (hiperoksigenasi).

2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah

pada sirkulasi yang berkurang sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan

luka dengan pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).

3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti clostridium perfingens

(penyebab penyakit gas gangren).

4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara lain bakteri E. coli

dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.

5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan meningkatkan produksi

antioksidan tubuh tertentu.

6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.

7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit pada

penyakit keracunan gas CO.

8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.

9. Mereduksi edema.

10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan menjaga elastisitas

kulit.

11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat, tidur

lebih enakd an pulas (Amira et al, 2014).

22
G. Peran perawat / tender dengan terapi HBO

Pra terapi HBO

1. Anamnesis (identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,

kontraindikasi);

2. Persiapan alat (masker, air minum, selimut, pispot);

3. Pemeriksaan fisik lengkap;

4. Pemeriksaan tambahan bila perlu; dan

5. Informed consent (manfaat, proses, cara adaptasi ketika ada tekanan, benda-benda

yang tidak boleh dibawa).

Intra HBO

1. Bantu transfer input pasien

23
2. Safety klien

3. Cek kembali barang-barang yang dibawa

4. Ingatkan jangan terlambat valsavah secara benar

5. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan O2

6. Monitor keadaan umum pasien

7. Koordinasi dengan operator atau dokter jika terjadi masalah

Post HBO

1. Bantu pasien keluar

2. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan CO

3. Lepas masker

4. Rapikan/ bersihkan chamber

5. Pendokumentasian

H. Hubungan terapi HBO dengan diabetes mellitus

Gangren merupakan komplikasi kronik dari DM yang paling sering terjadi. Hal ini

diperoleh akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol sehingga

menyebabkan perubahan tekanan pada telapak kaki akibatnya mempermudah terjadinya

gangren. Adanya kerentanan infeksi pada kasus DM gangren dapat menyebabkan infeksi

tersebut menyebar keseluruh area luka (menjadi luas). Gangren ini merupakan

kompliaksi akibat angiopati pembuluh darah yang diakibatkan karena adanya

penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (utamanya di kaki). Perfusi

jaringan distal (tungkai) yang kurang baik mengakibatkan gangren sulit diobati dan dapat

berakibat fatal yaitu pada amputasi.

24
Terapi HBO pada dasarnya adalah memberikan oksigen 100% pada tekanan > 1 ATA.

Terapi HBO ini merupakan indikasi pada penyakit nekrosis/hipoksia jaringan. Dengan

paparan HBOT maka terjadi IFN-γ, i-NOS, dan VEGF. IFN-γ mengakibatkan TH-1

meningkat menstimulasi β-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Peningkatan Ig-G

dapat berefek fagositosis, leukosit juga meningkat sehingga dapat membunuh bakteri

anaerob pada area luka. Selain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan

terjadi neovasSelain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi

neovaskularisasi jaringan luka (angiogenesis) sehingga terjadilahaliran darah

mikrovaskuler. Jika daerah gangren susi maka jaringan yang mengalami iskemik akan

mendapatkan oksigen klmengalami iskemik akan mendapatkan oksigen lagi dan terjadi

reperfusi jaringan karena banyak jaringan yang diikat oleh hemoglobin maupun terlarut

dalam plasma. Sehingga oksigen yang dibawa hemoglobim dan plasma dialirkan ke

seluruh jaringan tubuh sehinggadapat meningkatkan proses penyembuhan luka dan

membunuh bakteri.

Disimpulkan bahwa terapi HBO sangat bermanfaat sebagai terapi alternatif pada pasien

DM dengan gangren karena dapat membantu proses penyembuhan luka. Adapun

manfaatnya sebagai berikut:

1. Memperbaiki hipoksia jaringan

2. Meningkatkan daya bunuh leukosit

3. Menghasilkan radikal bebas oksigen yang mematikan/menghambat pertumbuhan

kuman

4. Meningkatkan sensitivitas insulin

5. Mempercepat angiogenesis

25
6. Mempercepat replikasi sel fibroblast maupun produksi kolagen yang diperlukan

untuk pembentukan jaringan baru.

7. Vasokonstriksi

8. Meningkatkan aktivitas osteoblast

I. Asuhan keperawatan umum diabetes mellitus

a) Pengkajian

 Identitas pasien : nama, umur (berpengaruh pada jenis DM: tipe I pada usia <

25 tahun, tipe II > 45 tahun), alamat, jenis kelamin, nomor RM, peekrjaan,

diagnosa medis.

 Keluhan utama : keluhan klinis seperti luka pada kaki tidak kunjung sembuh,

kaki terasa mati rasa)

 Riwayat penyakit sekarang : berisi perjalanan penyakit pasien sampai

direkomendasikan HBOT (kapan mulai DM, kapan muncul gangren, dan apa

penyebabnya)

 Riwayat penyakit dahulu : mengkaji beberapa penyakit yang pernah dialami

dan memungkinkan menjadi hal yang dikontraindikasikan dalam HBOT

 Riwayat keluarga

 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum meliputi kondisi kesehatan pasien (lemah / baik), TTV

ROS (review of system) meliputi B1 sampai B6 (breathing, blood, brain,

bladder, bowel, bone and integumen)

26
b) Pengkajian HBOT

Pra HBOT

Periksa TTV terutama tekanan darah (bila sistol mencapai > 180 mmHg atau

diastol >100 mmHg maka aps00 mmHg maka pasien tidak diperbolehkan

masuk chamber)

 Periksa ambang demam (suhu tidak boleh melebihi 38o celcius)

 Evaluasi tanda-tanda flu (batuk, pilek, sakit tenggorokan, mual, diare) tidak

diperbolehkan masuk chamber

 Auskultasi lapang paru

 Lakukan uji glukosa darah pasien pada DM I

 Tes pada pasien dengan keracunan gas CO atau O2

 Observasi cedera orthopedic mum dan luka trauma

 Uji visus mata

 Mengkaji tingkat nyeri pasien dan claustrophobia

 Mengkaji status nutrisi teruitama pad pasien pada DM yang menjalani

pengobatan

Intra HBOT

 Mengamati gejala dan tanda barotrauma, keracunan O2 dan efek samping

terapi HBO

27
 Menganjurkan pasien menggunakan tehnik valsava yang benar dan efektif

 Perlu mengingatkan pasien bahwa valsava hanya dieprlukan pada saat

penekanan / kompresi, dan dapat bernapas normal selama terapi

 jika terjadi nyeri ringan sampai sedang maka hentikan kompresi hingga nyeri

hilang, jika nyeri berlanjutkan maka pasien harus dikeluarkan dari chamber

dan diperiksa oleh dokter THT

 Mencegah barotrauma GI dengan menganjurkan pasien bernapas normal dan

menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan

 Monitoring menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari makan

atau minum bergas sebelum perawatan

 Monitoring pasien selama dekompresi terutama selama dekompresi darurat

 Segera periksa gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia

Post HBOT

 Jika terdapat tanda barotrauma maka uji ontologis

 Pada pasien DM tipe I maka tes gula darah

Pada iskemik trauma akut , kompartemen sindrom, nekrosis, post implant

maka harus dinilai status neurovas, kompartemen sindrom, nekrosis, post

implant maka harus dinilai status neurovaskular, kompartemen sindrom,

nekrosis, post implant maka harus dinilai

 status neurovaskular dan luka. Untuk DM gangren lakukan perawatan

luka/debridement

 Pasien dengan intoksikasi CO segera lakukan tes psicometri / tingkat HbCO

28
 Pasien dengan DCS harus dilakukan uji neurologis

 Pasien yang mengkonsumsi obat ansietas selama terapi dilarang

mengemudikan motor/mobil atau menghidupkan mesin

 Melakukan pendokumentasian pasien pasca HBO

J. Diagnosa keperawatan HBOT

Terdapat 4 diagnosa utama diantara 14 diagnosa yang paling mungkin terjadi pada pasien

HBOT, yaitu:

1. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang HBOT dan prosedur

perawatan

2. Risiko cedera berhubungan dengan pasien transfer in/out dari RUBT (chamber),

ledakan peralatan, kebakaran

3. Risiko barotrauma (telinga, sinus, gigi,paru-paru) atau gas emboli serebri

berhubungan dengan perubahan tekanan udara dalam RUBT (>1 ATA)

4. Risiko keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian oksigen 100% selama

tekanan atmosfer meningka

Intervensi keperawatan HBOT

Diangnosa keperawatan Intervensi keperawatan


Ansietas Pre HBOT

Tujuan: setelah dilakukan asuhan 1. Bina hubungan saling percaya dengan

keperawatan HBOT selama 2 jam diharapkan pasien

29
ansietas pasien dapat diatasi, dengan kriteria 2. Identifikasi pemahaman pasien/

hasil: keluarga tentang HBOT

1. Mengetahui alasan HBOT 3. Berikan informasi tentang tujuan,

2. Pasien dapat mengungkapkan tujuan, prosedur, efek samping HBOT

prosedur, dan risiko HBOT 4. Berikan kesempatan klien untuk

bertanya

5. Cek tekanan darah pasien

Intra HBOT

1. Dampingi pasien

2. Observasi keadaan dan respon pasien

di dalam chamber

Post HBOT

Risiko Barotrauma Dokumentasikan respon pasien setelah HBOT

Tujuan: setelah dilaksanakan asuhan Pre HBOT

keperawatan HBOT selama 2 jam, diharapkan 1. Bina hubungan saling percaya dengan

barotruma tidak terjadi pada pasien dengan pasien

kriteria hasil: 2. Ajari pasien untuk valsava

Pasien tidak mengeluh nyeri pada telinga, (pengosongan telinga) dengan cara

sinus, gigi, dan paru-paru menelan ludah, mengunyah permen,

Tidak ditemukan tanda-tanda barotrauma menggerakkan rahang keatas

pada pasien: kebawah, menutup hidung dan mulut

Nyeri telinga, sinus, gigi, dan paru-paru lalu meniupkan udara keluar dengan

Nyeri dada tajam, napas cepat benar

30
3. Cek tekanan darah pasien

Intra HBOT

1. Kaji kemampuan pasien melakukan

tehnik pengosongan telinga saat

dilakukan penekanan2

2. Lakukan tindakan keperawatan:

3. Ingatkan pasien untuk bernapas

normal selama perubahan tekanan

4. Beritahu operator jika pasien tidak

Risiko Cedera dapat menyesuaikan perubahan

Tujuan: setelah dilakukan asuhan tekanan (pusing, telinga sakit)

keperawatan HBOT selama 2 jam maka 5. Monitoring tanda dan gejala

cidera tidak akan terjadi, dengan kriteria hasil: barotrauma

Pasien keluar RUBT dengan kondisi aman Post HBOT

Tidak terjadi kebakaran Dokumentasikan respon pasien terhadap

Tidak ditemukan cidera pada tubuh terapi HBO

Pre HBOT

1. Bina hubungan saling percaya dengan

pasien

2. Bantu pasien masuk ke RUBT /

31
chamber

3. Ingatkan pasien mengenai barang-

barang yang tidak boleh dibawa

Keracunan Oksigen kedalam RUBT

Tujuan: setelah dilakukan asuhan Intra HBOT

keperawatan selama 2 jam, keracunan oksigen 1. Amankan peralatan dalam RUBT

tidaka kan terjadi, dengan kriteria hasil: sesuai kebijakan dan SOP

Pasien tidak mengeluh pusing 2. Dampingi dan obeservasi kondisi

Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan pasien

oksigen Post HBOT

Mati rasa dab berkedut, vertigo Bantu pasien keluar RUBT / chamber

Penglihatan kabur

Mual

Pre HBOT

Catat hasil pengkajian pasien dari dokter

HBO meliputi tekanan darah, suhu, riwayat

penggunaan obat kortikosteroid, riwayat

kejang

Intra HBOT

1. Monitor kondisi pasien saat terapi

berlangsung

2. Dampingi dan observasi tanda dan

gejala keracunan oksigen

32
Post HBOT

Beritahu dokter jika tanda dan gejala

keracunan oksigen muncul

K. Table HBOT

Table HBOT digunakan untuk menentukan prosedur terapi sesuwai dengan tujuan terapi.

Pada table kindwall dugunakan untuk kasus klinis dengan tekanan 2,4 ATA selama 3× 30

menit dengan hiasan oksigen 100% yang diselingi husap udara 5 menit.

33
Gambar 2,1 tabel kindwall (US navy depertmen 1975)

Pada kasus dekompresi menggunakan table 5 dan table 6. Dimana terdapat perbedaan prosedur

dan lama terapi. HBOT pada PCT tipe 1 menggunakan table 5 (US navy) jika 10 menit pertama

saat TOHB gejeala yang dirssakan tidak langsung hilang maka dapat dikembangkan terapi

menggunakan table 6 (US navy). DCS tipe 2 memiliki gejala lebih berat dan memiliki

kedaruratan medis yang tinggi.

34
Gambar 2.2 tabel 5 YS navy recompression trirmen (US navy depertement,1975

Gambar 2,3 tabel 6 Us navy recompression tratmen (US nsvi de[ertement, 1975)

35
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

(TOHB) merupakan suatu terapi medis pemberiang oksigen murni melalui masker

oksigen didalam ruang yang bertekanan tinggi lebih dari 1,4 atmosfer (ATA). Terapi ini

sudah diakui sebagai terapi mrdis oleh FD (badan pom amerika). Dam memili manfaat

terapi sebagai terapi primer. Yang dimaksud dengan terapi primer adalah terapi yang

dapat menghilangkan penyebab sakit dan mampu mencegah kompikasi lanjut jika tida

diterapi. Kamplemeter merupakan terapi pendamping dengan metode terapi lain dan

bersifat mempercepat penbyembuhan. Namun untuk penyakit penyerta akibat TOHB

memberikan manfaat terapi primer yaitu untuk mengatasi emboli udara

(terbentuknyagelembung udara didalam pembulu darah) dan penyakit dekomresi, maaf

primer lainya pada penyakit medis seperti keracunan gaskarbon monoksida, lika hancur

dan luka ganggren. TOHB dipergukan sebagai terapi pada kasus percepatan

penyembuhan luka, anemia berat, abses otak, infeksi tualang kronis.

36
DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2009. Standar of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes Care, Vol. 33,

Suplement 1, Januari 2010, 11-61 diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/, pada tanggal 13

Maret 2014.

Anani, S., Ari Udoyono, & Praba Ginanjar. 2012. Hubungan antara Perliaku Pengendalian

Diabetes dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus. Jurnal Kesehatan

Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 466–478. Diakses dari Website:

www.ejournals1.undip.ac.id

Brunner & Suddarth. 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (10th ed). Jakarta:

EGC.

DiPiro et. al. 2008. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Diakses pada tanggal 12 Maret

2014 dari website : www.academia.edu.

Funnel, MM. 2010. National Satndards for Diabetes Self Management Education_ Journal of

Diabetes Care, Vol. 33, Supp. 1, 89-96, Diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/ pada

tanggal 13 Maret 2014.

Gibson, Jhon. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Guyton and Hall. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

37
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014.

Jakarta: EGC.

Homenta, Heriyannis. 2012. Diabetes Mellitus Tipe 1. Karya Tulis Biokimia Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Kimble, koda; Mary Anne; Young, Lloyd Yee; Alldredge, Brian K.; Corelli, Robin L.;

Guglielmo, B. Joseph; Kradjan, Wayne A.; Williams, Bradley R. 2009. Applied Therapeutics:

The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Lanywati, Endang. 2011. Diabetes Mellitus : Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta : Penerbit

Kanisius

Lewis, L., Dirksen, R., Heitkemper, M., Bucher, L., & Camera, I. 2011. Medical Surgical

Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems (Vol. 2). USA : Saunders Elsevier

Inc.

Mahdi, H., Sasongko, Siswanto, Daniel, H., Suharsono, Soepriyoto, Setiawan, Michael, S.,

Guntoro, Agus, S. 1999. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. LAKESLA

Manaf, Asman. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1890.

Soegondo S., dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Cetakan Keenam. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia Pustaka

Umum.

38
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Kedua Volume

2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keenam

Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ketujuh

Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

RG, Frykberg, Armastrong DG, Giurini J., Edwards A., Kravette M., Kravitz S., Ross C.,

Stavosky J., Stuck R., Vanore J. 2000. Diabetic Foot Disorders: a Clinical Practice Guideline.

American College of Foot and Ankle Surgeons, 39 (5 suppl):S1-60.

Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem Endokrin.

Jakarta:EGC.

39

Anda mungkin juga menyukai