Anda di halaman 1dari 10

KASUS

Seorang wanita, umur 56 tahun datang dengan kasus fibrilasi atrial non rematik
disertai dengan kegagalan ventrikel kiri derajat sedang. Pemberian digoksin dan
diuretic memberikan hasil yang cukup baik. Penderita mempunyai riwayat
hipertensi yang terkendali. Ekhokardiogram menunjukkan deteriorisasi fungsi
ventrikel kiri derajat sedang. Penderita termasuk wanita aktif dan hidup sendiri
sejak suaminya meninggal sejak 4 tahun yang lalu. Pada masalah ini dibicarakan
di bangsal RS, muncul usulan untuk memberikan antikoagulan warfarin jangka
panjang.
Pertanyaan
1. Bagaimana resiko terjadinya stroke embolik pada penderita tersebut jika tidak
diberikan obat antikoagulan?
Jawab (a) :
Jika obat antikoagulan tidak berikan maka akan meningkatkan resiko
terjadinya stroke embolik, karena antikoagulan digunakan untuk pencegahan
stroke emboli pada pasien dengan fibrilasi atrial (Hart, dkk., 2018).
Penggunaan warfarin mengurangi tingkat stroke iskemik pada pasien dengan
atrial fibrilasi (Patel, dkk., 2011).
Jawab (b) :
Penggunaan warfarin sangat dianjurkan untuk pasien dengan fibrilasi atrium
dengan kegagalan ventrikel kiri karena stroke akibat atrial fibrilasi adalah
umum dan sering kali menghancurkan (70 hingga 80% pasien meninggal atau
menjadi cacat), dan dapat menghadapi risiko kekambuhan stroke tahunan
yang tinggi, namun sebagian besar dapat dicegah dengan terapi antikoagulan
(penurunan 64% dalam risiko stroke dan 25% penurunan angka kematian)
(David J. Gladstone, M.D., Ph.D., Melanie Spring, M.D., Paul Dorian, M.D.,
dkk., 2014, Atrial Fibrillation in Patients with Cryptogenic Stroke, The New
England Journal Of Medicine, 370 (26).
Percobaan klinis telah menunjukkan keamanan dan kemanjuran antiplatelet
untuk pencegahan stroke non-kardioembolik, sementara antikoagulan lebih
sangat dianjurkan untuk pencegahan stroke kardioembolik. Antikoagulan
yang umum digunakan termasuk warfarin, dabigatran, rivaroxaban, apixaban,
dan edoxaban (Nikhil Kapil, BS , Yvonne H. Datta, MD , Naila Alakbarova,
MD, dkk., 2016, Antiplatelet and Anticoagulant Therapies for Prevention of
Ischemic Stroke, Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis, 1-18.

2. Jika diberikan antikoagulan, berapa besar resiko tersebut mengalami stroke


dan pendarahan serius?
Jawab (a) :
 Warfarin adalah antikoagulan yang kuat dan telah terbukti dapat
menyebabkan penurunan besar resiko stroke bila dibandingkan untuk obat
antikoagulan lainnya. Dalam meta-analisis warfarin menurunkan resiko
stroke sebesar 64% bila di bandingkan dengan placebo dan 40 % bila
dibandingkan dengan obat anti-platelet. (Deedwania 2013)
 Efek samping utama dalam penggunaan antikoagulan adalah pendarahan
dan untuk pasien yang menggunakan antikoagulan dengan INR resiko
pendarahan meningkat secara eksponensial (shanoon 207).
Jawab (b) :
Warfarin untuk pencegahan stroke iskemik pada pasien dengan fibrilasi
atrium dan setidaknya salah satu risiko faktor stroke. Warfarin untuk
pencegahan stroke iskemik dan sistemik peristiwa emboli dan memberikan
keuntungan karena dapat mengurangi separuh jumlah stroke hemoragik yang
mendorong penurunan angka kematian secara keseluruhan. Penghentian
jangka panjang Penggunaan warfarin dapat dikaitkan dengan peningkatan
komposit stroke iskemik dan peristiwa emboli sistemik serta mayor
perdarahan dalam 30 hari setelah penghentian penggunaan warfarin, yang
kemungkinan besar menyoroti perlunya klinis pengawasan selama
penggunaan warfarin.
Dapat dilihat penggunaan warfarin dapa mengakibatkan pendarahan
mayor dan stroke iskemik pada pasien fibriasis atrial. Untuk pasien yang
mengalami stroke terdapat 1135 kejadian sedangkan yang mengalami
pendarahan berat sebanyak 1826 kejadian. Penggunaan warfarin perlu lebih
diwaspadai lagi. Pasalnya, efek samping warfarin berupa pendarahan serius
ternyata lebih banyak dialami oleh pasien (Hicks, 2016).
Kejadian perdarahan fatal adalah tertinggi di antara pasien yang
menderita pendarahan intrakranial (38% secara keseluruhan, dibandingkan
dengan 3% di antara ekstrakranial dan 6% di antara perdarahan GI). Proporsi
fatal kejadian perdarahan intrakranial lebih tinggi di antara saat ini (50%),
paparan VKA terbaru (40%) dan masa lalu (63%) dibandingkan dengan tidak
digunakan (22%); Namun, jumlah eksposur baru dan masa lalu kecil. Ini
sejalan dengan studi kohort ATRIA dilakukan antara tahun 1996 dan 2006
1997, yang melaporkan bahwa risiko kematian dalam 30 hari setelah rawat
inap untuk intrakranial terkait perdarahan yang disebabkan oleh penggunaan
warfarin adalah 48,6% . Dalam penelitian ini juga daapat dilihat resiko
terjadinya pendarahan mayor dan stroke pada pasien yang menggunakan
warfarin sangat tinggi angka kejadiannya (Gallagher, 2015).
3. Berapa lama pemberian antibiotik pada infeksi ringan, 3 hari atau 5 hari?
Jawab :
Antibiotik pada infeksi ringan dapat diberikan selama 3 hari. Berdasarkan
International Journal of Infectious Diseases tahun 2017, menunjukkan bahwa
durasi pengobatan infeksi 3 hari dapat dengan aman direkomendasikan. Ini
sejalan dengan strategi penatalaksanaan antibiotik dan pedoman praktik
klinis. Pemberian antibiotik dalam waktu singkat untuk mengurangi
munculnya patogen yang resisten dan multi-resisten.
4. Bagaimana efektifitas pemberian zink
5. Apakah Perlu memberikan hepatoprotektor pada pasien TBC ?
Jawab :
Ya, Perlu.
Alasannya :
Pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat anti
tuberkulosis (OAT) berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin. Penggunaan kombinasi OAT tersebut dan lamanya waktu terapi
yang harus dijalani pasien TB, meningkatkan resiko efek samping obat pada
pasien TB selama menjalani pengobatannya. Salah satu efek samping yang
perlu mendapat perhatian dari penggunaan kombinasi OAT adalah
hepatotoksisitas yang ditandai dengan peningkatan enzim transaminase.
Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas selama penggunaan OAT dapat
diminimalkan dengan memberikan hepatoprotektor pada pasien TB. Beberapa
herbal telah terbukti mempunyai efek hepatoprotektif secara in vitro maupun
in vivo pada hewan coba, seperti meniran (Phyllanthus niruri), temulawak
(Curcuma xanthorrhiza) dan kunyit (Curcuma domestica).

6. Pada seorang penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma dan


mendapatkan terapi propanolol, berapa besar kemungkinan resiko terjadinya
serangan asma?
Jawab (a) :
Penggunaan beta-blocker non-selektif mengurangi respons FEV1, FVC, dan
bronkodilator terhadap ß-agonis, tetapi tanpa peningkatan yang nyata pada
gejala pernapasan subjektif atau kebutuhan inhaler β-agonis. Beta blocker
nonselektif (propanolol) lebih aman untuk pasien dengan asma ringan hingga
sedang. Propanolol, sebuah beta-blocker non-selektif, dapat mengendapkan
bronkospasme berat pada pasien dengan asma, terutama pada dosis tinggi.
Studi kecil tambahan menunjukkan propranolol dan beta blocker non-selektif
lainnya dapat meningkatkan resistensi jalan napas.
Berdasarkan jurnal dosis tinggi beta-blocker nonselektif meningkat secara
signifikan dari eksaserbasi asma sedang dan eksaserbasi asma berat.
Sebaliknya, dosis rendah beta-blocker nonselektif tidak signifikan terhadap
asma (Daniel R Morales, Brian J Lpworth, Peter T Donnang, Cathy Jackson
and Bruce Guthrie, 2017, Respiratory effect of beta blockers in people with
asthma and cardiovascular disease:population based nested case control
study, BMC Medicine)
Jawab (b) :
Propanolol merupakan obat golongan beta-blocker. Terdapat laporan yang
dibahas dalam jurnal (Arboe & Ulrik, International Journal of General
Medicine 2013:6) yaitu golongan obat beta-blocker dosis tunggal dapat
memicu serangan asma parah. Dengan demikian pemberian terapi propranolol
pada penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma memiliki resiko besar
mengalami asma. Seperti yang di sampaikan juga oleh (McNeill, 1964), asma
juga merupakan alasan lain untuk menghindari propranolol, karena
meningkatkan penyumbatan saluran udara pada pasien tersebut.

7. Berapa besar penurunan resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada


penderita yang diberikan profilaksis aspirin 125 mg/hari?
Jawab (a):
Menurut Both the ADA dan AHA dalam tinjauan umum tentang pedoman
penggunaan aspirin merekomendasikan terapi aspirin 75-162 mg/hari untuk
pencegahan penyakit jantung bagi penderita diabetes yang berusia 40 tahun
atau yang memiliki faktor resiko tambahan untuk CVD dan tidak ada
kontraindikasi terhadap terapi aspirin. Berdasarkan hasil penggujian aspirin
untuk pencegahan Cardiovascular menghasilkan penurunan yang sangat
signifikan Total PJK : 0,854(95% CI 0,688-1,016) dengan resiko p : 0,0
Jawab (b) :
- Dari referensi yang pertama saya dapatkan pada penderita PJK (penyakit
Jantung Koroner) yang di berikan profilaksis Aspirin 125 mg/hari bila
diberikan terus menerus menunjukan terjadinya resiko gastrointestinal utama
dan lebih jarang perdarahan intrakranial. Efek sampingnya seperti hipertensi
dan toksisitas ginjal. Adapun penurunan yang signifikan dalam risiko kejadian
kardiovaskular yang serius, termasuk infark nonfatal miokard, stroke, atau
kematian kardiovaskular, dengan penggunaan aspirin. (Bartolucci et al, 25
Berger et al, 26 dan Seshasai et al27). Penggunaan aspirin dosis rendah
menunjukkan bahwa dalam satu bulan setelah MI (Infark Miokard) di 1000
pasien akan mencegah 25 kematian dan 10 sampai 15 infark nonfatal dan
stroke. Pada penggunaan aspirin jangka panjang dengan dosis mulai 50-1500
mg / hari untuk pencegahan sekunder kejadian CVD (cardiovaskular disease),
mengakibatkan pengurangan yang signifikan dalam kejadian vaskular yang
serius termasuk stroke dan kejadian koroner. (The Role of Aspirin in the
Prevention of Cardiovascular Disease)
- Adapun referensi kedua yang saya dapatkan bahwa Aspirin aman dan berharga
pada risiko kejadian koroner 1,5% atau lebih per tahun, nilai terbatas pada
risiko 1% per tahun dan tidak aman pada risiko 0,5% per tahun. (Aspirin for
primary prevention of cardiovascular disease).

8. Apakah perlu pemberian antiemetic pada kondisi mual/muntah karena diare?


Jawab:
Berdasarkan jurnal American Medical Association, penggunaan antiemetik
pada kasus diare tergantung tingkat keparahan dari kondisi mual/muntahnya.
Di jurnal ini dikatakan sangat mendukung penggunaan pengobatan pada
antiemetik untuk diare dengan muntah dari gastroenteritis akut. Dalam jurnal
juga dijelaskan bahwa kasus gastroenteritis akut yang lebih parah tidak dapat
diobati hanya dengan 1 dosis obat ondansetron, namun untuk anak dengan
rawat jalan dan anak-anak dengan diare ringan tidak ada bukti yang cukup
untuk penggunaan antiemetik (Warr, dkk., 2013).

9. Bagaimana efektifitas pemberian citicoline pada pasien stroke?


Jawab:
Davalos, dkk., (2002) melalui penelitiannya “Oral Citicoline in Acute
Ischemic Stroke An Individual Patient Data Pooling Analysis of Clinical
Trials” menggunakan metode A systematic search of all prospective,
randomized, placebo-controlled, double-blind clinical trials menyatakan
bahwa pengobatan pasien stroke sedang hingga berat menggunakan citicolin
rute oral pada 24 jam pertama setelah onset menunjukkan kemungkinan
pemulihan total dalam 3 bulan.
Jawab (b):
Pada jurnal Singh, dkk tentang “Role of citicoline in improve of cognition ,
memory and post stroke disability in stroke patient” bahwa Citicoline
didirikan sebagai neuroprotectant dalam berbagai penelitian. Dalam
penelitian ini citicoline memiliki efek positif pada pasien stroke dalam hal
kognisi dan kecacatan pasca stroke. Studi klinis yang lebih besar diperlukan
untuk menggeneralisasi hasil penelitian ini pada populasi.
Hasil: Total 75 pasien stroke terdaftar, 40 pada kelompok kontrol dan 35 pada
kelompok citicoline dialokasikan secara acak. Pasien dalam kelompok
citicoline diberikan citicoline intravena 500 mg / 12 jam selama dirawat di
rumah sakit dan secara oral 500 mg / 12 jam setelah pulang hingga 12
minggu. Kelompok Kontrol diberi Placebo. cacat kognitif, memori dan pasca
stroke menunjukkan peningkatan positif pada kelompok citicoline.
Kesimpulan: Citicoline menunjukkan efek menguntungkan pada stroke dalam
hal kognisi, memori, dan kecacatan pasca stroke.
10. Berapakah dosis simvastatin yang disarankan untuk menurunkan LDL 150
mg/dl ?
Jawab :
20 mg/dl
Karena setelah diberikan dosis 20 mg/dl bisa menurunkan LDL dari 124
mg/dl menjadi 77 mg/dl selain itu tidak ada kasus miopati pada pasien yang
menerima simvastatin dosis 20 mg/dl, yang juga konsisten dengan keamanan
keseluruhan dari dosis ini yang dilakukan dalam uji coba jangka panjang
lainnya. Dokter harus menyadari bahwa dosis simvastatin 80 mg/dl memiliki
risiko miopati yang lebih tinggi daripada dosis obat yang lebih rendah dan
harus mengedukasi pasien yang menerima dosis simvastatin 80 mg/d untuk
memperhatikan gejala yang berkaitan dengan otot (Jama dkk, 2004)

11. Bagaimana penggunaan ekspektoran untuk batuk


Jawab:
Ekspektoran: Obat-obatan ini dimaksudkan untuk membantu mengeluarkan
sekresi bronkial dari saluran pernapasan dengan mengurangi viskositasnya,
sehingga memudahkan pengangkatan, dan dengan meningkatkan jumlah
cairan saluran pernapasan, sehingga mengerahkan tindakan yang mematikan
pada lapisan mukosa. Sebagian besar ekspektoran meningkatkan sekresi
melalui iritasi refleks pada mukosa bronkial. Beberapa, seperti iodida, juga
bertindak langsung pada sel sekretori bronkial dan diekskresikan ke dalam
saluran pernapasan.
Data eksperimental menunjukkan bahwa ekspektoran mana pun yang tersedia
mengurangi viskositas dahak atau memudahkan ekspektasi. Data mungkin
kurang sebagian karena teknologi yang tidak memadai untuk mendapatkan
bukti tersebut. Dengan demikian, penggunaan dan pilihan ekspektoran sering
didasarkan pada tradisi dan kesan klinis yang luas bahwa mereka efektif
dalam beberapa keadaan.
Hidrasi yang adekuat adalah satu-satunya ukuran terpenting yang dapat
diambil untuk mendorong ekspektasi. Jika tidak berhasil, menggunakan
ekspektoran sebagai tambahan dapat menghasilkan hasil yang diinginkan.
Guaifenesin (100 hingga 200 mg po q 2 hingga 4 jam) adalah ekspektoran
yang paling umum digunakan dalam pengobatan batuk OTC. Ini tidak
memiliki efek samping yang serius, tetapi tidak ada bukti yang jelas tentang
kemanjurannya.
Banyak ekspektoran tradisional lainnya (misalnya, amonium klorida, terpin
hidrat, creosote, squill) ditemukan di banyak OTC obat batuk. Kemanjuran
mereka diragukan, terutama dalam dosis kebanyakan persiapan.

12. Bagaimana keuntungan dan kerugian penggunaan aspirin dan clopidogrel


untuk pengencer darah pada pasien yang berisiko terkena stroke?
Jawab (a):
Keuntungan:
a. Aspirin dan clopidogrel dapat digunakan sebagai terapi pencegahan stroke
alternative pada pasien yang tidak cocok dengan warfarin (Stuart et al.,
2011).
b. Kombinasi aspirin-clopidogrel menunjukkan adanya efektifitas dalam
pencegahan stroke iskemik pada pasien dengan atrial fibrilasi yang tidak
cocok terhadap warfarin (Stuart et al., 2011).
Kerugian:
a. Monoterapi aspirin tidak memiliki efek terhadap upaya pencegahan stroke
pada pasien dengan atrial fibrilasi bahkan meningkatkan resiko stroke
iskemik pada pasien usia lanjut (Sja¨lander et al., 2014)
b. Kombinasi Aspirin-clopidogrel meningkatkan resiko pendarahan (Stuart
et al., 2011).
c. Kombinasi aspirin-clopidogrel meningkatkan resiko thromboembolism
dan kematian dibandingkan dengan OAC (Oral Anti Coagulants) (Lau et
al., 2019).
Jawab (b):
Keuntungan
Pasien yang menerima pengobatan clopidogrel-aspirin memiliki tingkat
kejadian iskemik utama yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan
antiplatelet tunggal, namun berdasarkan penelitian terapi antiplatelet ganda
tersebut hanya terbatas pada 21 hari pertama setelah stroke iskemik minor
atau TIA risiko tinggi (Pan, dkk., 2019).
Terapi antiplatelet ganda dengan kombinasi clopidogrel dan aspirin terbukti
mengurangi risiko awal stroke baru pada pasien dengan stroke iskemik minor
atau transient ischemic attack (TIA) pada populasi Cina
Kerugian
Pasien yang menerima clopidogrel-aspirin memiliki tingkat pendarahan minor
yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerima aspirin saja (Pan,
dkk., 2019).

13. Pada kondisi seperti apa perlu diberikan antibiotik profilaksis


Jawab :
Antibiotik profilaksis diberikan pada kondisi pasien sebelum melakukan
operasi yang memiliki resiko infeksi tinggi sehinggadapat menekan resiko
terjadinya infeksi seperti pada saat implantasi alat pacu jantung untuk
mencegah terjadinya resiko infeksi setelah dilakukan operasi maka diberikan
antibiotik profilaksis. Infeksi alat pacu jantung terjadi paling umum ketika
waktu operasi diperpanjang, operator tidak berpengalaman, dan setelah
operasi berulang untuk perpindahan elektroda, sehingga disarankan antibiotik
profilaksis digunakan secara rutin dalam implantasi alat pacu jantung. secara
signifikan lebih sedikit infeksi yang terjadi pada pasien yang diberikan
antibiotik profilaksis (Mures, dkk., 1981).

14. Bagaimana efektivitas pemberian Piracetam pada pasien paska kejang demam
maupun kejang tanpa demam?
Jawab :
Piracetam efektif terhadap pengobatan pasien paska kejang demam maupun
kejang tanpa demam, dimana berdasarkan penelitian piracetam menghasilkan
peningkatan pelepasan dan omset dopamin , peningkatan pelepasan
asetilkolin dalam hipokampus dan corpus stratium . Dari pengamatan dapat
dikatakan bahwa piracetam tidak hanya mencegah penurunan kognitif, tetapi
juga meningkatkan kinerja kognitif dari hewan uji karena tindakan
neuroprotektif dan nootropic nya (Chaudari dkk., 2013 & Koeskiniemi
dkk.,1998).

Anda mungkin juga menyukai